Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional
(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
Batujaya site which for nearly
two decades of fairly intensive study by The National Research and Development
Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite
interesting. Not only from a
chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex.
Archaeological research in the last two years shows that the existence of
batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient
settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new
data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the
Batujaya site in the past
Kata Kunci : Pemukiman kuna,
Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat
I
PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama
hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan
informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan
sejarah budaya di Indonesia. Situs ini
bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat
namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua
puluh bangunan yang terdapat di atasnya.
Dalam perkembangannya di tahun 2005,
berhasil ditemukan adanya sisa
bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan
hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi
Batujaya[1] Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman
pendukung komplek candi ini berada?
Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa
Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan
dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2] memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam
komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki. Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di
sepanjang pantai barat India
didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981: Peter:2006: 121)
Kerangka Pikir dan Metode
Dalam konteks permukiman yang
terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua
kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang
berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya
orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut. Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860
Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka
Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas. Di situ akan didirikan prasāda dengan
arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika. Lain dari pada itu dua orang anak pāduka
Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat
tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima
tersebut (Boechari,1980 :326).
Permukiman
di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan
keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk
menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan
”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks
percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi
kompleks candi ini. Keberadaan
permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat
daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan
berkembangnya permukiman di sana.
Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi
beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial
dan macam-macam institusi yang berlaku. Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki
hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap
sistem permukiman. Setiap masyarakat
memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan
dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam
pola permukiman.
Unsur lingkungan sangat erat
hubungannya dengan pola permukiman.
Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari
aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun
non fisik (biotik). Lingkungan fisik
berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut
sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang
hidup di muka bumi.
Dalam skala
keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan
ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari
pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari
pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola
sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap
kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya juga akan menggunakan pendekatan terhadap
kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan
arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat
terbatas. Kebudayaan materi juga
mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5:
2006).
II
PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data melalui survei dan
ekskavasi di situs hunian masa lalu di situs Batujaya. Survei dilakukan di
lokasi yang menurut informasi penduduk banyak terdapat temuan arkeologi selain
itu, lokasi yang di survei ini selanjutnya dicocokan dengan jalur sungai lama yang pernah melewati
komplek percandian pada masa lalu.
Seperti diketahui dari hasil photo udara dan kegiatan survei geologi di
wilayah situs Batujaya diketahui bahwa pada masa lalu komplek percandian
Batujaya dilalui oleh sungai yang mengarah utara-selatan. Bagian selatan sungai berakhir di sebuah rawa
belakang yang berbatasan dengan bantaran sungai Citarum yang juga berada
di sebelah selatan situs Batujaya dan
aliran sungai ke arah utara terus berlanjut sampai ke muara sungai di pantai
utara Jawa Barat. Sungai lama ini dahulu
dikenal sebagai sungai Kali asin yang akibat perubahan bentuk lahan di kawasan
ini membuat rawa belakang dan aliran sungai yang melewati komplek candi berubah
fungsi dan bentuknya. Kini sungai kali
asin hanyalah sebuah sungai kecil masih digunakan untuk penyuplai air ke areal
persawahan di sekitar situs Batujaya.
Ekskavasi dilakukan di beberapa lokasi
yang dipilih berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan terlebih dahulu. Ekskavasi dimaksudkan untuk mendapatkan data
baru yang mendukung keberadaan permukiman kuna yang pernah ada di daerah ini.
Berikut hasil temuan dalam survei yang dilakukan :
a. Kampung Kaliasin (S1)
Berada pada koordinat LS 06°02’17,8” dan BT 107°09’28,2”. Jalur kali asin lama
di daerah Kampung Kaliasin, Desa Segarjaya, Kecamatan Batujaya yang sebenarnya
tersisa hanya memiliki lebar 2 - 3 meter, namun akibat penggalian pasir di
tahun 1990an maka areal ini telah menjadi sebuah kolam penampungan air yang
cukup besar. Masyarakat menggunakan
tempat ini sebagai sarana untuk mandi dan mencuci. Pada saat pengalian pasir, di tempat ini pernah ditemukan lempengan
tembaga, cincin emas, sejumlah besar fragmen keramik namun semuanya telah
hilang. Satu-satunya temuan yang tersisa
hanyalah mangkuk tembaga. Mangkuk
berdiameter 10.5 cm ini memiliki tinggi 4.5 cm dan memiliki dasar model
knob. Dasar mangkuk seperti ini
ditemukan pula mangkuk tembikar kasar India di situ Batujaya. Mangkuk ditemukan dalam kondisi cukup baik dan
ada sedikit sisa patinasi berwarna hijau yang telah dibersihkan.
b. Kampung
Kaliasin- Cikande (S2)
Berada pada koordinat LS 06°01’57,9” dan BT
107°09’32,8”. Jalur kali asin lama di kampung
Cikande, Desa Segarjaya, Kecamatan Segarjaya juga telah mengalami penyusutan
baik lebar maupun kedalamannya. Di
lokasi yang digunakan sebagai tempat penambangan pasir ini juga ditemukan sejumlah fragmen tembikar
dan keramik. Salah satu temuan yang
cukup penting adalah cermin tembaga.
Cermin ini ditemukan dalam kondisi cukup baik. Pada bagian tengah cermin terdapat motif knop.
Sedangkan pada bagian pegangan pada salah satu sisinya terdapat hiasan motif manusia kangkang.
Pada kegiatan survey tahun 2009 di daerah ini telah ditemukan kembali satu
fragmen logam yang diperkirakan merupakan sebuah timbangan logam (alat
menimbang emas? )
Di daerah ini juga dilakukan ekskavasi dengan membuka 3
kotak gali yakni TP1,TP2 dan TP3. Pada penggalian di TP1, lapisan budaya mulai
tampak pada kedalaman 80 cm dengan lapisan tanah berupa lempung pasiran
berwarna coklat abu-abu. Pada lapisan
ini ditemukan fragmen tembikar berwarna
merah dan hitam cukup banyak dan sisa tulang binatang yang terbakar. Temuan
penting berupa fragmen tembikar jenis red
ware India yang memiliki hiasan warna hitam (slip) di sepanjang
tepiannya. Temuan penting lainnya adalah
satu anting-anting emas. Pada lapisan
ini juga ditemukan sisa kerang. Semakin
ke bawah temuan berupa konsentrasi sisa kerang di seluruh lapisan kotak
ekskavasi. Sisa kerang ini bercampur
dengan fragmen tembikar dan keramik. Selain
kerang, ditemukan juga satu konsentrasi fragmen tembikar, yang setelah
direkonstruksi merupakan wadah tembikar berupa dandang yang memiliki pegangan
pada bagian tepiannya. (bisa direkonstruksi).
Temuan penting lainnya adalah satu cerat kendi yang bersegi delapan dan
beberapa fragmen tepian dan dasar (tampaknya merupakan satu konsentrasi wadah
berupa kendi bercerat segi delapan dengan tepian lebar tanpa leher) Dari sisa glasir yang masih tersisa diduga
kendi keramik ini berasal dari dynasty Sui abad ke 6/7 Masehi.
Pada penggalian di
TP2 ditemukan satu buah intaglio terbuat dari karnelian yang bermotif
laba-laba selain konsentrasi fragmen tembikar dan keramik di dinding timur
kotak pada kedalaman 100 cm.
Cermin dengan hiasan tangkai cermin bermotif manusia kangkang.
c. Kampung
Berek (S7)
Berada pada koordinat LS 06°01’25,5”dan BT 107°09’37,4”. Jalur kali asin di kampung berek, Desa Telagajaya
juga telah mengalami penyusutan, namun kegiatan penggalian pasir yang dilakukan
di tepi sungai kali asin ini telah membuat jalur kali asin di daerah ini
menjadi cukup besar yakni sekitar 10
meter. Pada tahun 1990-an, dari
penggalian pasir ini berhasil mengangkat sejumlah besar fragmen keramik. Salah satu temuan menarik adalah tutup wadah yang
terbuat dari campuran tembaga. Wadah
ditemukan dalam kondisi cukup baik, memiliki diameter tepian tutup selebar 10,5 cm dan tinggi 9
cm. memiliki hiasan untaian mutiara di
sekeliling tepian tutup. Pada bagian
dalam terdapat tempelan berupa rantai (rantai saat ini telah hilang). Tampaknya rantai ini dipergunakan untuk
mengikat tutup dengan wadah di bagian bawahnya agar tidak lepas.
Selain itu ditemukan pula fragmen tutup tembaga yang
sebagian besar sudah rusak akibat mesin penghisap pasir. Tutup wadah ini memiliki tinggi 12 cm dan
terbelah menjadi dua bagian. Bagian atas
memiliki motif daun teratai sebanyak 4 lembar menutup seluruh bagian atas
tutup.
d. Kedongdong 1 (S5)
Berada pada koordinat LS 06°01’40,8”dan BT 107°09’18,8”. Jalur Kali Asin di
daerah kedondong saat ini menjadi sebuah danau yang cukup besar karena
penggalian pasir yang telah dilakukan sekitar tahun 90-an lalu. Lebar Sungai
Kali Asin sekarang hampir mencapai 50 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk
menanam ikan (karamba) oleh penduduk setempat.
Di daerah ini ada dua lokasi temuan.
Lokasi pertama berada di seberang sungai yang kini menjadi areal
persawahan. Di daerah ini ditemukan
sejumlah besar fragmen alat logam seperti tutup tembaga dan mangkuk
berkaki. Salah satu mangkuk ini
diketahui telah rusak pada bagian dasarnya.
e. Kedondong 2 (S6)
Berada pada koordinat
LS
06°01’37,4” dan BT 107°09’21,3”. Jalur Kali Asin yang berada di tepi perkampungan ini
pernah ditemukan satu wadah keramik berwarna kuning kusam yang memiliki glasir
tidak rata (bagian dasar tidak berglasir).
Wadah setinggi 7 cm memiliki dasar rata dan pada bagian dalam yang tidak
berglasir tampak jejak roda putar.
f. Wagir
1(S3)
Berada pada koordinat
LS
06°01’14,6” dan BT 107°09’13,0”. Jalur kali asin di daerah Wagir saat ini hanya selebar 2
- 4 meter, sebagian besar telah berubah menjadi areal persawahan. Salah satunya adalah temuan wadah dan kendi
keramik di areal persawahan Bapak Nalib.
Wadah keramik ditemukan dalam kondisi cukup baik dan ketika dibersihkan
di dalam guci tersebut ditemukan kendi dalam kondisi baik pula. Guci yang
memiliki tinggi sekitar 50 cm ini memiliki empat kupingan dan dasar yang
rata. Diduga keramik Cina ini berasal
dari sekitar abad ke 7/ 8 masehi. Kendi
yang ditemukan saat ini telah patah pada bagian leher dan pegangan kendi
namun kondisinya masih cukup baik. Kendi ini diperkirakan berasal dari sekitar
abad ke 7/ 8 Masehi.
g. Wagir 2 (S4)
Berada pada koordinat
LS
06°01’05,9”dan BT 107°09’07,1”. Jalur sungai kali Asin di daerah ini telah berubah
menjadi areal persawahan. Salah satunya
adalah temuan wadah stoneware di
areal persawahan Bapak Jari. Wadah
stoneware berwarna putih kusam ini ditemukan dalam kondisi bagian badan telah
pecah (saat ini ditambal oleh pemiliknya) memiliki tepian tegak berdiameter 9
cm , empat kupingan dan bagian dasar yang rata.
h. Kalimati (S8,
S9)
Berada pada koordinat LS 06°03’41,4” dan BT
107°08’10,0”. Wilayah Kalimati, sebuah daerah yang berada di tepi sungai Citarum
sekarang, yang dahulu pernah menjadi bagian sungai Citarum. Di daerah ini penggalian pasir banyak
mendapatkan fragmen keramik salah satunya adalah temuan wadah keramik berwarna
putih telur dalam kondisi cukup baik. Keramik ini berasal dari Dinasti Sui sekitar abad ke 6/7
Masehi.
Peta Sebaran Permukiman kuna pendukung komplek candi Batujaya (di arah utara lingkaran)
Persebaran candi candi Batujaya di dalam Lingkaran berwarna hitam
garis merah adalah jalur sungai Kali Asin yang membelah komplek candi .
III
PEMBAHASAN
Seperti yang telah disampaikan di
muka, adanya hubungan yang sangat erat antara lokasi permukiman dengan
lingkungan hal ini tergambar jelas dari hasil survei dan ekskavasi yang telah
dilakukan. Dari sembilan lokasi yang pernah
ditemukan tinggalan arkeologi terkait dengan komplek candi tampak seluruhnya
berada dekat dengan jalur sungai. Oleh
karena itu rekonstruksi lingkungan masa lalu pada saat candi ini masih
digunakan sangatlah penting untuk memahami keberadaan situs situs arkeologi yang
ditemukan di sekitarnya. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Forde (1963), hubungan antara kegiatan manusia dan
lingkungan alamnya dijembatani oleh pola kebudayaan yang dimiliki oleh manusia.
Dengan kebudayaan, manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan alamnya dan
lingkungan alam pun dapat mempengaruhi corak kebudayaan manusia (Chaksana A.H.,
2006: 9).
Dari
aspek lingkungan, secara topografi situs batujaya berada dalam satuan morfologi dataran
rendah dengan rawa-rawa di dalamnya. Morfologi
dataran rendah ini sangat luas mulai dari pesisir pantai di wilayah utara
sampai Pasir Ranji di wilayah selatan dengan rentang jarak utara-selatan
mencapai ± 51 km. Litologinya di
dominasi oleh batuan endapan kuarter yang terdiri dari lempung, pasir, pasir
tufa, lempung tufa. Pada bagian paling
utara mulai dari Cikande sampai garis pantai merupakan endapan laut dangkal
kecuali di sekitar sungai utama/ Citarum yang membawa material endapan darat (Tim Peneliti,2009: 105
).
Hasil survei
menunjukkan bahwa sungai-sungai yang mengalir di wilayah Situs Batujaya dan
sekitarnya saat ini dapat kelompokkan menjadi dua yaitu: (1) Sungai alam dan (2) Sungai alam yang
mengalami pelurusan oleh manusia. Yang termasuk dalam katagori sungai alam adalah sungai
Citarum yang mengalir di sisi selatan dari komplek percandian. Sungai ini dapat dikatakan merupakan sungai
utama yang sangat besar pengaruhnya bagi perubahan bentang lahan di dataran
aluvial pantai utara Jawa Barat. .
Selain sungai Citarum, di sebelah utara komplek candi
terdapat Kali Asin yang merupakan sebuah sungai alam berhulu di Dusun Kebun Kopi Desa Teluk Buyung, Kecamatan Pakis
Jaya. Secara umum berarah aliran dari
selatan ke utara dan bermuara di Kali Kubang. Kali Asin termasuk Pola Pengaliran Deranged,
yaitu suatu pola pengaliran antar rawa, sumber mata air dan muara biasanya
rawa-rawa. Berdasarkan hasil pengamatan,
Kali Asin yang berhulu Di Dusun Kebun Kopi, merupakan sebuah sungai yang juga
mendapat suplai air dari Kali Citarum. Pada saat Kali Citarum banjir, airnya
meluap ke arah utara dan memasuki alur Kali Asin, sehingga air Kali Asin dapat
mengalir ke arah utara. Namun pada saat Kali Citarum tidak menyuplai air ke
Kali Asin, maka air yang terdapat di Kali Asin tidak mengalir atau hanya
menjadi genangan air (ibid: 106 ).
Sungai alam yang mengalami
pelurusan oleh manusia antara lain Kali Asin (mulai dari Kampung Kebon Kopi
hingga ke saluran irigasi), Kali Kubang (mulai dari Kampung Teluk Buyung hingga
ke saluran irigasi), dan Sungai Terong (mulai dari Kampung Sungai Terong Timur
hingga ke saluran irigasi), Kegiatan pelurusan sungai sungai berdampak pada
perubahan bentuk lahan di sekitar situs Batujaya secara umum. Hal yang paling tampak adalah berubahnya jalur dan
penampakan muka sungai kali asin.(ibid: 108)
Pengamatan terhadap
kondisi sungai-sungai di sekitar situs Batujaya, pada masa kini tentunya sudah
banyak berubah jika dibandingkan dengan keadaan pada masa lalu ketika candi ini
masih digunakan. Pada masa lalu jelas
bahwa di sepanjang tepi pantai utara Jawa Barat dipadati oleh hutan mangrove
yang juga berfungsi sebagai rumah berbagai jenis satwa dan menjadi penahan bagi
abrasi akibat gelombang laut pada saat air pasang. Adanya hutan hutan mangrove ini ditunjukkan
dari hasil
analisa pollen yang dilakukan oleh A.A. Polhaupessy yang menunjukkan bahwa
sejarah vegetasi kuarter zona Batujaya merupakan vegetasi mangrove yang
didominasi oleh Rhizhopora, di samping
itu juga ditemukan jenis-jenis lain seperti
Avicennia histrichosphaera. Pollen
dari jenis vegetasi lain yang ditemukan seperti Cyperacae, Graminea.,
Altingla, dan Hymphaea yang secara keseluruhan menggambarkan
vegetasi mangrove, vegetasi air tawar, vegetasi air laut dan vegetasi terbuka
(Polhaupessy, 1982:32).
Selain di dominasi oleh
areal rawa-rawa di sepanjang areal mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah
candi Batujaya juga terdapat dataran rendah yang muncul secara
setempat-setempat dengan besaran luas yang bervariasi. Dataran rendah inilah yang digunakan sebagai
areal permukiman manusia dan pembangunan candi pada masa lalu. Salah satu dataran
rendah yang berada di pesisir utara pantai adalah daerah Pulokamal. Menurut kamus Jawa kuna kata “kamal” berarti pohon asam[3]. Menurut informasi penduduk, daerah ini mulai ditempati
sekitar tahun 1950-an dan tidak jauh ke arah utara (pesisir pantai) dari tempat
ini adalah hutan mangrove yang masih jarang didatangi orang. Dari informasi ini, kemungkinan bahwa para pendatang
yang ingin menuju komplek candi ketika
mencapai tepi muara sungai Pakis maka rute sungai yang dilalui adalah sungai Pegadungan-
Kubang – Kali asin dan berhenti di komplek candi. Jalur sungai Kali asin lama setelah melewati
kompleks percandian Batujaya akan berhulu di rawa belakang yang terletak di
bagian selatan candi dan dekat dengan bantaran sungai Citarum (lihat peta). Rawa belakang juga menampung limpahan air sungai Citarum
yang sewaktu-waktu meluap. Sungai yang
kemudian dikenal sebagai Kali Asin lama ini diketahui memiliki lebar yang cukup
besar sehingga mampu dilayari oleh perahu- perahu kecil sampai ke bagian hulu. Komplek candi (lingkaran hitam) diketahui
berada di sebelah kiri dan kanan jalur sungai ini. Sedangkan bagian komplek candi paling utara
adalah Telagajaya VI (Unur Gundul). Pada
tahun 1970-an masyarakat di sekitar candi masih bisa mengarungi sungai Kali Asin
lama ini sampai unur gundul. Terjadinya
perubahan lingkungan membuat jalur sungai kali asin lama mengalami pendangkalan
dan perubahan fungsi lahan dari saluran air
menjadi lahan pertanian dan permukiman.
Kini yang disebut dengan kali asin hanyalah sebuah sungai kecil yang hulunya
berada di Dusun Kebun Kopi, Desa Teluk Buyung, Kecamatan Pakis Jaya itu pun
telah banyak mengalami pelurusan jalur sungai seperti yang disebutkan di
atas.
Adapun temuan lepas yang
berhasil dikumpulkan dari masyarakat diketahui sebagian besar berupa keramik
asing (tempayan, mangkuk, piring, dan cepuk).
Keramik yang paling tua berasal dari sekitar abad ke-6 M, Dinasti sui
ditemukan di dua tempat yakni di daerah Kalimati, Sungai Citarum dan Desa
Kaliasin-Cikande. Temuan alat logam di
daerah kedondong, berek, kaliasin-cikande seperti tutup mangkuk, mangkuk dan
cermin dapat diidentifikasi sebagai alat-alat keperluan sehari-hari dan
alat-alat yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara keagamaan
Hindu-Buddha. Meskipun demikian adanya
ragam hias bermotif manusia kangkang pada wadah logam (temuan lepas tidak
diketahui tempatnya lagi, tetapi masih di sekitar Batujaya ) dan cermin logam
yang pada bagian pegangannya mengindikasikan adanya motif hias prasejarah.
Indikator adanya permukiman pendukung candi untuk
lokasi yang paling utara dari jalur sungai Kali Asin lama sejauh ini ditemukan
di daerah Wagir (S4). Kemungkinan besar
di sebelah utara Wagir pada masa candi digunakan masih merupakan areal hutan mangrove
yang cukup rapat.
Adanya permukiman kuna di sepanjang sungai Kali
asin lama ini dimungkinkan karena memang pada saat itu, jalur sungai Kali Asin
lama telah digunakan sebagai jalur transportasi dari dan menuju laut dari komplek percandian Batujaya. Sehingga tidak heran jika di sepanjang
sungai Kali Asin ini muncul permukiman pendukung candi. Bisa jadi jalur kali Asin Lama memang telah
lama aktif jauh sebelum munculnya percandian di Batujaya. Penelitian di daerah Kaliasin-Cikande
mengindikasikan adanya masyarakat pendukung tembikar Buni yang terlebih dahulu
menempati areal tersebut sebelum pada masa kemudian (6-7 Masehi) masyarakat
pendukung candi akhirnya tinggal dan bermukim di sana. Hal
yang sama dapat dilihat pula pada komplek percandian Batujaya dimana sebelum
berdiri komplek percandian, areal tersebut telah digunakan untuk oleh
masyarakat pendukung tembikar Buni pada awal masehi (abad ke 1 SM – 4 M).
Selain jalur sungai Kali Asin lama, jalur lain yang
mungkin digunakan untuk mencapai komplek candi dan cukup beralasan ditemukan
permukiman adalah jalur Sungai Citarum. Sungai Citarum sebagai sungai utama tetap
mempunyai peran yang penting bagi masyarakat pendukung candi. Menurut Soeroso M.P. , (1995) daerah di
sebelah selatan dari jalur Sungai Citarum tidak ditemukan adanya bangunan
keagamaan dan seluruh bangunan keagamaan komplek Batujaya ditemukan di sebelah
utara sungai Citarum. Alasannya secara
geomorfologi, area di selatan Sungai Citarum merupakan daerah yang rentan
terhadap bahaya banjir dan memiliki kecenderungan perubahan jalur sungai
Citarum lebih besar di sebelah selatan di bandingkan dengan bagian utara
sungai. Oleh karena itu besar
kemungkinan munculnya permukiman di jalur sungai Citarum juga berada di sebelah
utara karena dianggap lebih aman dari banjir dan perubahan alur sungai.
Jelas bahwa masyarakat pendukung candi (abad ke-5-8
Masehi) merupakan bagian dari masyarakat pada masa Kerajaan Tarumanegara dimana
dalam prasasti Tugu sendiri menyiratkan bahwa rumah nenek sang raja pun berada
di tepi sebuah sungai. Dalam Prasasti Tugu yang berbahasa Sanskerta. dijelaskan
bahwa raja membuat sungai bernama Candrabagha yang mengalir dari kota hingga ke
laut. Selanjutnya Raja Purnawarman membuat sebuah sungai lagi, yaitu Gomati
yang permai dan berair jernih yang mengalir di tanah kediaman Sang Pendeta,
nenek Sang Raja (Vogel 1925 : Ferdinandus 2006: 118).
Pemilihan lokasi di
sepanjang sungai Kali Asin lama dapat difahami terkait dengan pola subsistensi
mereka pada masa itu. Dari data
arkeologi menunjukkan bahwa cara hidup masyarakat pendukung candi selain
mengandalkan dari hasil laut sebagai nelayan juga telah mengembangkan usaha
pertanian. Seperti yang ditunjukkan dari
temuan berupa konsentrasi cangkang kerang di sektor kaliasin-Cikande, sisa
bandul jaring yang terbuat dari terakota.
Cara-cara ini bisa diduga merupakan kontiunitas dari masyarakat
pendukung tembikar Buni. Dalam perkembangannya, masyarakat pendukung candi
selain memanfaatkan hasil laut juga telah mengembangkan kegiatan bercocok tanam
sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini dapat dilihat dari padatnya sekam padi yang ditemukan pada
bata-bata candi. Sekam telah digunakan
sebagai salah satu campuran pada tanah liat sebagai bahan utama pembuatan
bata.
Ekskavasi di situs Cikande memperlihatkan konsentrasi cangkang kerang yang bercampur dengan fragmen tembikar cukup padat pada kedalaman 120 cm.
Untuk memenuhi kebutuhan protein selain dari hasil laut,
di sekitar jalur sungai Kali Asin Lama masih merupakan hutan yang dihuni oleh
berbagai binatang yang dapat dieksploitasi.
Bukti bahwa mereka juga mengeksploitasi binatang dapat dilihat dari temuan taring babi, tanduk
kijang, dan tulang buaya. Mengingat
mereka juga merupakan masyarakat yang masih berburu maka tidak heran jika
mereka telah membuat berbagai peralatan untuk berburu dari logam seperti
parang, pisau, tombak, dan panah.
Berbagai jenis alat logam ini telah digunakan pada masa Pendukung
Tembikar Buni (periode protosejarah ) dan terus berlanjut ke masa pendukung
candi (periode sejarah).
IV
PENUTUP
Penelitian arkeologi di Situs
Batujaya terkait dengan aspek permukiman pendukung komplek candi sejauh ini
baru menemukan data adanya sejumlah lokasi permukiman kuna yang berada di jalur
sungai kali asin lama yang itu berarti berada di sebelah utara komplek candi
sedangkan untuk bagian selatan komplek candi terutama yang juga merupakan
bagian selatan jalur sungai Citarum sangat kecil kemungkinan ditemukan
ditemukan sisa permukiman dengan alasan areal di sebelah selatan sungai Citarum
rentan terhadap banjir dan perubahan jalur sungai Citarum. Permukiman pendukung candi masih sangat
mungkin ditemukan di sebelah timur dan barat komplek candi terlebih lagi di
daerah Tanjung Priok pernah ditemukan prasasti Tugu yang terkait dengan kerajaan
Tarumanagara.
Wilayah
sebaran permukiman di sebelah utara candi, di sepanjang Kali Asin lama ini
diduga sampai ke daerah Wagir yang berjarak hampir 3 KM arah utara dari komplek candi. Di sebelah utara Wagir, besar kemungkinan
ketika candi masih digunakan masih merupakan area hutan mangrove yang cukup
padat.
Permukiman
pendukung candi yang tumbuh di sepanjang jalur sungai ini tampaknya berada di
atas permukiman pendukung budaya komplek Tembikar Buni yang memang sudah eksis
jauh sebelum komplek candi berdiri.
Oleh karena itu seperti masyarakat pendukung Tembikar Buni, mereka juga
telah mengeksplotasi lingkungan untuk keperluan hidupnya. Berburu hewan-hewan yang hidup di hutan
mangrove, mengkosumsi kerang dan ikan merupakan hal yang umum bagi mereka. Teknologi pertanian dengan menanam padi di
lahan-lahan aluvial tampaknya memang sesuatu yang baru muncul ketika persentuhan
dengan India terjadi. Besar kemungkinan
transfer ilmu pengetahuan tentang domestikasi tanaman padi sejalan dengan
diperkenalkannya sistem religi Hindu-Buddha, arsitektur, tulisan, dan
organisasi sosial setingkat kerajaan pada masyarakat Sunda Kuna di pantai utara
Jawa Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
A.H.Said, Chaksana, 2006. “Permukiman dalam Perspektif
Arkeologi” dalam Permukiman di Indonesia
Perspektif arkeologi, Tim Penyusun
(ed.) Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hal 1-20
Boechari, 1977 Candi dan Lingkungannya
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan,
Jakarta : Puslit Arkenas, hal 319-341
Manguin, Pierre-Yves and Agustijanto, 2006.
The archaeology of Batujaya (West Java, Indonesia): an interim
report , in Elizabeth Bacus, Ian C. Glover and Vincent Piggott (Eds.), Uncovering
Southeast Asia ’s Past. Selected Papers from
the 10th International Conference of the European Association of Southeast
Asian Archaeologists. Singapore : National
University of Singapore Press, p. 245-257.
Ferdinandus,Peter,2006. Antara India dan Jawa dalam Permukiman
di Indonesia Perspektif
arkeologi, Tim Penyusun (ed.) Jakarta
: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,hal 115-121
Marwati Djoened dkk,1984. Sejarah Nasional
Indonesia II, Jakarta: PN. Balai Pustaka
Mundardjito,1995. “Kajian
Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa
ini” dalam Berkala Arkeologi (Edisi Khusus) hal. 24-28 Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Polhaupessy, A.A. , 1981. “Quaternary Vegetational History of Batujaya, dalam Bulletin of the Geological Research and
Development Centre, Vol 5, Desember, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya, Bandung , 1981;30-36.
Soeroso MP,1995. Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu
Budha di Pesisir Utara Wilayah Batujaya
dan Cibuaya. Thesis Pasca Sarjana
Arkeologi UI, Depok: Universitas Indonesia
Tim Peneliti,2009. Laporan
Penelitian Awal Peradaban di Pantai Utara Jawa Barat. Jakarta : Puslitbang
Arkenas. (tidak terbit)
Zoetmulder,P.J.,1982. Old
Javanese-English Dictionary. KITLV.Leiden:
Gravenhage-Martinus
Nijhoff
[1] Permukiman di dalam lingkungan candi sudah ditulis
dalam kumpulan makalah berjudul
Widyasancaya terbitan Balai Arkeologi Bandung.
[2] Masalah kronologi pembangunan candi Batujaya sudah
pernah disinggung dalam kumpulan makalah yang berjudul Selected Papers from the 10th International Conference of the European
Association of Southeast Asian Archaeologists. Singapore : National
University of Singapore
Press, p. 245-257.
[3] Zoetmulder,P.J.,1982. Old Javanese-English Dictionary. KITLV.Leiden:
S-Gravenhage-Martinus Nijhoff
Tidak ada komentar:
Posting Komentar