Tampilkan postingan dengan label Arkeologi Pantura. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arkeologi Pantura. Tampilkan semua postingan

23 Maret 2023

Berita Temuan : Perhiasan emas di Desa Cicinde, Karawang tahun 1976



 

19 Mei 2021

Dua Arca Tokoh Terakota Dari Kabupaten Tegal

 

Temuan arca tokoh dari Tegal tergolong langka dan unik karena arca ini terbuat dari terakota penuh, (tidak ada rongga pada bagian dalam arca terakota).  Arca ditemukan sebanyak 2 buah hanya saja kondisinya sudah hancur sebagian, pada arca pertama yang tersisa hanya bagian atas sampai pinggang sedangkan arca tokoh kedua bagian kepala sudah hilang.   Kedua arca ini ditemukan di Situs Candi Batu Gong , Bolak Menjangan, Pager Barang, Tegal.  Di situs ini masih terlihat gundukan tanah dengan sebaran fragmen bata yang lokasinya berada sekitar 100 meter sebelah selatan dari Sungai Pager Wangi.  Di atas gundukan itu berdiri yoni yang disebut dengan “batu gong” berukurannya 64 x 64 x 75 cm.

Arca tokoh pertama digambarkan dalam posisi duduk hanya saja bagian pinggang ke bawah sudah rusak.  Tangan kanan hanya menyisakan bagian lengan sedangkan tangan kiri bagian telapak tangannya sudah  rusak.  Tokoh digambarkan memakai mahkota dan jamang pita lebar.  Memakai anting anting tali yang pada ujungnya dihiasi dua bandul.  Kalung pita lebar tetapi pada bagian depan ada hiasan yang menjuntai ke bawah, upawita ganda berupa pita lebar berakhir di depan ikat perut yang juga berupa pita lebar. Kelat bahu ada dua, satu di bagian paling atas lengan berupa pita lebar dan satu kelat bahu lainnya di lengan dengan hiasan simbar di bagian samping.  Di atas pundak kiri dihiasi oleh teratai kuncup. Sandaran arca persegi empat dengan bagian atas membulat. Tinggi tersisa sekitar 47 cm .

   Arca Tokoh 1 Terakota

 Arca tokoh kedua dalam posisi duduk bersila dengan kaki kanan di bagian depan. Bertangan dua diletakan di atas paha namun kedua telapak tangan sudah rusak.memakai upawita tali polos demikian juga dengan ikat perut berupa tali polos.Memakai kain tebal yang diikat di depan perut dan simbar tebal dibiarkan menutup sampai ke kaki. Kelat bahu berupa tali polos di lengan bagian atas. Tampaknya memakai sandaran arca hanya saja sudah rusak. Tinggi tersisa sekitar 33 cm.

Arca Tokoh 2 Terakota

Secara ikonografi, jelas kedua arca tokoh ini memiliki atribut dari masa Hindu Buddha, namun tidak ada atribut yang dapat menghubungkan dengan dewa tertentu di dalam Hindu-Budda, oleh karenanya lebih cocok jika disebut sebagai arca tokoh saja.  Secara gaya seni, mungkin lebih dekat ke gaya seni Jawa Tengah dibandingkan dengan Majapahit.  Namun tidak benar benar mencerminkan gaya seni Jawa Tengah seperti yang dikenal pada arca-arca seni Jawa Tengah pada umumnya. Seperti cara menggambarkan kain dari pinggang sampai menutup kaki yang terkesan tebal dan berat pada arca tokoh 2, tidak umum pada seni arca Jawa Tengah.

Seni arca terakota mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit, dimana pada periode ini dihasilkan berbagai karya seni terakota yang luar biasa.  Mulai dari peralatan rumah tangga, berbagai bentuk figurin sampai ornament bangunan yang terbuat dari tanah liat ditemukan.  Namun seni arca yang paling dominan pada masa Majapahit berbentuk  figurin berukuran tinggi sekitar 8-12 cm, sejauh ini  arca terakota berukuran tinggi di atas 20 cm tergolong jarang.  Kalaupun ada, cara pembuatannya tidak masif tetapi kosong pada bagian dalamnya. 

Sebagai perbandingan, seni arca terakota yang berukuran besar ditemukan di Situs Bumiayu, Palembang yang dipertanggalkan sekitar abad ke-9-13 M. Di situs ini ditemukan satu makara dengan seorang pertapa di dalam mulut makara yang juga berukuran besar. Selain itu ditemukan juga kala, ornament bangunan yang semuanya terbuat dari terakota berukuran besar.   

Makara Candi Bumiayu yang kondisinya semakin hancur.

Dengan demikian, temuan arca terakota dari Tegal dan arca Terakota dari Situs Bumiayu, Palembang menegaskan kembali bahwa seni arca terakota berukuran besar sudah dapat diproduksi jauh sebelum sebelum masa Majapahit. Hanya saja mulai popular pada masa Majapahit karena penggunaan seni arca sudah tidak diabdikan untuk kepentingan agama saja.

15 Februari 2021

Sekali Lagi Soal Situs Sumur Pitu, Kendal

 

Situs Sumur Pitu


Pada bagian terdahulu sudah disinggung bahwa Situs Sumur Pitu adalah situs yang bersifat Buddhistik, dan diduga sebagai “asrama” tempat para bhiksu mengasingkan diri masuk dan bersemedi di dalam hutan.  Hal ini didasarkan pada lokasi situs yang terletak di antara dua puncak bukit pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Kondisi di sekitar situs ditumbuhi semak belukar dimana areal tersebut merupakan jalur sungai musiman yang hanya berair ketika musim penghujan.  Di areal perbukitan dan ditemukan sumur sumur penampungan air serta votive ,stupika dan materai tablet dari sekitar abad ke—10 M.  Gerakan masuk ke dalam hutan serta bersemedi ini dikenal sebagai sramana pada zaman Gautama.  

Jadi,  sekitar abad ke-6 SM, perkembangan agama Weda  di India menimbulkan kebencian semua golongan terhadap golongan Brahmana karena peraturan kasta dan keistimewaan yang dimiliki oleh kaum Brahmana.  Golongan Ksatria adalah golongan yang paling kuat dalam menentang dominasi kaum Brahmana.  Pada akhirnya menimbulkan gerakan penentangan terhadap ajaran agama Weda yang dipimpin oleh Mahavira dan Siddartha Gautama.  Gerakan penentangan yang dilakukan oleh Mahavira kemudian melahirkan agama Jaina yang membebaskan pengikutnya dari kekuasaan Weda, berzuhud dan melatih diri dengan tidak perduli kepada kenikmatan dan kepedihan (Shalaby, 2001:88-94). Gerakan penentangan yang dikenal sebagai gerakan śramana ini pada intinya  menolak Weda dan dominasi para Brahmana dengan cara meninggalkan kehidupan bermasyarakat dan memilih jalan hidup religius ( Ray, 1994: 65).

     Gerakan penentangan lainnya dilakukan oleh Siddartha Gautama  sehingga dia dikenal sebagai Mahāśramana.  Murid-muridnya dikenal juga sebagai śramana dan banyak ciri dari Buddha awal merefleksikan hal umum yang ditemukan dalam gerakan śramana.  Gerakan śramana di dalam agama Buddha kemudian berkembang menjadi dua aliran yang berbeda. 

27 Januari 2021

Celepot : Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat (2)

Situs Cikuntul, Dongkal, Karawang

Situs Cikuntul dinamakan begitu karena situs ini berada di wilayah Desa Cikuntul, Kecamatan Dongkal, Karawang.  Situs ini diketahui sebagai salah satu tempat temuan konsentrasi kubur dari masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat.  Pada tahun 1960-an situs ini menjadi salah satu spot untuk para penggali kuburan Buni mengadu keberuntungannya di sana.  Pada tahun 2008 ketika Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini dengan membuka beberapa kotak ekskavasi.  Setidaknya ada 5 individu yang berhasil diditemukan di situs ini.

15 Januari 2021

Gigi Badak Jawa: Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat

 

Kampung Buni di Situs Buni

Kampung Buni Pasar Mas, Desa Buni Bakti Kecamatan Babelan, Bekasi pada tahun 1960-an, mendadak menjadi perhatian ketika seorang warganya  secara tidak sengaja menemukan emas ketika beraktivitas di sawah.  Kampung Buni kemudian menjadi titik awal dari serangkaian penelitian arkeologi terkait dengan nenek moyang kita yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai wilayah Cilamaya, Karawang pada masa awal sejarah (paleometalik).  Mereka kemudian dikenal sebagai masyarakat pendukung budaya Tembikar Buni.  

Gigi Badak Jawa 
Salah satu temuan menarik dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di tahun 1960-an adalah temuan satu geraham badak Jawa di Situs Buni X.  Temuan ini juga menunjukkan bahwa habitat badak Jawa pada masa itu ada di sepanjang pantai utara Jawa Barat.  Menurut Wikipedia, habitat badak Jawa memang tersebar cukup luas sampai ke daratan Asia Tenggara.  Tahun 1833 satwa ini masih di temukan di Wonosobo, Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gunung Gede dan Pangrango (1880), Gunung Papandayan (1881), Gunung Ceremai (1897), dan pada 1912 masih ditemukan di sekitar Karawang.  Badak Jawa terakhir di luar Ujung Kulon yang dibunuh tahun 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Cipatujah, Tasikmalaya; spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor (Sadjudin, 2015).   Wilayah yang dulunya dihuni badak diabadikan menjadi nama tempat seperti Ranca Badak di Bandung, Rawa Badak di Jakarta Utara, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango, dan Cibadak di Sukabumi.  Saat ini Badak Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, Indonesia dan Cat Tien, Vietnam serta menjadi mamalia paling terancam punah di dunia.

10 Januari 2021

Situs Sumur Pitu : Jejak Buddhisme di Pantai Utara Jawa Tengah.

Beberapa temuan terbaru bersifat buddhistik di wilayah Lasem, Rembang seperti relief stupa di kawasan Watu Layar, Desa Bonang, dan temuan kepala Buddha di Sriombo  memberikan informasi bahwa pengaruh Buddha pun eksis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah (Pantura). Hal ini tentu saja mematahkan pendapat lama yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh Buddha di bagian utara Jawa Tengah dan agama Buddha cenderung berkembang di bagian pedalaman Jawa Tengah (Magelang-Yogyakarta). Di Kabupaten Kendal, pengaruh Buddha diwakili oleh kehadiran Situs Sumur Pitu, dan terakhir temuan Situs Boto Tumpang yang secara arsitektural cenderung bersifat Buddhistik.

Situs Sumur Pitu 

          

20 Desember 2020

Punden Berundak di Gunung Kuta, Bumiayu, Brebes

Punden Berundak Gunung Kuta secara administrasi berada di Kampung Lebak Wangi, Desa Gunung Tajam, Kecamatan Salem, Brebes. Secara geografis berada pada koordinat Koordinat 07°09’ 42.685” LS dan 108°43’35.507” BT.
Punden berundak ini ditandai oleh sepasang batu (menhir) yang menyerupai gapura di bawah pohon yang rindang di tepi jalan setapak. Sepasang menhir disebut gada-gada oleh penduduk setempat. Tinggi menhir sekitar 1.50 cm. menurut penduduk setempat dua buat batu yang menyerupai pintu gerbang tersebut merupakan jalan masuk ke pertapaan(pemujaan) Eyang Ajar Sakti. Tidak jauh dari kedua menhir tersebut ditemukan dua menhir lainnya dengan alas batu alam di bawahnya. Penduduk menyebutnya Gunung Kuta. Kira kira 50 meter ke arah utara di atas teras yang lebih tinggi terdapat dua menhir berukuran masing masing 180 cm dan 125 cm.
Selanjutnya 10 meter ke arah utara lagi terdapat sebuah menhir berukuran tinggi 140 cm. Di atas teras yang tertinggi ditemukan susunan batu alam lainnya ukuran 6 x 5 meter yang dahulu merupakan tempat yang dianggap keramat oleh penduduk. Sayangnya arealnya sangat rimbun ketika survei ke lokasi dilaksanakan membuat pengamatan atas situs ini menjadi sangat terbatas. Diperlukan penelitian yang lebih seksama, tentu dengan membuka areal punden dari bagian bawah sampai bagian paling atas, sehingga bentuk tata letak punden ini dapat terlihat secara jelas. 

14 September 2020

Temuan Menarik dari Situs Yosorejo, Pekalongan (1)

 Agustijanto Indradjaja, dan Veronique Degroot

Oktober 2014 survei arkeologi di Desa Yosorejo, Petungkriyono, Pekalongan  berhasil menemui  warga yang pernah menemukan satu guci berisi penuh alat alat logam.  Temuan ini sempat menghebohkan warga sekitar  2 atau 3 tahun silam  untungnya penemu masih menyimpan seluruh temuannya dengan baik.  Kabar terakhir, seluruh temuan sudah diselamatkan oleh pihak berwenang.  Seluruh temuan yang berjumlah sekitar lebih dari 30 item yang dapat dikelompokan menjadi alat upacara, alat pertanian dan alat pertukangan.  Tidak jauh jauh, guci itu ditemukan  pada kedalaman seitar 50 cm di samping teras rumah warga yang ingin membuat pondasi baru.  Ketika guci ini diangkat tampak bahwa guci Guandong setinggi hampir 1 meter diproduksi sekitar abad ke-9 masehi telah digunakan untuk menyimpan alat alat upacara keagamaan Hindu dan Buddha.  Secara garis besar seluruh temuan ini bisa dikelompokan ke dalam tiga kelompoyakni alat alat upacara, alat pertanian dan alat pertukangan. 

Alat alat upacara jika drinci lebih lanjut antara lain

1 Genta Pendeta

            Di antara temuan benda logam ini ada tiga genta pendeta kecil.  Ukurannya tidak sama persis tetapi memiliki kemiripan bentuk dan gayanya  Bagian tubuh genta berbentuk cembung dan diakhiri oleh leher yang pendek pada bagian atas .  Permukaan rata, hanya ada ornamen berupa garis horisontal di sisi bawa, pundak dan leher. Bagian pegangan lebih rumit. Bagian tengahnya dihiasi lingkaran konsentris.  Bagian atas dan bawah diberi hiasan dengan cetakan yang sama dan beberapa lingkaran kosentris – diulang secara simestris. Pada bagian atas pegangan dihiasi oleh bentuk kelopak dari bunga teratai terbuka. Bagian tengah lurus dikelilingi oleh empat  yang bentuknya lebih melengkung keluar. Kaki setiap kelopak diberi hiasan motif daun kecil.  Bentuk ini bisa berupa kelopak teratai atau wajra.  

tiga genta pendeta dari Yosorejo

16 Agustus 2020

Sekilas Tentang Garis Pantai Utara Jawa Tengah Pada Abad ke-7-10 M

 


                      Penelitian Arkeologi di Situs Tegal Sari, Kendal 

  Survei arkeologi di Pantai Utara Jawa Tengah tepatnya di muara Kali Kuto sisi timur  yakni wilayah Kabupaten Kendal pada tahun 2018-2019 berhasil menemukan sekitar tujuh lokasi situs arkeologi dari periode Hindu Buddha (Candi Boto Tumpang, Tegal Sari, Kebon Sari, Pojok Sari, Ngrumbul,  Watu Tapak, Kalioso ) di pesisir pantai utara Kendal.  Kecuali Tegal Sari, situs- situs ini bisa dibilang benar benar baru, karena memang tidak tercatat di dalam laporan survei pada masa Belanda ataupun yang dilakukan Puslitarkenas (tahun 1977) atau Balai Arkeologi Yogyakarta (tahun 2000an) .  Situs-situs ini secara geologis berada pada endapan alluvium dimana saat ini sebagian besar berada di areal persawahan meskipun ada juga yang berada di areal permukiman warga.  Ketujuh situs yang berupa sisa bangunan terbuat dari bata (kemungkinan candi) baru dua situs yang digali secara sistematis oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yakni Situs Tegalsari dan Boto Tumpang(Tahun 2018-2019).  Tentu saja keberadaan situs situs yang berada di pesisir pantai utara ini menjadi penting bagi rekonstruksi garis pantai kuna pada abad ke-7-10 di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, khususnya wilayah Kendal.  

Situs situs dapat memberikan informasi baru yang cukup penting terkait reinterpretasi kembali terhadap garis pantai utara Jawa Tengah  pada sekitar abad ke-8-10 M.   Soekmono dalam salah satu artikelnya yang berjudul ’’A Goegraphical Reconstruction of Northeastern Central Java and The Location of Medang ‘’ dengan mengutip pernyataannya Bemellen yang menyebutkan bahwa gambaran peta Jawa memperlihatkan Gunung Muria dahulu sebuah pulau yang terpisah dari pantai utara Jawa Tengah. Dimana garis pantai Semarang-Rembang jauh lebih ke selatan dari saat ini –Bukannya tergabung seperti saat ini-.  Kita dapat berasumsi bahwa periode sebelum abad ke-10 M.,  Muria sebagai pulau yang dipisahkan dari Jawa oleh selat yang membentang dari Semarang ke arah timur ke Rembang. Dengan menghubungkan tempat-tempat di mana keramik yang lebih tua ditemukan, kita dapat meletakan garis pantai lebih tepat. Garis pantai ini terbukti berada di sepanjang garis kontur 25 meter pada peta topografi masa kini. Karena itu, tampaknya daerah antara Semarang dan Rembang yang sekarang terletak lebih rendah dari 25 meter di atas permukaan laut dulunya merupakan bagian dari selat (Soekmono.R 1967, 4-6)

                    Peta Sebaran situs situs HIndu Buddha di Kendal