04 Desember 2015

Ekspedisi Mahakam 14 : Sebuah Insiden

Sebenarnya menjelang ke hulu sungai Belayan termasuk di wilayah Desa Muara Tuboq ini memiliki kontur berbukit bukit sehingga memungkinkan ditemukannya air terjun lainnya hanya saja beberapa di antaranya masih berada di dalam kawasan hutan Gunung  Batu yang sangat sukar untuk di jelajahi.  Salah satunya adalah air terjun Sungai Lunuk 2. Yang memiliki kontur sangat berbeda dengan air terjun Sungai Linuk 1.  Air terjun Sungai Limuk 2 ini berada di wilayah desa MuaraTiq.  Air terjun ini tidak terlalu tinggi tetapi yang menjadikannya lebih menarik karena air terjun ini bertingkat tiga. Selain itu struktur batuannya berbentuk seperti jamur-jamur bertingkat yang dibentuk oleh gelombang pasang surut air sungai.  Hal ini bisa terjadi karena strutur dasar dari batuannya yang berlapis.  Namun debit air di sini sangat ditentukan oleh musim.

Ekspedisi Mahakam 14: AIr Terjun Long San

Di arah ke hilir dari Kecamatan Tabang masih ada air terjun yang tidak kalah menariknya dengan kedua air terjun sebelumnya.  Air terjun ini berada di kawasan Sungai Lunuk namun sudah masuk ke wilayah Desa Sido Mulyo.  Air terjun ini dikenal dengan air terjun long san, Air terjun di Longsan ini mempunyai kelebihan karena airnya yang jernih. Hal ini dimungkinkah oleh beberapa hal di antaranya karena litologi batuannya berupa napal dan batuan padat lainnya. Selain itu didukung oleh kondisi lingkungannya yang masih padat dengan tumbuhan hutan yang memiliki akar-akar yang besar dan dapat menjadi media penyaring lempung yang terbawa oleh air.  Air terjun memiliki ketinggian di lebih dari 20 meter dengan batu-batuan berbentuk lempengan berukuran besar di bagian muaranya. 

Ekspedisi Mahakam 14: Keindahan Air Terjun Sungai Lunuk (Muara Bentuq)

            Dari Desa Muara Belinau, apabila kita terus menjalankan perahu kita ke arah hulu Sungai Belayan maka dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapai air terjun Sungai Lunuk ini.  Artinya jika kami menempuh dari kecamatan Tabang dibutuhkan waktu 1 jam untuk menempuh jarak sekitar 4  KM untuk sampai ke lokasi.  Jika debit air dalam kondisi tinggi, maka perahu akan dapat mencapai lokasi air terjun ini namun jika tidak  perahu harus ditambatkan di tepi sungai Belayan lalu kita dapat berjalan kaki menyusuri anak sungai Belayan menuju Muara Bentuq, tempat air terjun itu berada. 


26 Oktober 2015

Ekspedisi Mahakam 13 : Mengunjungi dayak Punan dan Kenyah

Desa pertama yang kami kunjungi ketika kami berangkat dari Kecamatan Tabang adalah Desa Muara Belinau merupakan pemukiman Dayak Punan.  Pola permukiman yang sejajar dengan Sungai Belayan tampak berderet rapi.  Beberapa rumah di dalam desa ini tampak belum berpenghuni dan memiliki bentuk yang seragam.  Tampaknya rumah rumah ini disediakan oleh pemerintah daerah agar masyarakat Dayak Punan mau tinggal secara menetap. 
Seperti diketahui komunitas dayak Punan termasuk komunitas yang wilayah pesebarannya tidak terlalu luas.  Suku dayak Punan merupakan salah satu sub suku dayak yang baru sekitar 30 tahunan mau hidup secara menetap dalam satu pemukiman, sebelumnya mereka hidup terpencar-pencar dan tinggal di daerah yang sangat sulit dijangkau. Namun dalam waktu 30 tahun banyak kemajuan yang dicapai sehingga suku dayak punan pun dapat bersosialisasi dengan masyarakat luar.  

Ekspedisi Mahakam 13 : TABANG...


Akhirnya...sampai juga kami di TABANG.  Ya,  Kecamatan Tabang merupakan kecamatan paling utara dari Kabupaten Kutai Kartanegara.  Dan kesanalah kami akan menyelesaikan perjalanan ekspedisi Mahakam ini.  Kecamatan Tabang letaknya cukup jauh dari Kembang Janggut.  Dengan Longboat bermuatan 10-12 orang Tabang dapat ditempuh sekitar 6 jam.  Yang harus diwaspadai adalah banyaknya riam-riam di sepanjang sungai Belayan, oleh karena itu dibutuhkan sekali orang yang sudah berpengalaman mengemudi perahu di daerah ini. 

            Sepanjang perjalanan kami disuguhkan oleh pemandangan yang begitu mempesona sambil sekali kali kami berjumpa dengan rumah rumah yang dibangun di tepi sungai Mahakam.  Burung burung elang yang berterbangan sekali-kali kami jumpai dalam perjalanan ini bahkan beberapa kelompok monyet dapat ditemui di tepi sungai ini.    Di tepi sungai Mahakam juga kami kembali melihat tempat tempat pengolahan kayu lapis (Saumil) yang tengah beroperasi membuat kayu-kayu lapis dimana limbahnya menggunung diletakkan di tepi sungai Belayan serta lokasi-lokasi penampungan tambang batu bara yang sibuk memasukan batubara ke dalam kapal kapal kontainer yang bersandar di tepi sungai.  Entah berapa lama sudah kami menyusuri sungai Belayan, akhirnya kami tiba di Desa Tukung Ritan dan Ritan Baru. Sebuah gapura  dengan empat  tiang kayu berwarna merah yang berhias ukir ukiran khas dayak tampak berdiri indah di tepi sungai Belayan seolah mengundang siapa pun yang melewati sungai ini untuk mampir sejenak di sini.  

07 September 2015

Ekspedisi Mahakam 12 : Sekilas tentang Komunitas Dayak Modang di Desa Long Bleh, Kembang Janggut

Menurut penuturan Kepala Adat Dayak Modang, Bapak Zai Asnadi Long Dea,   Desa Long Bleh terbentuk pada tahun 1945 bertepatan dengan berkibarnya bendera merah putih yang pertama kalinya. Kini tiang bendera tersebut masih berdiri utuh dan mengingatkan mereka pada saat penting yakni Proklamasi Kemerdekaan RI.  Asal-usul Dayak Modang sendiri, konon mereka berasal dari Sungai kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum tahun 1945, sudah ada kelompok-kelompok kecil dengan berjalan kaki menyusuri Sungai Mahakam. Menuju arah hilir sungai.  Kelompok pertama, sampai di daerah Sebrang Long Bleh Halo, dan kemudian tahap demi tahap membuka daerah baru di tempat yang kini dikenal sebagi Long Bleh. pemukiman dayak Modang di wilayah Kembang Janggut ini terkonsentrasi di dua wilayah yakni Desa Long Bleh Modang, dan Long Bleh Malih.      
           

Motivasi utama dari perpindahan mereka dari tempat asalnya tidak lain adalah adanya keinginan merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu Mahakam cukup subur, akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup lainnya seperti pakaian, atau bahan makanan. Pendidikan, juga menjadi salah satu alasan kepindahan mereka.

Ekspedisi Mahakam 12 : Perjalanan ke Kembang Janggut

Perjalanan kami selanjutkan menuju Kecamatan Kembang Janggut dilakukan dengan kendaraan roda empat.  Hari masih siang  cuaca juga cukup bersahabat ketika kami sampai ke penginapan di Kembang Janggut.  Seperti halnya di Kenohan, kondisi penginapan berupa sebuah rumah besar yang memiliki 4 kamar tidur.  Untuk keperluan memasak terpaksa kami minta tolong pemilik rumah untuk membantu menyiapkan makan tim.  

13 Agustus 2015

Ekspedisi Mahakam 11: Dayak Tunjung di Teluk Bingkai


           


 Pada kesempatan ini juga kami menyempatkan diri untuk mengunjungi permukiman Suku Dayak Tunjung di desa Teluk Bingkai yang merupakan desa paling utara dari Kecamatan Kenohan.  Jalan darat yang musti kami lalui pada saat itu cukup rata meskipun tidak beraspal.  Kehidupan Masyarakat dayak Tunjung di Teluk Bingkai cukup harmonis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebagian dari mereka bekerja sebagai petani dan sekaligus nelayan yang memanfaatkan sungai Belayan (Anak sungai Mahakam) untuk mencukupi sebagian kebutuhan hidupnya  Mayoritas dari mereka beragama Katolik, meskipun demikian sebagian masyarakatnya masih melaksanakan upacara adat seperti Kwangkai dan Belian. Sistem kekerabatan Dayak Tunjung menarik garis keturunan Ibu dan Ayah

Ekspedisi Mahakam 11 : Arsitektur Rumah Orang Kutai di Kahala


            Salah satu hal paling menarik di desa Tuana Tuha adalah masih ditemukannya rumah rumah bergaya melayu tua yang meskipun sebagian besar sudah hampir hancur dimakan zaman dan tidak dihuni lagi namun keberadaannya mencerminkan kejayaan masyarakat Kutai di Kenohan pada masa lalu.  Rumah rumah panggung yang dibangun sejajar berjarak sekitar 20 meter dari tepi sungai dan memanjang mengikuti alur anak sungai Mahakam.  Rumah-rumah ini merupakan bagian yang tersisa dari pemukiman awal desa Kahala. Dari pengamatan kami di antara sebagian yang telah dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru paling tidak terdapat lebih dari 10 rumah kuna berarsitektur rumah Banjar.  Ciri utama rumah bergaya rumah banjar ini adalah berbentuk rumah panggung, memanjang ke belakang, di bagian atas layar rumah terdapat hiasan dan pada bagian lisplang terdapat ukiran krawangan. Diperkirakan arsitektur sejenis ini marak pada sekitar awal abad ke XX.


            Di daerah Kenohan juga kami mendengar tentang adanya taman anggrek yang begitu luas.  Tetapi tempat itu cukup jauh dan dipenuhi oleh cerita-cerita gaib.  Banyak orang yang tersesat dan kesulitan untuk mencari jalan pulang ketika pergi ke sana.  Sehingga untuk mencapai tempat itu harus dengan petunjuk dari seorang pawang.  Sayangnya kami tidak berhasil menjumpai orang yang bisa mengantar kami ke sana.  Tetapi memang tanaman anggrek yang tumbuh liar di hulu Mahakam masih sering kami jumpai..seperti halnya tanaman kantung semar ini, di habitat nya tumbuh seperti halnya tanaman liar lainnya.   

07 Agustus 2015

Temuan Inskripsi perak dari Sungai Musi, Palembang.







Teks
Dibaca oleh Arlo Griffiths, 30/09/2013.

(1) // °o °ā raka raka mā sarvamāraduṣṭacittebhya[] svāhā // @ //
(2) // °o ° hana hana vijaye ja raka raka mā svāhā // @ //

Om ā. Lindungilah, lindungilah aku dari segala demon dan pikiran yang buruk, svāhā!
Om hana hana pemenang ja lindungilah, lindungilah aku svāhā!’

Mantra yang persis sama belum saya temukan di sumber-sumber lain, namun boleh dibandingkan dengan mantra yang terdapat dalam teks-teks suci agama Buddha seperti misalnya Mahāpratisarāmahāvidyārājñī (cf. Cruijsen, Griffiths & Klokke 2013): o maivajre hdayavairemārasainyavidārii hana hana sarvaśatrūn raka raka mama śarīra sarvasatvānā ca vajre vajre vajragarbhe vajragarbhe | trāsaya trāsaya sarvamārabhavanāni hū pha pha svāhā ||. Mantra ini berhuruf pallawa dan bahasa sansakerta dari sekitar abad ke7/8 Masehi.


Mantra, rajah, isim atau jampi-jampi sampai saat ini bukanlah hal yang asing pada sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan sampai sekarang, penggunaan mantra masih cukup populer.  Meskipun hadir dalam bentuk dan penyajian yang berbeda, fungsinya masih dapat dikatakan belum banyak berubah yakni untuk mendapatkan bantuan dari kekuatan gaib dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.  

06 April 2015

Ekspedisi Mahakam 11 : Mengunjungi Maestro Seni Kutai

             Ada dua orang seniman musik Tingkilan Kutai yang cukup populer di Kenohan, bahkan salah satunya pernah membawa nama Kalimantan Timur ke manca negara untuk memainkan musik tingkilan.  Satu prestasi yang membanggakan tentunya bagi Mak Peot.  Wanita separuh baya itu kini sudah tidak muda lagi, umurnya sudah mendekati angka 60 tahun sejalan dengan makin banyaknya guratan di wajahnya.  Namun ketika kami berkunjung ke rumahnya, beliau dengan bersemangat mau menceritakan perjalanan kehidupan beliau kepada kami.  Kecintaannya pada seni musik tingkilan bukanlah suatu kebetulan, namun ia memang mencintainya sejak kanak-kanak.  Kedua orang tuanyalah yang mengenalkan beliau kepada alat musik gambus.  Dengan ketekunan dan keseriusannya menggeluti seni musik inilah kini beliau dikenal tidak saja oleh warga kecamatan Kenohan namun namanya sudah tercatat dalam pentas musik tradisional tingkat internasional di Jepang 
     
Sayang di usia yang semakin tua ini keahliannya dalam memainkan seni musik tingkilan tidak ada yang mewariskan.  Keenganan generasi muda sekarang untuk belajar musik tingkilan merupakan hal yang serius dan mengancam kelangsungan seni musik tradisional itu sendiri.  Kerisauan ini yang terus menggantung tanpa ada jawaban.  ”Bagaimana nasib seni musik tradisional di masa depan jika anak muda sekarang lebih suka musik modern” ujarnya kepada kami.  Sungguh ironis memang jika pada akhirnya seni musik tingkilan menjadi terasing di negerinya sendiri.  Ketika kami tanya bagaimana saran ibu untuk pengembangan kesenian di daerahnya, Beliau menjawab bahwa pemerintah harus ikut turun tangan, kegiatan sanggar-sanggar kesenian harus didirikan, dan anak anak diajak untuk belajar mencintai seni trasional ini.  Beliau amat mengharapkan jika ada pihak pihak yang mau membantu membina kesenian tradisional bagi gerenasi muda.  Tampaknya kecemasan beliau menjadi kecemasan kami juga, masyarakat khususnya generasi muda harus digugah untuk mau mempelajari, mencintai dan bahkan mengembangkan  kesenian tradisional sehingga menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.  Jelas hal ini bukan satu usaha yang mudah, namun satu langkah kecil usaha ke arah sana harus segera dibuat agar semuanya tidak terlambat dan menjadi penyesalan kita di masa mendatang.
         
 

Ekspedisi Mahakam 11 : Menuju Kecamatan Kenohan


            Siang itu cuaca mulai cukup cerah ketika kapal kami berangkat meninggalkan dermaga Muara Wis menuju Kecamatan Kenohan.  ”Dibutuhkan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai Kenohan” demikian kata pak....,sang kapten kapal kami memberikan informasi perjalanan.  Sepanjang perjalanan menuju Kenohan kami habiskan untuk beristirahat, membereskan data yang sudah masuk atau tidur.  Sebagian lainnya menikmati perjalanan sambil terus mendokumentasikan keindahan alam dan Sungai Mahakam yang berarus tenang.   Awan putih dengan latar langit biru dan sekali kali kami menjumpai burung elang  yang terbang rendah untuk menjemput ikan di sungai Mahakam merupakan hiburan kami selama dalam perjalanan.  Sekali-kali kami berpapasan dengan kapal kapal berukuran besar memuat batu bara, atau kapal-kapal barang yang berisi berbagai kebutuhan sehari hari mulai dari sabun, minyak goreng, gula  sampai sepeda anak-anak.

            Menjelang sore kapal kami mendarat di Desa Tuana Tuha.  Kapal kami harus berhenti di sini karena untuk melaju ke arah hulu lagi tidak memungkinkan karena saat air surut seperti sekarang kedalaman sungai tidak memungkinkan untuk dilalui oleh kapal-kapal besar seperti yang kami gunakan.  Terpaksa keakraban kami dengan kapten kapal dan empat orang ABK harus berakhir di sini.  Perjalanan selanjutnya dapat menggunakan kapal yang lebih kecil atau melalui jalur darat untuk mencapai Kecamatan Kenohan, untuk mencari penginapan yang hanya ada di kecamatan.  Akhirnya kami memilih menggunakan jalur darat, dan satu satunya kendaraan yang ada untuk mengangkut kami serta seluruh barang bawaan kami hanyalah truk.  

22 Maret 2015

Ekspedisi Mahakam (10) : Menjejakan Kaki di Muara Wis

Puas mengeksplorasi Muara Muntai, Perjalanan dilanjutkan ke kecamatan Muara Wis.  Cuaca sedikit mendung ketika kami merapat di pelabuhan Muara Wis.  Namun denyut kehidupan masyarakat Muara Wis tidaklah terhenti hanya karena hujan ringan.  Kami menyumpai sebagian mereka tengah beraktivitas di sungai.   Kehidupan masyarakat di Muara Wis tidak berbeda pula dengan masyarakat tepi sungai Mahakam lainnya, untuk kebutuhan protein mereka dengan mudah mendapatkan dari Sungai Mahakam.  Ikan Patin, Baung dan Udang adalah yang paling banyak dan mudah untuk ditangkap.  Kami menjumpai salah seorang warga yang baru berhasil mendapatkan ikan patin seukuran paha orang dewasa hanya dengan umpan bakso.  ”Ikan disini ngampang dipancing mas, umpannya cukup dengan sedikit bakso atau pisang goreng kita sudah dapat ” katanya ringan.   Wow, Jika saat ini saja Sungai Mahakam masih mampu memberi kehidupan bagi penduduk di sepanjang sungai tersebut bisa dibayangkan dahulu tentu potensi ikan air tawar di Sungai Mahakam menjamin kehidupan penduduknya...Terlintas sedikit bangga di hati ini, sebenarnya masyarakat di bagian hulu Mahakam, merupakan masyarakat mandiri.. di mana alam telah menyediakan kebutuhan dasar bagi penghuninya... Lantas akankah kondisi ini terjaga kelestariaannya di tengah eksploitasi sumberdaya alam di bagian hulu sungai?.   Semoga tetap lestari.. sehingga senyum orang orang di hulu Mahakam tetap mengembang..

Seperti wilayah tepi sungai Mahakam Lainnya, perkampungan Muara Wis dibangun dengan menggunakan materiil kayu berbentuk rumah panggung yang memiliki ketinggian minimal 1 meter dari muka tanah.  Ragam arsitektur seperti ini juga berlaku pada bangunan pemerintahan, masjid dan sekolah yang ada.   Areal yang sebagian besar didominasi oleh rawa pasang surut merupakan penyebab utama mengapa rumah rumah mereka adalah rumah panggung.  Sekali lagi kita dipertunjukkan bagaimana jeniusnya masyarakat Muara Wis dalam beradaptasi dengan lingkungan rawa.  

19 Maret 2015

BEBERAPA CATATAN TEKNIK ANALISIS NASKAH SUNDA DALAM ARKEOLOGI

Agustijanto Indradjaja (Agustijanto2004@yahoo.com)
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Pendahuluan
            Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia.  Pengertian naskah dalam tulisan ini juga mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.  Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun tidak langsung.  Penggunaan naskah sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan.  Padahal beberapa ahli arkeologi selalu menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan  David Clarke, seorang arkeolog Inggris menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra F,1992,37).  Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik dan metode sendiri dalam penelitiannya.  Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan eksakta sebagai ilmu bantunya.  Salah satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah adalah cara memperlakukan naskah tersebut.  Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data artefaktual lainnya.  Sejarawan cenderung lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah.  Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra F,1992:35).  Penelitian naskah bagi arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
      

14 Maret 2015

PERMUKIMAN KUNA DI PANTAI UTARA JAWA BARAT : TINJAUAN TERHADAP HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS BATUJAYA DAN SEKITARNYA

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional

(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
            Batujaya site which for nearly two decades of fairly intensive study by The National Research and Development Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite interesting.  Not only from a chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex. Archaeological research in the last two years shows that the existence of batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the Batujaya site in the past

Kata Kunci : Pemukiman kuna, Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat

I
PENDAHULUAN
            Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan sejarah budaya di Indonesia.  Situs ini bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua puluh bangunan yang terdapat di atasnya.  Dalam perkembangannya di tahun 2005,   berhasil ditemukan adanya sisa bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi Batujaya[1]  Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman pendukung komplek candi ini berada?  Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2]  memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki.  Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di sepanjang pantai barat India didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981:  Peter:2006: 121)

Kerangka Pikir dan Metode
            Dalam konteks permukiman yang terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut.  Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860 Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor  dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas.  Di situ akan didirikan prasāda dengan arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika.  Lain dari pada itu dua orang anak pāduka Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima tersebut (Boechari,1980 :326).  
            Permukiman di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan ”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
            Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi kompleks candi ini.  Keberadaan permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya permukiman di sana.  Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan macam-macam institusi yang berlaku.  Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman.  Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman.
          Unsur lingkungan sangat erat hubungannya dengan pola permukiman.  Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun non fisik (biotik).  Lingkungan fisik berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang hidup di muka bumi.
Dalam skala keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya  juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat terbatas.  Kebudayaan materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5: 2006).


13 Maret 2015

BEBERAPA PRINSIP TEOLOGI NASKAH SUNDA KUNA (Hubungannya dengan masyarakat Sunda kuna)

            
             Pengertian arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source” (Daniel,1976,  Hasan M,1982: 123). Dengan demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi ‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
            Salah satu sumber data primer bagi penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka aspek-aspek sosial masa lalu  masih dapat diketahui dan direkonstruksi kembali.
            Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru Pangambat.  Prasasti yang dibuat oleh Sri Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,  tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Meskipun demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda( sekitar abad 15-16 M).
            Pengertian naskah-naskah Sunda kuna adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui pendekatan teori fungsional.
            Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke 16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi S, 1982: 106).  Ada empat macam huruf yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab (pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada lima jenis  bahasa meliputi bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa.  Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
            Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat. (Ayatrohaedi,1993: 18-19)

12 Maret 2015

EARLY TRACES HINDU-BUDDHA INFLUENCE ALONG THE NORTH COAST OF CENTRAL JAVA: ARCHAEOLOGICAL SURVEY AT DISTRICT OF BATANG (lanjutan)


(Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Amerta Vol.32 tahun 2014 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) 
                According to the inventory of the Ronggowarsito Museum, six other sculptures would also come from Balekambang: a statue of Durga (04.00077), a second makara (04.00079), two jaladwara (04.0080 and 0.00081) and two antefixes (04.00082, 04.00083). The Durga is broken into three parts and unfortunately so eroded that it is impossible to define its style. The goddess is depicted standing on the buffalo. She has eight arms and one can still distinguish the conch in her upper left hand and the disc in her upper right hand. The second upper right hand probably held a short sword or a club. The remaining attributes are unidentifiable. The second makara attributed to the site of Balekambang in the inventory of the Ronggowarsito Museum does not form a pair with the one we mentioned above. It is also likely come from a staircase, but it should have been part of a staircase of smaller dimensions because the lower two thirds of the inside are not decorated. The trunk is clearly symmetric and wrapped. The necklace is entirely plant like and, in the monster's mouth , one can see a lion's head. Behind the head of the makara one can find a pattern quite similar to the one of the first makara discussed, which suggests that the two makara are more or less the same period (ninth century). Of the two jaladwara, one is a simple duct without decor (MR 04.00080 ), while the other is of a singular kind (MR 04.00081). The end of the duct has the shape of a crocodile, mouth open and all fangs visible. A young woman sits astride the crocodile, legs bent, her chest leaning forward and her his hands on the head of the animal. Her hair falls in ringlets down her back and to her feet . The duct is unfortunately cut in a coarse conglomerate and no detail is visible.
            At around 200m from the spring, to the north-east, a first surface survey has yielded numerous potsherds, the majority of which are Chinese and Thai ceramics from the late fifteenth or early sixteenth century.

BEBERAPA MASALAH PERUBAHAN STATUS TANAH DI JAWA BARAT MENURUT SUMBER PRASASTI

       Salah satu peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu.  Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
            Pada umumnya prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi kerajaan.  Isi prasasti dapat berupa pernyataan pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
            Sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat  pada masa lalu seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya serta aktivitas manusia  pada masa lalu lainnya.  Sejauh ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah menjadi daerah perdikan (sima).  Dari sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh seorang pejabat atau  raja kepada orang-orang yang telah berjasa kepada raja,  keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
            Penetapan suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang tanah  dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975, Djoko D.dkk 1992).
            Berbeda dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11).  Beberapa prasasti lain juga menyangkut perubahan status daerah /tanah menjadi tepek (daerah larangan), kabuyutan, dan dewasasana.
            Dari sejumlah prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah  diatas yang menyangkut perubahan status tanah manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima tidak populer di daerah Jawa Barat.

11 Maret 2015

TELAGA SANGHYANG : Mencari model hubungan kabuyutan dan kerajaan di Sunda Kuna


            Kabuyutan sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna mengenal candi atau kuil.  Tepatnya ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang.  Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu - Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda kuna.  Salah satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi.  Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21 ).  Menurut Agus A.M., bentuk bangunan pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya (1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,  tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.  Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
            Hal ini tercermin pada masa Kerajaan Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan.  Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan di kerajaannya.  Naskah CP menyebutkannya sebagai “...disilihan doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
            Kehadiran Kabuyutan yang berakar dari kepercayaan kepada roh nenek moyang  dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.