Situs Sumur Pitu |
Pada bagian terdahulu
sudah disinggung bahwa Situs Sumur Pitu adalah situs yang bersifat Buddhistik,
dan diduga sebagai “asrama” tempat para bhiksu mengasingkan diri masuk dan
bersemedi di dalam hutan. Hal ini
didasarkan pada lokasi situs yang terletak di antara dua puncak bukit pada
ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kondisi di sekitar situs ditumbuhi semak
belukar dimana areal tersebut merupakan jalur sungai musiman yang hanya berair
ketika musim penghujan. Di areal perbukitan dan ditemukan
sumur sumur penampungan air serta votive ,stupika dan materai tablet dari
sekitar abad ke—10 M. Gerakan masuk ke
dalam hutan serta bersemedi ini dikenal sebagai sramana pada zaman
Gautama.
Jadi, sekitar abad ke-6 SM, perkembangan agama Weda di India menimbulkan kebencian semua golongan
terhadap golongan Brahmana karena peraturan kasta dan keistimewaan yang
dimiliki oleh kaum Brahmana. Golongan
Ksatria adalah golongan yang paling kuat dalam menentang dominasi kaum Brahmana. Pada akhirnya menimbulkan gerakan penentangan
terhadap ajaran agama Weda yang dipimpin oleh Mahavira dan Siddartha Gautama. Gerakan penentangan yang dilakukan oleh Mahavira
kemudian melahirkan agama Jaina yang membebaskan pengikutnya dari kekuasaan Weda,
berzuhud dan melatih diri dengan tidak perduli kepada kenikmatan dan kepedihan
(Shalaby, 2001:88-94). Gerakan penentangan yang dikenal sebagai gerakan śramana ini pada intinya menolak Weda dan dominasi para Brahmana dengan
cara meninggalkan kehidupan bermasyarakat dan memilih jalan hidup religius (
Ray, 1994: 65).
Gerakan penentangan lainnya dilakukan oleh
Siddartha Gautama sehingga dia dikenal
sebagai Mahāśramana. Murid-muridnya dikenal juga sebagai śramana dan banyak ciri dari Buddha awal
merefleksikan hal umum yang ditemukan dalam gerakan śramana. Gerakan śramana di dalam agama Buddha kemudian berkembang
menjadi dua aliran yang berbeda.
Teks Nikayā menyebutkan bahwa
aliran pertama merupakan satu kelompok śramana
yang dipimpin oleh seorang guru, bergerak dalam kelompok yang besar, hidup
secara komunal yang memiliki aturan hidup sendiri, tinggal di dekat kota atau desa
dan menghabiskan waktunya dengan berdiskusi dan berdebat tentang doktrin. Aliran kedua adalah śramana yang hidup menyendiri dengan mengasingkan diri dan
melakukan meditasi dan berjuang untuk mendapatkan kelepasan. Aliran ini dikenal
di India sebagai pertapa yang meninggalkan keduniawian dan berusaha mendapatkan
kelepasan dengan cara meditasi dan tapa (austerity)
dan mereka hidup di dalam hutan. Beberapa generasi setelah kematian Buddha,
aliran pertama memainkan peran kunci di dalam kehidupan perkotaan dan pedesaan
di India. Aliran ini awalnya tinggal di
pinggir kota atau desa, mendapatkan pengikut dari sana dan kehidupannya
tergantung dari sedekah yang diberikan penduduk kemudian menetap dan berkembang
menjadi kerahiban dan tempat mempelajari agama Buddha (Ray, 1994: 66).
Tradisi śramana yang hidup menyendiri dengan mengasingkan diri dan
melakukan meditasi di dalam hutan dan gua ini kemudian juga menyebar ke kawasan
Asia Tenggara seperti Burma, Thailand, dan Indonesia. Inskripsi yang berasal dari periode Pagan,
Burma menyebutkan adanya golongan Sangha mengacu
pada kata as taw klon ( biara di
dalam hutan) yang berkembang dan mendapat sumbangan dari istana pada akhir
Pagan (abad ke-13 M). Mereka tinggal di
dalam hutan dan gua-gua,di tempat yang terpencil sebagai tempat pertapa dan
mencetak votive tablet sebagai usaha
memperoleh merit (pahala) (Guy, 2002: 23).
Di distrik Anherst, Burma,
ketika survei arkeologi dilakukan di gua-gua
alam, dari 40 gua yang didatangi 21 gua di antaranya ditemukan deposit votive tablet. Salah satu di antara gua-gua yang digunakan
sebagai tempat tinggal para pertapa ini adalah Gua Kaw-gun. Bagian dalam gua dihiasi oleh votive tablet dalam jumlah yang sangat
banyak (Guy, 2002: 23).
Relief Para pertapa yang bersemadi di dalam hutan Sumber : Krom.1927 |
Tradisi hidup di dalam hutan dan melakukan semadi serta segala hal yang berkaitan dengan keagamaan juga tercermin di dalam salah satu relief Karmawibangga no.105 di Candi Borobudur. Di dalam relief tampak empat orang dalam posisi duduk vajrasana dengan kedua tangan sikap dhyanamudrā, sikap orang bersemadi. Tampak di sekitarnya penuh pepohonan yang menggambarkan suasana hutan.
Relief Stupa dari Rembang (Sumber : Mohammad Al Mahdi) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar