16 Agustus 2010

PEMUKIMAN KUNA DI SITUS KOTA BANGUN, KUTAI KARTANEGARA


Oleh
Agustijanto I.[1]
Abstract
            Archaeological research in the area of the Mahakam river upstream flow is very limited so far, although traces of Hindu-Buddhist civilization traces were also found in this area. Call it the Buddha statue made of gold, which is now stored at the Museum of Kutai Kartanegara known from Tabang, an area that is located farthest north of the regency. One of the archaeological research has been conducted in the upstream region is the site of Tanjung Urigin located in the subdistrict of Kota Bangun. Research at this site provides new data about the development of ancient settlements in the area of the Mahakam river upstream of where in the context of settlement hierarchy, the emergence of a settlement are usually supported by the existence of a larger group of settlements that have been there first. This research uses inductive reasoning that starts from the specific observations and then processed in a generalization. Collection of data were conducted survey and excavation at the site Tanjung Urigin. Thus, this paper aims to find out more about the aspects of settlement in the region especially in Tanjung Urigin site.
Abstrak
Penelitian arkeologi di  daerah hulu aliran sungai Mahakam sejauh ini masih sangat terbatas, padahal jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha juga ditemukan di areal ini.  Sebut saja arca Buddha yang terbuat dari emas yang kini tersimpan di Museum Kutai Kartanegara diketahui  berasal dari Tabang, sebuah kawasan yang terletak paling utara dari Kabupaten Kutai Kartanegara.  Salah satu penelitian arkeologi yang telah dilaksanakan di kawasan hulu adalah di situs Tanjung Urigin yang terletak di wilayah Kecamatan Kota Bangun.  Penelitian di situs ini  memberikan data baru tentang perkembangan permukiman kuna di daerah hulu sungai Mahakam dimana dalam konteks permukiman berjenjang, munculnya sebuah permukiman biasanya didukung oleh keberadaan kelompok permukiman yang lebih besar yang telah ada terlebih dahulu.   Penelitian ini menggunakan penalaran induktif yang dimulai dari pengamatan khusus yang kemudian diproses dalam suatu generalisasi.  Penggumpulan data dilakukan melakukan survei dan ekskavasi di situs Tanjung Urigin. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek permukiman di wilayah Kota Bangun terutama di situs Tanjung Uringin. 

Kata Kunci : Permukiman kuna, situs Tanjung Urigin, Kota Bangun

I. 1 PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi di sepanjang DAS Mahakam sejauh ini masih tergolong jarang dilakukan.  Sejauh ini penelitian di kawasan DAS ini masih terfokus pada situs Muara Kaman tempat temuan sejumlah prasasti Yupa yang menunjukkan adanya eksistensi Mulawarman pada sekitar abad ke-5 M. [2] Padahal selain situs Muara Kaman, masih terdapat sejumlah lokasi lainnya yang juga cukup menarik untuk diteliti lebih jauh.  Salah satunya adalah situs Tanjung Urigin yang berada di Desa Kota Bangun Ulu Kecamatan Kota Bangun
            Situs Tanjung Urigina dalah tempat arca Nandi ditemukan.   Selain arca Nandi, di bagian utara situs ini ditemukan juga parit tanah yang dipercaya sebagai parit pertahanan Awang Long.[3] dan makam-makam kuna yang nisannya memiliki corak bergaya Aceh.  Selain itu, di sekitar situs Tanjung Urigin juga pernah dilaporkan adanya temuan arca Buddha bergaya Gandhara dan sebuah pending emas.  Saat ini di situs Tanjung Urigin selain digunakan sebagai areal permukiman juga telah berdiri sebuah sekolah dasar, sekolah kejuruan dan areal pemakaman.  


I.2 PERMASALAHAN
            Dari banyaknya laporan tentang temuan arkeologis di situs Tanjung Urigin tentunya sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh tentang keberadaan situs ini dalam kronologi sejarah kebudayaan di DAS Mahakam khususnya.  Dalam skala yang lebih luas, temuan arca Nandi, parit pertahanan dan pending emas di Tanjung Urigin dapat pula diterjemahan sebagai adanya aktivitas permukiman pada masa lalu  di daerah ini.   Dengan demikian permasalahan yang ingin dijawab adalah bagaimana aspek permukiman pada masa lalu di situs Tanjung Urigin,  Kota Bangun.
I.3  KERANGKA TEORI DAN METODE
Permukiman sebagai suatu produk dari interaksi beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan macam-macam institusi yang berlaku.  Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman.  Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman.   Penelitian terhadap permukiman kuna yang akan melihat pada sebaran okupasi dan kegiatan manusia serta hubungan di dalam satuan ruang dengan tujuan memahami sistem teknologi, sosial, ideologi dari masyarakat masa lalu.  Ada tiga hal yang merupakan ciri studi permukiman yaitu (1) persebaran, (2) hubungan-hubungan dan (3) satuan ruang (Mundardjito,26 : 1995).


  Sebagaimana halnya permukiman masa kini, keberadaan permukiman masa lalu tidaklah jauh berbeda. Muncul dan berkembangnya sebuah permukiman bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti ekonomi, keamanan, dan lingkungan.    Biasanya munculnya satu unit permukiman di suatu tempat didukung oleh adanya kelompok permukiman yang lebih besar yang telah lebih dahulu eksis.  Karena satu wilayah setingkat kota tidak mungkin dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya pasokan dari kawasan di sekitarnya yang menyediakan barang kebutuhan untuk masyarakat yang tinggal di dalam permukiman tersebut.  Dengan demikian antar unit-unit permukiman yang satu dengan yang lain akan terjadi interaksi yang saling menguntungkan (jaringan antara konsumen dan produsen). Dengan kata lain secara teoritik terdapat permukiman pada jenjang atas (pusat) serta permukiman pada satu atau lebih jenjang dibawahnya (Hooder,1976, Bugie, 1995: 108).  Di lapangan, penjenjangan dari situs permukiman ini dapat diindikasikan oleh variabel ukuran (size) permukiman atau mengingati semakin tinggi jenjangnya maka semakin luas juga situsnya (Paynter, 1983: Bugie, 1995: 108). 
          Pembahasan terhadap kajian ini juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan materi.   Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walaupun secara kualitas dan kuantitas sangat terbatas.  Kebudayaan materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5: 2006) .
            Penelitian menggunakan penalaran induktif yang dimulai dari pengamatan khusus yang kemudian diproses dalam suatu generalisasi. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan ekskavasi di situs Tanjung Urigin.    Selain di situs Tanjung Urigin, survei juga dilakukan di sejumlah lokasi yang memiliki kaitan dengan keberadaan situs Tanjung Urigin.  Ekskavasi dilakukan di beberapa lokasi terpilih di situs Tanjung Urigin.

II.  PENGUMPULAN DATA
Situs Tanjung Urigin berada di bukit kecil yang tingginya sekitar 21 meter dpl dan memiliki luas ± 7 Ha. Lokasi yang dikenal oleh masyarakat sebagai gunung Tanjung Urigin ini terletak di sisi sebelah utara Sungai Mahakam pada sebuah meander sungai.  Bukit ini diapit oleh rawa pada sisi barat dan timur. Namun kini kedua sisi rawa ini telah berubah fungsi menjadi areal persawahan.
Morfologi wilayah Kecamatan Kota Bangun terdiri dari Perbukitan bergelombang, pedataran, dan rawa.   Morfologi perbukitan berkembang di wilayah bagian selatan-timur sedangkan pedataran dan rawa berkembang di wilayah barat-utara. Perbukitan tertingginya terletak di bagian tenggara yaitu Bukit Ngawang ± 268 meter dari permukaan laut dan pedatarannya mempunyai ketinggian rata-rata 3 sampai 17 meter dari permukaan laut (Tim Penyusun, 2007:9).
Sungai utama yang mengalir melewati daerah ini adalah Sungai Mahakam yang arah aliran dari baratdaya-timurlaut. Sungai ini memiliki beberapa anak sungainya seperti Sungai Ngasinan, Sungai Kedangmurung, Sungai Semayan, Sungai Balikpapan dan Sungai Belayan.
            Hasil survei yang dilakukan di sekitar situs berhasil mengumpulkan beberapa informasi yang terkait dengan keberadaan Situs Tanjung Urigin antara lain :
1.  Naskah berupa Surat Pengangkatan, Silsilah dan Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
            Naskah- naskah yang ditemukan semuanya dapat dikelompokkan ke dalam naskah baru seperti naskah berupa surat keputusan sultan sultan Kutai Kartanegara tahun 1999 yang mengangkat beberapa pejabat di lingkungan kerajaan.  Yang menarik dalam upacara pengangkatan tersebut  dihadiri oleh sembilan kerajaan vasal  di sekitar Kutai Kartanegara.  Salah satunya adalah utusan dari Kerajaan Kota Bangun.  Dengan demikian meskipun secara fisik kerajaan Kota Bangun sudah tidak dapat diketahui lagi namun eksistensinya masih diakui sampai sekarang terbukti dengan diundangnya wakil dari kerajan Kota Bangun untuk hadir dalam upacara penting di kerajaan Kutai Kartanegara.
            Naskah kedua berupa silsilah kerajaan Sribangun yang ditulis dengan menggunakan mesin ketik di atas kertas yang tidak terlalu tua.  Sebagian ditulis dengan menggunakan tinta sebagai bagian dari revisi.  Dalam silsilah sket Pendava 7 ini dipercaya bahwa pendiri kerajaan Sribangun adalah Aji Sultan Kapa I.  Aji Sultan Kapa I dipercaya merupakan keturunan dari Aji Jawa yang pada awalnya membangun pemukiman di Desa Pahak, lalu sempat berpindah sebanyak dua kali yakni di Desa Batu Belah dan Rajak sebelum akhirnya memilih Tanjung Uringin sebagai tempat terakhir bagi kerajaan Sribangun.   Nara sumber Bapak Sabran atau lebih dikenal dengan Bapak Otoh menurut silsilah ini merupakan generasi ke-6 dari Aji Sultan Kapa I.   Dalam sket ini juga dijelaskan perubahan nama dari Sribangun ke Kota Bangun.
Naskah ketiga berupa foto copy dari teks aslinya yang disimpan di rumah Bapak Ismail, penulis naskah yang kini tinggal di Melak, Kabupaten Kutai Barat.  Naskah yang berukuran 21 x 33 cm dan hanya terdiri atas 1 folio saja.  Kolofon yang ada berupa tulisan angka,  “1 Desember 1960”. dan ditandatangani oleh penulisnya, H, Ismail.  Berisi silsilah Awang Long dimana nama asli Awang Long, yaitu Awang Langkerok, lahir pada 1782. Ia diberi dua gelar oleh Sultan Tenggarong. Yang pertama Panglima Mandar, dan yang kedua Pangeran Ario Awang Long Singopati.   Dalam silsilah tersebut, seluruh keturunan Awang Long diberi gelar awing untuk pria dan dayang untuk wanita. 

2.  Makam-makam  Kuna
Situs makam kuna ini berada di sebelah timur Sekolah Dasar No.06 Kota Bangun.  Di situs ini ditemukan beberapa makam kuna yang letaknya tersebar dalam radius 100 meter.  Beberapa dari Makam kuna ini bahkan ada yang dalam kondisi tidak terawat.  Nisan makam ini dibuat dari kayu ulin. Kondisinya sudah retak-retak dan rusak, sekalipun bentuknya masih dapat dikenali sebagai bentuk gada. Nisan dalam bentuk dan gaya seperti ini masih dapat dikenali sebagai nisan tipe Aceh. Pada bagian tubuh nisan terdapat inskripsi yang sangat aus. Sebagian huruf-hurufnya dapat direkonstruksi dan dibaca bertuliskan H...255 dan 1312 Hijrah.
            Temuan masyarakat yang cukup menarik lainnya adalah berbagai wadah keramik asing dan stoneware yang berasal mulai dari Dinasti Song (10-12 M) sampai Dinasti Ching (18-20 M), mata uang asing, dan manik-manik .  Kegiatan survei selain dilakukan di sekitar Tanjung Urigin maka survei arkeologi juga dilakukan di beberapa lokasi antara lain:
1. Desa Kota Bangun Seberang
Desa ini terletak berhadap hadapan dengan situs Tanjung Urigin yang hanya dipisahkan oleh sungai Mahakam.  Di desa ini masih ditemukan beberapa rumah tua (rumah bahari) yang umumnya berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin.      Selain itu ditemukan beberapa konsentrasi makam kuna yang nisannya memiliki kesamaan dengan nisan-nisan di situs Tanjung Urigin.  Salah satu nisan kuna yang cukup menarik adalah  Nisan Syarifah Fatimah yang terletak di belakang rumah penduduk. Nisan makam ini kondisinya sudah amat aus, dan bagian tengah atasnya terbelah. Nisan makam hanya satu buah dengan bentuk pipih dari atas lengkung semakin kebawah semakin mengecil dan bagian bawah berbahu. Tidak diketahui secara pasti siapakah Syarifah Fatimah. Namun yang diketahui adalah bahwa dia termasuk salah seorang yang menyebarkan Islam di Kota Bangun. Melihat gaya nisan makamnya adalah makam nisan tipe Aceh perkembangan. Nisan makam tipe ini berkembang sekitar abad ke-18 -19 M.
2.  Desa Rajak
Makam Patih Menggala terletak di atas bukit yang oleh masyarakat disebut sebagai kawasan Rajak.   Di atas bukit ini terdapat beberapa makam kuna, di antaranya juga makam baru. Makam Patih Menggala terletak paling atas. Kondisi makam sekarang sudah diberi pagar yang didalamnya terdapat dua nisan baru, satu nisan makam asli, dan satu lagi nisan makam yang tidak ditancapkan ke tanah. Nisan makam asli berbentuk pipih, dengan ukuran lebar 23 cm, tinggi 90 cm, tebal 3 cm. Sementara lebar bagian bawah 16 cm (Tim Penyusun, 2007: 37).
3.  Desa Sedulang
            Desa Sedulang secara astronomi berada pada koordinat 0º22,937’LS 116º39,697’BT.  Desa Sedulang termasuk desa lama yang masih dihuni oleh masyarakat suku Kutai.  Lokasinya dapat ditempuh lewat jalan darat melalui jalan utama yang menghubungkan Kota Bangun dan Kutai Kartanegara dan masuk ke arah SP VI (satuan permukiman) sekitar 36 Km dari Kecamatan Kota Bangun.  Bila ditempuh melalui jalan air dengan memakai ketinting dapat menggunakan jalur sungai Mahakam  ke arah hilir lalu masuk ke anak sungai Sedulang/ Kedang Dalam.  Desa ini dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga yang menempati rumah-rumah  panggung.  Kekunaan Desa Sedulang ditandai oleh komplek makam tua yang kini tidak terawat (berada di hutan Sedulang).  Salah satu nisan diketahui sebagai makam puan taus, salah satu tokoh yang dianggap sakti.
4.  Desa Kedang Ipil
            Desa Kedang Ipil secara astronomi berada pada koordinat  0º24,615’LS 116º38,360’BT.  Desa Kedang Ipil berada sekitar 40 Km dari Kecamatan Kota Bangun yang dapat ditempuh melalui jalur darat melalui jalan utama yang menghubungkan Kota Bangun dan Kutai Kartanegara  dan masuk ke arah SP VI (satuan permukiman ) Bila ditempuh melalui jalan air dengan memakai ketinting dapat menggunakan jalur sungai Mahakam  ke arah hilir lalu masuk ke anak sungai Sedulang/ Kedang Dalam lalu masuk ke anak sungai Kedang Ipil.  Desa ini termasuk desa lama, seluruh penduduknya berasal dari suku Kutai dan masih mempraktekkan beberapa upacara tradisional seperti upacara belian untuk mengobati penyakit. 
Kegiatan dan Hasil Ekskavasi/ Penggalian
            Ekskavasi dilakukan di situs Tanjung Urigin di beberapa lokasi yang dianggap belum terganggu.  Daerah Tanjung Urigin ini dahulu diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat paling awal munculnya permukiman di wilayah Kota Bangun.  Sebagai komplek situs maka areal ini  diberi kode Kota Bangun Ulu (KBU) dengan beberapa sektor untuk menandai temuan arkeologi yang pernah ditemukan di areal ini yakni sektor KBU 1 adalah sektor kubur baru,  sektor KBU 2 adalah sektor arca Nandi yang tepatnya berada di sekitar SDN 06, sektor KBU 3 adalah sektor pending emas, di daerah paling utara dari areal ini dan sektor KBU 4 berada pada sisi paling selatan situs tanjung Urigin.

sketsa Tanjung Urigin dan Lokasi penggalian arkeologi 
          Ekskavasi dilakukan di Sektor KBU 1, KBU 2,KBU 3, dan KBU 4 dengan membuka 5 kotak ekskavasi.  Ekskavasi dilakukan dengan membuat kotak gali berukuran 2 x2 meter setiap kotak gali.  Adapun teknik pengamatan/ pengumpulan data menggunakan   teknik spit yakni penggalian yang dilakukan secara sistimatis untuk merekam seluruh tinggalan arkeologi yang ditemukan dan dilakukan dengan interval 20 cm /spit.  Karena ekskavasi dilakukan untuk melihat lapisan budaya maka ekskavasi dilakukan sampai pada lapisan budaya paling akhir atas sampai lapisan tanah yang dianggap steril.
          Hasil ekskavasi di situs Tanjung Urigin secara umum berhasil mendapatkan sejumlah data arkeologi terutama fragmen keramik dan tembikar kecuali di sektor KBU 3 yang sama sekali tidak ada indikasi temuan arkeologi.  Lapisan tanah pada bagian permukaan sudah terganggu dan baru pada kedalaman antara 30-40 cm lapisan tanah dapat dikatakan belum terganggu.  Temuan arkeologi paling banyak berada pada lapisan tanah lempung berwarna kekuningan.   Selain fragmen keramik dan tembikar ditemukan pula fragmen besi dan sisa arang serta sejumlah fitur sisa tiang di KBU 1.
          Temuan yang dianggap cukup menarik adalah adanya konsentrasi fragmen tembikar di KBU 2 Kotak TP1 pada kedalaman 65 cm serta dua logam berbentuk cincin di KBU 2 kotak TP2 pada kedalaman 60 cm.  Pada pengamatan stratigrafi pada kotak gali,  lapisan tanah dapat dimasukan ke dalam tiga kelompok yakni (1) lapisan humus berwarna hitam pada permukaan tanah, (2) lapisan tanah lempung yang berwarna kekuningan pada kedalaman rata-rata 30- 80 cm dan terakhir (3) lapisan batuan laterit yang sudah dianggap steril pada kedalaman 80-100 cm. 

III. PEMBAHASAN
III.1 Permukiman Awal di Kota Bangun
          Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah dijawab.   Untuk menyusurinya, biasanya asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di daerah tersebut.  Menurut tradisi lisan, asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga menandai daerah ini sebagai tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
            Secara topografi daerah ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk dijadikan ancer-ancer bagi siapapun yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun sebaliknya karena gunung Tanjung Uringin  tepat berada di meander Sungai Mahakam. 
          Dari cerita ini tampak bahwa daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kartanegara yang berdasarkan Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).  Dalam salasilah tersebut juga disinggung sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun.  Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-17 karena bukti arkeologi berbicara lain.  Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah temuan arca Buddha pada awal tahun 1846.  Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali.   Arca Buddha yang terbuat dari perunggu setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie.  Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antara Muara muntai dan Kota bangun (Anwar Soetoen,57: 1979).   Arca digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra.  Tangan kiri memegang wadah kecil.  Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan usnisa.  Arca mengenakan pakaian sampai ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka.  Salah satu bagian yang menarik adalah adanya membran(jaring)  di antara jari-jari tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959).
            Temuan dari masa klasik (Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca Nandi yang terbuat dari batu andesit.   Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin.  Arca digambarkan dalam posisi duduk dengan kedua kaki  depan dilipat ke depan.  Bagian kepala sudah hilang serta ujung ekor berada di tubuh bagian belakang arca.  Arca ini dipahatkan pada sebuah lapik arca yang menjadi satu dengan arca tersebut.
          Apakah kedua temuan dari masa Hindu-Buddha ini ada kaitannya dengan kehadiran sebuah kerajaan bersifat Hindu Buddha di Muara Kaman yang berdasarkan kajian paleografi terhadap sejumlah Yupa prasasti berasal dari sekitar abad ke-5 ?  Memang belum jelas, karena temuan arca Buddha ini merupakan temuan lepas yang lokasi tempat temuannya tidak dapat diketahui lagi sedangkan arca Nandi sendiri memang ditemukan di Tanjung Urigin  Apakah kehadiran dua arca tersebut sama artinya bahwa di Kota Bangun telah ada permukiman dari masa Hindu-Buddha? Hal inipun belum jelas benar karena tidak ada data pendukung lain selain kedua arca tersebut.  Sedangkan kedua arca tersebut sifatnya mudah dibawa dan dipindahkan.  Nampaknya hal yang paling logis adalah keberadaan arca-arca tersebut di Kota Bangun terkait dengan aspek perdagangan yakni adanya usaha pencarian barang komoditi sampai ke daerah pedalaman Kalimantan. 
          Seperti diketahui bahwa pada masa awal pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara, wilayah Sumatra dan Kalimantan terkenal dengan produksi emasnya.  Coedes menduga perkenalan budaya India sampai ke Nusantara dilatarbelakangi oleh pencarian emas.  Hal ini terjadi karena pada awal masehi India kehilangan sumber pemasok emas dari Siberia.  Sebelumnya para kafilah Siberia melalui Baktria memasok emas ke India.  Akses ini terputus karena gerakan berbagai bangsa di Asia Tengah.  Akibatnya India mencari emas ke daerah lain di antaranya daerah timur India (Coedes,1967: 20; Sumadio,1990:11).  Sampai saat ini di daerah Tabang (daerah hulu Sungai Mahakam) merupakan daerah yang memiliki potensi emas yang cukup prospek dan temuan arca Buddha terbuat dari emas menunjukkan bahwa daerah ini telah dikenal sebagai penghasil emas pada masa lalu.  Kemungkinan pada masa lalu telah ada usaha pencarian sumber emas sampai ke daerah ini.          
          Faktor lainnya yang memicu kehadiran budaya India sampai ke pedalaman Kalimantan adalah sumberdaya alamnya.  Roy Ellen menyatakan bahwa perdagangan rempah-rempah telah mendorong terjadinya proses indianisasi dan memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.  (1977:25; Ardika,2003:15)  Tentunya untuk mencapai lokasi ini dari pesisir memerlukan tempat-tempat persinggahan yang salah satunya di daerah Kota Bangun.  Dipilihnya daerah Kota Bangun sebagai daerah transit tidak lepas dari posisi geografi dimana gunung Tanjung Urigin yang terletak di meander sungai sangat mudah didatangi dari sungai Mahakam.  
          Masalahnya kapan daerah Tanjung Urigin menjadi pusat permukiman yang menjadi sentral bagi permukiman yang lebih kecil di daerah pedalaman Kota Bangun?  Dari hasil survei dan ekskavasi di Tanjung Urigin tampak bahwa di daerah ini padat dengan temuan fragmen keramik dan tembikar.  Fragmen keramik ini berasal dari Cina, Annam, dan Thailand yang dijadikan komoditas perdagangan paling laris.  Dari hasil analisis terhadap temuan fragmen keramik diketahui bahwa keramik paling tua berasal dari sekitar abad ke 13 M dan fragmen keramik dari dinasti Ming (15-17 M) dan Ching (18 -20  M) merupakan temuan keramik paling padat Sedangkan Naskah Salsilah Kutai menyingggung adanya kerajaan Paha sekitar awal abad ke 17 di Kota Bangun.  Pada saat permukiman di Tanjung Urigin mencapai puncaknya tampak bahwa di daerah sekitar Tanjung Urigin juga mengalami perkembangan, tercatat adanya toponim kampung Bugis di seberang Tanjung Urigin (Kota Bangun Seberang) dan Rajak.   
             Selain Tanjung Urigin, beberapa wilayah di bagian hulu Kota Bangun juga muncul permukiman dalam skala yang lebih kecil seperti daerah Kedang Dalam, Kedang Ipil, Lebak Cilung, Lebak Mantan dan Keham.  Diberitakan bahwa permukiman ini merupakan permukiman suku Kutai asli yakni Suku Kedang.  Letak kampung-kampung tersebut berada di daerah pedalaman yang untuk mencapainya harus melalui sungai Mahakam ke arah hilir lalu masuk sungai Sedulang / Kedang Dalam lalu masuk lagi ke anak sungai Kedang Ipil.    Sulit dibayangkan ada permukiman permanen di daerah pedalaman (Kedung Dalam dan lainnya) pada abad ke-17 tanpa ada dukungan dari permukiman induk/ permukiman yang lebih besar.   Permukiman induk tersebut adalah permukiman di Gunung Tanjung Urigin.  
            Pada perkembangannya, daerah Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya pusat kerajaan Kota Bangun dengan rajanya bernama Patih Bangun.  Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Kutai Kartanegara.  Anggapan ini didukung oleh temuan pending emas di  daerah ini.  Selain itu, kehadiran parit tanah di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai parit pertahanan Awang long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Adapun benteng tanah yang ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian 1.5- 2 meter dari parit.  Namun tentunya dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur.  Dan parit yang berada di depan benteng tanah harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3-4 meter, sebagaimana layaknya parit parit pertahanan yang pernah ditemukan.    Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun dibuat dengan pola linier.  Biasanya benteng dan parit pertahanan akan dibuat  mengelilingi permukiman dengan pola melingkar.  Sehingga seluruh permukiman akan terlindungi.  Untuk masuk dan keluar benteng maka dibuat satu bagian dari benteng yang memiliki jembatan.  Jembatan ini dapat dipasang dan dilepaskan sesuai dengan kebutuhan.  Untuk meningkatkan keamanan, parit-parit ini akan dipasangi jebakan yang dapat mencelakakan siapapun yang terjatuh ke dalam parit. Namun pola linier pada benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur.  Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah mulai dari sisi barat dan timur rawa maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari serangan musuh.  Benteng tanah dengan parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan terus ke arah utara.  Pada saat mencapai sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.
            Salah satu hal yang cukup menarik adalah hasil ekskavasi menunjukkan bahwa areal di bagian selatan benteng (sektor KBU 1,2,4) menunjukkan sisa permukiman yang padat sedangkan bagian utara benteng (sektor KBU 3) tempat ditemukan pending emas ternyata steril dari temuan arkeologi.   Jika demikian apakah sisi selatan benteng (dekat sungai makaham) merupakan areal permukiman penduduk biasa sedangkan sisi utara benteng merupakan permukiman kelompok elit?
III.2 Perkembangan Pemukiman di Kota Bangun
            Secara teoritis, perkembangan kota Kota Bangun pada mulanya termasuk dalam kota yang terbentuk secara spontan.  Kota semacam ini biasanya tumbuh dalam jangka waktu lama.  Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu kota sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek  seperti geografis, ekonomi, sosial, dan politik.  Seperti yang telah disebutkan bahwa sebagai daerah yang tumbuh secara spontan pemilihan lokasi permukiman Kota Bangun pertama kali di  Tanjung Uringin besar kemungkinan pemilihan lokasi lebih karena alasan strategis dan daerahnya lebih tinggi dari sekitarnya.  Awalnya mungkin daerah ini tidak lebih sebagai daerah transit untuk masuk lebih jauh ke pedalaman.  Baru pada sekitar  abad ke-17 M, berdiri kerajaan Paha di Kota Bangun.  Perpindahan ibukota kerajaan dari Kutai Lama ke Tangga Arung (Tenggarong) pada sekitar tahun 1782 M atau dari daerah pesisir ke pedalaman Kalimantan memberi dampak bagi berkembangnya “daerah jelajah” pada pusat-pusat produksi/ sumberdaya alam ke arah pedalaman Kalimantan.  Hal itu juga yang menyebabkan daerah Kota Bangun berkembang menjadi subbandar.  Sebagai subbandar, posisi Kota Bangun sebagai daerah transit bagi kegiatan ekonomi, tempat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan tambang dari daerah pedalaman
            Jika keberadaan permukiman di situs Tanjung Urigin dan situs-situs di sekitarnya dibuat dalam penjenjangan situs dilihat dari besaran dan posisinya dalam skala makro maka gambarannya adalah sebagai berikut : Posisi Kutai lama sebagai pusat kerajaan Kutai Kartanegara yang sekaligus sebagai entreport  (bandar) tempat pertemuan para pedagang dari kawasan Nusantara berada pada level tertinggi (1) dari penjenjangan permukiman yang posisinya ditunjang oleh subbandar di daerah pedalaman termasuk bandar yang berada di Tanjung Urigin, Kota Bangun, sehingga tidak heran jika pada masa itu telah ada sebuah kerajaan vasal yang berdiri di Kota Bangun.  Subbandar ini berada pada level kedua (2) dari penjenjangan permukiman yang berfungsi untuk mengumpulkan komoditas yang dihasilkan langsung dari lokasi tempat sumberdaya itu berada seperti di Kedang Ipil, Sedulang dan Rajak.  Pemukiman di Kedang Ipil, Sedulang dan Rajak adalah permukiman pada jenjang terbawah (3) dimana lokasinya dekat dengan sumberdaya alam yang sedang dieksploitasi.
    
VI. PENUTUP          
Hasil penelitian arkeologi di situs Tanjung Urigin, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional sejauh ini baru pada tahap awal yang tentunya masih perlu dikembangkan lagi.  Namun demikian ada beberapa hal yang dapat disampaikan sebagai sebuah kesimpulan sementara antara lain; sebagai sebuah permukiman, situs in telah didatangi sejak masa Hindu-Buddha.  Setidaknya ketika kerajaan bersifat Hindu-Buddha di Muara Kaman berdiri, situs ini mungkin  telah menjadi bagian dari kerajaan ini.  Hal ini ditunjukkan dari temuan arca Buddha yang bergaya Gandhara, India. 
Temuan arca Nandi di Gunung Tanjung Urigin sejauh ini tidak menunjukkan adanya satu periode tertentu pada masa Hindu-Buddha.   Namun mungkin kehadiran arca ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas perdagangan antara Kerajaan Kutai dan Majapahit.  Bisa jadi pada periode ini Kota Bangun telah merupakan satu enclave permukiman terkait posisinya sebagai subbandar yang menampung hasil alam dari pedalaman Kalimantan sebelum dibawa ke Kutai Lama.  Permukiman ini kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil yang dalam naskah Silsilah Kutai disebutkan adanya sebuah kerajaan Paha yang bersifat Hinduistik sekitar abad ke-17 di Kota Bangun.   Permukiman kuna yang terdapat di Tanjung Urigin kemudian menjadi pusat bagi berkembangnya permukiman yang lebih kecil seperti yang ditemukan di Kota Bangun Seberang (kampung Bugis) dan Rajak dan daerah pedalaman seperti Kedang Ipil.

DAFTAR PUSTAKA

Adham, D. 2002        Salasilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokolan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
 A.H.Said, Chaksana, 2006 “Permukiman dalam Perspektif Arkeologi” dalam Permukiman di Indonesia Perspektif arkeologi, Hal 1-20, Tim Penyusun (ed.) Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 
Ardika, I Wayan. 2003          ”Hubungan Indonesia dan India pada Awal Masa Sejarah” dalam Fajar Masa Sejarah Nusantara,  hlm. 15-21 Jakarta: Museum Nasional.
Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara.  2003   Profil Kabupaten Kutai Kartanegara. Tenggarong: Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara.
Berner Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia Art, Amsterdam: Oxford University Press.
Djabar D., Abd. 1999. Alih Aksara Kajian Naskah UU Kerajaan Kutai. Samarinda: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Kalimantan Timur.
Hardiati, Endang Sri 2003   Fajar Masa Sejarah Nusantara dalam Fajar Masa Sejarah Nusantara Hal. 1-14,Jakarta : Museum Nasional
Kusumohartono, Bugie, 1995. ”Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna : Kajian (Pengujian )Arkeologis” dalam  Berkala Arkeologi Tahun XV edisi khusus Manusia Dalam Ruang : Studi Kawasan Dalam Arkeologi. hal. 105-110. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Machi, Suhadi et.al. 1997    Penelitian Arkeologi di Situs Muara Kaman, Kalimantan Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak terbit).
Mundardjito. 1995     “Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini” dalam Berkala Arkeologi (Edisi Khusus),  hal. 24-28. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Soetoen, Anwar et.al. 1979 Kutai Perbendaharaan Kebudayaan Kalimantan           Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukendar,Haris dkk  2006   Pesona Budaya Dan Alam Kutai Kartanegara, Tenggarong:     Dinas Pariwisata dan Budaya Kutai Kartanegara.
Sumadio,Bambang (ed) 1990        Zaman Kuna dalam Marwati Djoened Poesponegoro     dkk, Sejarah Nasional Indonesia 2 Jakarta: Balai Pustaka
Tim Peneliti,  2004.   Laporan Penelitian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai di Kawasan     Muara Kaman (Tahap I), Tenggarong: Universitas Negeri Malang.
 --------------, 2005. Laporan Penelitian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai di Kawasan         Muara Kaman (Tahap II), Tenggarong: Universitas Negeri Malang.
Tim Penyusun, 2007. Laporan Penelitian Ekskavasi di Situs Kota Bangun Sebagai Aset Wisata Sejarah dan Budaya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimatan     Timur.  Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara     bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Tim Penyunting. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi    Nasional
Zaidan, Abdul Rozak. 1997.  “Salasilah Kutai dari Kalimantan Timur” dalam Adab dan         Adat Refleksi Sastra Nusantara. hal 581-631, Jakarta: Pusat Bahasa.





[1] Penulis adalah peneliti muda  yang bekerja di Puslitbang Arkenas
[2] Di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri, penelitian arkeologi baru dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1977, 1994, 1997, 1998 dan 2005, kemudian Peneliti dari Universitas Negeri Malang tahun 2004, 2005 dan 2006 di Situs Muara Kaman.  Penelitian terhadap perkembangan Islam di Kabupaten Kutai Kartanegara dan penelitian tentang tinggalan kolonial pernah pula dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin pada tahun 1995 dan 2006. 
         [3] Awang Long adalah seorang panglima perang kerajaan Kutai Kartanegara yang menentang kehadiran Belanda di wilayah Kutai Kartanegara.   

2 komentar:

rarafy mengatakan...

Mas, saya izin menggunakan untuk penugasan kuliah. Terimakasih!

AGUSTIJANTO I mengatakan...

silakan pak