13 Maret 2015

BEBERAPA PRINSIP TEOLOGI NASKAH SUNDA KUNA (Hubungannya dengan masyarakat Sunda kuna)

            
             Pengertian arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source” (Daniel,1976,  Hasan M,1982: 123). Dengan demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi ‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
            Salah satu sumber data primer bagi penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka aspek-aspek sosial masa lalu  masih dapat diketahui dan direkonstruksi kembali.
            Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru Pangambat.  Prasasti yang dibuat oleh Sri Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,  tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Meskipun demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda( sekitar abad 15-16 M).
            Pengertian naskah-naskah Sunda kuna adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui pendekatan teori fungsional.
            Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke 16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi S, 1982: 106).  Ada empat macam huruf yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab (pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada lima jenis  bahasa meliputi bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa.  Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
            Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat. (Ayatrohaedi,1993: 18-19)


II

            Naskah-naskah yang akan digunakan dalam memahami aspek-aspek teologis masyarakat Sunda kuna adalah naskah-naskah yang tergolong pada masa kuna yakni sekitar abad ke-16 dan ke-17 M. Naskah-naskah yang termasuk pada golongan ini adalah:
a. Sanghyang Siksa Kandang Karesian
b. Amanat Galunggung
c. Sewaka Darma

a. Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK)
            Naskah SSKK ditulis di atas daun nipah dengan memakai huruf dan bahasa Sunda kuna. Saat ini naskah tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode kropak 630. Tahun pembuatan naskah ini ditulis dengan menggunakan candra sangkala yang berbunyi nora catur sagara wulan atau 1440 C (1518M). Dengan demikian naskah ini dibuat pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521 M). (Atja dan Saleh D, 1981b:26).
            Secara garis besar naskah ini berisi gambaran tentang pedoman moral untuk kehidupan masyarakat pada masa itu.  Naskah ini banyak sekali mengajarkan perkara perkara yang dianggap baik dan buruk agar pembacanya tidak salah dalam bersikap.  Hal ini dikenal sebagai sanghyang catur yatna (empat kewaspadaan) yang meliputi jangan siwok cante (salah makan), jangan simur cante(salah bergaul), jangan simar cante(salah mengambil) dan jangan darma cante (salah tugas).  Karena bersifat umum, praktis dan mudah di mengerti oleh semua orang maka naskah ini diperuntukkan bagi semua lapisan dan golongan sosial dalam masyarakat pada masa itu. Penulis naskah sendiri menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya naskah ini adalah sebagai sebagai pegangan hidup orang banyak (kundangan urang reja). Pada bagian akhir naskah disebutkan bahwa sang sewaka darma sebagai sumber pegangan moral. Ditinjau dari isinya, maka sanghyang siksa kanda ng karesian itu dapat diartikan sebagai ajaran tentang kehidupan arif berdasarkan darma. Hal ini tercermin dari kutipan naskah yang menyebutkan sebagai berikut”..sang amaca maka suka, sang nurut ma ujar rahayu ngaregep cipta nirmala yatna sang sewaka darma ...” artinya “... semoga pembaca menjadi senang, yang mengikuti ajaran kebaikan, memperhatikan cita-cita kesucian, mengikuti sewaka darma...” ( ibid).

b. Amanat Galunggung (AG)
            Naskah AG ditemukan di kaki Gunung Cikurai daerah Ciburuy, Garut Selatan Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Naskah sebanyak enam lembar ini ditulis di atas daun nipah dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuna. Penelitian terhadap naskah ini telah dilakukan oleh beberapa orang ahli seperti K.F. Holle, C.M. Pleyte dan R. ng. Poerbatjaraka. J.L.A. Brandes telah menyimpan naskah ini di Museum Nasional Jakarta dengan kode kropak 632 (Atja dan Saleh D,1981c: 2).
            Naskah Amanat Galunggung berisi tentang ajaran hidup terutama kepada masalah keluhuran budi pekerti disamping penekanan terhadap amal dan tapa. Maksud dari amal dan tapa di sini adalah setiap orang yang telah melakukan tugasnya (amal) dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kedudukannya itu berarti telah melakukan tapa dengan baik. Ajaran hidup yang disampaikan dalam naskah ini adalah ajaran yang disampaikan oleh Rakeyan Darmasiksa pada puteranya Sang Lumahing Taman dan seluruh rakyatnya. Rakeyan Darmasiksa adalah seorang raja vasal yang berkedudukan di Saunggalah (Kuningan) sejak tahun 1175 M. Selanjutnya pindah ke Pakuan dan menjadi raja di sana pada tahun 1187 M. Selanjutnya Kerajaan Saunggalah diserahkan kepada puteranya Sang Lumahing Taman.(ibid)

c. Sewaka Darma (SD)
            Sewaka Darma berarti hukum-hukum pengabdian (Emuch H, 1987:72).  Naskah ini berisi tentang pengabdian terhadap ajaran sang Budha yang telah mendapat pengaruh Agama Hindu dan Sunda.  Naskah ini ditulis di atas daun nipah dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuna.  Saat ini naskah tersebut tersimpan di Musem Nasional Jakarta dengan kode kropak 408. Di dalam naskah disebutkan pula nama penulisnya yakni seorang resi wanita yang bernama Cicit Ni Dawit yang telah melakukan pertapaan di pertapaan Ni teja Puru Bancana, Gunung Kumbang. Pada akhir naskah tertulis kata kala kuta wawatan yang diduga sebagai tempat penulis mengerjakan naskah ini (Atja dan Saleh D, 1981d: 1).
            Naskah Sewaka Darma berisi nasehat pendeta kepada murid-muridnya yakni calon biarawan dan biarawati mengenai langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam usahanya mencapai nirwana. Dalam memberi nasehat sang pendeta selalu menyapa muridnya dengan ucapan “utun anaking sumanger” artinya “buyung anakku bergembiralah”.  Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan siwa dengan agama Budha Mahayana.  Meskipun demikian. pengaruh dari pemujaan kepada leluhur tetap tampak dalam penulisannya. Secara terinci naskah ini menguraikan tentang hakekat dari kelepasan (moksa) yang menekankan kepada penggunaan bayu (tenaga), sabda (ucapan) dan hedap (tekad) yang sesuai dengan tuntunan dan petunjuk darma.  Satu hal yang menarik dari naskah ini adalah adanya uraian tentang perjalanan roh (jiwa) sesudah meninggalkan kehidupan dunia, menuju alam kahiyangan bagi mereka yang mengikuti ajaran darma.

III

            Sistem religi sebagai salah satu unsur kebudayaan mengandung tiga wujud kebudayaan yang berupa ide atau gagasan, aktifitas atau tindakan dan hasil karya manusia (artefak). Dalam sistem religi ketiga wujud kebudayaan ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Menurut C. Kluckhohn sistem religi adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang sifatnya universal, dapat ditemukan pada seluruh suku bangsa di dunia (Koentjaraningrat, 1990:203). Religi berasal dari bahasa Latin: religio atau relegere yang berarti mengumpulkan atau membaca. Menurut FD. Holeman, religio artinya kepercayaan kepada alam semesta dan seisinya dalam keadaan kesinambungan. Sedangkan menurut Edwar Tylor, agama adalah kepercayaan terhadap mahluk-mahluk spiritual  (E.E.Evans, 1984: 4). Dalam bahasa Indonesia religi dikenal sebagai agama yang artinya “tidak kacau” sedangkan maknanya adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa) serta ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Tim Penyusun, 1983: 22).
            Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang asal-usul timbulnya agama oleh beberapa ahli. Teori animis menyebutkan bahwa munculnya agama berasal dari fetisisme, pemujaan pada benda-benda mati dan pada binatang lalu berkembang menjadi  politeisme dan akhirnya monoteisme. Max Muller yang mengemukakan aliran mitos alam menyebutkan bahwa dewa-dewa kuno dan dewa-dewa yang dipuja dimana saja dan sepanjang masa adalah tidak lebih dari fenomena alam yang dimanusiakan (E.E.Evans, 1984: 27). Berbeda dengan dua teori di atas,  maka teori fungsional memandang bahwa asal-usul religi dikarenakan faktor-faktor keterbatasan, ketidakberdayaaan dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi kondisi alam yang keras. Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan referensi transendental yang berada di luar dunia empiris. Dengan demikian kehadiran agama lebih karena kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri atas karekteristik manusia itu sendiri (Thomas F,1992:7-9 ).      
            Menurut teori ini sumbangan agama terhadap sistem sosial adalah mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral dan menyediakan unsur-unsur identitas, menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat.   Dengan demikian agama telah dimanfaatkan sebagai pendayagunaan sarana-sarana non empiris atau supra empiris untuk maksud-maksud empiris.  Dalam hal ini perlu juga dicatat pendapat dari Christopher Dawson yang menyebutkan bahwa  untuk memahami hasil budaya suatu masyarakat terlebih dahulu haruslah mengerti agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Menurut Christopher, agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami hakekat tata masyarakat dan tidak dapat pula memahami hasil budaya mereka tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar belakangnya. (Kusen,1993: 91).

IV

            Kebudayaan Sunda sebagai satu identitas masyarakat yang tinggal di bagian barat pulau Jawa telah mengenal sistem religi dalam mekanisme kebudayaannya. Peninggalan arkeologi dari masa prasejarah yang berupa menhir, punden berundak dan arca-arca polinesia di beberapa wilayah Jawa Barat membuktikan pada kita bahwa masyarakat Sunda kuna telah mengenal dan melakukan upacara-upacara ritual dalam keberagamaannya.
            Inti dari religi masa lalu berpusat pada pemujaan roh nenek moyang. Adanya keyakinan bahwa roh leluhur tidak hilang begitu saja melainkan tetap  mempunyai pengaruh bagi anak cucunya.  Hal ini  menyebabkan munculnya upacara-upacara ritual dan simbol-simbol terhadap pemujaan leluhur seperti menhir dan bangunan berundak. Alam pikiran masyarakat prasejarah juga memandang bahwa gunung yang tinggi dan seberang lautan adalah tempat tinggal roh di alam lainnya.
            Pada masa klasik di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, masuknya tradisi besar (Hindu-Budha) telah memberi warna dalam perjalanan religi masyarakat Sunda. Adanya temuan prasasti dari masa Purnawarman (sekitar abad ke-5 M), telah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa tradisi besar tersebut akhirnya menguat dan menjadi sebuah institusi politik berupa Kerajaan Tarumanegara, dan selanjutnya berdiri Kerajaan Sunda pada masa yang lebih kemudian setelah jatuhnya Kerajaan Tarumanegara. Perkembangan dalam aspek religi juga mengalami pasang surut, sehingga pada satu masa terjadilah sinkretisme[1] antara Agama Hindu-Budha dengan kepercayaan asli (kepercayaan terhadap leluhur) menjadi sebuah agama “baru”.  Sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius[2], yakni kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur-unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka. Adanya lokal genius dalam perkembangan kehidupan keagamaan pada masyarakat Sunda paling tidak telah berlangsung sejak abad ke-11 M. Hal ini dapat dilihat dari Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat pada masa Sri Jayabhupati berkuasa di Kerajaan Sunda. Isi dari prasasti tersebut adalah mengenai pemujaan terhadap Sangyang Tapak yang dapat diartikan sebagai pemujaan terhadap jejak Sanghyang. Wujud Sanghyang Tapak dapat berupa menhir yang telah dianggap sebagai simbol kehadiran leluhur di dunia.
            Terjadinya sinkretisme ini juga dapat diketahui dari naskah SSKK. Di dalam naskah disebutkan sebagai “...samangkana kayatna kon talatah sang sadu. saur sang darma pitutur mujarakon sabda sang rumuhun, turut twat pakasabda: namo siwaya! nami budaya! namo sidam jiwa palipurna!...” artinya “...demikianlah pesan yang budiman, ujar sang darma pitutur menguraikan ajaran para leluhur, yaitu ajaran perilaku yang menjadi pelajaran, sembah kepada siwa! sembah kepada buda! sembah sepenuhnya kepada jiwa maha sempurna ... “(Atja dan Saleh D, 1981b:51).
            Selanjutnya naskah-naskah Sunda kuna banyak menyinggung tentang prinsip-prinsip teologi yang menjadi filsafat/ alam fikiran masyarakat Sunda kuna.  Secara garis besar naskah-naskah ini memuat konsep tentang ketuhanan dengan segala aspek yang berkaitan dengan ‘alam atas’ dan ajaran tentang budi pekerti. Naskah-naskah ini sama sekali tidak menyinggung tentang tata upacara keagamaan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan upacara pemujaan terhadap sanghyang ataupun dewa.  Tampaknya hal ini diserahkan pada para pemuka agama atau kemungkinan lain hal tersebut telah diatur pada naskah selain  tiga naskah di atas.
