Tampilkan postingan dengan label Jelajah Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jelajah Nusantara. Tampilkan semua postingan

30 Desember 2020

Dinamika "Oeang Toengkal " Sebagai Alat Tukar Pada Masa Revolusi Indonesia



Membaca postingan seorang numismatik senior di dalam Grup Jurnal Rupiah Community terkait Orida Toengkal yang ternyata menurut beliau, uang Orida Toengkal adalah Coupun alat tukar yg masa beredarnya hanya sesaat karena tidak disetujui oleh Residen Djambi dengan salah satu alasan kecemburuan dari daerah NRI lainnya. Coupun Penukaran dengan nominal 2,5 rupiah bertanggal 20 Mei 1947. Uang ini dimuat di dalam buku katalog Oeang dengan informasi diragukan keasliannya, sedangkan di dalam buku ORIDA terbitan terbaru uang ini malah tidak dimuat. Sebelumnya, banyak yang meragukan keberadaan Orida Toengkal sebagai alat tukar dan mengkatagorikannya sebagai uang mainan/ palsu atau semacam itu. Mungkin sebagian orang akan berfikir, emang di zaman revolusi seperti saat itu, ada juga orang yang membuat uang palsu seperti masa sekarang ini? Uang-uang palsu sebenarnya marak juga di zaman revolusi namun bisa jadi tujuannya tidak sekadar mendapatkan keuntungan ekonomi namun politik, untuk mengacaukan pemerintahan Republik Indonesia yang baru merdeka.

02 Desember 2020

BERTEMU KEMBALI SETELAH SERIBU TAHUN BERPISAH..

Sisi lain dari penelitian arkeologi yang seringkali tidak diduga adalah penemuan satu artefak apapun bentuknya, yang ternyata temuan artefak itu adalah bagian dari artefak lainnya yang telah diketahui sebelumnya. Katakanlah penemuan arca yang ternyata ianya merupakan pasangan dari arca lain yang telah ditemukan sebelumnya. Atau temuan fragmen (bagian) dari suatu artefak yang ternyata temuan tersebut melengkapi bagian artefak lainnya yang telah lebih dahulu ditemukan. Kejadian seperti ini mungkin saja bisa terjadi di dalam suatu penelitian, hanya saja karena dianggap sebagai sesuatu yang biasa maka kejadian seperti ini seringkali tidak terceritakan. Padahal jika direnungkan lebih jauh, hal ini harusnya menjadi sesuatu yang luar biasa. Bayangkan jika anda memiliki sepatu, lantas salah satu dari sepatu anda hilang, dan 1000 tahun kemudian si sepatu yang hilang tadi ketemu sehingga anda kembali memiliki sepasang sepatu. Bagaimana perasaan anda? Pasti tidak akan biasa biasa saja..
Hal ini juga yang pernah terjadi pada kegiatan penelitian di Situs Bale Kambang, Batang, Jawa Tengah. Situs ini pernah diteliti oleh Puslitarkenas di tahun 1977. Di dalam laporannya pada waktu itu, salah satu artefak yangditemukan adalah dua arca angsa yang telah hilang bagian kepala dan kakinya. Kini kedua angsa ini berada di Museum Ranggawarsita, Semarang. Kemudian di tahun 2004 penelitian kembali dilakukan di situs ini dan tim kembali menemukan satu lapik arca yang di atas lapik ini terdapat sepasang kaki unggas. Temuan sepasang kaki ini langsung dihubungkan dengan temuan badan angsa. Tampaknya temuan kaki unggas ini ada kecocokan dengan tubuh arca angsa yang telah ditemukan sebelumnya. Namun mengingat ada dua arca angsa di situs ini seharusnya masih ada satu pasang kaki angsa lainnya di situs ini. 

Temuan menarik lainnya yang mungkin tidak sengaja namun ini juga cukup penting untuk pelurusan informasi adalah cerita tentang sebuah relief yang disimpan di Museum Ronggowarsito (di halaman luar museum) (foto MR_04_54). Potongan relief yang di bagian bawahnya diberi label asal relief dari Candi Gedong Songo . Fragmen relief yang bergambar kepala binatang mungkin kepala kambing yang berjanggut dan menggigit dua kuntum teratai. Gambar relief ini dibatasi di oleh bingkai yang berhias motif geometris dan ceplok bunga. Informasi tentang asal artefak inilah yang tampaknya harus ditinjau kembali mengingat survai kami di wilayah Kabupaten Semarang, dimana salah satunya menyasar Petirtaan Senjoyo di Tegalwaton, Tengaran, menemukan satu fragmen panel relief berupa bagian belakang dari binatang berkaki empat. Di dalam relief itu digambarkan dua kaki belakang binatang serta ekor yang pendek dan lurus (foto Sanjaya_1778_VD). Relief ini kemungkinan adalah relief bagian dari binatang kambing/ domba. Temuan relief bagian belakang kambing tampaknya merupakan pasangan dari fragmen relief yang kini menjadi koleksi museum, meskipun tampaknya bagian tengah tubuh binatang ini masih ada bagian yang belum ditemukan. Dengan demikian, besar kemungkinannya potongan panil relief kepala binatang tersebut dahulu berasal dari runtuhan Candi Bener, Petirtaan Senjoyo, Semarang bukan berasal dari Gedong Songo.
Seperti diketahui, Patirtaan Senjoyo kini telah menjadi objek wisata air bagi masyarakat Semarang. Pada zaman Belanda, di Petirtaan Senjoyo ini pernah berdiri candi yang dikenal sebagai Candi Bener. Meskipun memang pada zaman itu, Candi Bener sudah tinggal runtuhan, namun batu batu candinya masih cukup banyak. Dokumentasi pada tahun 1940-an, menunjukkan adanya konsentrasi sisa batu batu candi dan fragmen reliefnya masih berada di tempat sehingga masih dapat dipotret. Kini foto-foto tinggalan Candi Bener masih dapat ditemukan di dalam koleksi milik KITLV. 

 Kasus penemuan lain yang cukup menarik juga terjadi pada tahun 2017 ketika penelitian arkeologi oleh Puslitarkenas dilakukan di Situs Adan Adan yan dikenal juga sebagai Candi Gempur, di Kediri. Pada saat itu, tim peneliti menemukan satu arca besar yang diidentifikasi sebagai arca dwarapala (penjaga ) di sisi kanan tangga masuk Candi Adan-adan. Arca yang ditemukan dalam posisi insitu( tetap berada pada posisinya semula ketika ditemukan) kondisinya masih sangat baik, kecuali ada sedikit rusak di bagian jari tangan, mata dan hidungnya. Temuan arca dwarapala ini tentu saja melengkapi temuan arca pasangannya 110 tahun yang lalu. Di dalam laporan Belanda tahun 1908 menyebutkan bahwa di padukuhan Candi Gempur (di lubang sedalam 1 m besar, milik Bapak Irsat), ditemukan dua makara besar dan satu dvarapala. Yang terakhir (arca dvarapala) dibawa ke rumah Bupati di Kediri setelah tahun 1908. Dalam laporan tersebut juga arca ini dideskripsikan sebagai satu arca kolosal dalam kondisi rusak berat, berdiri di atas batu bundar. Wajahnya sangat rusak/ termutilasi. Rambut disisir dengan halus dan jatuh ke leher dan kembali dalam empat baris benjolan (?), yang berhias seperti gulungan ular. Hiasannya terdiri dari upavita -ular, kalung terbuat dari empat ular, yang digulung tak beraturan satu sama lain, menutupi dada dengan lingkaran yang aneh; ular sebagai kelat bahu, ular sebagai gelang dan gelang kaki. Sebuah kain menggantung sampai di atas lutut. Tangan kanan memegang ular; Tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang panjangnya mencapai lapik arca. Di sebelah kanan, tubuh ular berdiri tegak, dengan kepala menghadap ke kanan. Dan tinggi arca 1.94 meter. Setelah dicocokan maka ketemulah arca yang dimaksud adalah arca dwarapala yang kini menghiasi di halaman depan Museum Kediri. Seharusnya arca ini dahulu berada di sisi kiri pipi tangga masuk candi berpasangan dengan arca yang baru ditemukan itu
Ah.. senang rasanya bisa menyatukan kembali mereka mereka yang telah terpisah begitu lama…walau itu hanya artefak.

03 Juni 2016

Perjalanan Menuju Situs Wadu Wawi di Bima,NTB

Perjalanan kami mengunjungi situs Wadu wawi bisa jadi merupakan satu perjalanan yang tak diduga sebelumnya.  Ketika kami diberitahu bahwa di hutan dekat desa Kanca , dilaporkan adanya temuan batu babi.  Tentu saja informasi ini menantang kami untuk mendatangi lokasi tersebut karena dalam salah satu buku tentang kesultanan Bima disebutkan bahwa batu ini mirip dengan arca ganesha di tambah satu foto yang tidak terlalu jelas karena diambil dari arah depan.  Karena itu, bisa saja batu yang dimaksud sebagai batu babi ini adalah arca nandi (sapi) yang dikenal sebagai kendaraan dewa Siwa atau memang sebuah arca Ganesha.  Hal ini tidak berlebihan karena di Museum Asi Bojo, Bima ada sebuah arca nandi yang berasal dari Desa Tambe, Kecamatan Bolo.  Oleh karena itu untuk memastikan apakah yang dimaksud dengan batu babi itu memang arca babi atau bukan maka kami memutuskan untuk mengunjungi lokasi yang dimaksud.
peta 1 :  lokasi situs waduwawi (warna merah)

04 Desember 2015

Ekspedisi Mahakam 14 : Sebuah Insiden

Sebenarnya menjelang ke hulu sungai Belayan termasuk di wilayah Desa Muara Tuboq ini memiliki kontur berbukit bukit sehingga memungkinkan ditemukannya air terjun lainnya hanya saja beberapa di antaranya masih berada di dalam kawasan hutan Gunung  Batu yang sangat sukar untuk di jelajahi.  Salah satunya adalah air terjun Sungai Lunuk 2. Yang memiliki kontur sangat berbeda dengan air terjun Sungai Linuk 1.  Air terjun Sungai Limuk 2 ini berada di wilayah desa MuaraTiq.  Air terjun ini tidak terlalu tinggi tetapi yang menjadikannya lebih menarik karena air terjun ini bertingkat tiga. Selain itu struktur batuannya berbentuk seperti jamur-jamur bertingkat yang dibentuk oleh gelombang pasang surut air sungai.  Hal ini bisa terjadi karena strutur dasar dari batuannya yang berlapis.  Namun debit air di sini sangat ditentukan oleh musim.

Ekspedisi Mahakam 14: AIr Terjun Long San

Di arah ke hilir dari Kecamatan Tabang masih ada air terjun yang tidak kalah menariknya dengan kedua air terjun sebelumnya.  Air terjun ini berada di kawasan Sungai Lunuk namun sudah masuk ke wilayah Desa Sido Mulyo.  Air terjun ini dikenal dengan air terjun long san, Air terjun di Longsan ini mempunyai kelebihan karena airnya yang jernih. Hal ini dimungkinkah oleh beberapa hal di antaranya karena litologi batuannya berupa napal dan batuan padat lainnya. Selain itu didukung oleh kondisi lingkungannya yang masih padat dengan tumbuhan hutan yang memiliki akar-akar yang besar dan dapat menjadi media penyaring lempung yang terbawa oleh air.  Air terjun memiliki ketinggian di lebih dari 20 meter dengan batu-batuan berbentuk lempengan berukuran besar di bagian muaranya. 

Ekspedisi Mahakam 14: Keindahan Air Terjun Sungai Lunuk (Muara Bentuq)

            Dari Desa Muara Belinau, apabila kita terus menjalankan perahu kita ke arah hulu Sungai Belayan maka dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapai air terjun Sungai Lunuk ini.  Artinya jika kami menempuh dari kecamatan Tabang dibutuhkan waktu 1 jam untuk menempuh jarak sekitar 4  KM untuk sampai ke lokasi.  Jika debit air dalam kondisi tinggi, maka perahu akan dapat mencapai lokasi air terjun ini namun jika tidak  perahu harus ditambatkan di tepi sungai Belayan lalu kita dapat berjalan kaki menyusuri anak sungai Belayan menuju Muara Bentuq, tempat air terjun itu berada. 


26 Oktober 2015

Ekspedisi Mahakam 13 : Mengunjungi dayak Punan dan Kenyah

Desa pertama yang kami kunjungi ketika kami berangkat dari Kecamatan Tabang adalah Desa Muara Belinau merupakan pemukiman Dayak Punan.  Pola permukiman yang sejajar dengan Sungai Belayan tampak berderet rapi.  Beberapa rumah di dalam desa ini tampak belum berpenghuni dan memiliki bentuk yang seragam.  Tampaknya rumah rumah ini disediakan oleh pemerintah daerah agar masyarakat Dayak Punan mau tinggal secara menetap. 
Seperti diketahui komunitas dayak Punan termasuk komunitas yang wilayah pesebarannya tidak terlalu luas.  Suku dayak Punan merupakan salah satu sub suku dayak yang baru sekitar 30 tahunan mau hidup secara menetap dalam satu pemukiman, sebelumnya mereka hidup terpencar-pencar dan tinggal di daerah yang sangat sulit dijangkau. Namun dalam waktu 30 tahun banyak kemajuan yang dicapai sehingga suku dayak punan pun dapat bersosialisasi dengan masyarakat luar.  

Ekspedisi Mahakam 13 : TABANG...


Akhirnya...sampai juga kami di TABANG.  Ya,  Kecamatan Tabang merupakan kecamatan paling utara dari Kabupaten Kutai Kartanegara.  Dan kesanalah kami akan menyelesaikan perjalanan ekspedisi Mahakam ini.  Kecamatan Tabang letaknya cukup jauh dari Kembang Janggut.  Dengan Longboat bermuatan 10-12 orang Tabang dapat ditempuh sekitar 6 jam.  Yang harus diwaspadai adalah banyaknya riam-riam di sepanjang sungai Belayan, oleh karena itu dibutuhkan sekali orang yang sudah berpengalaman mengemudi perahu di daerah ini. 

            Sepanjang perjalanan kami disuguhkan oleh pemandangan yang begitu mempesona sambil sekali kali kami berjumpa dengan rumah rumah yang dibangun di tepi sungai Mahakam.  Burung burung elang yang berterbangan sekali-kali kami jumpai dalam perjalanan ini bahkan beberapa kelompok monyet dapat ditemui di tepi sungai ini.    Di tepi sungai Mahakam juga kami kembali melihat tempat tempat pengolahan kayu lapis (Saumil) yang tengah beroperasi membuat kayu-kayu lapis dimana limbahnya menggunung diletakkan di tepi sungai Belayan serta lokasi-lokasi penampungan tambang batu bara yang sibuk memasukan batubara ke dalam kapal kapal kontainer yang bersandar di tepi sungai.  Entah berapa lama sudah kami menyusuri sungai Belayan, akhirnya kami tiba di Desa Tukung Ritan dan Ritan Baru. Sebuah gapura  dengan empat  tiang kayu berwarna merah yang berhias ukir ukiran khas dayak tampak berdiri indah di tepi sungai Belayan seolah mengundang siapa pun yang melewati sungai ini untuk mampir sejenak di sini.  

07 September 2015

Ekspedisi Mahakam 12 : Sekilas tentang Komunitas Dayak Modang di Desa Long Bleh, Kembang Janggut

Menurut penuturan Kepala Adat Dayak Modang, Bapak Zai Asnadi Long Dea,   Desa Long Bleh terbentuk pada tahun 1945 bertepatan dengan berkibarnya bendera merah putih yang pertama kalinya. Kini tiang bendera tersebut masih berdiri utuh dan mengingatkan mereka pada saat penting yakni Proklamasi Kemerdekaan RI.  Asal-usul Dayak Modang sendiri, konon mereka berasal dari Sungai kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum tahun 1945, sudah ada kelompok-kelompok kecil dengan berjalan kaki menyusuri Sungai Mahakam. Menuju arah hilir sungai.  Kelompok pertama, sampai di daerah Sebrang Long Bleh Halo, dan kemudian tahap demi tahap membuka daerah baru di tempat yang kini dikenal sebagi Long Bleh. pemukiman dayak Modang di wilayah Kembang Janggut ini terkonsentrasi di dua wilayah yakni Desa Long Bleh Modang, dan Long Bleh Malih.      
           

