Pengertian
arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu
berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi
yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel
dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source”
(Daniel,1976, Hasan M,1982: 123). Dengan
demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang
amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam
jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi
‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
Salah satu sumber data primer bagi
penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak
bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka
aspek-aspek sosial masa lalu masih dapat
diketahui dan direkonstruksi kembali.
Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di
Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru
Pangambat. Prasasti yang dibuat oleh Sri
Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar
yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan
pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,
tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak
budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun
demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan
naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda(
sekitar abad 15-16 M).
Pengertian naskah-naskah Sunda kuna
adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah
masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran
masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang
merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui
pendekatan teori fungsional.
Berdasarkan waktu pembuatannya,
naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke
16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi
S, 1982: 106). Ada empat macam huruf
yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab
(pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya
pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada
lima jenis bahasa meliputi bahasa Sunda
kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga
mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa. Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan
dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi
unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
Bahan yang digunakan untuk menulis
naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau,
daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang
dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya
masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah
mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat.
(Ayatrohaedi,1993: 18-19)
II
Naskah-naskah
yang akan digunakan dalam memahami aspek-aspek teologis masyarakat Sunda kuna
adalah naskah-naskah yang tergolong pada masa kuna yakni sekitar abad ke-16 dan
ke-17 M. Naskah-naskah yang termasuk pada golongan ini adalah:
a. Sanghyang
Siksa Kandang Karesian
b. Amanat
Galunggung
c. Sewaka
Darma
a. Sanghyang
Siksa Kandang Karesian (SSKK)
Naskah SSKK ditulis di atas daun
nipah dengan memakai huruf dan bahasa Sunda kuna. Saat ini naskah tersebut
disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode kropak 630. Tahun pembuatan
naskah ini ditulis dengan menggunakan candra sangkala yang berbunyi nora
catur sagara wulan atau 1440 C (1518M). Dengan demikian naskah ini
dibuat pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521 M). (Atja dan
Saleh D, 1981b:26).
Secara garis besar naskah ini berisi
gambaran tentang pedoman moral untuk kehidupan masyarakat pada masa itu. Naskah ini banyak sekali mengajarkan perkara
perkara yang dianggap baik dan buruk agar pembacanya tidak salah dalam
bersikap. Hal ini dikenal sebagai sanghyang
catur yatna (empat kewaspadaan) yang meliputi jangan siwok
cante (salah makan), jangan simur cante(salah bergaul), jangan simar
cante(salah mengambil) dan jangan darma cante (salah tugas). Karena bersifat umum, praktis dan mudah di
mengerti oleh semua orang maka naskah ini diperuntukkan bagi semua lapisan dan
golongan sosial dalam masyarakat pada masa itu. Penulis naskah sendiri menjelaskan
bahwa tujuan dibuatnya naskah ini adalah sebagai sebagai pegangan hidup orang
banyak (kundangan urang reja). Pada bagian akhir naskah disebutkan
bahwa sang sewaka darma sebagai sumber pegangan moral. Ditinjau dari isinya,
maka sanghyang siksa kanda ng karesian itu dapat diartikan sebagai ajaran
tentang kehidupan arif berdasarkan darma. Hal ini tercermin dari kutipan naskah
yang menyebutkan sebagai berikut”..sang amaca maka suka, sang nurut ma ujar
rahayu ngaregep cipta nirmala yatna sang sewaka darma ...” artinya “...
semoga pembaca menjadi senang, yang mengikuti ajaran kebaikan, memperhatikan
cita-cita kesucian, mengikuti sewaka darma...” ( ibid).
b. Amanat
Galunggung (AG)
Naskah AG ditemukan di kaki Gunung
Cikurai daerah Ciburuy, Garut Selatan Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut.
Naskah sebanyak enam lembar ini ditulis di atas daun nipah dengan menggunakan
huruf dan bahasa Sunda kuna. Penelitian terhadap naskah ini telah dilakukan
oleh beberapa orang ahli seperti K.F. Holle, C.M. Pleyte dan R. ng.
Poerbatjaraka. J.L.A. Brandes telah menyimpan naskah ini di Museum Nasional
Jakarta dengan kode kropak 632 (Atja dan Saleh D,1981c: 2).
Naskah Amanat Galunggung berisi
tentang ajaran hidup terutama kepada masalah keluhuran budi pekerti disamping
penekanan terhadap amal dan tapa. Maksud dari amal dan tapa di sini adalah setiap orang yang telah melakukan tugasnya (amal)
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kedudukannya itu berarti telah melakukan tapa
dengan baik. Ajaran hidup yang disampaikan dalam naskah ini adalah ajaran yang
disampaikan oleh Rakeyan Darmasiksa pada puteranya Sang Lumahing Taman dan
seluruh rakyatnya. Rakeyan Darmasiksa adalah seorang raja vasal yang
berkedudukan di Saunggalah (Kuningan) sejak tahun 1175 M. Selanjutnya pindah ke
Pakuan dan menjadi raja di sana pada tahun 1187 M. Selanjutnya Kerajaan
Saunggalah diserahkan kepada puteranya Sang Lumahing Taman.(ibid)
c. Sewaka
Darma (SD)
Sewaka Darma berarti hukum-hukum
pengabdian (Emuch H, 1987:72). Naskah
ini berisi tentang pengabdian terhadap ajaran sang Budha yang telah mendapat
pengaruh Agama Hindu dan Sunda. Naskah
ini ditulis di atas daun nipah dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda
kuna. Saat ini naskah tersebut tersimpan
di Musem Nasional Jakarta dengan kode kropak 408. Di dalam naskah disebutkan
pula nama penulisnya yakni seorang resi wanita yang bernama Cicit Ni Dawit yang
telah melakukan pertapaan di pertapaan Ni teja Puru Bancana, Gunung Kumbang.
Pada akhir naskah tertulis kata kala kuta wawatan yang diduga
sebagai tempat penulis mengerjakan naskah ini (Atja dan Saleh D, 1981d: 1).
Naskah Sewaka Darma berisi nasehat
pendeta kepada murid-muridnya yakni calon biarawan dan biarawati mengenai
langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam usahanya mencapai nirwana. Dalam
memberi nasehat sang pendeta selalu menyapa muridnya dengan ucapan “utun
anaking sumanger” artinya “buyung anakku bergembiralah”. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa
Sidhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan siwa dengan agama Budha
Mahayana. Meskipun demikian. pengaruh
dari pemujaan kepada leluhur tetap tampak dalam penulisannya. Secara terinci
naskah ini menguraikan tentang hakekat dari kelepasan (moksa) yang menekankan
kepada penggunaan bayu (tenaga), sabda (ucapan) dan
hedap (tekad) yang sesuai dengan tuntunan dan petunjuk darma. Satu hal yang menarik dari naskah ini adalah
adanya uraian tentang perjalanan roh (jiwa) sesudah meninggalkan kehidupan
dunia, menuju alam kahiyangan bagi mereka yang mengikuti ajaran darma.
III
Sistem religi sebagai salah satu
unsur kebudayaan mengandung tiga wujud kebudayaan yang berupa ide atau gagasan,
aktifitas atau tindakan dan hasil karya manusia (artefak). Dalam sistem religi
ketiga wujud kebudayaan ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Menurut C.
Kluckhohn sistem religi adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang
sifatnya universal, dapat ditemukan pada seluruh suku bangsa di dunia
(Koentjaraningrat, 1990:203). Religi berasal dari bahasa Latin: religio atau
relegere yang berarti mengumpulkan atau membaca. Menurut FD. Holeman, religio
artinya kepercayaan kepada alam semesta dan seisinya dalam keadaan
kesinambungan. Sedangkan menurut Edwar Tylor, agama adalah kepercayaan terhadap
mahluk-mahluk spiritual (E.E.Evans,
1984: 4). Dalam bahasa Indonesia religi dikenal sebagai agama yang artinya
“tidak kacau” sedangkan maknanya adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan,
dewa) serta ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
itu (Tim Penyusun, 1983: 22).
Ada beberapa teori yang mengemukakan
tentang asal-usul timbulnya agama oleh beberapa ahli. Teori animis menyebutkan
bahwa munculnya agama berasal dari fetisisme, pemujaan pada benda-benda mati
dan pada binatang lalu berkembang menjadi
politeisme dan akhirnya monoteisme. Max Muller yang mengemukakan aliran
mitos alam menyebutkan bahwa dewa-dewa kuno dan dewa-dewa yang dipuja dimana
saja dan sepanjang masa adalah tidak lebih dari fenomena alam yang dimanusiakan
(E.E.Evans, 1984: 27). Berbeda dengan dua teori di atas, maka teori fungsional memandang bahwa
asal-usul religi dikarenakan faktor-faktor keterbatasan, ketidakberdayaaan dan
kemampuan yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi kondisi alam yang keras.
Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan referensi transendental yang berada di
luar dunia empiris. Dengan demikian kehadiran agama lebih karena kebutuhan
manusia untuk menyesuaikan diri atas karekteristik manusia itu sendiri (Thomas
F,1992:7-9 ).
Menurut teori ini sumbangan agama
terhadap sistem sosial adalah mengidentifikasikan individu dengan kelompok,
menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa,
mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral dan menyediakan
unsur-unsur identitas, menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat. Dengan demikian agama telah dimanfaatkan
sebagai pendayagunaan sarana-sarana non empiris atau supra empiris untuk
maksud-maksud empiris. Dalam hal ini
perlu juga dicatat pendapat dari Christopher Dawson yang menyebutkan bahwa untuk memahami hasil budaya suatu masyarakat
terlebih dahulu haruslah mengerti agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Menurut Christopher, agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami
hakekat tata masyarakat dan tidak dapat pula memahami hasil budaya mereka tanpa
mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar belakangnya. (Kusen,1993:
91).
IV
Kebudayaan Sunda sebagai satu
identitas masyarakat yang tinggal di bagian barat pulau Jawa telah mengenal
sistem religi dalam mekanisme kebudayaannya. Peninggalan arkeologi dari masa
prasejarah yang berupa menhir, punden berundak dan arca-arca polinesia di
beberapa wilayah Jawa Barat membuktikan pada kita bahwa masyarakat Sunda kuna
telah mengenal dan melakukan upacara-upacara ritual dalam keberagamaannya.
Inti dari religi masa lalu berpusat
pada pemujaan roh nenek moyang. Adanya keyakinan bahwa roh leluhur tidak hilang
begitu saja melainkan tetap mempunyai
pengaruh bagi anak cucunya. Hal ini menyebabkan munculnya upacara-upacara ritual
dan simbol-simbol terhadap pemujaan leluhur seperti menhir dan bangunan
berundak. Alam pikiran masyarakat prasejarah juga memandang bahwa gunung yang
tinggi dan seberang lautan adalah tempat tinggal roh di alam lainnya.
Pada masa klasik di Indonesia,
termasuk di Jawa Barat, masuknya tradisi besar (Hindu-Budha) telah memberi
warna dalam perjalanan religi masyarakat Sunda. Adanya temuan prasasti dari
masa Purnawarman (sekitar abad ke-5 M), telah memberikan petunjuk yang sangat
jelas bahwa tradisi besar tersebut akhirnya menguat dan menjadi sebuah
institusi politik berupa Kerajaan Tarumanegara, dan selanjutnya berdiri
Kerajaan Sunda pada masa yang lebih kemudian setelah jatuhnya Kerajaan
Tarumanegara. Perkembangan dalam aspek religi juga mengalami pasang surut,
sehingga pada satu masa terjadilah sinkretisme[1] antara Agama Hindu-Budha dengan kepercayaan asli (kepercayaan terhadap
leluhur) menjadi sebuah agama “baru”.
Sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal
genius[2], yakni kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur-unsur
baru sesuai dengan kebudayaan mereka. Adanya lokal genius dalam perkembangan
kehidupan keagamaan pada masyarakat Sunda paling tidak telah berlangsung sejak
abad ke-11 M. Hal ini dapat dilihat dari Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat
pada masa Sri Jayabhupati berkuasa di Kerajaan Sunda. Isi dari prasasti
tersebut adalah mengenai pemujaan terhadap Sangyang Tapak yang dapat diartikan
sebagai pemujaan terhadap jejak Sanghyang. Wujud Sanghyang Tapak dapat berupa
menhir yang telah dianggap sebagai simbol kehadiran leluhur di dunia.
Terjadinya sinkretisme ini juga
dapat diketahui dari naskah SSKK. Di dalam naskah disebutkan sebagai “...samangkana
kayatna kon talatah sang sadu. saur sang darma pitutur mujarakon sabda sang
rumuhun, turut twat pakasabda: namo siwaya! nami budaya! namo sidam jiwa
palipurna!...” artinya “...demikianlah pesan yang budiman, ujar sang
darma pitutur menguraikan ajaran para leluhur, yaitu ajaran perilaku yang
menjadi pelajaran, sembah kepada siwa! sembah kepada buda! sembah sepenuhnya
kepada jiwa maha sempurna ... “(Atja dan Saleh D, 1981b:51).
Selanjutnya naskah-naskah Sunda kuna
banyak menyinggung tentang prinsip-prinsip teologi yang menjadi filsafat/ alam
fikiran masyarakat Sunda kuna. Secara
garis besar naskah-naskah ini memuat konsep tentang ketuhanan dengan segala
aspek yang berkaitan dengan ‘alam atas’ dan ajaran tentang budi pekerti.
Naskah-naskah ini sama sekali tidak menyinggung tentang tata upacara keagamaan
dan praktek-praktek yang berhubungan dengan upacara pemujaan terhadap sanghyang
ataupun dewa. Tampaknya hal ini
diserahkan pada para pemuka agama atau kemungkinan lain hal tersebut telah
diatur pada naskah selain tiga naskah di
atas.
Mengacu pada naskah SSKK mengenai
konsep ketuhanan masyarakat Sunda kuna memandang adanya zat yang maha tunggal
dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan prima
causa dalam kehidupan di dunia. Zat yang maha tunggal ini disebut sebagai
Sanghyang, Batara Seda Niskala (SSKK), Batara Guru(AG). Disamping sanghyang
juga diakui adanya dewa-dewa diuar agama leluhur. Fungsi dewa-dewa ini adalah
sebagai pendamping dan pembantu sanghyang dalam mengatur alam dunia dan alam
parahiyangan. Dewa-dewa yang disebut dalam naskah SD adalah Isora,
Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa, Pwa Sanghiyang Sari (dewi padi), Pwa
Naga Nagini (dewi bumi) dan Pwa Soma Adi( dewi bulan). Sedangkan naskah SSKK menyebut nama dewa Siwa,
Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu,
dan Budha. Simbol kedewaan pada naskah AG hanya diwakili
oleh dewa Yama dan Patanjala.
Mengenai Hirarki dalam struktur
kedewaan maka dalam naskah SD kedudukan sanghyang dan dewa masih sejajar,
tetapi dalam perkembangan selanjutnya yakni pada naskah SSKK, kedudukan sanghyang menjadi lebih tinggi
dibandingkan para dewa. “..dewa bakti di hyang..”,(dewata
tunduk pada hyang). Sebenarnya di dalam naskah SD telah menunjukkan adanya
perbedaan posisi antara dewa dan sanghyang karena meskipun keduanya sama-sama
tinggal di parahyangan akan tetapi para dewa hanya menempati tingkat pertama dari
parahyangan. Baru pada naskah SSKK tempat tinggal para dewa dan hyang
terpisah. Para dewa tinggal di surga
sedangkan sanghyang tinggal di parahyangan.
Dengan demikian naskah SSKK telah melakukan pemisahan yang jelas antara sanghyang dan
dewa.
Dengan adanya kepercayaan terhadap
sanghyang dan para dewa ini membuat masyarakat Sunda mengenal bermacam-macam
tempat pemujaan. Naskah SSKK memuat
tentang jenis-jenis tempat pemujaan yakni pahoman (rumah sajen), pabutelan(?),
pamujan(tempat
pemujaan), lmahmaneh(?), candi, prasada (kuil), lingga
linggih (palinggan), batu gangsa(?), lemah biningba (tempat
arca). Naskah Bujangga Manik (BM) menyebutkan bahwa telaga warna adalah
kabuyutannya orang pakuan, “..sadatang
ka bukit ageung eta hulu cihaliwung kabuyutan ti pakuan sanghiang talaga
warna..” artinya “..sedatangnya di bukit agung hulu sungai ciliwung
(terdapatlah disana) kabuyutan pakuan, yaitu sanghiang talaga warna..”(J
Noorduyn,1984: 10).
Mengingat dalam konsep teologi,
kedudukan sanghyang lebih tinggi dibandingkan para dewa maka tempat-tempat
pemujaan yang merupakan sebuah kabuyutan sebagai tempat tinggal sanghyang di
dunia menjadi lebih penting dibandingkan tempat-tempat pemujaan lainnya.
Bentuk-bentuk kabuyutan tersebut antara lain telaga warna (naskah BM) dan
punden berundak (pada masyarakat baduy). Agus Aris Munandar menduga bahwa di
dalam suatu bentuk kabuyutan terdapat bangunan seperti batur tunggal dan punden
berundak (1992:166). Terdapat
kemungkinan pada masa ini pembangunan candi/ kuil sebagai tempat tinggal para
dewa menjadi berkurang karena anggapan diatas dan sebaliknya
kabuyutan-kabuyutan banyak didirikan.
Disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan (CP) bahwa Raja Rakean
Darmasiksa banyak membangun kabuyutan pada masa pemerintahannya. Selanjutnya naskah CP menyebutkan sebagai “..disilihan
doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu inya nu nyio(n)
sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama,ti sang resi, ti
sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan..” artinya “..digantikan
oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat
panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang
disri, sang tarahan,dari parahinyangan.(Atja dan Saleh D,1981a:15). Pentingnya
posisi kabuyutan dibandingkan dengan kuil-kuil atau candi juga dapat diketahui
dari naskah AG yang memerintahkan agar kabuyutan di galunggung dijaga dan
dipertahankan dari serangan musuh. Naskah AG menyebutkan sebagai “..lamun
miprangkon kabuyutan na galunggung a(n)tuk na kabuyutan awak urang na
kabuyutan..” artinya “..bila terjadi perang dikabuyutan di galunggung
pergilah ke kabuyutan bertahanlah kita di kabuyutan..”(Atja dan Saleh
D,1981c:29).
Presepsi masyarakat Sunda kuna
terhadap kehidupan setelah kematian telah mengalami kemajuan dan sangat
dipengaruhi oleh konsep Agama Hindu-Budha. Hal ini berkaitan dengan konsep tapa (darma) , ngahiang (moksa) dan samsara. Seseorang yang selama hidupnya mengacu pada
ajaran sanghyang siksa dengan melakukan tapa yakni melakukan pekerjaan
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kondisi/ kedudukannya maka akan dapat
bertemu dengan hyang, bersatu dengan hyang di parahyangan(ngahiang). Sedangkan apabila di dunia tidak melaksanakan
tapa
dengan baik dan melanggar ajaran sanghyang siksa maka dia akan mengalami
kehidupan yang lebih buruk pada proses kehidupan yang kedua (samsara).
Naskah SSKK menyebutkan bahwa orang-orang yang
melanggar ajaran sanghyang siksa dengan melakukan perbuatan terlarang
seperti mencuri, merampok, dan perbuatan tercela lainnya akan menjadi binatang
kotor seperti janggel dan hiled tahun pada proses kehidupan
keduanya dan pada akhirnya
orang-orang ini akan menjadi penghuni
neraka yang di jaga oleh Dewa Yama.
Mengenai kehidupan di parahyangan,
naskah SD menulis bahwa parahyangan mempunyai beberapa tingkat. Tingkat yang
paling dasar ditempati oleh para dewa seperti Dewa Isora, Wisnu, Mahadewa,
Brahma dan Siwa. masing-masing menempati empat arah mata angin dengan Dewa Siwa
berada di tengah. Tingkat ke-2 dari parahyangan ditempati oleh Sari Dewata dan
Ni Dang Larang Nawati. Tingkat ke-3 dihuni oleh Pwa Sanghyang Sri ( dewi padi),
Pwa Naga Nagini (dewi bumi) dan Pwa Soma Adi (dewa bulan). Dan tingkat yang
paling tinggi adalah keheningan, lepas dari semua ikatan hidup dalam keabadian.
Di dalam naskah SD, tujuan akhir roh
orang yang meninggal tidak bersatu dengan dewa atau sanghyang melainkan tiba di
alam keabadian. Naskah SD melukiskan perjalanan roh yang telah mencapai
tingkat tertinggi dari parahyangan dan
roh tersebut berada dalam kondisi yang digambarkan sebagai
suka tanpa
mengenal duka
kenyang
tanpa mengenal lapar
hidup tanpa
mengenal maut
bahagia
tanpa mengenal sengsara
baik tanpa
mengenal buruk
pasti tanpa
mengenal kebetulan
moksa lepas
tanpa mengenal ulangan hidup (Atja dan Saleh D, 1981c:71).
Mengingat tujuan akhir masyarakat
Sunda yakni bersatu dengan sanghyang tampaknya naskah SD sedikit berbeda. Hal
ini dapat dipahami mengingat naskah SD diperuntukkan bagi para pengabdi sang
Budha. Jadi masih sangat kental dengan nilai-nilai Budha meskipun tidak steril
dari unsur-unsur lokal. Di sisi lain juga menunjukkan adanya dinamika dalam
konsep-konsep keagamaan masyarakat Sunda kuna, dengan asumsi bahwa naskah SD
lebih muda dari naskah SSKK. Unsur-unsur lokal semakin menguat sampai jatuhnya
kerajaan Sunda.
Melihat beberapa konsep teologi yang
ada pada agama hasil sinkretisme ini,
dihubungkan dengan teori fungsional maka ada beberapa hal yang patut
untuk dicatat. Pertama, agama tersebut telah memberikan kontribusinya berupa
penyedia unsur identitas bagi masyarakat Sunda kuna yang membedakan mereka dari
masyarakat Jawa. Naskah Negarakrtagama menyebutkan sebagai:
Pupuh XVI
kunan ika san bhujanga sugatabrateki karno apituwin ajna hajya tan asin
paranantika hinilahila sakulwan ikanan tanah Jawa kabeh taya rin bodda mara
rakwa sambhawa tinut (th. G. th Pigeaud, 1960:13)
terjemahan:
konon
khabarnya para pendeta penganut sang sugata dalam perjalanan mengemban perintah
baginda Nata dilarang menginjak tanah di sebelah barat pulau Jawa karena
penghuninya bukan penganut ajaran Budha ( Slamet M,1960:28).
Kedua,
Agama tersebut telah membentuk karakter dan sifat masyarakat Sunda kuna
karena telah memberikan kepastian akan
kehidupan setelah kematian, memberi rasa aman( karena kehadiran dewa dan
sanghyang yang selalu menolongnya), dan dorongan kearah pembentukan moral (agar
bersikap seperti yang diinginkan oleh sanghyang). Ketiga, agama tersebut juga telah memberikan kontribusi bagi
stabilitas keamanan kerajaan karena bagi mereka yang melanggar ajaran sanghyang
siksa pasti akan mendapatkan sangsi secara moral di dunia ( mendapat murka dari
dewa dan sanghyang) dan kerugian di akhirat (berupa penderitaan hidup di
akhirat).
V
Dari uraian diatas paling tidak
naskah-naskah Sunda kuna telah memuat beberapa konsep teologi. Pertama adalah konsep tentang ketuhanan yang
meletakkan sanghyang sebagai azas yang tertinggi. Kedua adanya konsep yang
menyinggung adanya kehidupan setelah kematian termasuk didalamnya adalah
keadaan di ‘alam atas’ yang akan dilalui oleh setiap manusia sesudah
kematiannya. Terakhir, naskah ini memuat beberapa konsep tentang cara-cara
untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat yakni dengan melakukan amal
dan
tapa sesuai dengan kedudukannya. Tinjauan terhadap agama hasil dari
sinkretisme antara Agama Hindu-Budha dengan Keyakinan terhadap roh nenek moyang
dari sudut fungsional serta hubungannya dengan masyarakat pendukungnya, terbukti bahwa agama tersebut dan masyarakat
pendukungnya saling pengaruh-mempengaruhi.
Agama telah memberikan kontribusi dalam dinamika kehidupan masyarakat
Sunda kuna dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat juga telah ikut mempengaruhi
pemikiran-pemikiran baru terhadap agama. Hal ini tampak jelas dari
naskah-naskah Sunda kuna. Seperti pada naskah
SD, dimana kedudukan dewa dan sanghyang
masih sejajar akan tetapi pada naskah SSKK kedudukan sanghyang telah
lebih tinggi dari dewa Hindu-Budha. Bagi masyarakat Sunda kuna, agama tersebut
telah digunakan sebagai pemberi identitas,
pembentuk karakter dan sifat masyarakat serta alat untuk menjaga
kesatuan dan stabilitas keamanan..
DAFTAR PUSTAKA
Agus Aris Munandar. “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan
Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis, PIA VI. Malang: Puslit Arkenas,
1992. hlm.150-157
Atja dan Saleh Danasasmita, Carita Parahyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981a.
________________________,
Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat, 1981b.
________________________,
Amanat Galunggung. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat,
1981c.
________________________, Sewaka Darma. Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat, 1981d.
Ayatrohaedi, “Aksara Sunda Kuna”, Seminar Aksara Daerah
Jawa Barat. Bandung: Universita Padjajaran, 1993
Edi S.Ekadjati, “Naskah Sunda Dewasa Ini” , Analisis
Kebudayaan, thn.III,no.2. Jakarta: Depdikbud, 1982
__________, “Khasanah Naskah Sunda” ,Seminar Aksara
Daerah Jawa Barat . Bandung: Universita Padjajaran, 1993.
Emuch Herman
S, Kamus Bahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Sundanologi, 1987.
E.Evans
Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, Yoyakarta: PLD2M, 1984
F.Odea,
Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Hasan M.Ambary, “Pendekata Arkeologi Dalam Penelitian
Agama di Indonesia” dalam Mulyanto S, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran,
Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986
Kusen, et al. “Agama dalam Kepercayaan Masyarakat
Majapahit” dalam Sartono Kartodirdjo, ed.dkk. 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga
Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata, 1993.
Noorduyn, J, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah
Jawa: Data Topografi dari Sumber Sunda Kuna, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 1984.
Pigeaud,
Th.g.th. Java in the Foueteenth Century: A Study In Cultural Historis. The Nagarakrtagama By Rakawi Prapantja of
Majapahit 1365 AD, vol I, The Hague Martinus Nijhoff, 1960-1963
[1] Sinkrrtime adalah
paham/aliran baru yang merupakan perpaduan dua atau beberapa paham/aliran yang
berbeda untuk mencari keserasian (tim penyusun:1989)
[2] Lokal genius menurut
Quaritch Wales adalah : the sum of the cultural characteristic which the vast
majority of a people have in common as a result of their experience in early
ilfe artinya keseluruhan ciri-ciri yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat
bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau (I Gusti Ardana: 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar