14 Maret 2015

PERMUKIMAN KUNA DI PANTAI UTARA JAWA BARAT : TINJAUAN TERHADAP HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS BATUJAYA DAN SEKITARNYA

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional

(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
            Batujaya site which for nearly two decades of fairly intensive study by The National Research and Development Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite interesting.  Not only from a chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex. Archaeological research in the last two years shows that the existence of batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the Batujaya site in the past

Kata Kunci : Pemukiman kuna, Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat

I
PENDAHULUAN
            Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan sejarah budaya di Indonesia.  Situs ini bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua puluh bangunan yang terdapat di atasnya.  Dalam perkembangannya di tahun 2005,   berhasil ditemukan adanya sisa bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi Batujaya[1]  Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman pendukung komplek candi ini berada?  Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2]  memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki.  Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di sepanjang pantai barat India didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981:  Peter:2006: 121)

Kerangka Pikir dan Metode
            Dalam konteks permukiman yang terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut.  Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860 Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor  dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas.  Di situ akan didirikan prasāda dengan arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika.  Lain dari pada itu dua orang anak pāduka Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima tersebut (Boechari,1980 :326).  
            Permukiman di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan ”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
            Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi kompleks candi ini.  Keberadaan permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya permukiman di sana.  Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan macam-macam institusi yang berlaku.  Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman.  Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman.
          Unsur lingkungan sangat erat hubungannya dengan pola permukiman.  Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun non fisik (biotik).  Lingkungan fisik berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang hidup di muka bumi.
Dalam skala keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya  juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat terbatas.  Kebudayaan materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5: 2006).