            Mengacu pada naskah SSKK mengenai konsep ketuhanan masyarakat Sunda kuna memandang adanya zat yang maha tunggal dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan prima causa dalam kehidupan di dunia. Zat yang maha tunggal ini disebut sebagai Sanghyang, Batara Seda Niskala (SSKK), Batara Guru(AG). Disamping sanghyang juga diakui adanya dewa-dewa diuar agama leluhur. Fungsi dewa-dewa ini adalah sebagai pendamping dan pembantu sanghyang dalam mengatur alam dunia dan alam parahiyangan. Dewa-dewa yang disebut dalam naskah SD adalah Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa, Pwa Sanghiyang Sari (dewi padi), Pwa Naga Nagini (dewi bumi) dan Pwa Soma Adi( dewi bulan).  Sedangkan naskah SSKK menyebut nama dewa Siwa, Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Budha.  Simbol kedewaan pada naskah AG hanya diwakili oleh dewa Yama dan Patanjala.
            Mengenai Hirarki dalam struktur kedewaan maka dalam naskah SD kedudukan sanghyang dan dewa masih sejajar, tetapi dalam perkembangan selanjutnya yakni pada naskah SSKK,  kedudukan sanghyang menjadi lebih tinggi dibandingkan para dewa. “..dewa bakti di hyang..”,(dewata tunduk pada hyang). Sebenarnya di dalam naskah SD telah menunjukkan adanya perbedaan posisi antara dewa dan sanghyang karena meskipun keduanya sama-sama tinggal di parahyangan akan tetapi para dewa hanya menempati tingkat pertama dari parahyangan. Baru pada naskah SSKK tempat tinggal para dewa dan hyang terpisah.  Para dewa tinggal di surga sedangkan sanghyang tinggal di parahyangan.  Dengan demikian naskah SSKK telah melakukan  pemisahan yang jelas antara sanghyang dan dewa.
            Dengan adanya kepercayaan terhadap sanghyang dan para dewa ini membuat masyarakat Sunda mengenal bermacam-macam tempat pemujaan.  Naskah SSKK memuat tentang jenis-jenis tempat pemujaan yakni pahoman (rumah sajen), pabutelan(?), pamujan(tempat pemujaan), lmahmaneh(?), candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), batu gangsa(?), lemah biningba (tempat arca). Naskah Bujangga Manik (BM) menyebutkan bahwa telaga warna adalah kabuyutannya orang pakuan, “..sadatang  ka bukit ageung eta hulu cihaliwung kabuyutan ti pakuan sanghiang talaga warna..” artinya “..sedatangnya di bukit agung hulu sungai ciliwung (terdapatlah disana) kabuyutan pakuan, yaitu sanghiang talaga warna..”(J Noorduyn,1984: 10).
            Mengingat dalam konsep teologi, kedudukan sanghyang lebih tinggi dibandingkan para dewa maka tempat-tempat pemujaan yang merupakan sebuah kabuyutan sebagai tempat tinggal sanghyang di dunia menjadi lebih penting dibandingkan tempat-tempat pemujaan lainnya. Bentuk-bentuk kabuyutan tersebut antara lain telaga warna (naskah BM) dan punden berundak (pada masyarakat baduy). Agus Aris Munandar menduga bahwa di dalam suatu bentuk kabuyutan terdapat bangunan seperti batur tunggal dan punden berundak (1992:166).  Terdapat kemungkinan pada masa ini pembangunan candi/ kuil sebagai tempat tinggal para dewa menjadi berkurang karena anggapan diatas dan sebaliknya kabuyutan-kabuyutan banyak didirikan.  Disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan (CP) bahwa Raja Rakean Darmasiksa banyak membangun kabuyutan pada masa pemerintahannya.  Selanjutnya naskah CP menyebutkan sebagai “..disilihan doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu inya nu nyio(n) sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama,ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan..” artinya “..digantikan oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri, sang tarahan,dari parahinyangan.(Atja dan Saleh D,1981a:15). Pentingnya posisi kabuyutan dibandingkan dengan kuil-kuil atau candi juga dapat diketahui dari naskah AG yang memerintahkan agar kabuyutan di galunggung dijaga dan dipertahankan dari serangan musuh. Naskah AG menyebutkan sebagai “..lamun miprangkon kabuyutan na galunggung a(n)tuk na kabuyutan awak urang na kabuyutan..” artinya “..bila terjadi perang dikabuyutan di galunggung pergilah ke kabuyutan bertahanlah kita di kabuyutan..”(Atja dan Saleh D,1981c:29).
