Salah satu
peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah
prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu. Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui
ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
Pada umumnya prasasti merupakan
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi
kerajaan. Isi prasasti dapat berupa pernyataan
pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan
hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan
amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam
bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
Sebagai
sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat
penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa lalu seperti sistem ekonomi,
politik, dan budaya serta aktivitas manusia
pada masa lalu lainnya. Sejauh
ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa
Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah
menjadi daerah perdikan (sima). Dari
sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh
seorang pejabat atau raja kepada
orang-orang yang telah berjasa kepada raja,
keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
Penetapan
suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut
perubahan status sebidang tanah dan
beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975,
Djoko D.dkk 1992).
Berbeda
dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti
yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11). Beberapa prasasti lain juga menyangkut
perubahan status daerah /tanah menjadi tepek
(daerah larangan), kabuyutan, dan
dewasasana.
Dari sejumlah
prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah diatas yang menyangkut perubahan status tanah
manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima
tidak populer di daerah Jawa Barat.
Prasasti
yang terdapat di Jawa Barat yang sampai saat ini ditemukan seluruhnya berjumlah
33 buah, yaitu 7 buah berasal dari masa kerajaan Tarumanagara dan 26 buah
berasal dari masa kerajaan Sunda, dengan temuan terakhir berupa prasasti Kawali
VI pada bulan Oktober 1995. Dari prasasti-prasasti tersebut tercermin adanya
dua kerajaan besar ini saling mengisi dalam ruang sejarah masa klasik di Jawa
Barat. Ada juga yang berpendapat bahwa
kerajaan masa klasik di Jawa Barat hanya ada satu dengan ibukota yang
berpindah-pindah (Bambang S 1984: ).
Meskipun
dari 33 prasasti yang ditemukan hanya satu yang menyebutkan istilah sima namun
terdapat enam prasasti lainnya yang menyinggung tentang perubahan status tanah.
Prasasti tersebut adalah prasasti Kebantenan (4 buah) dan prasasti Sanhyan Tapak
(2 buah). Prasasti Kebantenan ditulis di
atas lima lempeng tembaga yang saat ini disimpan di Museum Nasional. Beberapa ahli arkeologi yang telah meneliti
prasasti antara lain K.F. Holle (1872), Pleyte (1911), Ten Dam (1957), Atja dan
Saleh Danasasmita (!984) serta Boechari (1985) terakhir Hasan Djafar (1991)
(Hasan D :1991). Transkrip dan
terjemahan Prasasti Kebantenan I-IV dan Sanhyan Tapak I-II yang telah dilakukan
oleh Hasan Djafar secara garis besar menyebutkan sebagai berikut :
1. Prasasti Kebantenan I
Berisi tentang amanat agar penguasa di
Pakuan Pajajaran menjaga dayeuh di
Jayagiri dan dayeuh di Sundasembawa.
petugas pajak (muhara) dilarang
memungut pajak baik berupa dasa,
calaraga, pare dondang, dan kapas timbang.
Alasannya dikarenakan mereka (penduduk di dayeuh) sangat berbakti pada agama dan memelihara dewasasana.
2. Prasasti Kebantenan II
Berisi penetapan kedudukan lemah
Dewasasana di Sundasembawa yang
dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di Pakwan Sri San Ratu Dewata.
Batas-batasnya ditetapkan. Diserukan agar jangan ada yang mengganggu dan
mempermainkan dewasasana dan jangan ada yang mengingkari ketetapan
yang telah digoreskan. Disebutkan juga dewasanana
adalah sanggar (tempat pemujaan)
raja yang disediakan untuk para wiku.
3. Prasasti Kebantenan III
Berisi penetapan raja yang bersemayam di Pajajaran, mengenai kedudukan kabuyutan di Sundasembawa. Agar dipelihara, jangan ada yang mengurangi, jangan
ada yang merintangi dan mengganggunya. Barang siapa yang memaksa memasukinya
diperintahkan agar dibunuh karena daerah itu tempat kediaman para wiku .
4. Prasasti Kebantenan IV
Berisi penetapan raja yang berisi penetapan Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di
Pakwan Sri San Ratu Dewata mengenai kedudukan lemah dewasasana di Gunung
Samaya. Dilarang menggangu daerah yang batas-batasnya telah ditentukan.
Dilarang memungut pajak baik berupa dasa,
calaraga, upeti pangrsma karena di sana ada sanggar (pemujaan ) raja.
5. Prasasti Sanhyan Tapak I (D.75, D.96,
D.97)
Isinya berkenaan dengan pembuatan sebuah tepek (daerah larangan) di selatan
Sanhyan oleh Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya, raja Sunda
yang berangka tahun 952 C/1030 M.
6. Prasasti Sanhyan Tapak II (D.98)
Prasasti ini juga berangka tahun 952 Ć. Isinya berupa persumpahan dan kutukan
yang dikeluarkan oleh raja Sunda bagi
yang melanggar ketetapan yang telah diatur sehubungan dengan pembuatan tepek yang telah disebutkan.
III
Prasasti-prasasti yang berasal dari
Jawa kuna sebagian besar memuat informasi tentang masalah tanah dengan
aspek-aspek permasalahannya. Menurut
Boechari, tidak kurang dari 120 buah prasasti yang berisi tentang penetapan
sima (Boechari 1977). Istilah sima sendiri berasal dari bahasa Sangsakerta
dalam pengertian mula-mula berarti batu patok.
Hal ini dapat diketahui dari kalimat sinusuk
srang du yang berarti ditanami batu sima di keempat sudutnya (Riboet D
1981, Endang S 1984 ). Selanjutnya berkembang menjadi tanah yang berupa
anugerah raja kepada seseorang atau untuk kepentingan bangunan suci. Tanah yang dijadikan sima atau perdikan itu
berupa sawah, ladang, kebun, pagagan, padang rumput, taman, daerah pemukiman
bahkan adakalanya juga hutan, rawa-rawa dan kali atau tepiannya (Boechari
1977). Menurut R.Soekmono penetapan sebidang tanah menjadi
sima melalui upacara manusuk sima
(meresmikan sima dengan menancapkan batu patok sebagai batas lingkungan tanah
bebas) maka tanah itu dibebaskannya dari
pajak dan penggunaannya semula dengan maksud agar tanah tersebut baik penghasilan maupun pemakaiannya
diperuntukan bagi kelangsungan suatu
usaha suci dari suatu bangunan tersebut.
Sering pula ketetapan itu berarti dibebaskannya suatu desa dari pajak
dan kewajiban lain dari kerajaan dengan tujuan agar penduduknya menjadi
penanggung jawab terhadap kelangsungan usaha suci sang raja. Desa demikian merupakan desa perdikan itulah
perbedaan kedudukan tanah biasa dan tanah sima yang melibatkan penduduk yang
berada di lingkungan sima tersebut (Soekmono 1977)
Daerah-daerah
yang dijadikan sima mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Machi S telah
menjelaskan tentang hak dan kewajiban pemilik sima pada masa kerajaan
Majapahit. Prasasti Warinin Pitu (1447 M) menyebutkan beberapa hak bagi pemilik
tanah sima yang diantaranya tidak boleh didatangi oleh sang mantri katrini yakni pankur, tawan dan tirip (petugas pajak), diperkenankan memakan raja mansa ( makanan raja dan kebiasaan lain yang dilakukan raja)
seperti badawan (penyu), wdus guntin, karun pulih, dan asu tugel.
Di samping memperoleh sejumlah keistimewaan, pemilik sima juga dibebani
beberapa kewajiban yang harus ditunaikan seperti melakukan upacara korban pada bulan Asada
(Prasasti Cangu) dan memberikan
persembahan berupa pasekpasek pada
saat peresmian sima (Prasasti Kudadu). (Suhadi 1994)
Di dalam
prasasti, peruntukan lahan bagi usaha bangunan suci tidak menjelaskan secara
detail jenis bangunan sucinya. Kitab Nagarakertagama pupuh 25 menjelaskan
beberapa dharma atas bangunan suci sebagai berikut dharma I dalem, dharma lpas, kalagyan,
parhyangan, kuti, wihara, tapasuli, dan dharma
haji. Menurut pupuh 74 , dharma
haji ada 27 buah, dharma lpas ada
10 buah, parhyangan ada 5 buah, sphatikeyang ada 20 buah, dharma kasogatan kawiyara l pas ada 41
buah, dharma karessya ada 7 buah, dharma lpas dan sima menjadi swatantra ada 11 buah (Suhadi 1981).
Dihubungkan
dengan kakawin Arjunawijaya kecuali dharma
haji semuanya merupakan bangunan suci yang telah dihibahkan oleh raja
kepada para pemimpin agama untuk keperluan pemujaan kepada para dewa serta
untuk menunjang keperluan hidup mereka (dharma
lpas) (Santiko 1986). Tempat-tempat suci yang memiliki hak perdikan tanah
meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Dengan demikian sumber Nagarakrtagama
telah menyebutkan 94 buah tanah dengan bangunan suci yang berstatus sebagai
sima.
Tidak
berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kerajaan Sunda
mengandalkan sektor agraris sebagai tiang penyangga ekonomi kerajaan tentunya sektor pertanian/ perkebunan menjadi
perhatian utama bagi kerajaan. Pajak adalah sumber pemasukan utama bagi kas
kerajaan. Untuk menjamin kelancaran pemasukan pajak bagi kerajaan dibuat
struktur birokrasi dari penguasa tertinggi kerajaan yang dipimpin oleh seorang
raja sampai pejabat yang terendah di tingkat desa yang dipimpin oleh wado. Bagi wilayah-wilayah yang letaknya
di pesisir atau pelabuhan raja mengangkat seorang syahbandar. Naskah Sangyang
Siksa Kanda Ng Karesian (Atja dan Saleh D 1981a : ) menyebutkan sebagai “...wang tani bakti di wado, wado bakti di
mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi,
mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang...
artinya tani berbakti pada wado, wado berbakti pada mantri, mantri berbakti
pada nangganan, nangganan berbakti pada mangkubumi, mangkubumi berbakti pada
raja, raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang. Menurut laporan
Tome Pires (Cortesao A 1944), Syahbandar bertanggung jawab langsung kepada
raja, sedangkan raja-raja vasal diberikan hak mengurus wilayahnya, hanya saja
diwajibkan menghadap raja setiap tahun pada waktu yang telah ditentukan. Naskah
kropak 406 menyebutkan sebagai ...anaking
sang prebu, prebu, rama, resi samadaya sarerea siya marek ka pakwan unggal
tahun... artinya anakku prabu, rama, resi bersama-sama semuannya menghadap
ke pakuan setiap tahun (Sumadio 1984). Di dalam prasasti Kebantenan I,
setidaknya disebutkan jenis pajak yang berupa dasa yakni pajak tenaga yang bersifat perorangan, calaraga, pajak tenaga yang bersifat kolektif, kapas timbang, pajak berupa sepuluh
pikul kapas dan pare dondang yakni
pajak padi yang terlambat berbuah setelah panen, padi ini harus diserahkan pada
kerajaan (Tjetjep P 1983 ). Di samping daerah-
daerah produktif yang dikenakan pajak, ada beberapa daerah di Jawa Barat yang
dibebaskan dari pembayaran pajak dan kewajiban lainnya yaitu daerah yang disana
terdapat kabuyutan, dewasasana dan
tepek..
Berdasarkan
prasasti Kebantenan dan Sanhyang Tapak
diatas dapat diketahui bahwa di dayeuh
sundasembawa, jayagiri dan gunung samaya terdapat dewasasana. Khusus untuk dayeuh sundasembawa, desa ini terdapat kabuyutan dan telah menjadi pemukiman para wiku yang biasa disebut
dengan kawikuan. Secara etimologi, istilah dewasasana dalam bahasa Jawa kuna berarti tempat para dewa karena sasana
berarti tempat (duduk). Jadi istilah dewasasana adalah mengacu pada suatu tempat pemujaan para dewa.
Dari naskah Sawakadarma yang berasal dari tahun 1357 Ć (1435 M) masih ditemukan nama-nama
dewa Hindu seperti Brahma, Wisnu, Rudra, dan lainnya ( Sumadio 1984). Menurut
Agus Aris Munandar dewasasana terbagi
dalam dua jenis yaitu kabuyutan dan kawikuan.
Kabuyutan
adalah tempat suci yang sangat dikeramatkan oleh orang Sunda, tempat ini
dianggap sebagai tempat tinggal para hyang, sehingga harus dijaga dengan
baik. Bahkan kabuyutan ini harus
dipertahankan karena telah menjadi regalia
kerajaan yang tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Prabu Darmasiksa, raja Sunda yang memerintah
tahun 1175-1297 M memberikan peringatan bagi anak cucunya dalam naskah kuna
kropak 632 Kabuyutan Ciburuy (Iskandar 1995):
“ Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di galunggung pergilah ke
kabuyutan bertahanlah di kabuyutan cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh jawa,
oleh baluk, oleh cina , oleh lampung, oleh yang lainnya!. Lebih berharga nilai kulit lasub di tempat
sampah daripada rajaputra, (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ketangan orang
lain”.
Di
dalam naskah Bujangga manik (Noorduyn J 1984), diceritakan tentang perjalanan
seorang pendeta Sunda yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat suci sampai ke
Candi Palah (Panataran), yang disebutnya sebagai kabuyutan
Majapahit. Diceritakan juga bahwa dia tidak betah belajar ilmu agama
karena ramainya orang yang melakukan upacara pemujaan (sembahyang). Dengan
mengambil asosiasi fungsi dari candi Panataran yang dianggap sebagai kabuyutan kerajaan Majapahit, maka fungsi dari kabuyutan
adalah sebagai tempat pemujaan (dewasasana)
dan kawikuan.
Istilah kabuyutan untuk menyebut tempat suci
yang dikeramatkan sampai sekarang masih di kenal oleh masyarakat Baduy
untuk menyebutkan seluruh wilayah dari
kampung Kanekes . itu sebabnya kampung Kanekes dikenal sebagai tanah larangan,
yang orang asing tidak diperkenankan untuk memasukinya.
Daerah tepek adalah daerah
larangan/ tertutup. Menurut prasasti
Sanhyan Tapak I dan II daerah ini berupa sebagian dari sungai yang kemudian
dinyatakan sebagai daerah tertutup untuk segala penangkapan ikan dan penghuni
sungai lainnya. Berbatasan Sanhyan Tapak pemujaan di hulu dan di hilir. Jadi daerah tepek ini dihubungkan dengan tempat pemujan terhadap tapak (kaki).
Kabuyutan,
kawikuan, dewasasana dan tepek juga dapat ditafsirkan sebagai
tempat yang suci yang telah ditetapkan batas-batasnya. Daerah ini juga
terlarang untuk dimasuki oleh petugas pajak ( muhara) untuk meminta pajak baik yang berupa pajak harta (pare dondang dan kapas timbang) maupun pajak tenaga (dasa, calaraga). Disamping
itu juga penduduk yang tinggal di dayeuh
yang terdapat dewasasana, kabuyutan,
dan tepek diberikan kewajiban untuk
memelihara kabuyutan dan dewasasana. apabila ingin diambil
perbandingan, sebenarnya dayeuh kawikuan,
dewasasana, kabuyutan dan tepek pada
dasarnya mirip dengan darma lpa.
Dayeuh-dayeuh ini dihibahkan oleh penguasa/raja untuk kepentingan
pengajaran agama (kawikuan) dan kepentingan bangunan suci( dewasasana dan kabuyutan)
seperti menyenggarakan upacara-upacara
keagamaan serta pemeliharaan bangunan suci.
Hal ini wajar mengingat kerajaan Sunda juga menganut sistem kerajaan
teokrasi dimana seorang raja mendapatkan kedudukan tersebut dipercaya sebagai wakil
dewa/hyang di muka bumi.. Dengan
demikian pada dasarnya perubahan status tanah pada dayeuh-dayeuh yang memperoleh hak dan kewajiban istimewa, adalah
merupakan perubahan status tanah menjadi sima/daerah perdikan.
Istilah
sima sendiri yang kurang dikenal di daerah Jawa Barat ada beberapa kemungkinan
yang dapat diajukan di sini antara lain :
1. Konsep religi masyarakat Sunda kuna sendiri yang
merupakan perpaduan antara agama Hindu, Buddha dan agama lokal (Sunda).
Berdasarkan naskah-naskah kuna yang sampai, diketahui bahwa pengaruh agama
lokal (Sunda) lebih dominan dibandingkan dengan agama Hindu dan Buddha. Tokoh Hyang yang berasal dari agama lokal
dibedakan dengan tokoh-tokoh dewa Hindu-Buddha. Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng
Karesian menyebutkan bahwa kedudukan hyang lebih tinggi bahkan tertinggi
daripada para dewa Hindu-Buddha.
“...mangkubumi berbakti pada raja, raja berbakti pada dewata, dewata
berbakti pada hyang”. Dengan demikian
berpengaruh pula pada istilah-istilah yang digunakan, kemungkinan istilah sima terasa kurang
familiar dibandingkan dayeuh, kabuyutan dan tepek bagi masyarakat Sunda kuna.
2. Minimnya temuan prasasti di Jawa Barat , sejauh ini baru 33 buah
temuan dan hanya satu prasasti yang berbicara tentang sima. Hal ini bisa dibandingkan dengan temuan
prasasti Jawa kuna yang berjumlah 120 buah berbicara tentang sima. Hal ini tentu saja mempengaruhi permasalahan
di atas, dengan asumsi semakin banyak data (prasasti) yang dikumpulkan maka
semakin tinggi tingkat kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Atja dan Saleh D.1981 Sanghyang
Siksa Kandang Karesian. Bandung : Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.
Bambang S,.1984. Sejarah
Nasional Indonesia
II. Jakarta
:Balai Pustaka.
Boechari.1977. “Candi dan
Lingkungannya”, PIA I.
Jakarta : Puslitarkenas.
Cortesao Armando.1944 The Suma
Oriental of Tome
Pires. London : The Hakluyt Society.
Djoko,dkk.1992. Pungutan
Pajak dan Pembatasan
Usaha di Jawa pada abad IX -
XV Masehi. ( laporan
penelitian ). Yogyakarta
: Fakultas Sastra UGM.
Endang S,. 1984. Konsepsi Pengatur
Desa dan Pangasta
Desa pada Masyarakat Jawa
dan Bali serta Kelangsungannya. Yogyakarta : Fakultas Satra UGM.
Hariani Santiko.1986. “Mandala pada Masyarakat Majapahit”, PIA IV.
Jakarta: Puslitarkenas.
Hasan Djafar. 1992.
“Prasasti - Prasasti
Jawa Barat dan
Beberapa Permasalahannya” dalam Seminar Gotrasawala Sejarah III: Peninggalan
Kepurbakalaan di Jawa Barat. Universitas Pasundan, Bandung.
__________ .1991.
“Prasasti-Prasasti Dari Masa Kerajaan Sunda”, dalam Seminar Nasional Sastra Dan Sejarah Pakuan Padjajaran. Bogor : Universitas
Pakuan.
Machi Suhadi.1981 “Status Tanah / Desa Perdikan di Jawa:
Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
“ dalam Analisa Kebudayaan
II/1 Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
_________ 1994. “Hak
dan Kewajiban Kepala Tanah Sima
dalam Masa Majapahit”. Dalam Berkala Arkeologi
Th. XIV, Yogyakarta : Balai Arkeologi
Yogyakarta.
Nooduyn J,.1984. Perjalanan Bujangga
Manik Menyusuri Tanah
Jawa Data Topografi dari
Sumber Sunda Kuna.
Jakarta : Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
R.Soekmono.1977. Candi Fungsi dan
Pengertian. Disertasi Jakarta : Fakultas Sastra UI.
Yoseph Iskandar.1992 “Sang Mwakta
Ring Ranca Maya” dalam Seminar Gotrasawala Sejarah III :
Peninggalan Kepurbakalaan di
Jawa Barat. Bandung : Universitas
Pasundan.
Tjetjep Permana.1983. Sejarah Jawa
Barat. Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat . Bandung
: PEMDA TK I Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar