Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Pendahuluan
Tulisan ini
didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama
ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia . Pengertian naskah dalam tulisan ini juga
mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama
ini dipahami oleh masyarakat luas.
Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai
sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan
tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Penggunaan naskah
sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi
bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan. Padahal beberapa ahli arkeologi selalu
menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog
sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan David Clarke, seorang arkeolog Inggris
menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical
data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra
F,1992,37). Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik
dan metode sendiri dalam penelitiannya.
Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan
eksakta sebagai ilmu bantunya. Salah
satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah
adalah cara memperlakukan naskah tersebut.
Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut
aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data
artefaktual lainnya. Sejarawan cenderung
lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis
atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah. Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan
perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra
F,1992:35). Penelitian naskah bagi
arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil
penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
Sekilas Tentang Keberadaan Naskah Sunda
Saat Ini
Sebagai
pengantar bagi penelitian naskah Sunda, perlu adanya penyamaan presepsi tentang
naskah Sunda. Pengertian naskah Sunda
adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat), berkaitan dengan
kehidupan masyarakat Sunda masa lalu., dan dibuat dengan huruf dan bahasa yang
dikenal/ pernal dikenal / digunakan oleh masyarakat Sunda Hal tersebut disebabkan adanya naskah yang
menceritakan tentang kehidupan masyarakat Sunda kuna tetapi tidak dibuat di
daerah Sunda atau menggunakan bahasa yang pernah digunakan/ dikenal oleh
masyarakat Sunda kuna sehingga naskah tersebut tidak dapat disebut sebagai
naskah Sunda. Salah satunya yang dapat
dijadikan contoh adalah catatan perjalanan yang ditulis oleh Armando Cortesao
dengan judul The Suma Oriental. of Tome
Pires. Kesadaran bahwa naskah kuna
dapat memberikan informasi yang sangat berharga bagi penyusunan sejarah
masyarakat Sunda kuna telah ditunjukkan oleh seorang yang berkebangsaan
Inggris, Thomas Stanford Raffles. Di
dalam karya tulisnya yang berjudul History
of Java, Raffles telah menggunakan naskah Sunda kuna sebagai sumber
penelitiannya. Pada masa berikutnya
banyak peneliti dari dalam dan luar negeri yang memberikan perhatian terhadap
keberadaan naskah Sunda kuna. Beberapa
di antaranya adalah Hageman (1852 M), Holle (1864 M), Pleyte (1911 M), Coolsman
(1904 M), Poerbatjaraka (1921 M), Atja (1967 M), Ekadjati (1979 M).(Edi
S.E,1982:104).
Menurut
Edi E.S (1982:106) yang telah banyak melakukan penelitian terhadap naskah Sunda
kuna, pembabakan naskah Sunda kuna berdasarkan waktu pembuatannya dapat
dikelompokkan ke dalam 3 periode yakni:
1. Masa Kuna (abad 16 --17 M)
2. Masa Peralihan (sekitar abad ke-18)
3. Masa Baru (abad 19
--20 M)
Pembabakan
ini tampaknya didasarkan atas perbedaan kepada bentuk huruf, bahan dan bahasa yang
digunakan pada masing-masing naskah.
Dari aspek bahasa misalnya, di dalam sistem tata bahasa Sunda
dikenal istilah sosiolinguistik yakni kajian bahasa yang menyangkut undak-usuk/
tingkat tutur dalam pemakaian bahasa.
Gagasan ini mengacu pada pilihan pemakaian kata (diksi) kasar atau halus
sesuai dengan tingkat sosial lawan bicara atau yang dibicarakan. Dalam naskah periode kuna, ,undak usuk bahasa
belum dikenal sehingga bahasa yang digunakan pada periode ini cenderung
merupakan bahasa kasar.
Contoh : Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (masa
kuna)
XII
“...
a(ng)ngos ma di pake hangkara, ja ngarasa maneh aya di lmah maneh, ku
hakan ku inum ku suka ka boga...”
Kata-kata a(ng)ngos (sudah), dipake
(dipakai), ngarasa (merasa), hakan (makan), inum (inum) dalam sosiolinguistik termasuk dalam tingkat kata-kata
kasar.
Hal itu dapat dibandingkan dengan pemakaian bahasa pada periode baru
Contoh : Wawacan Dewi Sekartaji (masa baru)
Asmaran(dana)
19. mangga tuang sangu kopi, sareng
deui ka sadaya, sabubar ngaleuet kabeh, saha nu manggihan sekartaji nu
sangsara...
Kata-kata seperti mangga (silahkan), tuang (makan), ngaleuet (minum)
dalam sosiolinguistik termasuk dalam tingkat kata-kata halus.
Naskah
Sunda mengenal empat jenis huruf yang
digunakan dalam penulisannya yakni huruf Sunda
kuna, Jawa-Sunda (Cacarakan), Arab
(Pegon), dan Latin. Urutan penyebutannya mencerminkan kronologi
waktu munculnya pemakaian huruf tersebut.
Sedangkan jenis bahasa yang digunakan dalam naskah Sunda ada lima macam,
yakni bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab, Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga mencerminkan pula
kronologi waktu pemakaiannya. Akan
tetapi sesungguhnya tiap - tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak
mencerminkan satu bahasa melainkan ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya
(Edi S.E,1993:2-3).
Bahan
yang digunakan untuk menulis naskah Sunda terdiri dari beberapa macam media seperti daun lontar, daun enau, daun nipah, daluang
dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat
dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih
tampak jelas. Sedangkan penggunaan
kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika agama Islam masuk ke
wilayah Jawa Barat (Ayat Rohaedi,1993:18-19).
Dari
segi tema, pada umumnya naskah tersebut berisi masalah-masalah tentang agama,
kepercayaan, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mite, pendidikan, pengetahuan,
primbon, sastra, sastra sejarah, dan kesenian. Jumlah naskah yang telah
tercatat keberadaannya sekitar 2000 buah dengan perincian 95 buah ditulis dalam huruf Sunda kuna, 38
buah ditulis dalam huruf Jawa-Sunda (Cacarakan), 1060 buah ditulis dalam huruf
Arab (Pegon), 311 buah ditulis dalam huruf Latin, dan 114 buah yang ditulis
dengan menggunakan dua macam huruf atau lebih
Keberadaan naskah-naskah tersebut kini tersebut baik di dalam dan luar
negeri (Edi S.E.,1982:107).
Teknik Analisis Naskah Sunda Dalam
Arkeologi
Selain
pemahaman terhadap teknik analisis , maka faktor kemampuan bahasa yang dimiliki
oleh peneliti amat mempengaruhi hasil penelitian terhadap naskah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syarat untuk menjadi
seorang peneliti yang menangani khusus naskah-naskah kuna beraksara dan
berbahasa apa pun, dia harus dapat membaca dan memahami liku-liku kebahasaan
yang dipergunakan dalam naskah itu (Subadio, 1991: 9, Mujib, 1997:76). Hal ini
tentulah tidak mudah mengingat bahasa itu bersifat sistematis dan
sistemis. Disebut sistematis karena
bahasa bukanlah sistem yang tunggal melainkan terdiri atas subsistem seperti
subsistem fonologi, subsistem gramatik.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistemis adalah bahasa dapat diurai atas
satuan-satuan terbatas (T.Fatimah dkk,1994:6).
Persoalan lain yang menyebabkan bahasa-bahasa kuna seperti Sunda kuna
menjadi sulit dipelajari karena bahasa tersebut tidak lagi dipergunakan sebagai
lingua franca sehingga dianggap mati
(Richadiana K,1992:74).
Dalam
hal teknis analisis naskah dapat menggunakan teknik analisis yang dipakai dalam
penelitian epigrafi yakni dengan tiga
model pendekatan. Pertama ,penelitian
analisis dengan pendekatan struktural, kedua, penelitian sintesis melalui
pendekatan fungsi-fungsi kebudayaan dan ketiga adalah gabungan penelitian
analisis dan sintesis (tabel 1) (Djoko D,1993:8) Hal ini dapat dilakukan mengingat penelitian
terhadap naskah dan prasasti , secara umum membutuhkan perangkat dasar yang
sama yakni pengetahuan bahasa seperti tata bahsa, linguistik dan data
kemasayarakatan (Richadiana K,1992:76).
Hanya saja bagi arkeolog, teknik analisis sampai pada tahap tersebut
dianggap belum cukup tetapi membutuhkan
data pembanding terhadap segala informasi yang dihasilkan dari naskah.
sehingga hasil penelitian dapat lebih obyektif.
skema 1
Sumber tertulis
|
Data lapangan/ pembanding
|
Penelitian analitis dan sintetis
|
Persamaan dan perbedaan
|
Rekonstrusi
kehidupan manusia masa lalu
Dengan
demikian untuk melakukan analisis dengan pendekatan struktural terhadap
naskah-naskah Sunda kuna, langkah pertama lebih dikenal dengan istilah praanalisis yang menyangkut dua hal. Pertama, kritik ekstern meliputi
deskripsi atas fisik naskah dan segala sesuatunya yang nampak oleh kasat mata
seperti ukuran naskah, jumlah halaman, dan kondisi naskah (rincian deskripsi
fisik naskah dapat.dilihat dari struktur data base dalam Teknik Analisis Sumber
Tertulis, dalam Evaluasi Penelitian Hasil Arkeologi Lembang, Puslit Arkenas,
1999) Langkah selanjutnya dapat
dilakukan analisis terhadap huruf (analisis Paleografi), bahasa, dan bahan. Hasil dari
analisis ini akan diperoleh penafsiran kronologis dari naskah tersebut. Langkah kedua dari praanalisis yakni
kritik intern meliputi dua aspek dari isi naskah yakni transliterasi dan transkripsi.
Transliterasi Naskah
Dalam
proses alih aksara (transliterasi) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain, huruf Sunda kuna dan Cacarakan hanya memiliki 18 buah
konsonan karena fonem
(t) dan (d) dalam bahasa Jawa
telah diwakili oleh fonem (t) dan (d) dan 7 buah vokal (a,i,u,e,e,eu,o)
(tabel 2). Selain itu huruf Sunda kuna
memiliki vocal mandiri yakni lambang vokal yang digunakan pada posisi awal
kata. ada tiga buah vokal pada beberapa
teks naskah Sunda dilambangkan dengan dua bentuk sedangkan pengunaannya sering
ditukarkan secara bebas. Selain memiliki
18 buah konsonan maka huruf Sunda kuna juga memiliki empat huruf khusus yakni
( )leu, ( )reu, (
)ro dan ( ) tra. Disebut huruf khusus karena bentuknya yang
sudah baku (Ayat Rohaedi, 1993:27). Untuk naskah-naskah yang memakai
huruf Arab, pada naskah-naskah yang tidak tergolong naskah keagamaan seperti
naskah sastra (cerita) huruf-huruf Arab tidak digunakan seluruhnya. Huruf-huruf yang tidak digunakan itu
seluruhnya berjumlah 11 buah yakni:
Tidak digunakannya huruf-huruf ini mungkin didasarkan pada pertimbangan
seperti:
1. Kedelapan belas huruf lainnya sudah memadai untuk melambangkan fonologi
bahasa Sunda. Misalnya
huruf-huruf ( )tsa, (
)syin, ( )sin dan ( )shad yang dalam bahasa arab merupakan
bunyi desis, dalam bahasa Sunda diwakilkan oleh ( ) sin (s).
2. Secara fonetik, bunyi-bunyi tersebut termasuk asing dalam bahasa Sunda. (Iskandar- wassid,1993:7-11).
Penggunaan
huruf Arab dalam naskah Sunda juga diketahui adanya beberapa penambahan huruf
untuk melambangkan fonem bahasa Sunda yang tidak terdapat padanannya dalam
abjad bahasa Arab yakni.
huruf
untuk konsonan g contoh puguh
huruf
untuk konsonan c contoh kocap
huruf untuk konsonan ng contoh ngajawab
huruf untuk konsonan ny contoh nyawa
huruf
untuk konsonan p contoh pupuh
Pemakaian
tanda vokal pada naskah-naskah keagamaan digunakan secara utuh seperti pada
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadist Nabi. Pada naskah nonkeagamaan tanda vokal yang ditemukan
hanya.
( ) fathah melambangkan bunyi (a)
( ) kasrah melambangkan bunyi (i)
( ) dlammah melambangkan bunyi (u)
( ) sukun mematikan vokal
( )
bertanda sukun melambangkan bunyi (e) contoh :
( ) bertanda sukun melambangkan bunyi (o)
contoh :
( ) melambangkan bunyi (eu) contoh :
Proses
alih aksara (transliterasi) dari huruf Sunda/ Arab ke aksara latin dilakukan
dengan metode berurutan. Penerapan
metode ini memungkinkan terlaksananya transliterasi naskah mulai dari halaman
pertama hingga selesai. Hasil transliterasi
diberi tanda berupa nomor urut mulai dari nomor 001 sampai selesai. Penomoran ini dilakukan perhalaman pada
setiap lembaran naskah asli yang digarap.
Dalam setiap halaman maka usaha transliterasi dilakukan per-baris. Jadi apabila dalam satu halaman terdapat lima
baris maka dalam transliterasinya akan menghasilkan lima baris pula. Adapun cara melakukan transliterasi adalah
dengan mengalihaksarakan sebagai mana bunyi teks aslinya dengan memperhatikan
pungtuasi, ejaan dan pembagian kata dalam setiap kalimat. Apabila dalam naskah asli terdapat kata atau
kalimat yang tidak dapat dibaca maka alih aksara diberikan tanda berupa lima
titik bersela (......). Sedangkan
apabila bagian naskah yang rusak/ hilang sebanyak satu halaman maka titik
bersela dibuat sepanjang satu baris.
(....................................................................................................................................)
Kata yang mendapatkan perbaikan
hasil dari transliterasi diberi tanda (
) pada bagian penambahannya seperti
kata Ba(n)nga. Dan kata yang dianggap tidak ada di beri anda / / pada huruf yang dihilangkan, misal pada
kata magatru/k/ menjadi magatru
Berikut ini contoh transliterasi
pada naskah Amanat Galunggung (masa kuna)
I.rekto
---- halaman pertama bagian
depan
1. Awignam astu, nihan tembey sakakala rahyang ba(n)nga, masa sya nyusuk
na pakwan
makangaran ranhyangta wuwus maka
2. manak maharaja dewata......
baris
kedua
Transkripsi (Alih bahasa) Naskah
Untuk
melakukan alih bahasa maka perlu menggunakan pendekatan antara lain berupa
analisa morfologi, analisa linguistik seperti etimologi, gaya bahasa, dan
pungtuasi. Pada analisa morfologi maka
pemotongan kata menjadi penting agar tidak terjadi kesalahan pada makna. Misal
pada kata maka dalam bahasa
Sunda kuna mempunyai dua arti pertama sebagai kata penghubung/seperti kata maka dalam bahasa Indonesia dan
kedua maka yang sama mempunyai
arti sebagai awalan ber. Jadi pada contoh di atas kata makangaran harus disambung karena
artinya bernama. dan kata maka
manak harus dipisah karena terdiri dari dua kata dasar yang mempunyai
makna berbeda.
Pada
naskah Sunda kuna sering kali ditemukan
dalam kondisi rusak dikarenakan umurnya ataupun perawatannya yang tidak baik
sehingga sukar untuk dibaca atau terhapus. Oleh karena itu peneliti juga perlu
memperhatikan aspek etimologi dari sebuah kata. dan aspek konteks dari sebuah
kalimat.
Sebuah contoh yang dapat
diberikan ditemukan pada naskah Amanat Galunggung yang berbunyi.
4. Darmasiksa siya ngawarah anak oncu umpi acip muning anggasana
Kata anggasana seharusnya tertulis
anggasantana, sebab asal katanya adalah (angga=anggota, santana=keluarga/sanak). Jadi kata yang benar pada kalimat di atas
adalah anggasantana.
Dalam
alih bahasa juga digunakan metoda yang sama dengan transliterasi yakni metode
berurutan, maksudnya adalah proses penerjemahan dilakukan dari halaman pertama
(001) hingga akhir halaman sesuai dengan urutan alih aksara. Usaha penerjemahan
isi naskah itu sendiri dilakukan secara terpisah antara tiap kata. Jika isi naskah asli tidak ditemukan padanannya
dalam bahasa Indonesia maka penerjemahan dapat dilakukan per kalimat atau dapat
ditulis dengan bahasa aslinya. Kemudian diberi penjelasan yang ditempatkan di
antara dua tanda kurung ( ).
Setelah
kritik intern terhadap naskah dianggap selesai maka untuk mengetahui isi naskah
digunakan analisis content (analisis
isi). Analisis Isi adalah pendekatan yang difokuskan kepada pemahaman isi
pesan atau gagasan yang terkandung dalam teks.
Dalam melakukan analisis isi
naskah maka perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk penelitian
yang bertujuan merekonstruksi sejarah, maka ‘pemakai’ naskah perlu berhati-hati. Hal ini wajar mengingat naskah
kuna tergolong dalam penulisan naskah historiografi tradisional, sehingga
pemaparannya tidak dapat memisahkan antara mitos dan kenyataan serta cenderung
regiosentris. Memang pada kenyataannya
tujuan penulisan tersebut sebenarnya
tidaklah dimaksudkan sebagai rekaman sejarah, naskah lebih tepat disebut
sebagai karya sastra sejarah.
Dengan demikian yang dituntut dari ‘pemakai’
naskah kuna dalam penelitiannya adalah kemampuan untuk dapat membedakan antara fakta dan mitos. Untuk mempertajam keakuratan sebuah data dari
naskah maka perlu dilakukan pula perbandingan dengan naskah-naskah sejaman. Melalui analisis isi setidaknya akan dapat
diketahui keadaan masyarakat pendukungnya seperti keadaan geografis, perjalanan
sejarah, pemikiran dan filsafat hidupnya (Panuti S, 1995: 14).
Akhirnya
untuk merekonstruksi masyarakat Sunda Kuna secara lebih mendalam maka dapat
digunakan pendekatan ketiga yakni gabungan antara penelitian analisis dan
sintesis. Dengan pendekatan ini maka
penelitian terhadap naskah kuna juga menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial
dan diharapkan dapat memberikan hasil berupa penafsiran yang lebih lengkap dan
mendalam. Menurut Djoko D, dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial
dalam analisis sumber tertulis selain dapat menghidupkan narasi sejarah serta
dapat memberi makna terhadap kejadian-kejadian ejarah, serta memberi peluang
untuk membuat perbandingan atau generalisasi (1991:244).
Sampai
pada tahap ini penelitian arkeologi terhadap naskah sangat mirip dengan
mekanisme kerja seorang filolog. Namun
penelitian yang dilakukan oleh arkeolog tetap mempunyai perbedaan dari filolog. Menurut Baried, seorang filolog selalu
berusaha untuk mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa
pada peninggalan dalam bentuk tertulis. Bahkan filolog tradisional selalu
bertujuan menemukan bentuk teks yang asli atau yang paling mendekati asli dalam
penelitiannya Caranya dengan mengelompokkan naskah-naskah varian menurut bacaan
yang berbeda beda (Panuti S, 1995:98).
Berbeda dengan arkeolog yang menggunakan data tertulis ini sebagai data
yang harus diintegrasikan dengan temuan di lapangan (data tidak tertulis). Dengan kata lain, para arkeolog dapat
melakukan penelitian terhadap naskah mulai tahap deskripsi, transkripsi,
transliterasi, sampai analisis isi. Atau
dapat pula menggunakan hasil penelitian filolog sebagai data bagi
penelitiannya yang akan diuji di lapangan..
Kontribusi Naskah Sunda Dalam Upaya
Merekonstruksi Sejarah Kebudayaan Masyarakat
Sunda Kuna
Kesadaran
akan pentingnya informasi yang terdapat dalam naskah-naskah kuna bagi
rekonstruksi /penulisan sejarah kebudayaan mendorong para ahli bahasa melakukan
usaha mulai dari pengumpulan, pembacaan, penerjemahan serta publikasi terhadap
seluruh naskah-naskah kuna yang ditemukan. Usaha tersebut secara intensif dan
serius telah dikerjakan sejak tahun 1980-an yang dikerjaan secara lembaga dan
perorangan.. Hasilnya sekitar 2000
naskah berhasil dikumpulkan dan diindentifikasikan keberadaannya baik di dalam
dan luar negeri. Namun baru sebagian
kecil saja dari naskah tersebut yang telah diteliti secara lebih mendalam.
Beberapa
naskah kuna yang telah selesai dilakukan pembacaan dan penerjemahannya antara
lain naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK), Amanat Galunggung (AG),
Sewaka Darma (SW) dan Carita Parahyangan (CP).