Motivasi utama dari perpindahan mereka dari tempat asalnya tidak lain adalah adanya keinginan merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu Mahakam cukup subur, akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup lainnya seperti pakaian, atau bahan makanan. Pendidikan, juga menjadi salah satu alasan kepindahan mereka.

Ekspedisi Mahakam 12 : Perjalanan ke Kembang Janggut

Perjalanan kami selanjutkan menuju Kecamatan Kembang Janggut dilakukan dengan kendaraan roda empat.  Hari masih siang  cuaca juga cukup bersahabat ketika kami sampai ke penginapan di Kembang Janggut.  Seperti halnya di Kenohan, kondisi penginapan berupa sebuah rumah besar yang memiliki 4 kamar tidur.  Untuk keperluan memasak terpaksa kami minta tolong pemilik rumah untuk membantu menyiapkan makan tim.  

13 Agustus 2015

Ekspedisi Mahakam 11: Dayak Tunjung di Teluk Bingkai


           


 Pada kesempatan ini juga kami menyempatkan diri untuk mengunjungi permukiman Suku Dayak Tunjung di desa Teluk Bingkai yang merupakan desa paling utara dari Kecamatan Kenohan.  Jalan darat yang musti kami lalui pada saat itu cukup rata meskipun tidak beraspal.  Kehidupan Masyarakat dayak Tunjung di Teluk Bingkai cukup harmonis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebagian dari mereka bekerja sebagai petani dan sekaligus nelayan yang memanfaatkan sungai Belayan (Anak sungai Mahakam) untuk mencukupi sebagian kebutuhan hidupnya  Mayoritas dari mereka beragama Katolik, meskipun demikian sebagian masyarakatnya masih melaksanakan upacara adat seperti Kwangkai dan Belian. Sistem kekerabatan Dayak Tunjung menarik garis keturunan Ibu dan Ayah

Ekspedisi Mahakam 11 : Arsitektur Rumah Orang Kutai di Kahala


            Salah satu hal paling menarik di desa Tuana Tuha adalah masih ditemukannya rumah rumah bergaya melayu tua yang meskipun sebagian besar sudah hampir hancur dimakan zaman dan tidak dihuni lagi namun keberadaannya mencerminkan kejayaan masyarakat Kutai di Kenohan pada masa lalu.  Rumah rumah panggung yang dibangun sejajar berjarak sekitar 20 meter dari tepi sungai dan memanjang mengikuti alur anak sungai Mahakam.  Rumah-rumah ini merupakan bagian yang tersisa dari pemukiman awal desa Kahala. Dari pengamatan kami di antara sebagian yang telah dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru paling tidak terdapat lebih dari 10 rumah kuna berarsitektur rumah Banjar.  Ciri utama rumah bergaya rumah banjar ini adalah berbentuk rumah panggung, memanjang ke belakang, di bagian atas layar rumah terdapat hiasan dan pada bagian lisplang terdapat ukiran krawangan. Diperkirakan arsitektur sejenis ini marak pada sekitar awal abad ke XX.


            Di daerah Kenohan juga kami mendengar tentang adanya taman anggrek yang begitu luas.  Tetapi tempat itu cukup jauh dan dipenuhi oleh cerita-cerita gaib.  Banyak orang yang tersesat dan kesulitan untuk mencari jalan pulang ketika pergi ke sana.  Sehingga untuk mencapai tempat itu harus dengan petunjuk dari seorang pawang.  Sayangnya kami tidak berhasil menjumpai orang yang bisa mengantar kami ke sana.  Tetapi memang tanaman anggrek yang tumbuh liar di hulu Mahakam masih sering kami jumpai..seperti halnya tanaman kantung semar ini, di habitat nya tumbuh seperti halnya tanaman liar lainnya.   

06 April 2015

Ekspedisi Mahakam 11 : Mengunjungi Maestro Seni Kutai

             Ada dua orang seniman musik Tingkilan Kutai yang cukup populer di Kenohan, bahkan salah satunya pernah membawa nama Kalimantan Timur ke manca negara untuk memainkan musik tingkilan.  Satu prestasi yang membanggakan tentunya bagi Mak Peot.  Wanita separuh baya itu kini sudah tidak muda lagi, umurnya sudah mendekati angka 60 tahun sejalan dengan makin banyaknya guratan di wajahnya.  Namun ketika kami berkunjung ke rumahnya, beliau dengan bersemangat mau menceritakan perjalanan kehidupan beliau kepada kami.  Kecintaannya pada seni musik tingkilan bukanlah suatu kebetulan, namun ia memang mencintainya sejak kanak-kanak.  Kedua orang tuanyalah yang mengenalkan beliau kepada alat musik gambus.  Dengan ketekunan dan keseriusannya menggeluti seni musik inilah kini beliau dikenal tidak saja oleh warga kecamatan Kenohan namun namanya sudah tercatat dalam pentas musik tradisional tingkat internasional di Jepang 
     
Sayang di usia yang semakin tua ini keahliannya dalam memainkan seni musik tingkilan tidak ada yang mewariskan.  Keenganan generasi muda sekarang untuk belajar musik tingkilan merupakan hal yang serius dan mengancam kelangsungan seni musik tradisional itu sendiri.  Kerisauan ini yang terus menggantung tanpa ada jawaban.  ”Bagaimana nasib seni musik tradisional di masa depan jika anak muda sekarang lebih suka musik modern” ujarnya kepada kami.  Sungguh ironis memang jika pada akhirnya seni musik tingkilan menjadi terasing di negerinya sendiri.  Ketika kami tanya bagaimana saran ibu untuk pengembangan kesenian di daerahnya, Beliau menjawab bahwa pemerintah harus ikut turun tangan, kegiatan sanggar-sanggar kesenian harus didirikan, dan anak anak diajak untuk belajar mencintai seni trasional ini.  Beliau amat mengharapkan jika ada pihak pihak yang mau membantu membina kesenian tradisional bagi gerenasi muda.  Tampaknya kecemasan beliau menjadi kecemasan kami juga, masyarakat khususnya generasi muda harus digugah untuk mau mempelajari, mencintai dan bahkan mengembangkan  kesenian tradisional sehingga menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.  Jelas hal ini bukan satu usaha yang mudah, namun satu langkah kecil usaha ke arah sana harus segera dibuat agar semuanya tidak terlambat dan menjadi penyesalan kita di masa mendatang.
         
 

Ekspedisi Mahakam 11 : Menuju Kecamatan Kenohan


            Siang itu cuaca mulai cukup cerah ketika kapal kami berangkat meninggalkan dermaga Muara Wis menuju Kecamatan Kenohan.  ”Dibutuhkan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai Kenohan” demikian kata pak....,sang kapten kapal kami memberikan informasi perjalanan.  Sepanjang perjalanan menuju Kenohan kami habiskan untuk beristirahat, membereskan data yang sudah masuk atau tidur.  Sebagian lainnya menikmati perjalanan sambil terus mendokumentasikan keindahan alam dan Sungai Mahakam yang berarus tenang.   Awan putih dengan latar langit biru dan sekali kali kami menjumpai burung elang  yang terbang rendah untuk menjemput ikan di sungai Mahakam merupakan hiburan kami selama dalam perjalanan.  Sekali-kali kami berpapasan dengan kapal kapal berukuran besar memuat batu bara, atau kapal-kapal barang yang berisi berbagai kebutuhan sehari hari mulai dari sabun, minyak goreng, gula  sampai sepeda anak-anak.

            Menjelang sore kapal kami mendarat di Desa Tuana Tuha.  Kapal kami harus berhenti di sini karena untuk melaju ke arah hulu lagi tidak memungkinkan karena saat air surut seperti sekarang kedalaman sungai tidak memungkinkan untuk dilalui oleh kapal-kapal besar seperti yang kami gunakan.  Terpaksa keakraban kami dengan kapten kapal dan empat orang ABK harus berakhir di sini.  Perjalanan selanjutnya dapat menggunakan kapal yang lebih kecil atau melalui jalur darat untuk mencapai Kecamatan Kenohan, untuk mencari penginapan yang hanya ada di kecamatan.  Akhirnya kami memilih menggunakan jalur darat, dan satu satunya kendaraan yang ada untuk mengangkut kami serta seluruh barang bawaan kami hanyalah truk.  

22 Maret 2015

Ekspedisi Mahakam (10) : Menjejakan Kaki di Muara Wis

Puas mengeksplorasi Muara Muntai, Perjalanan dilanjutkan ke kecamatan Muara Wis.  Cuaca sedikit mendung ketika kami merapat di pelabuhan Muara Wis.  Namun denyut kehidupan masyarakat Muara Wis tidaklah terhenti hanya karena hujan ringan.  Kami menyumpai sebagian mereka tengah beraktivitas di sungai.   Kehidupan masyarakat di Muara Wis tidak berbeda pula dengan masyarakat tepi sungai Mahakam lainnya, untuk kebutuhan protein mereka dengan mudah mendapatkan dari Sungai Mahakam.  Ikan Patin, Baung dan Udang adalah yang paling banyak dan mudah untuk ditangkap.  Kami menjumpai salah seorang warga yang baru berhasil mendapatkan ikan patin seukuran paha orang dewasa hanya dengan umpan bakso.  ”Ikan disini ngampang dipancing mas, umpannya cukup dengan sedikit bakso atau pisang goreng kita sudah dapat ” katanya ringan.   Wow, Jika saat ini saja Sungai Mahakam masih mampu memberi kehidupan bagi penduduk di sepanjang sungai tersebut bisa dibayangkan dahulu tentu potensi ikan air tawar di Sungai Mahakam menjamin kehidupan penduduknya...Terlintas sedikit bangga di hati ini, sebenarnya masyarakat di bagian hulu Mahakam, merupakan masyarakat mandiri.. di mana alam telah menyediakan kebutuhan dasar bagi penghuninya... Lantas akankah kondisi ini terjaga kelestariaannya di tengah eksploitasi sumberdaya alam di bagian hulu sungai?.   Semoga tetap lestari.. sehingga senyum orang orang di hulu Mahakam tetap mengembang..

Seperti wilayah tepi sungai Mahakam Lainnya, perkampungan Muara Wis dibangun dengan menggunakan materiil kayu berbentuk rumah panggung yang memiliki ketinggian minimal 1 meter dari muka tanah.  Ragam arsitektur seperti ini juga berlaku pada bangunan pemerintahan, masjid dan sekolah yang ada.   Areal yang sebagian besar didominasi oleh rawa pasang surut merupakan penyebab utama mengapa rumah rumah mereka adalah rumah panggung.  Sekali lagi kita dipertunjukkan bagaimana jeniusnya masyarakat Muara Wis dalam beradaptasi dengan lingkungan rawa.  

11 Juni 2014

Ekspedisi Mahakam (9) : Melongok Taman Raja "Taman Nusa Tuna"

            Kawasan Nusa Tuna merupakan satu tempat yang cukup unik, mengingat lokasinya yang berada di daerah pedalaman namun memiliki lapisan tanah berupa pasir putih.  Di daerah ini konon banyak ditemukan tanaman jenis anggrek yang hidup subur. Daerah ini juga dipercaya sebagai tempat peristirahatan raja-raja Kutai.  Untuk mencapai lokasi ini dari kecamatan Muara Muntai kami tidak dapat menggunakan kapal berukuran besar seperti kapal kami namun dapat menggunakan ketingting, atau kapal yang berukuran lebih kecil lagi seperti speedboat.  Kapasitas speed boat yang tidak boleh lebih dari 6 orang membuat kami harus mencari dua buah speedboat.   Setelah melalui jalur anak sungai Mahakam yang sempit dan banyak sisa sisa kayu di sepanjang sungai selama hampir 30 menit maka speedboat kami akhirnya berhasil mencapai lokasi. 
 
mesin kapal terjebak tanaman air

Beberapa kali mesin speedboat kami mati karena tersangkut tanaman air, sisa kayu dan sejenisnya. Juru mesin harus benar-benar awas dalam mencari jalan karena ilalang yang begitu rapat juga mengganggu pengamatan sang juru mesin dalam mengarahkan perjalanan kapal agar tidak salah jalan.    

be careful...karena jarang dilewati

santai di taman nusa tuna
Sesampai di lokasi, meskipun tidak dapat bersandar karena saat survei dilakukan muka air dalam kondisi surut sehingga dermaga terlihat begitu tinggi akhirnya kami dapat juga mendarat di Nusa Tuna.  Perjalanan di sambung dengan berjalan kaki selama 15 menit menuju sebuah sebuah padepokan yang sengaja dibangun di sana.   Di lokasi ini juga sudah dilengkapi dengan sarana bermain anak-anak serta di taman berbagai pohon pelindung yang tampak sudah ditata.  Dari atas pedepokan mata kita akan dapat memandang ke seluruh penjuru area kawasan ini dan sejauh mata memandang kami hanya melihat  berbagai jenis tanaman rawa.   Saat ini lokasi wisata Nusa Tuna tersebut dalam kondisi kurang terawat selain jalan menuju ke padepokan  sudah tertutup tanaman semak,  sarana pendukung lainnya pun sudah kurang terawat.  Yang menarik sejauh kaki berjalan hamparan pasir putih halus tidak kalah dengan pasir-pasir yang ada di pantai.  Hmm puas mengeksplorasi taman  kami pun harus kembali ke "Kapal Besar" mengingat senja sudah mulai merayap naik...dan menghabiskan malam di Muara Muntai yang menyenangkan... 
klo air surut, dermaga seperti rumah panggung
kembali ke basecamp
senja di Muara Muntai

12 April 2011

EKSPEDISI MAHAKAM 8 : Kesenian Wayang Orang Damarkulan

                    Lepas dari Kota Bangun kapal kami berlayar menuju wilayah Muaramuntai. (ce. ilee berlayar kayak mengarungi lautan aja he he ), Tempat yang kami tuju tepatnya di Desa Sebembam, desa ini merupakan desa terdekat untuk mencapai kantor kecamatan. Setelah beramah tamah sebentar dengan aparat kecamatan kami dihantar ke sebuah sanggar drama yang cukup populer di kecamatan Muara Muntai yakni sanggar seni drama Damarkulan. Memasuki rumah Bapak Armansyah yang sekaligus sebagai tempat latihan sanggar tari ini tampak tidak berbeda dengan rumah lainnya hanya saja di rumah ini juga tersimpan seluruh perlengkapan pentas sanggar mulai dari pakaian sampai ke alat musik yang digunakan. Menurut Bapak Armansyah, sanggar ini didirikan oleh Bapak Hamri tahun 1990 lalu. Tujuan pendirian sanggar seni drama ini adalah untuk melestarikan kebudayaan wayang orang yang sudah merupakan kegiatan turun temurun. O ya di kecamatan ini cukup banyak ditempati oleh orang Jawa dan umumnya mereka sangat menyukai kesenian wayang orang. Sehingga tidak heran seni drama yang dimainkan secara turun temurun, merupakan seni pertunjukkan mendapat pengaruh dari Jawa. Nama kelompok seninya pun yakni Damarrulan mengingatkan kita pada tokoh Damarwulan yang populer dalam cerita perwayangan. Pertunjukkan wayang orang ini biasanya dimainkan oleh 10 sampai 40 orang pemain tergantung kepada jalan cerita yang akan diangkat dalam pentas tersebut. Untuk satu kali pertunjukkan biasanya dimainkan antara 1 sampai 2 jam. Sedangkan lakon cerita yang cukup populer dimainkan antara lain Ramayana, Hanoman Obong, Nenek Raskul, Nenek Delon.
               
       Usaha Pak Armansyah dan rekan-rekannya patut mendapat apresiasi yang tinggi dalam usaha melestarikan kesenian wayang orang yang kini sudah mulai tergeser oleh tontonan-tontonan lainnya di televisi.


EKSPEDISI MAHAKAM 7 : Kedang Ipil, kampung tua pelestari upacara Belian

Penasaran dengan cerita-cerita tempo dulu tentang adanya kelompok masyarakat yang menolak masuk ke dalam Islam dan memilih untuk menghindar ke daerah pedalaman seperti yang dilakukan oleh leluhur masyarakat Kedang Ipil membuat Tim memutuskan untuk menengok kondisi terkini dari masyarakat Kedang Ipil itu sendiri. Meskipun dahulunya untuk mencapai lokasi ini harus menggunakan dayung kecil menyusuri anak sungai Mahakam, kini sudah ada alternatif lain melalui jalan darat. Kehadiran jalan darat ini sebagai dampak dari banyak usaha pertambangan dan perkebunan membutuhkan akses jalan darat untuk kelancaranan usahanya. Namun dengan satu syarat .....tidak dalam musim hujan. Jika sudah musim hujan dapat ditebak jalan darat yang masih berupa tanah merah ini dalam sekejap bisa menjadi arena balap yang menantang andrenalin he... Dari Kecamatan Kota Bangun dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk mencapai perkampungan Kedang Ipil.

Memasuki gerbang kampung memang masih kuat kesan bahwa perkampungan Kedang Ipil ini adalah perkampungan Lama/ Lawas. Di kiri kanan jalan masuk kami melihat tiang tiang kayu dengan sisa sesajen di atasnya. Ketika kami tanyakan hal tersebut beberapa orang yang kami temui menceritakan bahwa sisa kembang itu adalah sisa upacara belian untuk mengobati beberapa warga yang sakit. Tokoh adat setempat yang meyakini bahwa masyarakat Kedang Ipil adalah cikal bakal masyarakat di Kotabangun menceritakan pula bahwa meskipun masyarakat di daerah ini sebagian besar telah memeluk agama Islam tetapi masih ada sebagian lainnya yang masih menganut kepercayaan animisme sehingga masih sering dijumpai upacara adat seperti Belian. Upacara Belian di daerah ini menggunakan sarana berupa sesajen yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan (daun Aren dan Anjuang) dan yang lainnya. Saat ini secara arsitektur, bentuk rumah di perkampungan di Kendang Ipil tidaklah berbeda dengan bentuk rumah kampung lainnya yang umumnya terbuat dari kayu dan memiliki kolong pada bagian bawahnya, disusun berjajar di sepanjang tepian anak sungai Kedang rantau yakni sungai Sedulang. Masyarakatnya hidup dari berladang dan mengumpulkan hasil hutan lainnya.

16 Agustus 2010

EKSPEDISI MAHAKAM 6

Perjalanan dilanjutkan ke Kecamatan Kota Bangun, Kapal kami perlu singgah di Kota Bangun guna mempersiapkan perbekalan kami untuk perjalanan selanjutnya, dan tepat di Kota Bangun kami mendengar kabar akan digelarnya upacara adat Dayak Kenyah di Long Anai, Kecamatan Loa Kulu. Tentu kami tidak ingin kehilangan kesempatan mendokumentasikan kegiatan tersebut tetapi kami juga harus merekam potensi sumberdaya alam, tradisi dan arkeologi di Kota Bangun untuk itu tim harus di bagi dua, satu tim berangkat ke Long Anai dengan kendaraan roda empat sedangkan sisanya melakukan pendokumentasian di Kota Bangun. Paling sedikit kami harus tinggal di Kota Bangun selama 3 hari sambil menunggu rekan rekan yang bertugas ke Long Anai. Ada beberapa catatan yang kami buat di Kota Bangun antara lain keberadaan situs Tanjung Urigin yang dipercaya tempat berdirinya kerajaan Sri Bangun di daerah ini,daerah Rajak yang diduga sebagai permukiman kuna dan perkampungan kedang Ipil yang diduga sebagai pelarian bagi orang orang Kutai yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam pada masa lalu. Berikut catatan kami tentang situs Tanjung Urigin.
Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah dijawab. Untuk menyusurinya, biasanya asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di daerah tersebut. Menurut tradisi lisan, asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga di sebut menandai daerah ini sebagai tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
Secara topografi daerah ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk dijadikan ancer-ancer bagi siapapun yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun sebaliknya karena di daerah ini terdapat sebuah bukit yang bernama Tanjung Uringin yang posisinya tepat berada di meander Sungai Mahakam.
Dari cerita ini tampak bahwa daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kertanaraga yang berdasarkan Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dalam salsilah tersebut juga disinggung sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun. Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-14 karena bukti arkeologi berbicara lain. Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah temuan arca Buddha dari Kota Bangun pada awal tahun 1846. Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie. Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antar Muara muntai dan Kota bangun (Anwar Soetoen,57: 1979). Arca digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra. Tangan kiri memegang wadah kecil. Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan usnisa. Arca mengenakan pakaian sampai ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka. Salah satu bagian yang menarik adalah adanya membran(jaring) di antara jari-jari tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959). Temuan dari masa klasik (Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca nandi yang terbuat dari batu andesit. Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin.
Pada masa Islam, daerah Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya ibukota kerajaan Kota Bangun dengan rajanya bernama Patih Bangun. Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Anggapan ini didukung oleh temuan pending emas di daerah ini. Selain itu, temuan penting lainnya di Tanjung Urigin adalah benteng dan parit tanah di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai benteng Awang long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Benteng tanah yang ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian 1.5- 2 meter dari parit. Namun tentunya dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur. Dan parit yang berada di depan benteng tanah harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Hal ini didasarkan pada temuan beberapa parit tanah di daerah Lampung yang diketahui memiliki benteng tanah dan parit sedalam 3-4 meter sehingga untuk melalui parit ini diperlukan sebuah jembatan yang dapat dipasang dan dilepaskan. Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun dibuat dengan pola linier. Namun pola linier pada benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur. Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah sampai rawa sisi barat dan timur maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari serangan musuh. Benteng tanah dengan parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan terus ke arah utara. Pada saat mencapai sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.

23 April 2009

Ekspedisi Mahakam (5)

Perjalanan belum selesai, lokasi selanjutnya yang kami tuju adalah Muara Kaman. Wilayah ini termasuk daerah yang sangat populer di kalangan arkeolog. karena disini lah inskripsi tertua yang memuat ttg adanya sebuah kerajaan Hindu-Buddha pernah ditemukan. Ya tujuh prasasti Yupa sudah cukup menjadi bukti adanya awal peradaban Hindu Buddha di Nusantara.

Yupa merupakan sebuah tiang batu seperti tersebut dalam prasasti itu sendiri dan didirikan oleh para Brahmana sebagai tugu peringatan atas kebaikan Raja Mulawarman. Yupa di Muara Kaman diketahui memiliki tujuh buah yupa yang berinskripsi pallava kuna dengan bahasa Sangskerta. Situs yang telah diketahui sejak tahun 1879 Masehi dan pada tahun yang sama ketujuh yupa berinskripsi ini dikirim ke Jakarta untuk diteliti. Menurut Kern, berdasarkan analisis paleografi diketahui bahwa prasasti tersebut berasal dari abad ke -5 masehi yang karenanya sampai saat ini dianggap sebagai bukti tertua adanya kerajaan bersifat Hindu-Budha di Indonesia.

Yupa seperti halnya prasasti yang tertulis di atas batu atau bahan lainnya merupakan bukti yang paling autentik tentang kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat pada masa lalu yang biasanya terkait dengan kekuasaan raja beserta pejabat-pejabat kerajaan. Diluar temuan Yupa dari Muara Kaman, sampai saat ini belum ada temuan sumber tertulis lain yang menyangkut Kerajaan Mulawarman.
Dari huruf dan bahasa yang tertulis tampak bahwa sang penulis prasasti atau citralekha adalah orang yang menguasai huruf Pallawa tua dan bahasa Sangsakerta. Pada masa itu Bahasa Sangsakerta bukanlah bahasa yang dipakai oleh masyarakat umum namun bahasa ini hanya digunakan oleh kaum terpelajar/ pendeta. Dengan demikian sang Citralekha kemungkinan pula seorang terpelajar/ pendeta.

Ada beberapa informasi penting yang dapat diketahui ketujuh Yupa antara lain :
1. Prasasti ini dibuat oleh Mulawarman sebagai sebuah pengumuman bahwa ia telah mengalahkan musuh-musuhnya. Untuk melegitimasi dan memperkokoh kedudukannya dia juga menyebut Kudungga dan Aswawarman sebagai kakek dan ayahnya yang juga merupakan raja-raja sebelum dirinya.
2. Mulawarman mengadakan upacara bersaji di lapangan Waprakeswara dengan memberikan sedekah berupa 20.000 ekor lembu bagi para pendeta yang telah datang dari berbagai tempat. Selain lembu, sedekah yang diberikan adalah emas yang sangat banyak, air, madu, susu lembu, biji-bijian, segunung minyak kental dan lampu.
3. Upacara bersaji tersebut dilakukan di lapangan Waprakeçwara. Menurut Poerbatjaraka, nama Waprakeçwara ini pada masa kemudian di Jawa dikenal sebagai Baprakeçwara yakni sebuah tempat suci yang selalu dihubungkan dengan dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa. Dengan kata lain Baprakeswara ini merupakan tempat pemujaan bagi dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa (1976:4).
4. Keempat disebutnya emas yang sangat banyak (bahusuwarnakam) sebagai sedekah menunjukkan bahwa pada masa itu kerajaan ini memiliki sumber emas yang sangat banyak dan menjadi salah satu komoditi dalam perdagangan dengan India. Hal ini masih dapat dilihat sampai sekarang adanya penambang emas tradisional di pedalaman Sungai Mahakam. Selain itu hasil penelitian terhadap sumberdaya alam diketahui pula bahwa daerah pedalaman Kalimantan seperti Kecamatan Tabang memiliki potensi bijih emas.

Wah koq jadi rada serius yah. Tapi memang isi prasasti ini perlu disampaikan supaya kita juga sedikit mengerti knapa koq ujug-ujug ada sebuah peradaban Hindu-Buddha di daerah pedalaman Kalimantan, bukan di Sumatra atau Jawa? Kemungkinan memang pada sekitar awa milenium pertama, ada usaha usaha dari India untuk melalukukan eksplorasi sumber-sumber tambang termasik emas ke wilayah Asia tenggara setelah kebutuhan pasokan atas emasnya dari Asia timur terganggu.

Dalam usaha pelestarian terhadap situs Kutai ini , Pemda Kutai Kartanegara patut diacungi jempol karena atas kepeduliaannya, saat ini telah berdiri sebuah site museum yang dimaksudkan untuk menyimpan segala temuan arkeologi yang terkait dengan kerajaan Kutai. satu usaha yang cukup melegakan tentunya.