Oleh
Agustijanto I.[1]
Abstract
Archaeological
research in the area of the Mahakam river upstream flow is very limited so far,
although traces of Hindu-Buddhist civilization traces were also found in this
area. Call it the Buddha statue made of gold, which is now stored at the Museum
of Kutai Kartanegara known from Tabang, an area that is located farthest north
of the regency. One of the archaeological
research has been conducted in the upstream region is the site of Tanjung
Urigin located in the subdistrict
of Kota Bangun . Research
at this site provides new data about the development of ancient settlements in
the area of the Mahakam river upstream of where in the context of settlement
hierarchy, the emergence of a settlement are usually supported by the existence
of a larger group of settlements that have been there first. This
research uses inductive reasoning that starts from the specific observations
and then processed in a generalization. Collection of data were conducted survey and excavation at the site Tanjung Urigin.
Thus, this paper aims to find out more about the aspects of settlement in the
region especially in Tanjung Urigin site.
Abstrak
Penelitian arkeologi di daerah hulu aliran sungai Mahakam sejauh ini
masih sangat terbatas, padahal jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha juga
ditemukan di areal ini. Sebut saja arca
Buddha yang terbuat dari emas yang kini tersimpan di Museum Kutai Kartanegara
diketahui berasal dari Tabang, sebuah
kawasan yang terletak paling utara dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satu penelitian arkeologi yang telah
dilaksanakan di kawasan hulu adalah di situs Tanjung Urigin yang terletak di
wilayah Kecamatan Kota Bangun.
Penelitian di situs ini memberikan data baru tentang perkembangan
permukiman kuna di daerah hulu sungai Mahakam dimana dalam konteks permukiman
berjenjang, munculnya sebuah permukiman biasanya didukung oleh keberadaan
kelompok permukiman yang lebih besar yang telah ada terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan penalaran
induktif yang dimulai dari pengamatan khusus yang kemudian diproses dalam suatu
generalisasi. Penggumpulan data
dilakukan melakukan survei dan ekskavasi di situs Tanjung Urigin. Dengan
demikian tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek
permukiman di wilayah Kota Bangun terutama di situs Tanjung Uringin.
Kata Kunci : Permukiman kuna, situs Tanjung Urigin,
Kota Bangun
I. 1 PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi di sepanjang DAS Mahakam sejauh ini masih tergolong jarang
dilakukan. Sejauh ini penelitian di
kawasan DAS ini masih terfokus pada situs Muara Kaman tempat temuan sejumlah
prasasti Yupa yang menunjukkan adanya eksistensi Mulawarman pada sekitar abad
ke-5 M. [2] Padahal
selain situs Muara Kaman, masih terdapat sejumlah lokasi lainnya yang juga
cukup menarik untuk diteliti lebih jauh.
Salah satunya adalah situs Tanjung Urigin yang berada di Desa Kota
Bangun Ulu Kecamatan Kota Bangun
Situs Tanjung Urigina dalah
tempat arca Nandi ditemukan. Selain arca Nandi, di bagian utara situs ini
ditemukan juga parit tanah yang dipercaya sebagai parit pertahanan Awang Long.[3] dan
makam-makam kuna yang nisannya memiliki corak bergaya Aceh. Selain itu, di sekitar situs Tanjung Urigin
juga pernah dilaporkan adanya temuan arca Buddha bergaya Gandhara dan sebuah
pending emas. Saat ini di situs Tanjung
Urigin selain digunakan sebagai areal permukiman juga telah berdiri sebuah sekolah
dasar, sekolah kejuruan dan areal pemakaman.
I.2 PERMASALAHAN
Dari banyaknya laporan tentang
temuan arkeologis di situs Tanjung Urigin tentunya sangat menarik untuk
ditelaah lebih jauh tentang keberadaan situs ini dalam kronologi sejarah
kebudayaan di DAS Mahakam khususnya. Dalam
skala yang lebih luas, temuan arca Nandi, parit pertahanan dan pending emas di Tanjung
Urigin dapat pula diterjemahan sebagai adanya aktivitas permukiman pada masa
lalu di daerah ini. Dengan
demikian permasalahan yang ingin dijawab adalah bagaimana aspek permukiman pada
masa lalu di situs Tanjung Urigin, Kota
Bangun.
I.3 KERANGKA
TEORI DAN METODE
Permukiman sebagai suatu produk dari interaksi beberapa
variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan
macam-macam institusi yang berlaku. Ini
berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan
kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman. Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel
yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya.
Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman. Penelitian
terhadap permukiman kuna yang akan melihat pada sebaran okupasi dan kegiatan
manusia serta hubungan di dalam satuan ruang dengan tujuan memahami sistem
teknologi, sosial, ideologi dari masyarakat masa lalu. Ada tiga hal yang merupakan ciri studi
permukiman yaitu (1) persebaran, (2) hubungan-hubungan dan (3) satuan ruang (Mundardjito,26 : 1995).
Sebagaimana halnya permukiman masa kini,
keberadaan permukiman masa lalu tidaklah jauh berbeda. Muncul dan berkembangnya
sebuah permukiman bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti ekonomi,
keamanan, dan lingkungan. Biasanya
munculnya satu unit permukiman di suatu tempat didukung oleh adanya kelompok
permukiman yang lebih besar yang telah lebih dahulu eksis. Karena satu wilayah setingkat kota tidak mungkin
dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya pasokan dari kawasan di sekitarnya
yang menyediakan barang kebutuhan untuk masyarakat yang tinggal di dalam
permukiman tersebut. Dengan demikian
antar unit-unit permukiman yang satu dengan yang lain akan terjadi interaksi
yang saling menguntungkan (jaringan antara konsumen dan produsen). Dengan kata
lain secara teoritik terdapat permukiman pada jenjang atas (pusat) serta
permukiman pada satu atau lebih jenjang dibawahnya (Hooder,1976, Bugie, 1995:
108). Di lapangan, penjenjangan dari
situs permukiman ini dapat diindikasikan oleh variabel ukuran (size) permukiman
atau mengingati semakin tinggi jenjangnya maka semakin luas juga situsnya
(Paynter, 1983: Bugie, 1995: 108).
Pembahasan
terhadap kajian ini juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan
materi. Karena kebudayaan materi adalah
bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walaupun secara kualitas dan
kuantitas sangat terbatas. Kebudayaan
materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya
(Chaksana , 5: 2006) .
Penelitian menggunakan penalaran
induktif yang dimulai dari pengamatan khusus yang kemudian diproses dalam suatu
generalisasi. Pengumpulan data dilakukan melalui
survei dan ekskavasi di situs Tanjung Urigin. Selain di situs Tanjung Urigin, survei juga
dilakukan di sejumlah lokasi yang memiliki kaitan dengan keberadaan situs
Tanjung Urigin. Ekskavasi dilakukan di
beberapa lokasi terpilih di situs Tanjung Urigin.
II. PENGUMPULAN DATA
Situs Tanjung Urigin berada di bukit kecil yang tingginya sekitar 21 meter dpl dan memiliki luas
± 7 Ha. Lokasi yang dikenal oleh masyarakat sebagai gunung Tanjung Urigin ini
terletak di sisi sebelah utara Sungai Mahakam pada sebuah meander sungai. Bukit ini diapit oleh rawa pada sisi barat dan
timur. Namun kini kedua sisi rawa ini telah berubah fungsi menjadi areal
persawahan.
Morfologi wilayah Kecamatan Kota Bangun terdiri dari Perbukitan
bergelombang, pedataran, dan rawa.
Morfologi perbukitan berkembang di wilayah bagian selatan-timur
sedangkan pedataran dan rawa berkembang di wilayah barat-utara. Perbukitan
tertingginya terletak di bagian tenggara yaitu Bukit Ngawang ± 268 meter dari
permukaan laut dan pedatarannya mempunyai ketinggian rata-rata 3 sampai 17
meter dari permukaan laut (Tim Penyusun, 2007:9).
Sungai utama yang mengalir melewati
daerah ini adalah Sungai Mahakam yang arah aliran dari baratdaya-timurlaut. Sungai
ini memiliki beberapa anak sungainya seperti Sungai Ngasinan, Sungai Kedangmurung,
Sungai Semayan, Sungai Balikpapan dan Sungai Belayan.
Hasil survei yang
dilakukan di sekitar situs berhasil mengumpulkan beberapa informasi yang
terkait dengan keberadaan Situs Tanjung Urigin antara lain :
1. Naskah
berupa Surat Pengangkatan, Silsilah dan Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
Naskah- naskah yang
ditemukan semuanya dapat dikelompokkan ke dalam naskah baru seperti naskah
berupa surat keputusan sultan sultan Kutai Kartanegara tahun 1999 yang
mengangkat beberapa pejabat di lingkungan kerajaan. Yang menarik dalam upacara pengangkatan
tersebut dihadiri oleh sembilan kerajaan
vasal di sekitar Kutai Kartanegara. Salah satunya adalah utusan dari Kerajaan
Kota Bangun. Dengan demikian meskipun
secara fisik kerajaan Kota Bangun sudah tidak dapat diketahui lagi namun
eksistensinya masih diakui sampai sekarang terbukti dengan diundangnya wakil
dari kerajan Kota Bangun untuk hadir dalam upacara penting di kerajaan Kutai
Kartanegara.
