Pengertian
arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu
berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi
yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel
dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source”
(Daniel,1976, Hasan M,1982: 123). Dengan
demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang
amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam
jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi
‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
Salah satu sumber data primer bagi
penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak
bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka
aspek-aspek sosial masa lalu masih dapat
diketahui dan direkonstruksi kembali.
Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di
Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru
Pangambat. Prasasti yang dibuat oleh Sri
Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar
yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan
pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,
tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak
budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun
demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan
naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda(
sekitar abad 15-16 M).
Pengertian naskah-naskah Sunda kuna
adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah
masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran
masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang
merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui
pendekatan teori fungsional.
Berdasarkan waktu pembuatannya,
naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke
16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi
S, 1982: 106). Ada empat macam huruf
yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab
(pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya
pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada
lima jenis bahasa meliputi bahasa Sunda
kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga
mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa. Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan
dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi
unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
Bahan yang digunakan untuk menulis
naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau,
daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang
dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya
masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah
mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat.
(Ayatrohaedi,1993: 18-19)