03 Maret 2010

Strategi Pertahanan dan Keamanan pada Kerajaan Sunda (Pada Masa Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M)) Oleh Agustijanto. I

I
Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara maka panggung politik di Jawa Barat di dominasi oleh Kerajaan Sunda. Meskipun ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu (setelah berakhirnya Tarumanegara) terdapat dua kekuatan politik yakni Kerajaan Sunda dan Galuh, tetapi sebagian besar ahli sejarah lebih memihak pada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu hanya ada satu kerajaan yakni Kerajaan Sunda dengan ibukota yang selalu berpindah antara Pakuan dan Galuh. Prasasti tertua yang menyebutkan nama Sunda adalah Prasasti Rakyan Juru Pangambat dengan angka tahun 854 C (932 M). Prasasti yang berbahasa Melayu kuna ini ditemukan di Desa Kebon Kopi, Kabupaten Bogor antara lain menyebutkan “...ba(r) pulihkan haji sunda...” artinya”...memulihkan raja sunda...” (Bambang S,1984:91).
Di sisi lain, menurut naskah Carita Parahyangan (CP), Kerajaan Sunda jatuh pada tahun 1579 M akibat serangan dari Kerajaan Cirebon dan Demak. Dengan demikian patut diduga bahwa Kerajaan Sunda telah mampu bertahan selama hampir enam abad (932-1579 M). Hal ini dapat terjadi karena ditunjang oleh berbagai faktor baik intern ataupun ekstern dari kerajaan. Akan tetapi yang jelas bahwa mekanisme dari sistem pemerintahan yang diterapkan setidaknya telah berjalan dengan baik dan tentunya ditopang oleh sistem pertahanan dan keamanan yang mendukung. Mengingat hal di atas menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji bagaimana pola pertahanan dan keamanan yang dikembangkan oleh Kerajaan Sunda sehingga kerajaan tersebut mampu mengeliminasi segala gangguan keamanan dan usaha-usaha untuk menghancurkannya .





II
Pertumbuhan dan perkembangan kerajaan masa klasik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh India. Hal ini dapat diketahui dari beberapa aspek pranata kerajaan yang ada, di mana hampir seluruh pranata kerajaan yang berlaku di India seperti kedudukan raja yang turun temurun, kedudukan parameswari, kedudukan pejabat pusat dan daerah, masalah agama, peradilan dan segala urusan sipil lainnya sedikit banyak ditiru oleh kerajaan-kerajaan masa klasik di Indonesia (Boechari, 1986:203).
Dalam sistim pemerintahan yang berdasarkan pada sistim kerajaan maka kedudukan seorang raja menjadi sangat sentral, yakni pusat kekuasaan tertinggi. Biasanya kekuasaan seorang raja dianggap tidak terbatas, hanya saja kekuasaan dan wewenang seorang raja ditandai oleh :
1. Wilayah Kerajaan yang luas.
2. Daerah atau kerajaan taklukan yang luas.
3. Kesetiaan para raja bawahan dan pejabat kerajaan dalam menunaikan tugas kerajaan.
4. Kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan.
5. Jumlah tentara yang besar dan segala jenis perlengkapan perang.
6. Kekayaaan dan gelar yang disandang.
7. Segala kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang mengancam dan menandinginya (G.Moedjanto,1987:79).
Kekuasaan yang mutlak di tangan seorang raja ini dilegitimasikan dengan dianutnya kepercayaan yang bersifat kosmologi. Dalam konsep kosmologi ini terdapat satu keyakinan bahwa keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan sebagai gambaran jagat raya dalam bentuk kecil (Nurhadi.M, 1980:445). Hal ini membawa implikasi bahwa kekuasaan seorang raja didapatkan dari restu para dewa dan hyang. Posisi seorang raja merupakan representatif dari wakil dewa dan hyang di dunia yang tentu saja mendapat mandat untuk berkuasa di dunia. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) banyak memuat tentang hal di atas, di antaranya, naskah yang dibuat tahun 1440 C (1518 M) ini menjelaskan tentang kedudukan raja yang berada di bawah para dewa dan hyang. “...mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang...” artinya “...mangkubumi berbakti pada raja, raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang...” (Atja dan Saleh D,1981b:2).
Mengingat bahwa kekuasaan yang dimiliki didapatkan dari restu para dewa dan hyang maka semua potensi kekuasaan dan wewenang seorang raja harus mengikuti kehendak para dewa dan hyang. Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki oleh raja harus digunakan untuk dapat menjamin kemakmuran dan keamanan seluruh rakyatnya. Apabila kemakmuran dan keamanan seluruh rakyatnya dapat terjamin itu berarti kekuasaan raja berada dalam restu para dewa dan hyang. Sebaliknya timbulnya kekacauan, pemberontakan, kebejatan moral yang semakin merajalela dan bencana alam, semuanya menandakan bahwa restu para dewa dan hyang tidak lama lagi akan terlepas dari raja (Franz M.S,1988:105). Dengan demikan aspek keamanan dan kemakmuran merupakan sebuah syarat yang harus diwujudkan oleh seluruh raja yang berkuasa apabila seorang raja menginginkan kekuasaan mendapatkan restu dari para dewa dan hyang.
Usaha-usaha untuk menciptakan keamanan untuk melindungi kerajaan dan rakyatnya telah pula dilakukan oleh para raja dari Kerajaan Sunda. Hal ini dapat ditemukan pada Prasasti Batu Tulis (1533 M) yang menyebutkan tentang adanya usaha dari Sri Baduga Maharaja untuk melindungi ibukota kerajaan yakni Pakuan dengan cara memaritinya. Prasasti itu berbunyi “...nu nyusuk na pakwan...” artinya “...yang memariti di pakuan...”. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Surawisesa dan diperuntukan bagi mengenang 12 tahun kematian ayahnya yakni Sri Baduga Maharaja dengan menuliskan beberapa usaha yang telah dilakukan oleh ayahnya tersebut ketika memerintah Kerajaan Sunda. Usaha Sri Baduga Maharaja untuk memariti istana Pakuan dapat ditafsirkan sabagai usaha untuk mempertahankan kerajaan dari segala ancaman yang dapat mengganggu kerajaan dan rakyat di Kerajaan Sunda. Makna dari kata “memariti” ini dapat mempunyai arti yang bercabang. Pengertian pertama dari kata “memariti” dapat mempunyai arti kata yang sebenarnya yakni dengan membuat parit/ benteng pertahanan di sekitar ibukota kerajaan, sedangkan pengertian yang kedua dari kata tersebut mempunyai arti “melindungi kerajaan” yang maknanya lebih luas dari sekedar membuat parit pertahanan.

Untuk pengertian yang pertama yakni adanya parit-parit pertahanan di sekitar ibukota kerajaan dapat diketahui dari sumber tertulis berupa naskah dan laporan perjalanan yang menyinggung tentang hal tersebut. Di dalam Naskah Bujangga Manik1 ( J.Noorduyn,1984:11) misalnya, disebutkan bahwa untuk memasuki istana kerajaan harus membuka pintu gerbangnya terlebih dahulu yang terletak di Sungai Cipakancilan 2 (lihat Peta). Hal ini memberikan gambaran bahwa ibukota kerajaan dikelilingi oleh sebuah benteng pertahanan dan setiap orang yang ingin memasukinya harus melewati pintu gerbang.
Sumber lain yang menyebutkan tentang adanya parit pertahanan berasal dari laporan perjalanan Abraham Van Riebeeck, seorang tentara kompeni, yang melakukan ekspedisi ke reruntuhan Istana Pakuan. Dalam laporannya pada tanggal 17 agustus 1703 M dia menyebutkan sebagai berikut:
Berangkat dari kampung baru jam 07.25, melewati Parakan Baranang Siang tiba 7 menit kemudian. pada jembatan penyeberangan sungai besar (Ciliwung). Mendaki kemudian menurun dan juga melewati jembatan yang disebutkan tadi. Tibalah pada jalan naik kota Pakuan. Naik mendaki sepanjang tanggul yang diapit oleh dua buah parit yang merupakan parit bawah (Saleh D,1983: 19).
Dalam laporan perjalanan selanjutnya tanggal 15 Mei 1704 M, Abraham Van Riebeeck juga menyebutkan tentang adanya parit pertahanan di ibukota kerajaan.
“...melintasi sebuah anak sungai yang arus tenang mengalir ke Cisadane lalu melewati sebuah parit yang dalam...setengah jam perjalanan dari sungai tadi, mencapai tanggul atau jalan sempit mendaki dari dataran atas Pakuan. Pada kedua tepinya diapit oleh parit yang dalam dan mengerikan. Dari benteng yang tinggi atau benteng jawa. Dan disanalah pernah berada istana Pakuan kepunyaan raja Jakarta ratu Pajajaran (ibid).
Pada tahun 1911, Pleyte menulis sebuah laporan yang berjudul Het Jaartal op en Batoe Toelis Nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batu Tulis di dekat Bogor), yang menyebutkan bahwa kampung Batu Tulis sebagai ibukota kerajaan. Ibukota Kerajaan Sunda dikelilingi oleh benteng alam yang berupa tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya dan hanya bagian tenggara batas kota tersebut yang berlahan datar. Pada bagian ini ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk setempat yang diwawancarai oleh Pleyte menyebut sisa benteng sebagai kuta maneuh (ibid,:25).
Pengetian yang kedua dari kata “memariti” yang dapat berarti lebih luas dari sekedar memariti dalam arti kata yang sebenarnya, yakni melindungi kerajaan dan seluruh rakyatnya dari segala bahaya yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kerajaan. Naskah CP menyebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja mampu memimpin kerajaan
sehingga kerajaan tidak dapat disusupi oleh musuh besar dan musuh kecil. “...purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musu(h) ganal, musu(h) alit...” artinya “ (setia kepada) kebiasaan dan keaslian leluhur. Oleh karena itu tidak kedatangan oleh musuh besar dan musuh kecil...”(Atja dan Saleh D,1981a:18).
Menarik untuk diamati adalah siapakah yang dimaksud dengan musuh besar dan musuh kecil bagi Kerajaan Sunda. Kemungkinannya adalah yang dimaksud sebagai musuh besar bagi Kerajaan Sunda adalah kerajaan-kerajaan tetangga yang dianggap cukup potensial untuk menyerang Kerajaan Sunda. Naskah Amanat Galunggung(AG)memuat nama-nama kerajaan yang potensial tersebut untuk mengingatkan agar kerajaan dan rakyat di Kerajaan Sunda berhati-hati. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Jawa3 , Baluk, Cina, Lampung dan lainnya. naskah tersebut menyebutkan sebagai “...jaga bonangna kabuyutan ku jawa, ku baluk, ku cina, ku lampung, ku sakalih...” artinya “...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya (Atja dan Saleh D,1981c:29).
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, dimana kerajaan-kerajaan yang membawa label Islam mulai tumbuh, dirasakan sebagai kerajaan yang sangat potensial mengancam eksistensi Kerajaan Sunda. Kekhawatiran ini masa masa berikutnya memang terbukti karena pada tahun 1527 M kerajaan Islam telah berhasil menguasai Pelabuhan Kalapa yang merupakan salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda. Selanjutnya pada tahun 1579 M Kerajaan Sunda baru dapat dijatuhkan oleh tentara Islam setelah adanya kerjasama dua kerajaan Islam pada saat itu yakni Cirebon dan Demak. Naskah CP menyinggung tentang jatuhnya Kerajaan Sunda sebagai berikut:”...metu sangkara ti selam. prang ka raja galuh, eleh na raja galuh...pahi eleh ku selam. kitu kawisesa ku demak, dong ti cerebon...”artinya “...datang bencana dari Islam. Perang ke Raja Galuh kalah di Raja Galuh ...semua kalah oleh Islam. Demikianlah dikuasai oleh Demak dan Cirebon (Atja dan Saleh D,1981a:19).
Islam dipandang tidak saja sebagai musuh yang mempunyai kekuatan riil( Kerajaan Demak dan Cirebon) tetapi ajaran agama Islam yang telah masuk ke dalam Kerajaan Sunda dipandang dapat menggoyahkan idiologi kerajaan. Tome Pires dalam catatan perjalanannya melaporkan bahwa”...di bandar ini (Cimanuk) sudah banyak bermukim orang yang beragama Islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih memeluk agama leluhur (heathen)...”(Armando.C, 1944:173).
Sedangkan yang dimaksud dengan musuh kecil bagi Kerajaan Sunda adalah adanya kelompok-kelompok pengacau keamanan dalam Kerajaan Sunda sendiri. Naskah SSKK menyebutkan beberapa pengganggu keamanan masyarakat yakni :”...nyangcarutkan sakalih ma ngara(n)na. mipit mo amit, ngala mo menta, ngajupuk mo sadu, maka nguni tutunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya nyang carutkon sakalih ngara(n)na...sanguni tu meor, godak, nyepet, ngarebut, ngarorogoh, papanjingan...”artinya “... yang disebut menipu orang lain adalah memetik tanpa permisi,
mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberitahu, mencuri, merampok, membegal, semua yang tergolong perbuatan jahat itulah yang disebut menipu orang lain namanya...juga mengecoh, merogoh kantong orang, mencopet, merampas, mencuri dari saku, memasuki rumah orang...”(atja dan Saleh D,1981b:5)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja untuk “memariti” dalam arti yang lebih luas yakni melindungi kerajaan dari musuh besar (ganal) berupa ancaman dari luar kerajaan dan musuh kecil (alit) berupa gangguan keamanan masyarakat adalah melalui dua pendekatan keamanan yakni pendekatan secara magis religius (psikologis) dan pendekatan secara teknis.
Pendekatan secara magis religius adalah dengan cara memberikan ancaman berupa kutukan para dewa dan hyang apabila ada yang berani melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa/hyang dimuka bumi. Prasasti Sanghyang Tapak misalnya, menyebutkan tentang adanya kutukan para dewa dan hyang bagi siapa saja yang melanggar ketentuan raja. Adapun bunyi dari kutukan tersebut adalah “...matiya siwak kapalanya, ucup uteknya, belah dadanya, inum rahnya, rantan ususnya...”artinya”...matinya (akan) terbelah kepalanya, terhisap otaknya, terbelah dadanya, terminum darahnya dan terburai ususnya...”.(Hasan D,1992:20).
Dengan demikian, walaupun seseorang yang melanggar ketetapan tidak mendapat sangsi secara fisik (hukuman ), akan tetapi secara psikologis dia tidak akan merasa aman karena telah membuat para dewa dan hyang murka. Naskah SSKK menyebutkan sebagai “...tan kreta ja laki(bi) dina urang reya ja loba di sanghyang siksa...” artinya ”...yang tidak merasa tentram adalah rumah tangga yang telah melanggar sanghyang siksa...”. Maksud dari orang yang melanggar sanghyang siksa dapat berarti memang orang tersebut telah melanggar segala ketentuan/ peraturan yang telah dibuat di dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK), karena naskah ini adalah pegangan hidup bagi masyarakat Sunda kuna. Di dalam naskah disebutkan”...ngagelarkon sanghyang siksa kandang karesian ini sanghyang dasakreta4 kundangon urang reya...” artinya”...menguraikan sanghyang siksa kandang karesian ini sanghyang dasakreta untuk pegangan orang banyak...”. Namun demikian yang dimaksud dengan orang-orang yang melanggar sanghyang siksa dapat mengacu pada orang-orang yang telah meninggalkan agama leluhur dan memeluk agama Islam seperti yang telah diberitakan oleh Tome Pires.
Menyadari hal diatas kemungkinan salah satu upaya yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja untuk mencegah meluasnya ajaran Islam berkembang di Masyarakat selain dengan membatasi pedagang-pedagang Islam untuk memasuki wilayah Kerajaan Sunda adalah dengan membukukan ajaran leluhur, yakni Sanghyang Siksa pada tahun 1518 M, sehingga buku ini dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat Sunda kuna.
Pendekatan kedua yakni pendekatan secara teknis adalah dengan membentuk tentara kerajaan yang kuat. Naskah SSKK memuat beberapa jenis kesatuan tentara kerajaan seperti bayangkara (penjaga keamanan), pajurit (prajurit), pam(a)rang (prajurit yang ahli dalam memainkan pedang), dan pamanah (prajurit yang ahli dalam memanah).
Semua unit kesatuan tempur ini dipimpin oleh hulu jurit. Naskah ini juga menyingung beberapa strategi perang yang dikenal oleh kesatuan perang tentara kerajaan seperti “...sugan hayang nyaho di tingkah prang ma makara bihwa, katra ihwa, isang bihwa, singha bihwa, garuda bihwa, cakra bihwa,...adipati, rebu sakti, pake pajurit, tapak sawatek, sanghulu jurit tanya...” artinya ...”bila ingin tahu strategi perang seperti makara bihwa, katra bihwa, lisang bihwa, singha bihwa, garuda bihwa, cakra bihwa,...adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawatek, tanyalah panglima perang...”(Atja dan Saleh D,1981b:18).
Ketangguhan tentara perang Kerajaan Sunda teruji ketika masa pemerintahan Prabu Surawisesa. Naskah CP menyebutkan bahwa tentara kerajaan mampu melawan serangan tentara Islam dan memukul mundur serangan sebanyak 15 kali peperangan di berbagai daerah di wilayah Kerajaan Sunda.
Sebagai usaha untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan Kerajaan Sunda , Sri Baduga Maharaja juga diberitakan pernah mencoba untuk melakukan hubungan diplomatik dengan Portugis yang pada tahun 1511 M mereka telah menduduki Malaka. Hubungan ini semakin meningkat ketika pada tanggal 21 Agustus 1522 M disepakati perjanjian kerjasama dalam bidang militer antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Inti dari perjanjian tersebut menerangkan bahwa Portugis akan membantu Kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu kerajaan ini di serang oleh tentara Islam, sebagai imbalannya pihak portugis diijinkan untuk mendirikan benteng di Bandar Banten dan diberi hak untuk mendapatkan 1000 karung merica (160 bahar) setiap tahun (C. Guillot,1992: 2).



III
Dari uraian diatas dapat kiranya diambil beberapa pokok pemikiran yang antara lain, kedudukan seorang raja sebagai wakil dewa dan sanghyang di muka bumi telah menyebabkan seorang raja mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bagi keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Usaha-usaha untuk mengaktualisasikan tanggung jawab tersebut pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, hal ini dapat dilihat antara lain dari pemilihan lokasi ibukota kerajaan yang sangat strastegis karena dikelilingi oleh parit-parit pertahanan yang sangat dalam dan berbahaya sehingga sangat menyulitkan musuh yang hendak menyerang / menduduki Kerajaan Sunda.
Selanjutnya dari data naskah diketahui pula bahwa sesungguhnya Kerajaan Sunda telah memiliki berbagai macam kesatuan perang yang kuat dengan peralatan perang dan pengetahuan strategi perang yang memadai bagi masa tersebut. Demi memperkuat aspek pertahanan ini Kerajaan Sunda juga telah melakukan perjanjian untuk kerjasama dalam bidang militer dengan pihak Portugis, meskipun untuk hal tersebut Kerajaan sunda harus memberikan 1000 karung merica setiap tahunnya. Selain memperkuat aspek-aspek teknisnya Kerajaan Sunda juga memperhatikan aspek magis-religius sebagai usaha untuk mengantisipasi datangnya ”arus” ajaran Islam yang dipandang dapat menggoyahkan stabilitas keamanan kerajaan dengan membukukan ajaran sanghyang siksa sehingga akan lebih mudah dipelajari dan disebarluaskan di seluruh wilayah Kerajaan Sunda.

DAFTAR PUSTAKA

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society,1944

Atja dan Saleh Danasasmita, Carita Parahyangan. Bandung: Pusat Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981a.

_______________________, Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Bandung: Pusat Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981b.

_______________________, Amanat Galunggung. Bandung: Pusat Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981c.

Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka,1984.

Boechari, “Local Genius Dalam Pranata Sosial di Indonesia pada Zaman Klasik” dalam Ayat Rohaedi (ed) Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

C. Guillot. Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522. Jakarta: Puslit Arkenas,1992.

Frans Magnis Suseno. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia,1988.

G. Moedjanto. Konsep Kekuasaan Raja. Yogyakarta: Kanisius,1987.

Hasan Djafar. “Prasasti-Prasasti Dari Masa Klasik di Jawa Barat” dalam Seminar Nasional Pakuan Pajajaran. Bogor: Universitas Pakuan,1992.

J. Noorduyn. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis Dari Sumber Sunda Kuna. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1984.

Nurhadi Magetsari. “Masalah Agama dan Kebudayaan Dalam Arkeologi Klasik di Indonesia” dalam PIA III. Jakarta: Puslit Arkenas, 1980.

Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor. Bogor: Panitia Penyusun dan Penerbitan Sejarah Bogor, 1983.

2 komentar:

7zandre mengatakan...

wah ternyata peradaban waktu itu sdh tergolong bagus dan penemuan ini memang sangat bagus untuk sejarah di negeri kita dan tentu juga di dunia.....trima kasih yach saya senang sekali bisa mengikuti berita ini dan mendapat kesempatan utk bisa follow di sini....

Anonim mengatakan...

pindah alamat
http://tapakarkeologi.byethost22.com/