12 Maret 2015

BEBERAPA MASALAH PERUBAHAN STATUS TANAH DI JAWA BARAT MENURUT SUMBER PRASASTI

       Salah satu peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu.  Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
            Pada umumnya prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi kerajaan.  Isi prasasti dapat berupa pernyataan pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
            Sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat  pada masa lalu seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya serta aktivitas manusia  pada masa lalu lainnya.  Sejauh ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah menjadi daerah perdikan (sima).  Dari sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh seorang pejabat atau  raja kepada orang-orang yang telah berjasa kepada raja,  keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
            Penetapan suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang tanah  dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975, Djoko D.dkk 1992).
            Berbeda dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11).  Beberapa prasasti lain juga menyangkut perubahan status daerah /tanah menjadi tepek (daerah larangan), kabuyutan, dan dewasasana.
            Dari sejumlah prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah  diatas yang menyangkut perubahan status tanah manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima tidak populer di daerah Jawa Barat.

II
            Prasasti yang terdapat di Jawa Barat yang sampai saat ini ditemukan seluruhnya berjumlah 33 buah, yaitu 7 buah berasal dari masa kerajaan Tarumanagara dan 26 buah berasal dari masa kerajaan Sunda, dengan temuan terakhir berupa prasasti Kawali VI pada bulan Oktober 1995. Dari prasasti-prasasti tersebut tercermin adanya dua kerajaan besar ini saling mengisi dalam ruang sejarah masa klasik di Jawa Barat.  Ada juga yang berpendapat bahwa kerajaan masa klasik di Jawa Barat hanya ada satu dengan ibukota yang berpindah-pindah (Bambang S 1984:  ).
            Meskipun dari 33 prasasti yang ditemukan hanya satu yang menyebutkan istilah sima namun terdapat enam prasasti lainnya yang menyinggung tentang perubahan status tanah. Prasasti tersebut adalah prasasti Kebantenan (4 buah) dan prasasti Sanhyan Tapak (2 buah).  Prasasti Kebantenan ditulis di atas lima lempeng tembaga yang saat ini disimpan di Museum Nasional.  Beberapa ahli arkeologi yang telah meneliti prasasti antara lain K.F. Holle (1872), Pleyte (1911), Ten Dam (1957), Atja dan Saleh Danasasmita (!984) serta Boechari (1985) terakhir Hasan Djafar (1991) (Hasan D :1991).  Transkrip dan terjemahan Prasasti Kebantenan I-IV dan Sanhyan Tapak I-II yang telah dilakukan oleh Hasan Djafar secara garis besar menyebutkan sebagai berikut :
1. Prasasti Kebantenan I
Berisi tentang amanat agar penguasa di Pakuan Pajajaran menjaga dayeuh di Jayagiri dan dayeuh di Sundasembawa. petugas pajak (muhara) dilarang memungut pajak baik berupa dasa, calaraga, pare dondang, dan kapas timbang.  Alasannya dikarenakan mereka (penduduk di dayeuh) sangat berbakti pada agama dan memelihara dewasasana.
2. Prasasti Kebantenan II
Berisi penetapan kedudukan lemah Dewasasana di Sundasembawa yang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di Pakwan Sri San Ratu Dewata. Batas-batasnya ditetapkan. Diserukan agar jangan ada yang mengganggu dan mempermainkan dewasasana  dan jangan ada yang mengingkari ketetapan yang telah digoreskan. Disebutkan juga dewasanana adalah sanggar (tempat pemujaan) raja yang disediakan untuk para wiku.
3. Prasasti Kebantenan III
Berisi penetapan raja yang bersemayam di Pajajaran, mengenai kedudukan kabuyutan di Sundasembawa. Agar dipelihara, jangan ada yang mengurangi, jangan ada yang merintangi dan mengganggunya. Barang siapa yang memaksa memasukinya diperintahkan agar dibunuh karena daerah itu tempat kediaman para wiku .
4. Prasasti Kebantenan IV
Berisi penetapan raja yang berisi penetapan Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di Pakwan Sri San Ratu Dewata mengenai kedudukan lemah dewasasana di Gunung Samaya. Dilarang menggangu daerah yang batas-batasnya telah ditentukan. Dilarang memungut pajak baik berupa dasa, calaraga, upeti pangrsma karena di sana ada sanggar (pemujaan ) raja.
5. Prasasti Sanhyan Tapak I  (D.75, D.96,  D.97)
Isinya berkenaan dengan pembuatan sebuah tepek (daerah larangan) di selatan Sanhyan oleh Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya, raja Sunda yang berangka tahun 952 C/1030 M.
6. Prasasti Sanhyan Tapak II (D.98)
Prasasti ini juga berangka tahun 952 Ć. Isinya berupa persumpahan dan kutukan yang dikeluarkan oleh raja Sunda  bagi yang melanggar ketetapan yang telah diatur sehubungan dengan pembuatan tepek yang telah disebutkan.

III
            Prasasti-prasasti yang berasal dari Jawa kuna sebagian besar memuat informasi tentang masalah tanah dengan aspek-aspek permasalahannya.  Menurut Boechari, tidak kurang dari 120 buah prasasti yang berisi tentang penetapan sima (Boechari 1977). Istilah sima sendiri berasal dari bahasa Sangsakerta dalam pengertian mula-mula berarti batu patok.  Hal ini dapat diketahui dari kalimat sinusuk srang du yang berarti ditanami batu sima di keempat sudutnya (Riboet D 1981, Endang S 1984 ). Selanjutnya berkembang menjadi tanah yang berupa anugerah raja kepada seseorang atau untuk kepentingan bangunan suci.  Tanah yang dijadikan sima atau perdikan itu berupa sawah, ladang, kebun, pagagan, padang rumput, taman, daerah pemukiman bahkan adakalanya juga hutan, rawa-rawa dan kali atau tepiannya (Boechari 1977).  Menurut  R.Soekmono penetapan sebidang tanah menjadi sima melalui upacara manusuk sima (meresmikan sima dengan menancapkan batu patok sebagai batas lingkungan tanah bebas) maka tanah itu  dibebaskannya dari pajak dan penggunaannya semula dengan maksud agar tanah tersebut  baik penghasilan maupun pemakaiannya diperuntukan bagi  kelangsungan suatu usaha suci dari suatu bangunan tersebut.  Sering pula ketetapan itu berarti dibebaskannya suatu desa dari pajak dan kewajiban lain dari kerajaan dengan tujuan agar penduduknya menjadi penanggung jawab terhadap kelangsungan usaha suci sang raja.  Desa demikian merupakan desa perdikan itulah perbedaan kedudukan tanah biasa dan tanah sima yang melibatkan penduduk yang berada di lingkungan sima tersebut (Soekmono 1977)
            Daerah-daerah yang dijadikan sima mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Machi S telah menjelaskan tentang hak dan kewajiban pemilik sima pada masa kerajaan Majapahit. Prasasti Warinin Pitu (1447 M) menyebutkan beberapa hak bagi pemilik tanah sima yang diantaranya tidak boleh didatangi oleh sang mantri katrini yakni pankur, tawan dan tirip (petugas pajak), diperkenankan memakan raja mansa ( makanan raja dan kebiasaan lain yang dilakukan raja) seperti badawan (penyu), wdus guntin, karun pulih, dan asu tugel. Di samping memperoleh sejumlah keistimewaan, pemilik sima juga dibebani beberapa kewajiban yang harus ditunaikan seperti  melakukan upacara korban pada bulan Asada (Prasasti Cangu) dan  memberikan persembahan berupa pasekpasek pada saat peresmian sima (Prasasti Kudadu). (Suhadi 1994)
            Di dalam prasasti, peruntukan lahan bagi usaha bangunan suci tidak menjelaskan secara detail jenis bangunan sucinya. Kitab Nagarakertagama pupuh 25 menjelaskan beberapa dharma atas bangunan suci sebagai berikut dharma I dalem, dharma lpas, kalagyan, parhyangan, kuti, wihara, tapasuli, dan dharma haji.  Menurut pupuh  74 , dharma haji ada 27 buah, dharma lpas ada 10 buah, parhyangan ada 5 buah, sphatikeyang ada 20 buah, dharma kasogatan kawiyara l pas ada 41 buah, dharma karessya ada 7 buah, dharma lpas dan sima menjadi swatantra ada 11 buah (Suhadi 1981).
            Dihubungkan dengan kakawin Arjunawijaya kecuali dharma haji semuanya merupakan bangunan suci yang telah dihibahkan oleh raja kepada para pemimpin agama untuk keperluan pemujaan kepada para dewa serta untuk menunjang keperluan hidup mereka (dharma lpas) (Santiko 1986). Tempat-tempat suci yang memiliki hak perdikan tanah meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Dengan demikian sumber Nagarakrtagama telah menyebutkan 94 buah tanah dengan bangunan suci yang berstatus sebagai sima.
            Tidak berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kerajaan Sunda mengandalkan sektor agraris sebagai tiang penyangga ekonomi kerajaan  tentunya sektor pertanian/ perkebunan menjadi perhatian utama bagi kerajaan. Pajak adalah sumber pemasukan utama bagi kas kerajaan. Untuk menjamin kelancaran pemasukan pajak bagi kerajaan dibuat struktur birokrasi dari penguasa tertinggi kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja sampai pejabat yang terendah di tingkat desa yang dipimpin oleh wado. Bagi wilayah-wilayah yang letaknya di pesisir atau pelabuhan raja mengangkat seorang syahbandar. Naskah Sangyang Siksa Kanda Ng Karesian (Atja dan Saleh D 1981a : ) menyebutkan sebagai “...wang tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang... artinya tani berbakti pada wado, wado berbakti pada mantri, mantri berbakti pada nangganan, nangganan berbakti pada mangkubumi, mangkubumi berbakti pada raja, raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang. Menurut laporan Tome Pires (Cortesao A 1944), Syahbandar bertanggung jawab langsung kepada raja, sedangkan raja-raja vasal diberikan hak mengurus wilayahnya, hanya saja diwajibkan menghadap raja setiap tahun pada waktu yang telah ditentukan. Naskah kropak 406 menyebutkan sebagai ...anaking sang prebu, prebu, rama, resi samadaya sarerea siya marek ka pakwan unggal tahun... artinya anakku prabu, rama, resi bersama-sama semuannya menghadap ke pakuan setiap tahun (Sumadio 1984). Di dalam prasasti Kebantenan I, setidaknya disebutkan jenis pajak yang berupa dasa yakni pajak tenaga yang bersifat perorangan, calaraga,  pajak tenaga yang bersifat kolektif, kapas timbang, pajak berupa sepuluh pikul kapas dan pare dondang yakni pajak padi yang terlambat berbuah setelah panen, padi ini harus diserahkan pada kerajaan (Tjetjep P 1983 ). Di samping daerah- daerah produktif yang dikenakan pajak, ada beberapa daerah di Jawa Barat yang dibebaskan dari pembayaran pajak dan kewajiban lainnya yaitu daerah yang disana terdapat  kabuyutan, dewasasana dan tepek..   
            Berdasarkan prasasti  Kebantenan dan Sanhyang Tapak diatas dapat diketahui bahwa di dayeuh sundasembawa, jayagiri dan gunung samaya terdapat dewasasana.  Khusus untuk dayeuh sundasembawa, desa ini terdapat kabuyutan dan telah menjadi pemukiman para wiku yang biasa disebut dengan kawikuan.  Secara etimologi, istilah dewasasana dalam bahasa Jawa kuna  berarti tempat para dewa  karena sasana berarti tempat (duduk). Jadi istilah dewasasana adalah mengacu pada suatu tempat pemujaan para dewa. Dari naskah Sawakadarma yang berasal dari tahun 1357 Ć (1435 M) masih ditemukan nama-nama dewa Hindu seperti Brahma, Wisnu, Rudra, dan lainnya ( Sumadio 1984). Menurut Agus Aris Munandar dewasasana terbagi dalam dua jenis yaitu kabuyutan dan kawikuan.
            Kabuyutan adalah tempat suci yang sangat dikeramatkan oleh orang Sunda, tempat ini dianggap sebagai tempat tinggal para hyang, sehingga harus dijaga dengan baik.  Bahkan kabuyutan ini harus dipertahankan karena telah menjadi regalia kerajaan yang tidak boleh jatuh ke tangan musuh.  Prabu Darmasiksa, raja Sunda yang memerintah tahun 1175-1297 M memberikan peringatan bagi anak cucunya dalam naskah kuna kropak 632 Kabuyutan Ciburuy (Iskandar 1995):
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di galunggung pergilah ke kabuyutan bertahanlah di kabuyutan cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh jawa, oleh baluk, oleh cina , oleh lampung, oleh yang lainnya!.  Lebih berharga nilai kulit lasub di tempat sampah daripada rajaputra, (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ketangan orang lain”.
            Di dalam naskah Bujangga manik (Noorduyn J 1984), diceritakan tentang perjalanan seorang pendeta Sunda yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat suci sampai ke Candi Palah (Panataran), yang disebutnya sebagai  kabuyutan Majapahit.  Diceritakan juga  bahwa dia tidak betah belajar ilmu agama karena ramainya orang yang melakukan upacara pemujaan (sembahyang). Dengan mengambil asosiasi fungsi dari candi Panataran yang  dianggap sebagai kabuyutan kerajaan Majapahit, maka fungsi dari  kabuyutan adalah sebagai tempat pemujaan (dewasasana) dan kawikuan.
            Istilah kabuyutan untuk menyebut tempat suci yang dikeramatkan sampai sekarang masih di kenal oleh masyarakat Baduy untuk  menyebutkan seluruh wilayah dari kampung Kanekes . itu sebabnya kampung Kanekes dikenal sebagai tanah larangan, yang orang asing tidak diperkenankan untuk memasukinya.
            Daerah tepek adalah daerah larangan/ tertutup.  Menurut prasasti Sanhyan Tapak I dan II daerah ini berupa sebagian dari sungai yang kemudian dinyatakan sebagai daerah tertutup untuk segala penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Berbatasan Sanhyan Tapak pemujaan di hulu dan di hilir.  Jadi daerah tepek ini dihubungkan dengan tempat pemujan terhadap tapak (kaki).
            Kabuyutan, kawikuan, dewasasana dan tepek juga dapat ditafsirkan sebagai tempat yang suci yang telah ditetapkan batas-batasnya. Daerah ini juga terlarang untuk dimasuki oleh petugas pajak ( muhara) untuk meminta pajak baik yang berupa pajak harta (pare dondang dan kapas timbang) maupun pajak tenaga (dasa, calaraga).  Disamping itu juga penduduk yang tinggal di dayeuh yang terdapat dewasasana, kabuyutan, dan tepek diberikan kewajiban untuk memelihara kabuyutan dan dewasasana. apabila ingin diambil perbandingan, sebenarnya dayeuh kawikuan, dewasasana, kabuyutan dan tepek pada dasarnya mirip dengan darma lpa. Dayeuh-dayeuh ini dihibahkan oleh penguasa/raja untuk kepentingan pengajaran agama (kawikuan) dan kepentingan bangunan suci( dewasasana dan kabuyutan) seperti  menyenggarakan upacara-upacara keagamaan serta pemeliharaan bangunan suci.  Hal ini wajar mengingat kerajaan Sunda juga menganut sistem kerajaan teokrasi dimana seorang raja mendapatkan kedudukan tersebut dipercaya sebagai wakil dewa/hyang di muka bumi.. Dengan demikian pada dasarnya perubahan status tanah pada dayeuh-dayeuh yang memperoleh hak dan kewajiban istimewa, adalah merupakan perubahan status tanah menjadi sima/daerah perdikan.
            Istilah sima sendiri yang kurang dikenal di daerah Jawa Barat ada beberapa kemungkinan yang dapat diajukan di sini antara lain :
1. Konsep religi masyarakat Sunda kuna sendiri yang merupakan perpaduan antara agama Hindu, Buddha dan agama lokal (Sunda). Berdasarkan naskah-naskah kuna yang sampai, diketahui bahwa pengaruh agama lokal (Sunda) lebih dominan dibandingkan dengan agama Hindu dan Buddha.  Tokoh Hyang yang berasal dari agama lokal dibedakan dengan tokoh-tokoh dewa Hindu-Buddha. Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian menyebutkan bahwa kedudukan hyang lebih tinggi bahkan tertinggi daripada para dewa Hindu-Buddha.  “...mangkubumi berbakti pada raja, raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang”.  Dengan demikian berpengaruh pula pada istilah-istilah yang digunakan,  kemungkinan istilah sima terasa kurang familiar dibandingkan dayeuh, kabuyutan dan tepek bagi masyarakat Sunda kuna.
2. Minimnya temuan prasasti  di Jawa Barat , sejauh ini baru 33 buah temuan dan hanya satu prasasti yang berbicara tentang sima.  Hal ini bisa dibandingkan dengan temuan prasasti Jawa kuna yang berjumlah 120 buah berbicara tentang sima.  Hal ini tentu saja mempengaruhi permasalahan di atas, dengan asumsi semakin banyak data (prasasti) yang dikumpulkan maka semakin tinggi tingkat kebenarannya.


DAFTAR PUSTAKA
Atja dan Saleh D.1981    Sanghyang    Siksa   Kandang    Karesian. Bandung : Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Bambang S,.1984.  Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta :Balai Pustaka.
Boechari.1977. “Candi  dan  Lingkungannya”,  PIA I.  Jakarta : Puslitarkenas.
Cortesao Armando.1944  The  Suma  Oriental  of  Tome  Pires.   London: The Hakluyt Society.
Djoko,dkk.1992.  Pungutan  Pajak  dan  Pembatasan  Usaha di Jawa pada abad  IX - XV  Masehi. (  laporan penelitian  ).   Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM.
Endang S,. 1984.   Konsepsi  Pengatur  Desa  dan  Pangasta  Desa   pada Masyarakat  Jawa  dan  Bali serta  KelangsungannyaYogyakarta :  Fakultas Satra UGM.
Hariani Santiko.1986. “Mandala pada Masyarakat Majapahit”,   PIA IV. Jakarta: Puslitarkenas.
Hasan Djafar. 1992.     “Prasasti   -   Prasasti    Jawa   Barat    dan    Beberapa Permasalahannya” dalam  Seminar Gotrasawala Sejarah III: Peninggalan Kepurbakalaan di Jawa Barat. Universitas Pasundan, Bandung.
__________ .1991.  “Prasasti-Prasasti Dari Masa Kerajaan Sunda”, dalam Seminar Nasional Sastra Dan Sejarah Pakuan Padjajaran. Bogor : Universitas Pakuan.
Machi  Suhadi.1981 “Status  Tanah / Desa Perdikan di  Jawa:  Suatu Catatan dari  Sumber  Prasasti  “ dalam Analisa  Kebudayaan  II/1 Jakarta:  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 _________      1994.   “Hak  dan  Kewajiban Kepala Tanah  Sima  dalam Masa Majapahit”.  Dalam  Berkala  Arkeologi   Th.  XIV,    Yogyakarta : Balai    Arkeologi  Yogyakarta.
Nooduyn J,.1984. Perjalanan  Bujangga  Manik   Menyusuri  Tanah  Jawa Data  Topografi   dari   Sumber   Sunda  Kuna.  Jakarta : Lembaga  Ilmu Pengetahuan Indonesia.
R.Soekmono.1977. Candi  Fungsi dan Pengertian. Disertasi  Jakarta : Fakultas Sastra UI.
Yoseph Iskandar.1992 “Sang  Mwakta Ring Ranca Maya”  dalam Seminar Gotrasawala Sejarah  III :    Peninggalan    Kepurbakalaan   di   Jawa   Barat. Bandung : Universitas Pasundan.

Tjetjep Permana.1983.  Sejarah  Jawa  Barat.  Proyek  Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat . Bandung : PEMDA TK I Jawa Barat.

Tidak ada komentar: