28 Desember 2021

Baron Sekendher

 


Buku Baron Sakendher karya Nobuyashi Okai yang diterbitkan oleh Buku Obor saya peroleh ketika berkunjung pada sebuah pameran buku di Jakarta bulan Desember ini.   Buku ini terus terang mengingatkansaya pada sebuah situs di Kabupaen Pekalongan yakni Situs Rogoselo yang seringkali disebut sebagai Situs Baron Sekender.  Situs ini  secara administrasi berada di Desa Rogoselo, Kecamatan Doro dan secara astronomi berada pada koordinat 07° 04’ 08.8” Lintang Selatan dan  109° 40’ 12.0” Bujur Timur. Wujud ini berupa sebuah bukit kecil di tepi Sungai Rogoselo, yang dibuat berundak-undak. Masing masing undak diperkuat dengan susunan batuan andesit yang berukuran 10-20 cm.  Pada bagian paling bawah ditemukan sepasang arca penjaga (Dwarapala) yang seringkan di sandingkan dengan nama Baron Sekeber dan Istrinya. Dalam cerita tutur masyarakat di Pekalongan,  Baron Sekendher/Sceber  ini adalah  seorang prajurit dari Spanyol yang mengabdi pada pemerintah Hindia-Belanda, yang dikutuk oleh Ki Ageng Penatas Angin akibat kalah dalam adu kesaktian menyelam di dasar sungai Nggoromanik. 

Yang menjadi pertanyaan saya pada waktu itu adalah siapakah Baron Sekeber itu? Dan sejak kapan Situs Rogoselo dikaitkan dengan seorang tokoh tersebut ?.  Tampaknya pertanyaan itu kini sedikit mendapat jawabannya dari kehadiran buku tersebut.  Di dalam buku diceritakan seorang nahkoda yang bernama Baron Kawitparu memohon pertolongan untuk mendapatkan anak kepada seorang Brahmana Bengawan Mintuna yang tinggal di Gunung Rahsamala.  Sang Brahmana menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat dia nanti akan meminta salah satu anak dari sang Nahkoda tersebut.  Singkat cerita setelah mendapatkan 11 anak laki laki dari 11 istrinya, maka sang Brahmana meminta salah satu anak nahkoda yang bernama Baron Sakendher. kemudian Baron Sakendher  bersama anak pengasuhnya yang bernama Sakeber tinggal di Gunung Rahsamala. Baron Sakendher kemudian menikah dengan putri negara Spanyol dan menjadi raja Spanyol.

          Buku ini dapat dikatagorikan sebagai cerita fiksi yang tampaknya cukup popular pada masa itu.  Dibuat pada hari selasa kliwon bulan Ramadan dhukut jimawal tahun , sinangkalan (tahun Jawa)1773 ini juga menyinggung nama nama besar  seperti Pangeran Jakarta, Sultan Cerbon dan Murjangkung.  Tokoh yang terakhir adalah pengucapan untuk tokoh Jan Pieterszoon  Coen yaitu seorang Gubenur Jendral wilayah kongsi Vereenigde Oostindiche Compagnie (VOC) yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada tahun 1619-1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada tahun 1627-1629 M.

       Tampaknya buku cetakan Jawa yang terbit pada abad 19-20 ini cukup mempopulerkan nama Baron Sakendher di wilayah pantura sehingga nama ini kemudian dikaitkan dengan sebuah situs di wilayah Doro.  Tentu saja  cerita Baron Sakendher kemudian berkembang dikaitkan dengan seorang yang bernama Ki Ageng Panatas Angin yang diceritakan kedua beradu yang pada akhirnya Baron Sakendher dikutuk menjadi sebuah arca batu di Situs Rogoselo.  Bukanlah suatu hal yang aneh jika keberadaan suatu situs seringkali dikaitkan dengan cerita tutur yang popular pada zamannya.  Masih ingatkan bagaimana Candi Prambanan dikaitkan dengan cerita Putri LoroJonggrang yang dikutuk jadi batu juga.

29 Mei 2021

Inskripsi Rogoselo : Jejak Awal Pengaruh Islam di Pekalongan

                                                                    Oleh

                                        Agustijanto Indradjaja (Puslitarkenas)

                                        Veronique Degroot (EFEO)

Kembali ke Situs Rogoselo ( untuk yang pingin tahu situs Rogoselo, lihat lagi artikel tentang "Uniknya Dwarapala dari Rogoselo Pekalongan  (2017)") 

Fragmen Inskripsi Rogoselo di Museum Nasional

Di dalam laporan N.J.Krom tentang situs Rogoselo disebutkan bahwa di samping tinggalan masa Hindu-Buddha  juga ditemukan tiga kubur.  Pada kubur yang paling atas adalah kubur “Kjai Matas Angin” (4.9 x 3 m).  Kubur ini ditandai oleh dua batu tegak yang rata sebagai nisannya.  Sekitar 500 meter dari kubur pertama terdapat kubur “Panggerang Dipan” atau “Gara Manik”, yang kuburnya ditata dengan batu kali.  Sekitar 50 meter dari kubur kedua dikenali oleh masyarakat sebagai “Pangerang Sling Singan.  Satu inskripsi modern terbuat dari batu berhuruf Jawa pertengahan juga ditemukan di tempat ini.  Inskripsi tersebut kini berada di Museum Nasional di Jakarta (nomer inventaris D.24). Inskripsi ini dipertanggalkan sekitar 1571 saka (1659 M).  Upaya melacak keberadaan inskripsi ini  seutuhnya di Museum Nasional sudah pernah diupayakan, Namun belum berhasil.

Pada saat ditemukan, inskripsi batu itu telah patah menjadi dua atau tiga bagian. Brumund yang mengunjungi situs Rogoselo pada tahun 1863, melaporkan tentang keberadaan inskripsi batu tersebut yang berada di puncak Gunung Garamanik.  Brumund mendeskripsikan inskripsi batu tersebut sebagai potongan batu yang tidak beraturan berukuran sekitar 132.5 x 74.5 x 2.6 cm. Inskripsi tersebut dituliskan dalam empat baris. Menurut Brumund, aksaranya sangat kuna, bahkan orang Jawa yang terpelajar saat itu tidak mampu membacanya”.  Satu absklat dari batu tersebut kemudian disimpan di Pekalongan dan akhirnya dikirim ke museum in Batavia tahun 1861 (abklatsch O.d. no 186). Satu bagian dari inskripsi batu itu di kirim ke Pekalongan sekitar tahun 1863.

Tidak lama setelah kedatangan Brumund  (dan bukan tahun 1861, seperti disebutkan dalam NBG). Bagian  inskripsi yang hilang, ditemukan dekat masjid di Rogoselo tahun 1866 dan kemudian dikirim juga ke Pekalongan. Seluruh fragmen inskripsi ini pada akhirnya dikirim ke Museum di Batavia (NBG 1869: cvi; inv. no D.24). Inskripsi ini bertangka tahun 1571 śaka. Menurut Brandes, huruf yang tertulis pada inskripsi dapat dikelompokan menjadi huruf transisi dari Jawa kuna ke –Jawa modern (1904: 458-459). Menurut Brandes, inskripsi itu berbunyi “sri suka jumĕnĕng dala(ñ)ca(ng) pa(ṇ)diladewa driyajĕg manusa dewa dewa paku i(ng) jagat sri krĕta sangaji suka guwa dewata ; swasti sakha warsatitha, i (?) saka, nabhi pa(ṇ)ḍita bhûta saci(?), d.i. 1571 = 1649 A. D. ? 


 

19 Mei 2021

Dua Arca Tokoh Terakota Dari Kabupaten Tegal

 

Temuan arca tokoh dari Tegal tergolong langka dan unik karena arca ini terbuat dari terakota penuh, (tidak ada rongga pada bagian dalam arca terakota).  Arca ditemukan sebanyak 2 buah hanya saja kondisinya sudah hancur sebagian, pada arca pertama yang tersisa hanya bagian atas sampai pinggang sedangkan arca tokoh kedua bagian kepala sudah hilang.   Kedua arca ini ditemukan di Situs Candi Batu Gong , Bolak Menjangan, Pager Barang, Tegal.  Di situs ini masih terlihat gundukan tanah dengan sebaran fragmen bata yang lokasinya berada sekitar 100 meter sebelah selatan dari Sungai Pager Wangi.  Di atas gundukan itu berdiri yoni yang disebut dengan “batu gong” berukurannya 64 x 64 x 75 cm.

Arca tokoh pertama digambarkan dalam posisi duduk hanya saja bagian pinggang ke bawah sudah rusak.  Tangan kanan hanya menyisakan bagian lengan sedangkan tangan kiri bagian telapak tangannya sudah  rusak.  Tokoh digambarkan memakai mahkota dan jamang pita lebar.  Memakai anting anting tali yang pada ujungnya dihiasi dua bandul.  Kalung pita lebar tetapi pada bagian depan ada hiasan yang menjuntai ke bawah, upawita ganda berupa pita lebar berakhir di depan ikat perut yang juga berupa pita lebar. Kelat bahu ada dua, satu di bagian paling atas lengan berupa pita lebar dan satu kelat bahu lainnya di lengan dengan hiasan simbar di bagian samping.  Di atas pundak kiri dihiasi oleh teratai kuncup. Sandaran arca persegi empat dengan bagian atas membulat. Tinggi tersisa sekitar 47 cm .

   Arca Tokoh 1 Terakota

 Arca tokoh kedua dalam posisi duduk bersila dengan kaki kanan di bagian depan. Bertangan dua diletakan di atas paha namun kedua telapak tangan sudah rusak.memakai upawita tali polos demikian juga dengan ikat perut berupa tali polos.Memakai kain tebal yang diikat di depan perut dan simbar tebal dibiarkan menutup sampai ke kaki. Kelat bahu berupa tali polos di lengan bagian atas. Tampaknya memakai sandaran arca hanya saja sudah rusak. Tinggi tersisa sekitar 33 cm.

Arca Tokoh 2 Terakota

Secara ikonografi, jelas kedua arca tokoh ini memiliki atribut dari masa Hindu Buddha, namun tidak ada atribut yang dapat menghubungkan dengan dewa tertentu di dalam Hindu-Budda, oleh karenanya lebih cocok jika disebut sebagai arca tokoh saja.  Secara gaya seni, mungkin lebih dekat ke gaya seni Jawa Tengah dibandingkan dengan Majapahit.  Namun tidak benar benar mencerminkan gaya seni Jawa Tengah seperti yang dikenal pada arca-arca seni Jawa Tengah pada umumnya. Seperti cara menggambarkan kain dari pinggang sampai menutup kaki yang terkesan tebal dan berat pada arca tokoh 2, tidak umum pada seni arca Jawa Tengah.

Seni arca terakota mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit, dimana pada periode ini dihasilkan berbagai karya seni terakota yang luar biasa.  Mulai dari peralatan rumah tangga, berbagai bentuk figurin sampai ornament bangunan yang terbuat dari tanah liat ditemukan.  Namun seni arca yang paling dominan pada masa Majapahit berbentuk  figurin berukuran tinggi sekitar 8-12 cm, sejauh ini  arca terakota berukuran tinggi di atas 20 cm tergolong jarang.  Kalaupun ada, cara pembuatannya tidak masif tetapi kosong pada bagian dalamnya. 

Sebagai perbandingan, seni arca terakota yang berukuran besar ditemukan di Situs Bumiayu, Palembang yang dipertanggalkan sekitar abad ke-9-13 M. Di situs ini ditemukan satu makara dengan seorang pertapa di dalam mulut makara yang juga berukuran besar. Selain itu ditemukan juga kala, ornament bangunan yang semuanya terbuat dari terakota berukuran besar.   

Makara Candi Bumiayu yang kondisinya semakin hancur.

Dengan demikian, temuan arca terakota dari Tegal dan arca Terakota dari Situs Bumiayu, Palembang menegaskan kembali bahwa seni arca terakota berukuran besar sudah dapat diproduksi jauh sebelum sebelum masa Majapahit. Hanya saja mulai popular pada masa Majapahit karena penggunaan seni arca sudah tidak diabdikan untuk kepentingan agama saja.

15 Maret 2021

Intaglio : Batu Permata Semi Mulia (Semi precious Gemstone) yang Kecil Nan Eksotis

 

Intaglio bergambar kerbau sebagai mata cincin emas dari Grobogan

Kebutuhan untuk tampil menarik dengan barang-barang berkwalitas ekspor yang tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkannya atau membelinya tampaknya sudah menjadi watak manusia sejak dahulu sampai sekarang.  Kegemaran terhadap barang eksport yang memuaskan hasrat untuk tampil berbeda juga yang mendorong adanya perdagangan barang barang luxury. Hal itu sudah terjadi sejak terbukanya perdagangan melalui jalur laut yang membuat masyarakat di bagian barat Nusantara terlibat di dalam jaringan perdagangan internasional sejak awal sejarah.  Salah satu komoditas yang berharga dan cukup diminati oleh masyarakat Nusantara  kala itu, selain keramik China yang berkualitas dan kain sutra adalah Intaglio.  Intaglio adalah batuan permata semi mulia (semi presciuos stone) yang digores/ dihiasi dengan gambar tertentu dan kemudian digunakan sebagai mata kalung atau mata cincin. 

15 Februari 2021

Sekali Lagi Soal Situs Sumur Pitu, Kendal

 

Situs Sumur Pitu


Pada bagian terdahulu sudah disinggung bahwa Situs Sumur Pitu adalah situs yang bersifat Buddhistik, dan diduga sebagai “asrama” tempat para bhiksu mengasingkan diri masuk dan bersemedi di dalam hutan.  Hal ini didasarkan pada lokasi situs yang terletak di antara dua puncak bukit pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Kondisi di sekitar situs ditumbuhi semak belukar dimana areal tersebut merupakan jalur sungai musiman yang hanya berair ketika musim penghujan.  Di areal perbukitan dan ditemukan sumur sumur penampungan air serta votive ,stupika dan materai tablet dari sekitar abad ke—10 M.  Gerakan masuk ke dalam hutan serta bersemedi ini dikenal sebagai sramana pada zaman Gautama.  

Jadi,  sekitar abad ke-6 SM, perkembangan agama Weda  di India menimbulkan kebencian semua golongan terhadap golongan Brahmana karena peraturan kasta dan keistimewaan yang dimiliki oleh kaum Brahmana.  Golongan Ksatria adalah golongan yang paling kuat dalam menentang dominasi kaum Brahmana.  Pada akhirnya menimbulkan gerakan penentangan terhadap ajaran agama Weda yang dipimpin oleh Mahavira dan Siddartha Gautama.  Gerakan penentangan yang dilakukan oleh Mahavira kemudian melahirkan agama Jaina yang membebaskan pengikutnya dari kekuasaan Weda, berzuhud dan melatih diri dengan tidak perduli kepada kenikmatan dan kepedihan (Shalaby, 2001:88-94). Gerakan penentangan yang dikenal sebagai gerakan śramana ini pada intinya  menolak Weda dan dominasi para Brahmana dengan cara meninggalkan kehidupan bermasyarakat dan memilih jalan hidup religius ( Ray, 1994: 65).

     Gerakan penentangan lainnya dilakukan oleh Siddartha Gautama  sehingga dia dikenal sebagai Mahāśramana.  Murid-muridnya dikenal juga sebagai śramana dan banyak ciri dari Buddha awal merefleksikan hal umum yang ditemukan dalam gerakan śramana.  Gerakan śramana di dalam agama Buddha kemudian berkembang menjadi dua aliran yang berbeda. 

27 Januari 2021

Celepot : Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat (2)

Situs Cikuntul, Dongkal, Karawang

Situs Cikuntul dinamakan begitu karena situs ini berada di wilayah Desa Cikuntul, Kecamatan Dongkal, Karawang.  Situs ini diketahui sebagai salah satu tempat temuan konsentrasi kubur dari masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat.  Pada tahun 1960-an situs ini menjadi salah satu spot untuk para penggali kuburan Buni mengadu keberuntungannya di sana.  Pada tahun 2008 ketika Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini dengan membuka beberapa kotak ekskavasi.  Setidaknya ada 5 individu yang berhasil diditemukan di situs ini.

24 Januari 2021

Tungku Sepatu : Model Kompor Pada Masa Sriwijaya

Tungku Sepatu dari Sungai Musi

Melihat tungku sepatu dalam kondisi sangat bagus, temuan dari Sungai Musi (?) mendorong penulis untuk melihat kembali penelitian kami di Pantai Timur Sumatra. Ketika itu, salah satu temuan menarik di Situs Air Sugihan, sektor Margomulyo-1 adalah temuan tungku sepatu. Penelitian arkeologi Pantai timur Sumatra menunjukkan bahwa sektor Margomulyo1 hanyalah salah satu dari puluhan sector lainnya di Situs Air Sugihan yang telah ditemukan sebagai bagian dari wilayah kerajaan Sriwijaya pada masa itu. Sebagai sebuah situs permukiman kuna masa Sriwijaya, temuan keramik paling tua di situs ini berasal dari periode dinasti Tang (abad ke-7-9 ), Song, Yuan, sampai Ming (abad ke-14-15) selain itu juga ditemukan keramik yang berasal dari Asia Tenggara dan Timur Tengah. 

Tungku Sepatu dari Situs Air Sugihan, Sektor Margomulyo1


Untuk tungku sepatu yang terbuat dari tanah liat, hasil rekonstuksi memperlihatkan bentuk seperti sepatu, panjang keseluruhan dasar tungku sekitar 42 cm, sebagian dasarnya memiliki dinding setinggi 14 cm dengan tiga tonjolan yang merupakan tempat menaruh wadah untuk memasak ketika tungku digunakan. dan sisanya rata dengan tepiannya yang sedikit dibuat agak tinggi. 

15 Januari 2021

Gigi Badak Jawa: Jejak Masyarakat Pendukung Tembikar Buni di Pantai Utara Jawa Barat

 

Kampung Buni di Situs Buni

Kampung Buni Pasar Mas, Desa Buni Bakti Kecamatan Babelan, Bekasi pada tahun 1960-an, mendadak menjadi perhatian ketika seorang warganya  secara tidak sengaja menemukan emas ketika beraktivitas di sawah.  Kampung Buni kemudian menjadi titik awal dari serangkaian penelitian arkeologi terkait dengan nenek moyang kita yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai wilayah Cilamaya, Karawang pada masa awal sejarah (paleometalik).  Mereka kemudian dikenal sebagai masyarakat pendukung budaya Tembikar Buni.  

Gigi Badak Jawa 
Salah satu temuan menarik dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di tahun 1960-an adalah temuan satu geraham badak Jawa di Situs Buni X.  Temuan ini juga menunjukkan bahwa habitat badak Jawa pada masa itu ada di sepanjang pantai utara Jawa Barat.  Menurut Wikipedia, habitat badak Jawa memang tersebar cukup luas sampai ke daratan Asia Tenggara.  Tahun 1833 satwa ini masih di temukan di Wonosobo, Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gunung Gede dan Pangrango (1880), Gunung Papandayan (1881), Gunung Ceremai (1897), dan pada 1912 masih ditemukan di sekitar Karawang.  Badak Jawa terakhir di luar Ujung Kulon yang dibunuh tahun 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Cipatujah, Tasikmalaya; spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor (Sadjudin, 2015).   Wilayah yang dulunya dihuni badak diabadikan menjadi nama tempat seperti Ranca Badak di Bandung, Rawa Badak di Jakarta Utara, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango, dan Cibadak di Sukabumi.  Saat ini Badak Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, Indonesia dan Cat Tien, Vietnam serta menjadi mamalia paling terancam punah di dunia.

10 Januari 2021

Situs Sumur Pitu : Jejak Buddhisme di Pantai Utara Jawa Tengah.

Beberapa temuan terbaru bersifat buddhistik di wilayah Lasem, Rembang seperti relief stupa di kawasan Watu Layar, Desa Bonang, dan temuan kepala Buddha di Sriombo  memberikan informasi bahwa pengaruh Buddha pun eksis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah (Pantura). Hal ini tentu saja mematahkan pendapat lama yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh Buddha di bagian utara Jawa Tengah dan agama Buddha cenderung berkembang di bagian pedalaman Jawa Tengah (Magelang-Yogyakarta). Di Kabupaten Kendal, pengaruh Buddha diwakili oleh kehadiran Situs Sumur Pitu, dan terakhir temuan Situs Boto Tumpang yang secara arsitektural cenderung bersifat Buddhistik.

Situs Sumur Pitu