Naskah kedua berupa
silsilah kerajaan Sribangun yang ditulis dengan menggunakan mesin ketik di atas
kertas yang tidak terlalu tua. Sebagian
ditulis dengan menggunakan tinta sebagai bagian dari revisi. Dalam silsilah sket Pendava 7 ini dipercaya
bahwa pendiri kerajaan Sribangun adalah Aji Sultan Kapa I. Aji Sultan Kapa I dipercaya merupakan
keturunan dari Aji Jawa yang pada awalnya membangun pemukiman di Desa Pahak,
lalu sempat berpindah sebanyak dua kali yakni di Desa Batu Belah dan Rajak
sebelum akhirnya memilih Tanjung Uringin sebagai tempat terakhir bagi kerajaan
Sribangun. Nara sumber Bapak Sabran
atau lebih dikenal dengan Bapak Otoh menurut silsilah ini merupakan generasi
ke-6 dari Aji Sultan Kapa I. Dalam sket
ini juga dijelaskan perubahan nama dari Sribangun ke Kota Bangun.
Naskah ketiga berupa foto
copy dari teks aslinya yang disimpan di rumah Bapak Ismail, penulis naskah yang
kini tinggal di Melak, Kabupaten Kutai Barat.
Naskah yang berukuran 21 x 33 cm dan hanya terdiri atas 1 folio saja. Kolofon yang ada berupa tulisan angka, “1 Desember 1960”. dan ditandatangani oleh
penulisnya, H, Ismail. Berisi silsilah
Awang Long dimana nama asli Awang Long, yaitu Awang Langkerok, lahir pada 1782.
Ia diberi dua gelar oleh Sultan Tenggarong. Yang pertama Panglima Mandar, dan
yang kedua Pangeran Ario Awang Long Singopati.
Dalam silsilah tersebut, seluruh keturunan Awang Long diberi gelar awing
untuk pria dan dayang untuk wanita.
2. Makam-makam Kuna
Situs makam kuna ini berada di sebelah timur Sekolah Dasar
No.06 Kota Bangun. Di situs ini
ditemukan beberapa makam kuna yang letaknya tersebar dalam radius 100
meter. Beberapa dari Makam kuna ini
bahkan ada yang dalam kondisi tidak terawat.
Nisan makam ini dibuat dari kayu ulin. Kondisinya sudah retak-retak dan
rusak, sekalipun bentuknya masih dapat dikenali sebagai bentuk gada. Nisan
dalam bentuk dan gaya seperti ini masih dapat dikenali sebagai nisan tipe Aceh.
Pada bagian tubuh nisan terdapat inskripsi yang sangat aus. Sebagian
huruf-hurufnya dapat direkonstruksi dan dibaca bertuliskan H...255 dan 1312
Hijrah.
Temuan
masyarakat yang cukup menarik lainnya adalah berbagai wadah keramik asing dan
stoneware yang berasal mulai dari Dinasti Song (10-12 M) sampai Dinasti Ching
(18-20 M), mata uang asing, dan manik-manik .
Kegiatan survei selain dilakukan di sekitar Tanjung Urigin maka survei
arkeologi juga dilakukan di beberapa lokasi antara lain:
1. Desa
Kota Bangun Seberang
Desa ini terletak berhadap hadapan
dengan situs Tanjung Urigin yang hanya dipisahkan oleh sungai Mahakam. Di desa ini masih ditemukan beberapa rumah
tua (rumah bahari) yang umumnya berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu
ulin. Selain itu ditemukan beberapa konsentrasi
makam kuna yang nisannya memiliki kesamaan dengan nisan-nisan di situs Tanjung
Urigin. Salah satu nisan kuna yang cukup
menarik adalah Nisan Syarifah Fatimah yang terletak di
belakang rumah penduduk. Nisan makam ini kondisinya sudah amat aus, dan bagian
tengah atasnya terbelah. Nisan makam hanya satu buah dengan bentuk pipih dari
atas lengkung semakin kebawah semakin mengecil dan bagian bawah berbahu. Tidak
diketahui secara pasti siapakah Syarifah Fatimah. Namun yang diketahui adalah
bahwa dia termasuk salah seorang yang menyebarkan Islam di Kota Bangun. Melihat
gaya nisan makamnya adalah makam nisan tipe Aceh perkembangan. Nisan makam tipe
ini berkembang sekitar abad ke-18 -19 M.
2. Desa Rajak
Makam Patih Menggala terletak di atas bukit yang oleh masyarakat disebut sebagai
kawasan Rajak. Di atas bukit ini terdapat beberapa makam
kuna, di antaranya juga makam baru. Makam Patih Menggala terletak paling atas.
Kondisi makam sekarang sudah diberi pagar yang didalamnya terdapat dua nisan
baru, satu nisan makam asli, dan satu lagi nisan makam yang tidak ditancapkan
ke tanah. Nisan makam asli berbentuk pipih, dengan ukuran lebar 23 cm, tinggi
90 cm, tebal 3 cm. Sementara lebar bagian bawah 16 cm (Tim Penyusun, 2007: 37).
3. Desa Sedulang
Desa
Sedulang secara astronomi berada pada koordinat 0º22,937’LS 116º39,697’BT. Desa Sedulang termasuk desa lama yang masih
dihuni oleh masyarakat suku Kutai.
Lokasinya dapat ditempuh lewat jalan darat melalui jalan utama yang
menghubungkan Kota Bangun dan Kutai Kartanegara dan masuk ke arah SP VI (satuan
permukiman) sekitar 36 Km dari Kecamatan Kota Bangun. Bila ditempuh melalui jalan air dengan
memakai ketinting dapat menggunakan jalur sungai Mahakam ke arah hilir lalu masuk ke anak sungai
Sedulang/ Kedang Dalam. Desa ini dihuni
oleh sekitar 30 kepala keluarga yang menempati rumah-rumah panggung.
Kekunaan Desa Sedulang ditandai oleh komplek makam tua yang kini tidak
terawat (berada di hutan Sedulang).
Salah satu nisan diketahui sebagai makam puan taus, salah satu tokoh
yang dianggap sakti.
4. Desa Kedang Ipil
Desa Kedang Ipil secara astronomi berada pada koordinat 0º24,615’LS 116º38,360’BT. Desa Kedang Ipil berada sekitar 40 Km dari
Kecamatan Kota Bangun yang dapat ditempuh melalui jalur darat melalui jalan
utama yang menghubungkan Kota Bangun dan Kutai Kartanegara dan masuk ke arah SP VI (satuan permukiman )
Bila ditempuh melalui jalan air dengan memakai ketinting dapat menggunakan
jalur sungai Mahakam ke arah hilir lalu
masuk ke anak sungai Sedulang/ Kedang Dalam lalu masuk ke anak sungai Kedang
Ipil. Desa ini termasuk desa lama,
seluruh penduduknya berasal dari suku Kutai dan masih mempraktekkan beberapa
upacara tradisional seperti upacara belian untuk mengobati penyakit.
Kegiatan dan Hasil Ekskavasi/ Penggalian
Ekskavasi
dilakukan di situs Tanjung Urigin di beberapa lokasi yang dianggap belum
terganggu. Daerah Tanjung Urigin ini
dahulu diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat paling awal munculnya
permukiman di wilayah Kota Bangun. Sebagai komplek situs maka
areal ini diberi kode Kota Bangun Ulu
(KBU) dengan beberapa sektor untuk menandai temuan arkeologi yang pernah
ditemukan di areal ini yakni sektor KBU 1 adalah sektor kubur baru, sektor KBU 2 adalah sektor arca Nandi yang
tepatnya berada di sekitar SDN 06, sektor KBU 3 adalah sektor pending emas, di
daerah paling utara dari areal ini dan sektor KBU 4 berada pada sisi paling
selatan situs tanjung Urigin.
sketsa Tanjung Urigin dan Lokasi penggalian arkeologi |
Ekskavasi dilakukan di Sektor KBU 1,
KBU 2,KBU 3, dan KBU 4 dengan membuka 5 kotak ekskavasi. Ekskavasi dilakukan dengan membuat kotak gali
berukuran 2 x2 meter setiap kotak gali.
Adapun teknik pengamatan/ pengumpulan data menggunakan teknik spit yakni penggalian yang dilakukan
secara sistimatis untuk merekam seluruh tinggalan arkeologi yang ditemukan dan
dilakukan dengan interval 20 cm /spit.
Karena ekskavasi dilakukan untuk melihat lapisan budaya maka ekskavasi
dilakukan sampai pada lapisan budaya paling akhir atas sampai lapisan tanah
yang dianggap steril.
Hasil ekskavasi di situs Tanjung
Urigin secara umum berhasil mendapatkan sejumlah data arkeologi terutama
fragmen keramik dan tembikar kecuali di sektor KBU 3 yang sama sekali tidak ada
indikasi temuan arkeologi. Lapisan tanah
pada bagian permukaan sudah terganggu dan baru pada kedalaman antara 30-40 cm
lapisan tanah dapat dikatakan belum terganggu.
Temuan arkeologi paling banyak berada pada lapisan tanah lempung
berwarna kekuningan. Selain fragmen
keramik dan tembikar ditemukan pula fragmen besi dan sisa arang serta sejumlah
fitur sisa tiang di KBU 1.
Temuan yang dianggap cukup menarik adalah
adanya konsentrasi fragmen tembikar di KBU 2 Kotak TP1 pada kedalaman 65 cm
serta dua logam berbentuk cincin di KBU 2 kotak TP2 pada kedalaman 60 cm. Pada pengamatan stratigrafi pada kotak
gali, lapisan tanah dapat dimasukan ke
dalam tiga kelompok yakni (1) lapisan humus berwarna hitam pada permukaan tanah,
(2) lapisan tanah lempung yang berwarna kekuningan pada kedalaman rata-rata 30-
80 cm dan terakhir (3) lapisan batuan laterit yang sudah dianggap steril pada
kedalaman 80-100 cm.
III. PEMBAHASAN
III.1 Permukiman Awal di Kota Bangun
Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah
dijawab. Untuk menyusurinya, biasanya
asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di
daerah tersebut. Menurut tradisi lisan,
asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang
pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah
pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga menandai daerah ini sebagai
tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang
adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang
membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
Secara topografi daerah
ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling
tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk
dijadikan ancer-ancer bagi siapapun
yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun
sebaliknya karena gunung Tanjung Uringin
tepat berada di meander Sungai Mahakam.
Dari cerita ini tampak bahwa
daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kartanegara yang berdasarkan
Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dalam salasilah tersebut juga disinggung
sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun. Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota
Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-17 karena bukti arkeologi berbicara lain.
Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah
temuan arca Buddha pada awal tahun 1846.
Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu
setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama
kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie. Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah
keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang
mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antara Muara muntai dan Kota
bangun (Anwar Soetoen,57: 1979). Arca
digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra. Tangan kiri memegang wadah kecil. Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan
usnisa. Arca mengenakan pakaian sampai
ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka. Salah satu bagian yang menarik adalah adanya
membran(jaring) di antara jari-jari
tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959).
Temuan dari masa klasik
(Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca Nandi yang terbuat dari batu andesit. Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri
Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin.
Arca digambarkan dalam posisi duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke depan. Bagian kepala sudah hilang serta ujung ekor
berada di tubuh bagian belakang arca.
Arca ini dipahatkan pada sebuah lapik arca yang menjadi satu dengan arca
tersebut.
Apakah kedua temuan dari
masa Hindu-Buddha ini ada kaitannya dengan kehadiran sebuah kerajaan bersifat
Hindu Buddha di Muara Kaman yang berdasarkan kajian paleografi terhadap
sejumlah Yupa prasasti berasal dari sekitar abad ke-5 ? Memang belum jelas, karena temuan arca Buddha
ini merupakan temuan lepas yang lokasi tempat temuannya tidak dapat diketahui
lagi sedangkan arca Nandi sendiri memang ditemukan di Tanjung Urigin Apakah kehadiran dua arca tersebut sama artinya bahwa di Kota Bangun telah
ada permukiman dari masa Hindu-Buddha? Hal inipun belum jelas benar karena
tidak ada data pendukung lain selain kedua arca tersebut. Sedangkan kedua arca tersebut sifatnya mudah
dibawa dan dipindahkan. Nampaknya hal
yang paling logis adalah keberadaan arca-arca tersebut di Kota Bangun terkait
dengan aspek perdagangan yakni adanya usaha pencarian barang komoditi sampai ke daerah pedalaman
Kalimantan.
Seperti diketahui bahwa pada
masa awal pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara, wilayah Sumatra dan Kalimantan terkenal dengan produksi emasnya. Coedes menduga
perkenalan budaya India sampai ke
Nusantara dilatarbelakangi oleh pencarian emas.
Hal ini terjadi karena pada awal masehi India kehilangan sumber pemasok
emas dari Siberia. Sebelumnya para
kafilah Siberia melalui Baktria memasok emas ke India. Akses ini terputus karena gerakan berbagai
bangsa di Asia Tengah. Akibatnya India
mencari emas ke daerah lain di antaranya daerah timur India (Coedes,1967: 20;
Sumadio,1990:11). Sampai saat ini di
daerah Tabang (daerah hulu Sungai Mahakam) merupakan daerah yang memiliki
potensi emas yang cukup prospek dan temuan arca Buddha terbuat dari emas
menunjukkan bahwa daerah ini telah dikenal sebagai penghasil emas pada masa
lalu. Kemungkinan pada masa lalu telah
ada usaha pencarian sumber emas sampai ke daerah ini.
Faktor lainnya yang memicu
kehadiran budaya India sampai ke pedalaman Kalimantan adalah sumberdaya
alamnya. Roy Ellen menyatakan bahwa
perdagangan rempah-rempah telah mendorong terjadinya proses indianisasi dan
memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. (1977:25; Ardika,2003:15) Tentunya untuk mencapai lokasi ini dari
pesisir memerlukan tempat-tempat persinggahan yang salah satunya di daerah Kota
Bangun. Dipilihnya daerah Kota Bangun
sebagai daerah transit tidak lepas dari posisi geografi dimana gunung Tanjung
Urigin yang terletak di meander sungai sangat mudah didatangi dari sungai
Mahakam.
Masalahnya kapan daerah
Tanjung Urigin menjadi pusat permukiman yang menjadi sentral bagi permukiman
yang lebih kecil di daerah pedalaman Kota Bangun? Dari hasil survei dan ekskavasi di Tanjung
Urigin tampak bahwa di daerah ini padat dengan temuan fragmen keramik dan
tembikar. Fragmen keramik ini berasal dari Cina, Annam, dan Thailand
yang dijadikan komoditas perdagangan paling laris. Dari hasil analisis terhadap temuan fragmen
keramik diketahui bahwa keramik paling tua berasal dari sekitar abad ke 13 M dan fragmen keramik dari dinasti Ming (15-17 M) dan Ching (18
-20 M) merupakan temuan keramik paling padat. Sedangkan Naskah Salsilah Kutai menyingggung adanya kerajaan Paha sekitar
awal abad ke 17 di Kota Bangun. Pada
saat permukiman di Tanjung Urigin mencapai puncaknya tampak bahwa di daerah sekitar Tanjung Urigin juga mengalami perkembangan, tercatat adanya toponim
kampung Bugis di seberang Tanjung Urigin (Kota Bangun
Seberang) dan Rajak.
Selain Tanjung Urigin, beberapa wilayah di
bagian hulu Kota Bangun juga muncul permukiman dalam skala yang lebih kecil seperti
daerah Kedang Dalam, Kedang Ipil, Lebak Cilung, Lebak Mantan dan Keham. Diberitakan bahwa permukiman ini merupakan
permukiman suku Kutai asli yakni Suku Kedang.
Letak kampung-kampung tersebut berada di daerah pedalaman yang untuk
mencapainya harus melalui sungai Mahakam ke arah hilir lalu masuk sungai
Sedulang / Kedang Dalam lalu masuk lagi ke anak sungai Kedang Ipil. Sulit dibayangkan ada permukiman permanen di daerah pedalaman (Kedung Dalam dan lainnya) pada
abad ke-17 tanpa ada dukungan dari permukiman induk/ permukiman yang lebih
besar. Permukiman induk tersebut adalah
permukiman di Gunung Tanjung Urigin.
Pada perkembangannya, daerah
Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya pusat kerajaan Kota Bangun
dengan rajanya bernama Patih Bangun.
Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan
Kutai Kartanegara. Anggapan ini didukung
oleh temuan pending emas di daerah
ini. Selain itu, kehadiran parit tanah
di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai parit pertahanan Awang
long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Adapun benteng tanah yang
ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian
1.5- 2 meter dari parit. Namun tentunya
dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang
menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur. Dan parit yang berada di depan benteng tanah
harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3-4 meter, sebagaimana layaknya parit
parit pertahanan yang pernah ditemukan.
Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun
dibuat dengan pola linier. Biasanya
benteng dan parit pertahanan akan dibuat
mengelilingi permukiman dengan pola melingkar. Sehingga seluruh permukiman akan
terlindungi. Untuk masuk dan keluar
benteng maka dibuat satu bagian dari benteng yang memiliki jembatan. Jembatan ini dapat dipasang dan dilepaskan
sesuai dengan kebutuhan. Untuk
meningkatkan keamanan, parit-parit ini akan dipasangi jebakan yang dapat mencelakakan
siapapun yang terjatuh ke dalam parit. Namun pola linier pada
benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang
dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur.
Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah mulai dari sisi
barat dan timur rawa maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari
serangan musuh. Benteng tanah dengan
parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur
Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan
terus ke arah utara. Pada saat mencapai
sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh
parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.
Salah satu hal yang cukup
menarik adalah hasil ekskavasi menunjukkan bahwa areal di bagian selatan
benteng (sektor KBU 1,2,4) menunjukkan sisa permukiman yang padat sedangkan
bagian utara benteng (sektor KBU 3) tempat ditemukan pending emas ternyata
steril dari temuan arkeologi. Jika
demikian apakah sisi selatan benteng (dekat sungai makaham) merupakan areal
permukiman penduduk biasa sedangkan sisi utara benteng merupakan permukiman
kelompok elit?
III.2 Perkembangan Pemukiman di Kota Bangun
Secara teoritis,
perkembangan kota Kota Bangun pada mulanya termasuk dalam kota yang terbentuk
secara spontan. Kota semacam ini
biasanya tumbuh dalam jangka waktu lama.
Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu kota sangat dipengaruhi oleh
berbagai aspek seperti geografis,
ekonomi, sosial, dan politik. Seperti
yang telah disebutkan bahwa sebagai daerah yang tumbuh secara spontan pemilihan
lokasi permukiman Kota Bangun pertama kali di
Tanjung Uringin besar kemungkinan pemilihan lokasi lebih karena alasan
strategis dan daerahnya lebih tinggi dari sekitarnya. Awalnya mungkin daerah ini tidak lebih
sebagai daerah transit untuk masuk lebih jauh ke pedalaman. Baru pada sekitar abad ke-17 M, berdiri kerajaan Paha di Kota
Bangun. Perpindahan ibukota kerajaan
dari Kutai Lama ke Tangga Arung (Tenggarong) pada sekitar tahun 1782 M atau
dari daerah pesisir ke pedalaman Kalimantan memberi dampak bagi berkembangnya
“daerah jelajah” pada pusat-pusat produksi/ sumberdaya alam ke arah pedalaman
Kalimantan. Hal itu juga yang
menyebabkan daerah Kota Bangun berkembang menjadi subbandar. Sebagai subbandar, posisi Kota Bangun sebagai
daerah transit bagi kegiatan ekonomi, tempat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan
tambang dari daerah pedalaman
Jika keberadaan permukiman
di situs Tanjung Urigin dan situs-situs di sekitarnya dibuat dalam penjenjangan
situs dilihat dari besaran dan posisinya dalam skala makro maka gambarannya
adalah sebagai berikut : Posisi Kutai lama sebagai pusat kerajaan Kutai
Kartanegara yang sekaligus sebagai entreport (bandar) tempat pertemuan para pedagang
dari kawasan Nusantara berada pada level tertinggi (1) dari penjenjangan
permukiman yang posisinya ditunjang oleh subbandar di daerah pedalaman termasuk
bandar yang berada di Tanjung Urigin, Kota Bangun, sehingga tidak heran jika
pada masa itu telah ada sebuah kerajaan vasal yang berdiri di Kota Bangun. Subbandar ini berada pada level kedua (2) dari
penjenjangan permukiman yang berfungsi untuk mengumpulkan komoditas yang
dihasilkan langsung dari lokasi tempat sumberdaya itu berada seperti di Kedang
Ipil, Sedulang dan Rajak. Pemukiman di Kedang
Ipil, Sedulang dan Rajak adalah permukiman pada jenjang terbawah (3) dimana
lokasinya dekat dengan sumberdaya alam yang sedang dieksploitasi.
VI. PENUTUP
Hasil penelitian arkeologi di situs Tanjung Urigin, yang
dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional sejauh ini
baru pada tahap awal yang tentunya masih perlu dikembangkan lagi. Namun demikian ada beberapa hal yang dapat
disampaikan sebagai sebuah kesimpulan sementara antara lain; sebagai sebuah
permukiman, situs in telah didatangi sejak masa Hindu-Buddha. Setidaknya ketika kerajaan bersifat
Hindu-Buddha di Muara Kaman berdiri, situs ini mungkin telah menjadi bagian dari kerajaan ini. Hal ini ditunjukkan dari temuan arca Buddha
yang bergaya Gandhara, India.
Temuan arca Nandi di Gunung Tanjung Urigin sejauh ini
tidak menunjukkan adanya satu periode tertentu pada masa Hindu-Buddha. Namun
mungkin kehadiran arca ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas
perdagangan antara Kerajaan Kutai dan Majapahit. Bisa jadi pada periode ini Kota Bangun telah
merupakan satu enclave permukiman
terkait posisinya sebagai subbandar yang menampung hasil alam dari pedalaman
Kalimantan sebelum dibawa ke Kutai Lama.
Permukiman ini kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil yang
dalam naskah Silsilah Kutai disebutkan adanya sebuah kerajaan Paha yang bersifat
Hinduistik sekitar abad ke-17 di Kota Bangun.
Permukiman kuna yang terdapat di Tanjung Urigin
kemudian menjadi pusat bagi berkembangnya permukiman yang lebih kecil seperti
yang ditemukan di Kota Bangun Seberang (kampung Bugis) dan Rajak dan daerah
pedalaman seperti Kedang Ipil.
DAFTAR PUSTAKA
Adham, D. 2002 Salasilah Kutai. Tenggarong: Bagian
Kehumasan dan Keprotokolan Pemerintah
Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
A.H.Said, Chaksana, 2006 “Permukiman dalam Perspektif Arkeologi” dalam Permukiman di Indonesia Perspektif
arkeologi, Hal 1-20, Tim Penyusun (ed.) Jakarta : Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata
Ardika, I Wayan. 2003 ”Hubungan
Indonesia dan India pada Awal Masa Sejarah” dalam Fajar Masa Sejarah
Nusantara, hlm. 15-21 Jakarta:
Museum Nasional.
Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara. 2003 Profil
Kabupaten Kutai Kartanegara. Tenggarong: Bappeda Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Berner Kempers, A.J. 1959.
Ancient Indonesia Art, Amsterdam : Oxford
University Press.
Djabar D., Abd. 1999. Alih Aksara
Kajian Naskah UU Kerajaan Kutai. Samarinda:
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Kalimantan Timur.
Hardiati, Endang Sri 2003 Fajar Masa Sejarah Nusantara dalam Fajar Masa Sejarah Nusantara Hal.
1-14,Jakarta : Museum
Nasional
Kusumohartono, Bugie, 1995. ”Model Pertukaran Pada
Masyarakat Nusantara Kuna : Kajian (Pengujian )Arkeologis” dalam Berkala
Arkeologi Tahun XV edisi khusus Manusia Dalam Ruang : Studi Kawasan Dalam
Arkeologi. hal. 105-110. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Machi, Suhadi et.al. 1997 Penelitian
Arkeologi di Situs Muara Kaman,
Kalimantan Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak
terbit).
Mundardjito. 1995 “Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis
dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini” dalam Berkala Arkeologi (Edisi Khusus), hal.
24-28. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Soetoen, Anwar et.al. 1979 Kutai Perbendaharaan Kebudayaan Kalimantan Timur, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukendar,Haris dkk 2006 Pesona Budaya Dan Alam Kutai Kartanegara,
Tenggarong: Dinas Pariwisata dan
Budaya Kutai Kartanegara.
Sumadio,Bambang (ed) 1990 Zaman
Kuna dalam Marwati Djoened Poesponegoro dkk,
Sejarah Nasional Indonesia 2 Jakarta:
Balai Pustaka
Tim Peneliti, 2004. Laporan
Penelitian Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai di Kawasan Muara Kaman (Tahap
I), Tenggarong: Universitas Negeri Malang.
--------------, 2005. Laporan Penelitian
Arkeologi Sejarah Kerajaan Kutai di Kawasan Muara
Kaman (Tahap II), Tenggarong:
Universitas Negeri Malang.
Tim Penyusun, 2007. Laporan
Penelitian Ekskavasi di Situs Kota Bangun Sebagai Aset Wisata Sejarah dan Budaya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi
Kalimatan Timur. Jakarta: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional.
Tim Penyunting. 1999.
Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Zaidan, Abdul Rozak. 1997. “Salasilah Kutai dari Kalimantan Timur” dalam
Adab dan Adat Refleksi Sastra
Nusantara. hal 581-631,
Jakarta: Pusat Bahasa.
[2]
Di wilayah
Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri, penelitian arkeologi baru dilakukan oleh
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1977, 1994, 1997, 1998 dan 2005,
kemudian Peneliti dari Universitas Negeri Malang tahun 2004, 2005 dan 2006 di
Situs Muara Kaman. Penelitian terhadap
perkembangan Islam di Kabupaten Kutai Kartanegara dan penelitian tentang
tinggalan kolonial pernah pula dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin pada
tahun 1995 dan 2006.
2 komentar:
Mas, saya izin menggunakan untuk penugasan kuliah. Terimakasih!
silakan pak
Posting Komentar