            Presepsi masyarakat Sunda kuna terhadap kehidupan setelah kematian telah mengalami kemajuan dan sangat dipengaruhi oleh konsep Agama Hindu-Budha. Hal ini berkaitan dengan konsep tapa (darma) , ngahiang (moksa) dan samsara.  Seseorang yang selama hidupnya mengacu pada ajaran sanghyang siksa dengan melakukan tapa yakni melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kondisi/ kedudukannya maka akan dapat bertemu dengan hyang, bersatu dengan hyang di parahyangan(ngahiang).  Sedangkan apabila di dunia tidak melaksanakan tapa dengan baik dan melanggar ajaran sanghyang siksa maka dia akan mengalami kehidupan yang lebih buruk pada proses kehidupan yang kedua (samsara). Naskah SSKK menyebutkan bahwa orang-orang yang  melanggar ajaran sanghyang siksa dengan melakukan perbuatan terlarang seperti mencuri, merampok, dan perbuatan tercela lainnya akan menjadi binatang kotor seperti janggel dan hiled tahun pada proses kehidupan keduanya dan  pada akhirnya orang-orang  ini akan menjadi penghuni neraka yang di jaga oleh Dewa Yama.
            Mengenai kehidupan di parahyangan, naskah SD menulis bahwa parahyangan mempunyai beberapa tingkat. Tingkat yang paling dasar ditempati oleh para dewa seperti Dewa Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma dan Siwa. masing-masing menempati empat arah mata angin dengan Dewa Siwa berada di tengah. Tingkat ke-2 dari parahyangan ditempati oleh Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Tingkat ke-3 dihuni oleh Pwa Sanghyang Sri ( dewi padi), Pwa Naga Nagini (dewi bumi) dan Pwa Soma Adi (dewa bulan). Dan tingkat yang paling tinggi adalah keheningan, lepas dari semua ikatan hidup dalam keabadian.
            Di dalam naskah SD, tujuan akhir roh orang yang meninggal tidak bersatu dengan dewa atau sanghyang melainkan tiba di alam keabadian. Naskah SD melukiskan perjalanan roh yang telah mencapai tingkat  tertinggi dari parahyangan dan roh tersebut berada dalam kondisi yang digambarkan sebagai
suka tanpa mengenal duka
kenyang tanpa mengenal lapar
hidup tanpa mengenal maut
bahagia tanpa mengenal sengsara
baik tanpa mengenal buruk
pasti tanpa mengenal kebetulan
moksa lepas tanpa mengenal ulangan hidup (Atja dan Saleh D, 1981c:71).
            Mengingat tujuan akhir masyarakat Sunda yakni bersatu dengan sanghyang tampaknya naskah SD sedikit berbeda. Hal ini dapat dipahami mengingat naskah SD diperuntukkan bagi para pengabdi sang Budha. Jadi masih sangat kental dengan nilai-nilai Budha meskipun tidak steril dari unsur-unsur lokal. Di sisi lain juga menunjukkan adanya dinamika dalam konsep-konsep keagamaan masyarakat Sunda kuna, dengan asumsi bahwa naskah SD lebih muda dari naskah SSKK. Unsur-unsur lokal semakin menguat sampai jatuhnya kerajaan Sunda.
            Melihat beberapa konsep teologi yang ada pada agama hasil sinkretisme ini,  dihubungkan dengan teori fungsional maka ada beberapa hal yang patut untuk dicatat.  Pertama, agama tersebut telah memberikan kontribusinya berupa penyedia unsur identitas bagi masyarakat Sunda kuna yang membedakan mereka dari masyarakat Jawa. Naskah Negarakrtagama menyebutkan sebagai:
Pupuh XVI
kunan ika san bhujanga sugatabrateki karno apituwin ajna hajya tan asin paranantika hinilahila sakulwan ikanan tanah Jawa kabeh taya rin bodda mara rakwa sambhawa tinut (th. G. th Pigeaud, 1960:13)
terjemahan:
konon khabarnya para pendeta penganut sang sugata dalam perjalanan mengemban perintah baginda Nata dilarang menginjak tanah di sebelah barat pulau Jawa karena penghuninya bukan penganut ajaran Budha ( Slamet M,1960:28).
             Kedua, Agama tersebut telah membentuk karakter dan sifat masyarakat Sunda kuna karena  telah memberikan kepastian akan kehidupan setelah kematian, memberi rasa aman( karena kehadiran dewa dan sanghyang yang selalu menolongnya), dan dorongan kearah pembentukan moral (agar bersikap seperti yang diinginkan oleh sanghyang). Ketiga, agama tersebut juga telah memberikan kontribusi bagi stabilitas keamanan kerajaan karena bagi mereka yang melanggar ajaran sanghyang siksa pasti akan mendapatkan sangsi secara moral di dunia ( mendapat murka dari dewa dan sanghyang) dan kerugian di akhirat (berupa penderitaan hidup di akhirat).

             V

            Dari uraian diatas paling tidak naskah-naskah Sunda kuna telah memuat beberapa konsep teologi. Pertama  adalah konsep tentang ketuhanan yang meletakkan sanghyang sebagai azas yang tertinggi. Kedua adanya konsep yang menyinggung adanya kehidupan setelah kematian termasuk didalamnya adalah keadaan di ‘alam atas’ yang akan dilalui oleh setiap manusia sesudah kematiannya. Terakhir, naskah ini memuat beberapa konsep tentang cara-cara untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat yakni dengan melakukan amal dan tapa sesuai dengan kedudukannya. Tinjauan terhadap agama hasil dari sinkretisme antara Agama Hindu-Budha dengan Keyakinan terhadap roh nenek moyang dari sudut fungsional serta hubungannya dengan masyarakat pendukungnya,  terbukti bahwa agama tersebut dan masyarakat pendukungnya saling pengaruh-mempengaruhi.  Agama telah memberikan kontribusi dalam dinamika kehidupan masyarakat Sunda kuna dan selanjutnya pertumbuhan masyarakat juga telah ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran baru terhadap agama. Hal ini tampak jelas dari naskah-naskah Sunda kuna.  Seperti pada naskah SD, dimana kedudukan dewa dan sanghyang  masih sejajar akan tetapi pada naskah SSKK kedudukan sanghyang telah lebih tinggi dari dewa Hindu-Budha. Bagi masyarakat Sunda kuna, agama tersebut telah digunakan sebagai pemberi identitas,  pembentuk karakter dan sifat masyarakat serta alat untuk menjaga kesatuan dan stabilitas keamanan.. 
 
DAFTAR PUSTAKA

Agus Aris Munandar. “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis, PIA VI. Malang: Puslit Arkenas, 1992. hlm.150-157

Atja dan Saleh Danasasmita, Carita Parahyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981a.

________________________,  Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981b.

________________________,  Amanat Galunggung. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981c.

________________________,   Sewaka Darma. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981d.


Ayatrohaedi, “Aksara Sunda Kuna”, Seminar Aksara Daerah Jawa Barat. Bandung: Universita Padjajaran, 1993

Edi S.Ekadjati, “Naskah Sunda Dewasa Ini” , Analisis Kebudayaan, thn.III,no.2. Jakarta: Depdikbud, 1982

__________, “Khasanah Naskah Sunda” ,Seminar Aksara Daerah Jawa Barat . Bandung: Universita Padjajaran, 1993.

Emuch Herman S, Kamus Bahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Sundanologi, 1987.

E.Evans Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, Yoyakarta: PLD2M, 1984

F.Odea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1992

Hasan M.Ambary, “Pendekata Arkeologi Dalam Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto S, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986

Kusen, et al. “Agama dalam Kepercayaan Masyarakat Majapahit” dalam Sartono Kartodirdjo, ed.dkk. 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata, 1993.

Noorduyn, J, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografi dari Sumber Sunda Kuna, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1984.

Pigeaud, Th.g.th. Java in the Foueteenth Century: A Study In Cultural Historis.  The Nagarakrtagama By Rakawi Prapantja of Majapahit 1365 AD, vol I, The Hague Martinus Nijhoff, 1960-1963



[1] Sinkrrtime adalah paham/aliran baru yang merupakan perpaduan dua atau beberapa paham/aliran yang berbeda untuk mencari keserasian (tim penyusun:1989)
[2] Lokal genius menurut Quaritch Wales adalah : the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early ilfe artinya keseluruhan ciri-ciri yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau (I Gusti Ardana: 1986). 

Tidak ada komentar: