Tampilkan postingan dengan label Sunda Kuno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunda Kuno. Tampilkan semua postingan

27 Januari 2021

Celepot : Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat (2)

Situs Cikuntul, Dongkal, Karawang

Situs Cikuntul dinamakan begitu karena situs ini berada di wilayah Desa Cikuntul, Kecamatan Dongkal, Karawang.  Situs ini diketahui sebagai salah satu tempat temuan konsentrasi kubur dari masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat.  Pada tahun 1960-an situs ini menjadi salah satu spot untuk para penggali kuburan Buni mengadu keberuntungannya di sana.  Pada tahun 2008 ketika Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini dengan membuka beberapa kotak ekskavasi.  Setidaknya ada 5 individu yang berhasil diditemukan di situs ini.

15 Januari 2021

Gigi Badak Jawa: Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat

 

Kampung Buni di Situs Buni

Kampung Buni Pasar Mas, Desa Buni Bakti Kecamatan Babelan, Bekasi pada tahun 1960-an, mendadak menjadi perhatian ketika seorang warganya  secara tidak sengaja menemukan emas ketika beraktivitas di sawah.  Kampung Buni kemudian menjadi titik awal dari serangkaian penelitian arkeologi terkait dengan nenek moyang kita yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai wilayah Cilamaya, Karawang pada masa awal sejarah (paleometalik).  Mereka kemudian dikenal sebagai masyarakat pendukung budaya Tembikar Buni.  

Gigi Badak Jawa 
Salah satu temuan menarik dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di tahun 1960-an adalah temuan satu geraham badak Jawa di Situs Buni X.  Temuan ini juga menunjukkan bahwa habitat badak Jawa pada masa itu ada di sepanjang pantai utara Jawa Barat.  Menurut Wikipedia, habitat badak Jawa memang tersebar cukup luas sampai ke daratan Asia Tenggara.  Tahun 1833 satwa ini masih di temukan di Wonosobo, Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gunung Gede dan Pangrango (1880), Gunung Papandayan (1881), Gunung Ceremai (1897), dan pada 1912 masih ditemukan di sekitar Karawang.  Badak Jawa terakhir di luar Ujung Kulon yang dibunuh tahun 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Cipatujah, Tasikmalaya; spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor (Sadjudin, 2015).   Wilayah yang dulunya dihuni badak diabadikan menjadi nama tempat seperti Ranca Badak di Bandung, Rawa Badak di Jakarta Utara, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango, dan Cibadak di Sukabumi.  Saat ini Badak Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, Indonesia dan Cat Tien, Vietnam serta menjadi mamalia paling terancam punah di dunia.

21 Desember 2017

Temuan Penutup Mata Emas dari Situs Batujaya

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

            Salah satu hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan di situs Batujaya yang dilakukan oleh Puslitarkenas selain memperlihatkan adanya sebaran bangunan suci dalam areal seluas 2 x 2.5 km persegi juga memperlihatkan adanya kontiunitas dari periode awal sejarah (abad ke-1 M ) sampai periode sejarah yang cukup intens.  Di bawah lapisan budaya masa Tarumanagara (abad ke-5-7 M) ternyata ada satu lapisan budaya pendahulunya yang oleh kalangan arkeolog sebagai masyarakat pendukung tradisi komplek tembikar Buni.     Sejak awal-awal masehi mereka diketahui telah berinteraksi dengan pendatang yang kemungkinan besar mereka adalah para pedagang asing (India dan Asia Tenggara daratan).   Hal ini yang dibuktikan dengan temuan tembikar roulleted ware yang khas dari India.  Bahkan disebut-sebut temuan tembikar roulleted ware yang ditemukan di Asian Tenggara sampai sekarang paling banyak ditemukan di situs Batujaya.  Sejauh ini ditemukan sejumlah lokasi pemukiman masyarakat Buni di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari wilayah Bekasi sampai Karawang.  Salah satu jejak permukiman Buni itu ditemukan juga ditemukan di Situs Batujaya. 
                                                       Candi Blandongan, Batujaya

            Jejak budaya Buni yang terlacak umumnya berupa komplek kubur yang cukup besar.  Kubur dengan bekal kuburnya memberi pesan bahwa leluhur kita adalah masyarakat yang religius.  Berbagai artefak logam dan tembikar disertakan pada tokoh yang dikuburkan juga memperlihatkan adanya pelapisan sosial di dalam masyarakat prasejarah di Nusantara.  Sehingga ada tokoh yang dimakamkan dengan bekal kubur yang sangat raya (berupa puluhan periuk, manik, dan peralatan emas) namun ada juga yang hanya diberi beberapa wadah periuk.  Salah satu artefak menarik yang termasuk jarang ditemukan adalah penutup mata yang terbuat dari emas.  Penutup mata ini ditemukan di sektor lempeng, Batujaya yang tampaknya merupakan areal penguburan pada masa Buni karena lebih dari 25 individu telah ditemukan di sektor ini.  Penutup mata ini ternyata dikenakan oleh seorang anak kecil (balita) sesuatu yang menarik karena biasanya penutup mata emas ini digunakan oleh seorang dewasa.  Temuan penutup mata emas dari Batujaya sebenarnya bukanlah yang pertama karena penutup serupa pernah dilaporkan pula  ditemukan di Rengasdengklok oleh penduduk sekitar tahun 1970an.

19 Maret 2015

BEBERAPA CATATAN TEKNIK ANALISIS NASKAH SUNDA DALAM ARKEOLOGI

Agustijanto Indradjaja (Agustijanto2004@yahoo.com)
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Pendahuluan
            Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia.  Pengertian naskah dalam tulisan ini juga mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.  Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun tidak langsung.  Penggunaan naskah sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan.  Padahal beberapa ahli arkeologi selalu menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan  David Clarke, seorang arkeolog Inggris menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra F,1992,37).  Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik dan metode sendiri dalam penelitiannya.  Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan eksakta sebagai ilmu bantunya.  Salah satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah adalah cara memperlakukan naskah tersebut.  Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data artefaktual lainnya.  Sejarawan cenderung lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah.  Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra F,1992:35).  Penelitian naskah bagi arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
      

14 Maret 2015

PERMUKIMAN KUNA DI PANTAI UTARA JAWA BARAT : TINJAUAN TERHADAP HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS BATUJAYA DAN SEKITARNYA

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional

(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
            Batujaya site which for nearly two decades of fairly intensive study by The National Research and Development Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite interesting.  Not only from a chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex. Archaeological research in the last two years shows that the existence of batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the Batujaya site in the past

Kata Kunci : Pemukiman kuna, Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat

I
PENDAHULUAN
            Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan sejarah budaya di Indonesia.  Situs ini bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua puluh bangunan yang terdapat di atasnya.  Dalam perkembangannya di tahun 2005,   berhasil ditemukan adanya sisa bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi Batujaya[1]  Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman pendukung komplek candi ini berada?  Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2]  memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki.  Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di sepanjang pantai barat India didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981:  Peter:2006: 121)

Kerangka Pikir dan Metode
            Dalam konteks permukiman yang terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut.  Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860 Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor  dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas.  Di situ akan didirikan prasāda dengan arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika.  Lain dari pada itu dua orang anak pāduka Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima tersebut (Boechari,1980 :326).  
            Permukiman di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan ”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
            Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi kompleks candi ini.  Keberadaan permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya permukiman di sana.  Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan macam-macam institusi yang berlaku.  Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman.  Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman.
          Unsur lingkungan sangat erat hubungannya dengan pola permukiman.  Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun non fisik (biotik).  Lingkungan fisik berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang hidup di muka bumi.
Dalam skala keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya  juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat terbatas.  Kebudayaan materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5: 2006).


13 Maret 2015

BEBERAPA PRINSIP TEOLOGI NASKAH SUNDA KUNA (Hubungannya dengan masyarakat Sunda kuna)

            
             Pengertian arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source” (Daniel,1976,  Hasan M,1982: 123). Dengan demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi ‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
            Salah satu sumber data primer bagi penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka aspek-aspek sosial masa lalu  masih dapat diketahui dan direkonstruksi kembali.
            Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru Pangambat.  Prasasti yang dibuat oleh Sri Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,  tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Meskipun demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda( sekitar abad 15-16 M).
            Pengertian naskah-naskah Sunda kuna adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui pendekatan teori fungsional.
            Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke 16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi S, 1982: 106).  Ada empat macam huruf yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab (pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada lima jenis  bahasa meliputi bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa.  Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
            Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat. (Ayatrohaedi,1993: 18-19)

12 Maret 2015

BEBERAPA MASALAH PERUBAHAN STATUS TANAH DI JAWA BARAT MENURUT SUMBER PRASASTI

       Salah satu peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu.  Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
            Pada umumnya prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi kerajaan.  Isi prasasti dapat berupa pernyataan pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
            Sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat  pada masa lalu seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya serta aktivitas manusia  pada masa lalu lainnya.  Sejauh ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah menjadi daerah perdikan (sima).  Dari sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh seorang pejabat atau  raja kepada orang-orang yang telah berjasa kepada raja,  keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
            Penetapan suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang tanah  dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975, Djoko D.dkk 1992).
            Berbeda dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11).  Beberapa prasasti lain juga menyangkut perubahan status daerah /tanah menjadi tepek (daerah larangan), kabuyutan, dan dewasasana.
            Dari sejumlah prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah  diatas yang menyangkut perubahan status tanah manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima tidak populer di daerah Jawa Barat.

11 Maret 2015

TELAGA SANGHYANG : Mencari model hubungan kabuyutan dan kerajaan di Sunda Kuna


            Kabuyutan sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna mengenal candi atau kuil.  Tepatnya ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang.  Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu - Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda kuna.  Salah satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi.  Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21 ).  Menurut Agus A.M., bentuk bangunan pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya (1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,  tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.  Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
            Hal ini tercermin pada masa Kerajaan Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan.  Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan di kerajaannya.  Naskah CP menyebutkannya sebagai “...disilihan doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
            Kehadiran Kabuyutan yang berakar dari kepercayaan kepada roh nenek moyang  dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.

03 Maret 2010

Strategi Pertahanan dan Keamanan pada Kerajaan Sunda (Pada Masa Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M)) Oleh Agustijanto. I

I
Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara maka panggung politik di Jawa Barat di dominasi oleh Kerajaan Sunda. Meskipun ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu (setelah berakhirnya Tarumanegara) terdapat dua kekuatan politik yakni Kerajaan Sunda dan Galuh, tetapi sebagian besar ahli sejarah lebih memihak pada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu hanya ada satu kerajaan yakni Kerajaan Sunda dengan ibukota yang selalu berpindah antara Pakuan dan Galuh. Prasasti tertua yang menyebutkan nama Sunda adalah Prasasti Rakyan Juru Pangambat dengan angka tahun 854 C (932 M). Prasasti yang berbahasa Melayu kuna ini ditemukan di Desa Kebon Kopi, Kabupaten Bogor antara lain menyebutkan “...ba(r) pulihkan haji sunda...” artinya”...memulihkan raja sunda...” (Bambang S,1984:91).
Di sisi lain, menurut naskah Carita Parahyangan (CP), Kerajaan Sunda jatuh pada tahun 1579 M akibat serangan dari Kerajaan Cirebon dan Demak. Dengan demikian patut diduga bahwa Kerajaan Sunda telah mampu bertahan selama hampir enam abad (932-1579 M). Hal ini dapat terjadi karena ditunjang oleh berbagai faktor baik intern ataupun ekstern dari kerajaan. Akan tetapi yang jelas bahwa mekanisme dari sistem pemerintahan yang diterapkan setidaknya telah berjalan dengan baik dan tentunya ditopang oleh sistem pertahanan dan keamanan yang mendukung. Mengingat hal di atas menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji bagaimana pola pertahanan dan keamanan yang dikembangkan oleh Kerajaan Sunda sehingga kerajaan tersebut mampu mengeliminasi segala gangguan keamanan dan usaha-usaha untuk menghancurkannya .

23 April 2009

Mereka para pendukung budaya komplek tembikar Buni

Penelitian arkeologi di situs Batujaya, yakni sebuah komplek percandian yang bersifat Buddhistik di daerah Karawang ternyata mengharuskan kami (arkeolog) melihat kembali penelitian terhadap budaya Komplek tembikar Buni yang pernah populer sekitar tahun 1960-an. Ketika itu para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang dimotori oleh R.P.Soejono dan Sutayasa harus berlomba dengan para penggali liar yang bertujuan mencari emas dari kubur-kubur prasejarah di wilayah pantai utara Jawa. Pada awalnya temuan kubur-kubur prasejarah ini ditemukan di desa Buni (Bekasi) dan kemudian daerah perkembangannya ditemukan meluas ke arah timur di daerah sungai Citarum dan sungai Bekasi hingga Ciparage di Cilamaya. Istilah komplek tembikar buni ini muncul; ketika adanya persamaan corak hiasan dari fragmen tembikar yang ditemukan di beberapa tempat antara Bekasi dan Cikampek. Beberapa situs Buni yang pernah diteliti antara lain di Buni, Kedungringin, Cabangbungin dan Bulaktemu di Bekasi, Batujaya, Kobak Kendal, Cilebar Babakan Pedes di daerah Rengas Dengklok.

Namun demikian baru pada tahun 2005 sampai sekaranglah manusia pendukung budaya Buni ini berhasil diungkap lebih jauh. Ya sebuah komplek kubur periode prasejarah atau tepatnya periode protosejarah (sekitar abad 1 sm -2 masehi ) berhasil ditemukan di situs Batujaya. Di situs ini tidak kurang 10 individu berhasil ditemukan kembali meskipun beberapa diantaranya ada indikasi pernah digali secara liar (mungkin sisa penggalian tahun 60-an). Berikut beberapa foto yang dapat dilihat betapa mereka sebenarnya merupakan satu masyarakat yang telah memiliki teknologi yang cukup memadai untuk mengelola lingkungannya pada masa itu.

Temuan kerangka manusia Buni yang berdempetan dengan pondasi bangunan di candi batujaya.



Temuan tengkorak manusia di bawah pondasi bangunan candi





Temuan kerangka tanpa kepala dengan bekal kubur diantaranya masih memakai gelang emas dan memegang senjata/ golok









temuan kerangka jejer dua individu dengan bekal kubur berupa wadah wadah tembikar berbagai bentuk.







Lalu siapakah mereka ? menurut Harry Widi, Arkeolog senior di Museum Sangiran menyebutkan bahwa mereka berasal dari jenis ras Mongolid. beberapa dari Mereka menunjukkan struktur tengkorak yang tebal dengan tekstur yang keras. Proses fosilisasi telah bermula dengan masuknya mineral silika pada tekstur tulang, akan tetapi masih dalam tahap awal. Banyaknya mineral silika ini mungkin disebabkan oleh lokasi temuan rangka yang berada dalam lingkungan berpasir.

Lalu seperti apa budaya yang didukung ntar kita bahas kemudian aja ya (to be countinued ah)