II
 PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data melalui survei dan ekskavasi di situs hunian masa lalu di situs Batujaya.  Survei dilakukan di lokasi yang menurut informasi penduduk banyak terdapat temuan arkeologi selain itu, lokasi yang di survei ini selanjutnya dicocokan dengan jalur sungai lama yang pernah melewati komplek percandian pada masa lalu.  Seperti diketahui dari hasil photo udara dan kegiatan survei geologi di wilayah situs Batujaya diketahui bahwa pada masa lalu komplek percandian Batujaya dilalui oleh sungai yang mengarah utara-selatan.  Bagian selatan sungai berakhir di sebuah rawa belakang yang berbatasan dengan bantaran sungai Citarum yang juga berada di  sebelah selatan situs Batujaya dan aliran sungai ke arah utara terus berlanjut sampai ke muara sungai di pantai utara Jawa Barat.  Sungai lama ini dahulu dikenal sebagai sungai Kali asin yang akibat perubahan bentuk lahan di kawasan ini membuat rawa belakang dan aliran sungai yang melewati komplek candi berubah fungsi dan bentuknya.  Kini sungai kali asin hanyalah sebuah sungai kecil masih digunakan untuk penyuplai air ke areal persawahan di sekitar situs Batujaya. 
Ekskavasi dilakukan di beberapa lokasi yang dipilih berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan terlebih dahulu.  Ekskavasi dimaksudkan untuk mendapatkan data baru yang mendukung keberadaan permukiman kuna yang pernah ada di daerah ini.
Berikut hasil temuan dalam survei yang dilakukan :
a.  Kampung Kaliasin (S1)
            Berada pada koordinat  LS 06°02’17,8” dan BT 107°09’28,2”.  Jalur kali asin lama di daerah Kampung Kaliasin, Desa Segarjaya, Kecamatan Batujaya yang sebenarnya tersisa hanya memiliki lebar 2 - 3 meter, namun akibat penggalian pasir di tahun 1990an maka areal ini telah menjadi sebuah kolam penampungan air yang cukup besar.  Masyarakat menggunakan tempat ini sebagai sarana untuk mandi dan mencuci.  Pada saat pengalian pasir, di  tempat ini pernah ditemukan lempengan tembaga, cincin emas, sejumlah besar fragmen keramik namun semuanya telah hilang.  Satu-satunya temuan yang tersisa hanyalah mangkuk tembaga.   Mangkuk  berdiameter 10.5 cm ini memiliki tinggi 4.5 cm dan memiliki dasar model knob.  Dasar mangkuk seperti ini ditemukan pula mangkuk tembikar kasar India di situ Batujaya.  Mangkuk ditemukan dalam kondisi cukup baik dan ada sedikit sisa patinasi berwarna hijau yang telah dibersihkan.
b. Kampung Kaliasin- Cikande (S2)
            Berada pada koordinat LS 06°01’57,9” dan BT 107°09’32,8”.  Jalur kali asin lama  di kampung Cikande, Desa Segarjaya, Kecamatan Segarjaya juga telah mengalami penyusutan baik lebar maupun kedalamannya.  Di lokasi yang digunakan sebagai tempat penambangan pasir  ini juga ditemukan sejumlah fragmen tembikar dan keramik.  Salah satu temuan yang cukup penting adalah cermin tembaga.  Cermin ini ditemukan dalam kondisi cukup baik.   Pada bagian tengah cermin terdapat motif knop.  Sedangkan pada bagian pegangan pada salah satu sisinya terdapat hiasan motif manusia kangkang.  Pada kegiatan survey tahun 2009 di daerah ini telah ditemukan kembali satu fragmen logam yang diperkirakan merupakan sebuah timbangan logam (alat menimbang emas? )
Di daerah ini juga dilakukan ekskavasi dengan membuka 3 kotak gali yakni TP1,TP2 dan TP3. Pada penggalian di TP1, lapisan budaya mulai tampak pada kedalaman 80 cm dengan lapisan tanah berupa lempung pasiran berwarna coklat abu-abu.  Pada lapisan ini  ditemukan fragmen tembikar berwarna merah dan hitam cukup banyak dan sisa tulang binatang yang terbakar. Temuan penting berupa fragmen tembikar jenis red ware India yang memiliki hiasan warna hitam (slip) di sepanjang tepiannya.  Temuan penting lainnya adalah satu anting-anting emas.  Pada lapisan ini juga ditemukan sisa kerang.  Semakin ke bawah temuan berupa konsentrasi sisa kerang di seluruh lapisan kotak ekskavasi.  Sisa kerang ini bercampur dengan fragmen tembikar dan keramik.  Selain kerang, ditemukan juga satu konsentrasi fragmen tembikar, yang setelah direkonstruksi merupakan wadah tembikar berupa dandang yang memiliki pegangan pada bagian tepiannya. (bisa direkonstruksi).  Temuan penting lainnya adalah satu cerat kendi yang bersegi delapan dan beberapa fragmen tepian dan dasar (tampaknya merupakan satu konsentrasi wadah berupa kendi bercerat segi delapan dengan tepian lebar tanpa leher)  Dari sisa glasir yang masih tersisa diduga kendi keramik ini berasal dari dynasty Sui abad ke 6/7 Masehi.
Pada penggalian di  TP2 ditemukan satu buah intaglio terbuat dari karnelian yang bermotif laba-laba selain konsentrasi fragmen tembikar dan keramik di dinding timur kotak pada kedalaman 100 cm.
Cermin dengan hiasan tangkai cermin bermotif manusia kangkang. 


c. Kampung Berek  (S7)
            Berada pada koordinat LS 06°01’25,5”dan BT 107°09’37,4”.  Jalur  kali asin di kampung berek, Desa Telagajaya juga telah mengalami penyusutan, namun kegiatan penggalian pasir yang dilakukan di tepi sungai kali asin ini telah membuat jalur kali asin di daerah ini menjadi cukup besar  yakni sekitar 10 meter.  Pada tahun 1990-an, dari penggalian pasir ini berhasil mengangkat sejumlah besar fragmen keramik.  Salah satu temuan menarik adalah tutup wadah yang terbuat dari campuran tembaga.   Wadah ditemukan dalam kondisi cukup baik, memiliki diameter  tepian tutup selebar 10,5 cm dan tinggi 9 cm.  memiliki hiasan untaian mutiara di sekeliling tepian tutup.  Pada bagian dalam terdapat tempelan berupa rantai (rantai saat ini telah hilang).  Tampaknya rantai ini dipergunakan untuk mengikat tutup dengan wadah di bagian bawahnya agar tidak lepas.
Selain itu ditemukan pula fragmen tutup tembaga yang sebagian besar sudah rusak akibat mesin penghisap pasir.  Tutup wadah ini memiliki tinggi 12 cm dan terbelah menjadi dua bagian.  Bagian atas memiliki motif daun teratai sebanyak 4 lembar menutup seluruh bagian atas tutup.  
d. Kedongdong  1 (S5)
            Berada pada koordinat LS 06°01’40,8”dan BT 107°09’18,8”.  Jalur Kali Asin di daerah kedondong saat ini menjadi sebuah danau yang cukup besar karena penggalian pasir yang telah dilakukan sekitar tahun 90-an lalu. Lebar Sungai Kali Asin sekarang hampir mencapai 50 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk menanam ikan (karamba) oleh penduduk setempat.  Di daerah ini ada dua lokasi temuan.  Lokasi pertama berada di seberang sungai yang kini menjadi areal persawahan.  Di daerah ini ditemukan sejumlah besar fragmen alat logam seperti tutup tembaga dan  mangkuk  berkaki.  Salah satu mangkuk ini diketahui telah rusak pada bagian dasarnya.


e.  Kedondong 2 (S6)
            Berada pada koordinat LS 06°01’37,4” dan BT 107°09’21,3”.  Jalur Kali Asin yang berada di tepi perkampungan ini pernah ditemukan satu wadah keramik berwarna kuning kusam yang memiliki glasir tidak rata (bagian dasar tidak berglasir).  Wadah setinggi 7 cm memiliki dasar rata dan pada bagian dalam yang tidak berglasir tampak jejak roda putar.
f.  Wagir 1(S3)
            Berada pada koordinat LS 06°01’14,6” dan BT 107°09’13,0”.  Jalur kali asin di daerah Wagir saat ini hanya selebar 2 - 4 meter, sebagian besar telah berubah menjadi areal persawahan.  Salah satunya adalah temuan wadah dan kendi keramik di areal persawahan Bapak Nalib.  Wadah keramik ditemukan dalam kondisi cukup baik dan ketika dibersihkan di dalam guci tersebut ditemukan kendi dalam kondisi baik pula. Guci yang memiliki tinggi sekitar 50 cm ini memiliki empat kupingan dan dasar yang rata.  Diduga keramik Cina ini berasal dari sekitar abad ke 7/ 8 masehi.  Kendi yang ditemukan saat ini telah patah pada bagian leher dan pegangan kendi namun  kondisinya masih cukup baik.  Kendi ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke 7/ 8 Masehi.
g. Wagir 2 (S4)
            Berada pada koordinat LS 06°01’05,9”dan BT 107°09’07,1”.  Jalur sungai kali Asin di daerah ini telah berubah menjadi areal persawahan.  Salah satunya adalah temuan wadah stoneware di areal persawahan Bapak Jari.  Wadah stoneware berwarna putih kusam ini ditemukan dalam kondisi bagian badan telah pecah (saat ini ditambal oleh pemiliknya) memiliki tepian tegak berdiameter 9 cm , empat kupingan dan bagian dasar yang rata.
h. Kalimati (S8, S9)
            Berada pada koordinat LS 06°03’41,4” dan BT 107°08’10,0”.  Wilayah Kalimati, sebuah daerah yang berada di tepi sungai Citarum sekarang, yang dahulu pernah menjadi bagian sungai Citarum.  Di daerah ini penggalian pasir banyak mendapatkan fragmen keramik salah satunya adalah temuan wadah keramik berwarna putih telur dalam kondisi cukup baik.  Keramik ini berasal dari Dinasti Sui sekitar abad ke 6/7 Masehi. 
       

Peta Sebaran Permukiman kuna pendukung komplek candi Batujaya (di arah utara lingkaran) 
Persebaran candi candi Batujaya di dalam Lingkaran berwarna hitam 
garis merah adalah jalur sungai Kali Asin yang membelah komplek candi .
III
PEMBAHASAN
            Seperti yang telah disampaikan di muka, adanya hubungan yang sangat erat antara lokasi permukiman dengan lingkungan hal ini tergambar jelas dari hasil survei dan ekskavasi yang telah dilakukan.  Dari sembilan lokasi yang pernah ditemukan tinggalan arkeologi terkait dengan komplek candi tampak seluruhnya berada dekat dengan jalur sungai.  Oleh karena itu rekonstruksi lingkungan masa lalu pada saat candi ini masih digunakan sangatlah penting untuk memahami keberadaan situs situs arkeologi yang ditemukan di sekitarnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Forde (1963), hubungan antara kegiatan manusia dan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola kebudayaan yang dimiliki oleh manusia. Dengan kebudayaan, manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan alamnya dan lingkungan alam pun dapat mempengaruhi corak kebudayaan manusia (Chaksana A.H., 2006: 9).
Dari aspek lingkungan, secara topografi situs batujaya berada dalam satuan morfologi dataran rendah dengan rawa-rawa di dalamnya.  Morfologi dataran rendah ini sangat luas mulai dari pesisir pantai di wilayah utara sampai Pasir Ranji di wilayah selatan dengan rentang jarak utara-selatan mencapai ± 51 km.  Litologinya di dominasi oleh batuan endapan kuarter yang terdiri dari lempung, pasir, pasir tufa, lempung tufa.  Pada bagian paling utara mulai dari Cikande sampai garis pantai merupakan endapan laut dangkal kecuali di sekitar sungai utama/ Citarum yang membawa material endapan darat (Tim Peneliti,2009: 105 ). 
Hasil survei  menunjukkan bahwa sungai-sungai yang mengalir di wilayah Situs Batujaya dan sekitarnya saat ini dapat kelompokkan menjadi dua yaitu: (1)  Sungai alam dan (2) Sungai alam yang mengalami pelurusan oleh manusia. Yang termasuk dalam katagori sungai alam adalah sungai Citarum yang mengalir di sisi selatan dari komplek percandian.  Sungai ini dapat dikatakan merupakan sungai utama yang sangat besar pengaruhnya bagi perubahan bentang lahan di dataran aluvial pantai utara Jawa Barat.   
            Selain sungai Citarum, di sebelah utara komplek candi terdapat Kali Asin yang merupakan sebuah sungai alam berhulu di Dusun Kebun Kopi Desa Teluk Buyung, Kecamatan Pakis Jaya.  Secara umum berarah aliran dari selatan ke utara dan bermuara di Kali Kubang.  Kali Asin termasuk Pola Pengaliran Deranged, yaitu suatu pola pengaliran antar rawa, sumber mata air dan muara biasanya rawa-rawa.  Berdasarkan hasil pengamatan, Kali Asin yang berhulu Di Dusun Kebun Kopi, merupakan sebuah sungai yang juga mendapat suplai air dari Kali Citarum. Pada saat Kali Citarum banjir, airnya meluap ke arah utara dan memasuki alur Kali Asin, sehingga air Kali Asin dapat mengalir ke arah utara. Namun pada saat Kali Citarum tidak menyuplai air ke Kali Asin, maka air yang terdapat di Kali Asin tidak mengalir atau hanya menjadi genangan air (ibid: 106 ).
Sungai alam yang mengalami pelurusan oleh manusia antara lain Kali Asin (mulai dari Kampung Kebon Kopi hingga ke saluran irigasi), Kali Kubang (mulai dari Kampung Teluk Buyung hingga ke saluran irigasi), dan Sungai Terong (mulai dari Kampung Sungai Terong Timur hingga ke saluran irigasi), Kegiatan pelurusan sungai sungai berdampak pada perubahan bentuk lahan di sekitar situs Batujaya secara umum.   Hal yang paling tampak adalah berubahnya jalur dan penampakan muka sungai kali asin.(ibid: 108)  
Pengamatan terhadap kondisi sungai-sungai di sekitar situs Batujaya, pada masa kini tentunya sudah banyak berubah jika dibandingkan dengan keadaan pada masa lalu ketika candi ini masih digunakan.  Pada masa lalu jelas bahwa di sepanjang tepi pantai utara Jawa Barat dipadati oleh hutan mangrove yang juga berfungsi sebagai rumah berbagai jenis satwa dan menjadi penahan bagi abrasi akibat gelombang laut pada saat air pasang.  Adanya hutan hutan mangrove ini ditunjukkan dari hasil analisa pollen yang dilakukan oleh A.A. Polhaupessy yang menunjukkan bahwa sejarah vegetasi kuarter zona Batujaya merupakan vegetasi mangrove yang didominasi oleh Rhizhopora, di samping itu juga ditemukan jenis-jenis lain seperti  Avicennia histrichosphaera. Pollen dari jenis vegetasi lain yang ditemukan seperti Cyperacae, Graminea., Altingla, dan Hymphaea yang secara keseluruhan menggambarkan vegetasi mangrove, vegetasi air tawar, vegetasi air laut dan vegetasi terbuka (Polhaupessy, 1982:32).
Selain di dominasi oleh areal rawa-rawa di sepanjang areal mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah candi Batujaya juga terdapat dataran rendah yang muncul secara setempat-setempat dengan besaran luas yang bervariasi.  Dataran rendah inilah yang digunakan sebagai areal permukiman manusia dan pembangunan candi pada masa lalu.  Salah satu dataran rendah yang berada di pesisir utara pantai adalah daerah PulokamalMenurut kamus Jawa kuna kata “kamal” berarti pohon asam[3].  Menurut informasi penduduk, daerah ini mulai ditempati sekitar tahun 1950-an dan tidak jauh ke arah utara (pesisir pantai) dari tempat ini adalah hutan mangrove yang masih jarang didatangi orang.  Dari informasi ini, kemungkinan bahwa para pendatang  yang ingin menuju komplek candi ketika mencapai tepi muara sungai Pakis maka rute sungai yang dilalui adalah sungai Pegadungan- Kubang – Kali asin dan berhenti di komplek candi.  Jalur sungai Kali asin lama setelah melewati kompleks percandian Batujaya akan berhulu di rawa belakang yang terletak di bagian selatan candi dan dekat dengan bantaran sungai Citarum (lihat peta).  Rawa belakang juga menampung limpahan air sungai Citarum yang sewaktu-waktu meluap.  Sungai yang kemudian dikenal sebagai Kali Asin lama ini diketahui memiliki lebar yang cukup besar sehingga mampu dilayari oleh perahu- perahu kecil sampai ke bagian hulu.  Komplek candi (lingkaran hitam) diketahui berada di sebelah kiri dan kanan jalur sungai ini.  Sedangkan bagian komplek candi paling utara adalah Telagajaya VI (Unur Gundul).  Pada tahun 1970-an masyarakat di sekitar candi masih bisa mengarungi sungai Kali Asin lama ini sampai unur gundul.  Terjadinya perubahan lingkungan membuat jalur sungai kali asin lama mengalami pendangkalan dan perubahan fungsi lahan dari saluran air  menjadi lahan pertanian dan permukiman.  Kini yang disebut dengan kali asin hanyalah sebuah sungai kecil yang hulunya berada di Dusun Kebun Kopi, Desa Teluk Buyung, Kecamatan Pakis Jaya itu pun telah banyak mengalami pelurusan jalur sungai seperti yang disebutkan di atas. 
Adapun temuan lepas yang berhasil dikumpulkan dari masyarakat diketahui sebagian besar berupa keramik asing (tempayan, mangkuk, piring, dan cepuk).  Keramik yang paling tua berasal dari sekitar abad ke-6 M, Dinasti sui ditemukan di dua tempat yakni di daerah Kalimati, Sungai Citarum dan Desa Kaliasin-Cikande.  Temuan alat logam di daerah kedondong, berek, kaliasin-cikande seperti tutup mangkuk, mangkuk dan cermin dapat diidentifikasi sebagai alat-alat keperluan sehari-hari dan alat-alat yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu-Buddha.  Meskipun demikian adanya ragam hias bermotif manusia kangkang pada wadah logam (temuan lepas tidak diketahui tempatnya lagi, tetapi masih di sekitar Batujaya ) dan cermin logam yang pada bagian pegangannya mengindikasikan adanya motif hias prasejarah.  
Indikator adanya permukiman pendukung candi untuk lokasi yang paling utara dari jalur sungai Kali Asin lama sejauh ini ditemukan di daerah Wagir (S4).  Kemungkinan besar di sebelah utara Wagir pada masa candi digunakan masih merupakan areal hutan mangrove yang cukup rapat. 

Adanya permukiman kuna di sepanjang sungai Kali asin lama ini dimungkinkan karena memang pada saat itu, jalur sungai Kali Asin lama telah digunakan sebagai jalur transportasi dari dan menuju laut  dari komplek percandian Batujaya.   Sehingga tidak heran jika di sepanjang sungai Kali Asin ini muncul permukiman pendukung candi.  Bisa jadi jalur kali Asin Lama memang telah lama aktif jauh sebelum munculnya percandian di Batujaya.  Penelitian di daerah Kaliasin-Cikande mengindikasikan adanya masyarakat pendukung tembikar Buni yang terlebih dahulu menempati areal tersebut sebelum pada masa kemudian (6-7 Masehi) masyarakat pendukung candi akhirnya tinggal dan bermukim di sana.   Hal yang sama dapat dilihat pula pada komplek percandian Batujaya dimana sebelum berdiri komplek percandian, areal tersebut telah digunakan untuk oleh masyarakat pendukung tembikar Buni pada awal masehi (abad ke 1 SM – 4 M).  
Selain jalur sungai Kali Asin lama, jalur lain yang mungkin digunakan untuk mencapai komplek candi dan cukup beralasan ditemukan permukiman adalah  jalur  Sungai Citarum.  Sungai Citarum sebagai sungai utama tetap mempunyai peran yang penting bagi masyarakat pendukung candi.  Menurut Soeroso M.P. , (1995) daerah di sebelah selatan dari jalur Sungai Citarum tidak ditemukan adanya bangunan keagamaan dan seluruh bangunan keagamaan komplek Batujaya ditemukan di sebelah utara sungai Citarum.  Alasannya secara geomorfologi, area di selatan Sungai Citarum merupakan daerah yang rentan terhadap bahaya banjir dan memiliki kecenderungan perubahan jalur sungai Citarum lebih besar di sebelah selatan di bandingkan dengan bagian utara sungai.  Oleh karena itu besar kemungkinan munculnya permukiman di jalur sungai Citarum juga berada di sebelah utara karena dianggap lebih aman dari banjir dan perubahan alur sungai. 
Jelas bahwa masyarakat pendukung candi (abad ke-5-8 Masehi) merupakan bagian dari masyarakat pada masa Kerajaan Tarumanegara dimana dalam prasasti Tugu sendiri menyiratkan bahwa rumah nenek sang raja pun berada di tepi sebuah sungai. Dalam Prasasti Tugu yang berbahasa Sanskerta. dijelaskan bahwa raja membuat sungai bernama Candrabagha yang mengalir dari kota hingga ke laut. Selanjutnya Raja Purnawarman membuat sebuah sungai lagi, yaitu Gomati yang permai dan berair jernih yang mengalir di tanah kediaman Sang Pendeta, nenek Sang Raja (Vogel 1925 : Ferdinandus 2006: 118). 
            Pemilihan lokasi di sepanjang sungai Kali Asin lama dapat difahami terkait dengan pola subsistensi mereka pada masa itu.  Dari data arkeologi menunjukkan bahwa cara hidup masyarakat pendukung candi selain mengandalkan dari hasil laut sebagai nelayan juga telah mengembangkan usaha pertanian.  Seperti yang ditunjukkan dari temuan berupa konsentrasi cangkang kerang di sektor kaliasin-Cikande, sisa bandul jaring yang terbuat dari terakota.  Cara-cara ini bisa diduga merupakan kontiunitas dari masyarakat pendukung tembikar Buni. Dalam perkembangannya, masyarakat pendukung candi selain memanfaatkan hasil laut juga telah mengembangkan kegiatan bercocok tanam sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.  Hal ini dapat dilihat dari padatnya sekam padi yang ditemukan pada bata-bata candi.  Sekam telah digunakan sebagai salah satu campuran pada tanah liat sebagai bahan utama pembuatan bata. 



Ekskavasi di situs Cikande memperlihatkan konsentrasi cangkang kerang yang bercampur dengan fragmen tembikar cukup padat pada kedalaman 120 cm.
           

Untuk memenuhi kebutuhan protein selain dari hasil laut, di sekitar jalur sungai Kali Asin Lama masih merupakan hutan yang dihuni oleh berbagai binatang yang dapat dieksploitasi.  Bukti bahwa mereka juga mengeksploitasi binatang  dapat dilihat dari temuan taring babi, tanduk kijang, dan tulang buaya.   Mengingat mereka juga merupakan masyarakat yang masih berburu maka tidak heran jika mereka telah membuat berbagai peralatan untuk berburu dari logam seperti parang, pisau, tombak, dan panah.  Berbagai jenis alat logam ini telah digunakan pada masa Pendukung Tembikar Buni (periode protosejarah ) dan terus berlanjut ke masa pendukung candi (periode sejarah). 
IV
PENUTUP
          Penelitian arkeologi di Situs Batujaya terkait dengan aspek permukiman pendukung komplek candi sejauh ini baru menemukan data adanya sejumlah lokasi permukiman kuna yang berada di jalur sungai kali asin lama yang itu berarti berada di sebelah utara komplek candi sedangkan untuk bagian selatan komplek candi terutama yang juga merupakan bagian selatan jalur sungai Citarum sangat kecil kemungkinan ditemukan ditemukan sisa permukiman dengan alasan areal di sebelah selatan sungai Citarum rentan terhadap banjir dan perubahan jalur sungai Citarum.  Permukiman pendukung candi masih sangat mungkin ditemukan di sebelah timur dan barat komplek candi terlebih lagi di daerah Tanjung Priok pernah ditemukan prasasti Tugu yang terkait dengan kerajaan Tarumanagara.
          Wilayah sebaran permukiman di sebelah utara candi, di sepanjang Kali Asin lama ini diduga sampai ke daerah Wagir yang berjarak hampir 3 KM arah utara dari komplek candi.  Di sebelah utara Wagir, besar kemungkinan ketika candi masih digunakan masih merupakan area hutan mangrove yang cukup padat.  
          Permukiman pendukung candi yang tumbuh di sepanjang jalur sungai ini tampaknya berada di atas permukiman pendukung budaya komplek Tembikar Buni yang memang sudah eksis jauh sebelum komplek candi berdiri.   Oleh karena itu seperti masyarakat pendukung Tembikar Buni, mereka juga telah mengeksplotasi lingkungan untuk keperluan hidupnya.  Berburu hewan-hewan yang hidup di hutan mangrove, mengkosumsi kerang dan ikan merupakan hal yang umum bagi mereka.  Teknologi pertanian dengan menanam padi di lahan-lahan aluvial tampaknya memang sesuatu yang baru muncul ketika persentuhan dengan India terjadi.  Besar kemungkinan transfer ilmu pengetahuan tentang domestikasi tanaman padi sejalan dengan diperkenalkannya sistem religi Hindu-Buddha, arsitektur, tulisan, dan organisasi sosial setingkat kerajaan pada masyarakat Sunda Kuna di pantai utara Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
A.H.Said, Chaksana, 2006. “Permukiman dalam Perspektif Arkeologi” dalam Permukiman di Indonesia Perspektif arkeologi,  Tim Penyusun (ed.) Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hal 1-20 
Boechari, 1977 Candi dan Lingkungannya dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan, Jakarta : Puslit Arkenas,  hal 319-341
Manguin, Pierre-Yves and Agustijanto, 2006.  The archaeology of Batujaya (West Java, Indonesia): an interim report , in Elizabeth Bacus, Ian C. Glover and Vincent Piggott (Eds.), Uncovering Southeast Asia’s Past. Selected Papers from the 10th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists.  Singapore: National University of Singapore Press, p. 245-257.
Ferdinandus,Peter,2006. Antara India dan Jawa dalam Permukiman di Indonesia Perspektif arkeologi, Tim Penyusun (ed.) Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,hal 115-121
Marwati Djoened dkk,1984. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: PN.  Balai Pustaka
Mundardjito,1995.  Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini” dalam Berkala Arkeologi (Edisi Khusus) hal. 24-28 Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Polhaupessy, A.A. , 1981. “Quaternary Vegetational  History of Batujaya, dalam Bulletin of the Geological Research and Development Centre, Vol 5, Desember, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya, Bandung , 1981;30-36.
Soeroso MP,1995. Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu Budha di Pesisir Utara Wilayah  Batujaya dan Cibuaya. Thesis Pasca Sarjana Arkeologi UI, Depok: Universitas Indonesia
Tim Peneliti,2009. Laporan Penelitian Awal Peradaban di Pantai Utara Jawa Barat. Jakarta : Puslitbang Arkenas. (tidak terbit)
Zoetmulder,P.J.,1982. Old Javanese-English Dictionary. KITLV.Leiden:
            Gravenhage-Martinus Nijhoff          




[1] Permukiman di dalam lingkungan candi sudah ditulis dalam kumpulan makalah berjudul  Widyasancaya terbitan Balai Arkeologi Bandung.
[2] Masalah kronologi pembangunan candi Batujaya sudah pernah disinggung dalam kumpulan makalah yang berjudul Selected Papers from the 10th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists. Singapore: National University of Singapore Press, p. 245-257.
[3] Zoetmulder,P.J.,1982. Old Javanese-English Dictionary. KITLV.Leiden: S-Gravenhage-Martinus Nijhoff

Tidak ada komentar: