29 Mei 2021

Inskripsi Rogoselo : Jejak Awal Pengaruh Islam di Pekalongan

                                                                    Oleh

                                        Agustijanto Indradjaja (Puslitarkenas)

                                        Veronique Degroot (EFEO)

Kembali ke Situs Rogoselo ( untuk yang pingin tahu situs Rogoselo, lihat lagi artikel tentang "Uniknya Dwarapala dari Rogoselo Pekalongan  (2017)") 

Fragmen Inskripsi Rogoselo di Museum Nasional

Di dalam laporan N.J.Krom tentang situs Rogoselo disebutkan bahwa di samping tinggalan masa Hindu-Buddha  juga ditemukan tiga kubur.  Pada kubur yang paling atas adalah kubur “Kjai Matas Angin” (4.9 x 3 m).  Kubur ini ditandai oleh dua batu tegak yang rata sebagai nisannya.  Sekitar 500 meter dari kubur pertama terdapat kubur “Panggerang Dipan” atau “Gara Manik”, yang kuburnya ditata dengan batu kali.  Sekitar 50 meter dari kubur kedua dikenali oleh masyarakat sebagai “Pangerang Sling Singan.  Satu inskripsi modern terbuat dari batu berhuruf Jawa pertengahan juga ditemukan di tempat ini.  Inskripsi tersebut kini berada di Museum Nasional di Jakarta (nomer inventaris D.24). Inskripsi ini dipertanggalkan sekitar 1571 saka (1659 M).  Upaya melacak keberadaan inskripsi ini  seutuhnya di Museum Nasional sudah pernah diupayakan, Namun belum berhasil.

Pada saat ditemukan, inskripsi batu itu telah patah menjadi dua atau tiga bagian. Brumund yang mengunjungi situs Rogoselo pada tahun 1863, melaporkan tentang keberadaan inskripsi batu tersebut yang berada di puncak Gunung Garamanik.  Brumund mendeskripsikan inskripsi batu tersebut sebagai potongan batu yang tidak beraturan berukuran sekitar 132.5 x 74.5 x 2.6 cm. Inskripsi tersebut dituliskan dalam empat baris. Menurut Brumund, aksaranya sangat kuna, bahkan orang Jawa yang terpelajar saat itu tidak mampu membacanya”.  Satu absklat dari batu tersebut kemudian disimpan di Pekalongan dan akhirnya dikirim ke museum in Batavia tahun 1861 (abklatsch O.d. no 186). Satu bagian dari inskripsi batu itu di kirim ke Pekalongan sekitar tahun 1863.

Tidak lama setelah kedatangan Brumund  (dan bukan tahun 1861, seperti disebutkan dalam NBG). Bagian  inskripsi yang hilang, ditemukan dekat masjid di Rogoselo tahun 1866 dan kemudian dikirim juga ke Pekalongan. Seluruh fragmen inskripsi ini pada akhirnya dikirim ke Museum di Batavia (NBG 1869: cvi; inv. no D.24). Inskripsi ini bertangka tahun 1571 śaka. Menurut Brandes, huruf yang tertulis pada inskripsi dapat dikelompokan menjadi huruf transisi dari Jawa kuna ke –Jawa modern (1904: 458-459). Menurut Brandes, inskripsi itu berbunyi “sri suka jumĕnĕng dala(ñ)ca(ng) pa(ṇ)diladewa driyajĕg manusa dewa dewa paku i(ng) jagat sri krĕta sangaji suka guwa dewata ; swasti sakha warsatitha, i (?) saka, nabhi pa(ṇ)ḍita bhûta saci(?), d.i. 1571 = 1649 A. D. ? 


 

19 Mei 2021

Dua Arca Tokoh Terakota Dari Kabupaten Tegal

 

Temuan arca tokoh dari Tegal tergolong langka dan unik karena arca ini terbuat dari terakota penuh, (tidak ada rongga pada bagian dalam arca terakota).  Arca ditemukan sebanyak 2 buah hanya saja kondisinya sudah hancur sebagian, pada arca pertama yang tersisa hanya bagian atas sampai pinggang sedangkan arca tokoh kedua bagian kepala sudah hilang.   Kedua arca ini ditemukan di Situs Candi Batu Gong , Bolak Menjangan, Pager Barang, Tegal.  Di situs ini masih terlihat gundukan tanah dengan sebaran fragmen bata yang lokasinya berada sekitar 100 meter sebelah selatan dari Sungai Pager Wangi.  Di atas gundukan itu berdiri yoni yang disebut dengan “batu gong” berukurannya 64 x 64 x 75 cm.

Arca tokoh pertama digambarkan dalam posisi duduk hanya saja bagian pinggang ke bawah sudah rusak.  Tangan kanan hanya menyisakan bagian lengan sedangkan tangan kiri bagian telapak tangannya sudah  rusak.  Tokoh digambarkan memakai mahkota dan jamang pita lebar.  Memakai anting anting tali yang pada ujungnya dihiasi dua bandul.  Kalung pita lebar tetapi pada bagian depan ada hiasan yang menjuntai ke bawah, upawita ganda berupa pita lebar berakhir di depan ikat perut yang juga berupa pita lebar. Kelat bahu ada dua, satu di bagian paling atas lengan berupa pita lebar dan satu kelat bahu lainnya di lengan dengan hiasan simbar di bagian samping.  Di atas pundak kiri dihiasi oleh teratai kuncup. Sandaran arca persegi empat dengan bagian atas membulat. Tinggi tersisa sekitar 47 cm .

   Arca Tokoh 1 Terakota

 Arca tokoh kedua dalam posisi duduk bersila dengan kaki kanan di bagian depan. Bertangan dua diletakan di atas paha namun kedua telapak tangan sudah rusak.memakai upawita tali polos demikian juga dengan ikat perut berupa tali polos.Memakai kain tebal yang diikat di depan perut dan simbar tebal dibiarkan menutup sampai ke kaki. Kelat bahu berupa tali polos di lengan bagian atas. Tampaknya memakai sandaran arca hanya saja sudah rusak. Tinggi tersisa sekitar 33 cm.

Arca Tokoh 2 Terakota

Secara ikonografi, jelas kedua arca tokoh ini memiliki atribut dari masa Hindu Buddha, namun tidak ada atribut yang dapat menghubungkan dengan dewa tertentu di dalam Hindu-Budda, oleh karenanya lebih cocok jika disebut sebagai arca tokoh saja.  Secara gaya seni, mungkin lebih dekat ke gaya seni Jawa Tengah dibandingkan dengan Majapahit.  Namun tidak benar benar mencerminkan gaya seni Jawa Tengah seperti yang dikenal pada arca-arca seni Jawa Tengah pada umumnya. Seperti cara menggambarkan kain dari pinggang sampai menutup kaki yang terkesan tebal dan berat pada arca tokoh 2, tidak umum pada seni arca Jawa Tengah.

Seni arca terakota mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit, dimana pada periode ini dihasilkan berbagai karya seni terakota yang luar biasa.  Mulai dari peralatan rumah tangga, berbagai bentuk figurin sampai ornament bangunan yang terbuat dari tanah liat ditemukan.  Namun seni arca yang paling dominan pada masa Majapahit berbentuk  figurin berukuran tinggi sekitar 8-12 cm, sejauh ini  arca terakota berukuran tinggi di atas 20 cm tergolong jarang.  Kalaupun ada, cara pembuatannya tidak masif tetapi kosong pada bagian dalamnya. 

Sebagai perbandingan, seni arca terakota yang berukuran besar ditemukan di Situs Bumiayu, Palembang yang dipertanggalkan sekitar abad ke-9-13 M. Di situs ini ditemukan satu makara dengan seorang pertapa di dalam mulut makara yang juga berukuran besar. Selain itu ditemukan juga kala, ornament bangunan yang semuanya terbuat dari terakota berukuran besar.   

Makara Candi Bumiayu yang kondisinya semakin hancur.

Dengan demikian, temuan arca terakota dari Tegal dan arca Terakota dari Situs Bumiayu, Palembang menegaskan kembali bahwa seni arca terakota berukuran besar sudah dapat diproduksi jauh sebelum sebelum masa Majapahit. Hanya saja mulai popular pada masa Majapahit karena penggunaan seni arca sudah tidak diabdikan untuk kepentingan agama saja.