Keempat naskah ini dikerjakan oleh Saleh D. dan Atja.
Dari
beberapa naskah kuna yang telah diteliti, maka banyak informasi yang dapat
diperoleh tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda kuna. Dari naskah SSKK misalnya , kita dapat
mengetahui bahwa pada masa itu kehidupan keagamaan masyarakat Sunda kuna telah
sedemikian komplek. Meskipun secara
resmi agama yang dianut oleh masyarakat adalah Hindu ,tetapi unsur-unsur lokal/
praHindu-Budha masih memberi warna dalam sistem religi mereka..
Naskah ini juga memberikan informasi tentang
berbagai jenis tempat suci yang ada di wilayah Sunda yakni pahoman (rumah sajen),
pabutelan (?), pamujan (tempat
pemujaan), lmahmaneh (?), candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), dan batu gangsa (?). Selain jenis tempat pemujaan, naskah ini juga
menyinggung nama-nama dewa yang dikenal oleh masyarakat Sunda dahulu yakni
Sanghyang, Batara Seda Niskala, Siwa, Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala,
Isora, Brahma,Mahadewa, Wisnu dan Budha (SSKK), Batara Guru (AG) Isora, Wisnu,
Mahadewa, Brahma, Siwa, Pwa Sanghyang Sari (dewi padi), Pwa Naga Nagini (dewi
bumi) dan Pwa Soma Adi (dewi bulan) (SD).
Informasi
yang diperoleh dari beberapa naskah tersebut harus diperlakukan sebagai data
yang selanjutnya perlu dilakukan klarifikasi dengan kenyataan yang ada di
lapangan. Dari hasil penelitian arkeologi
terhadap situs-situs di Jawa Barat menunjukkan bahwa beberapa jenis tempat suci
memang ada dan masih dapat dikenali seperti candi misalnya. Harus diakui bahwa
temuan candi di Jawa Barat memang tidak terlalu banyak tetapi dari beberapa
candi yang ada menunjukkan pengaruh
Hindu dan Buddha. Bahkan temuan terakhir
yakni Candi Blandongan di daerah Batujaya Karawang menunjukkan tanda-tanda Buddha
(dari temuan berupa stupika) yang diperkirakan berasal dari abad ke-6/ 7
M. Namun demikian ada juga jenis tempat
suci masa lalu yang sampai kini masih menjadi tanda tanya atau setidaknya perlu
penelitian lebih lanjut seperti pabutelan,
llmahmaneh, dan batu
gangsa.
Demikian pula halnya dengan temuan lain seperti
arca-arca dewa. Sejauh ini hasil penetian di lapangan menunjukkan bahwa
meskipun masa Hindu- Buddha telah beerlangsung cukup lama, tetapi objek
pemujaan masyarakat Sunda kuna tidak sekedar arca-arca dewa Hindu-Buddha. Banyaknya temuan berupa menhir , dan arca
arca lokal menunjukkan bahwa tradisi
praHindu-Buddha memang terus berlanjut bahkan sampai pada masa Islam.
Penutup
Dari hasil penelitian terhadap naskah-naskah kuna dan
diintegrasikan pada temuan arkeologi di lapangan maka penelitian terhadap aspek
religi masyarakat Sunda kuna akan semakin obyektif. Hal itu disebabkan semua informasi yang ada
di dalam naskah dapat dipertanggungjawabkan dengan temuan di lapangan.
Identifikasi naskah-naskah
Sunda kuno
1. Berdasarkan waktu
pembuatannya dapat dibagi dalam tiga periode
I. Masa Kuno
(16 - 17 Masehi)
II. Masa Peralihan (sekitar abad ke-18 Masehi)
III. Masa Baru (19 - 20 Masehi)
Pd
|
Judul Naskah
|
Bahan
|
Huruf
|
Bahasa
|
Keterangan
|
I
|
Sanghyang
Siksa
|
Daun
nipah
|
Sunda
Kuna
|
Sunda
Kuna
|
Kropak
630
|
Carita
Parahyangan
|
|||||
Sewaka
Darma
|
Kropak
408
|
||||
Amanat
Galunggung
|
Kropak
632
|
||||
Bujangga
Manik
|
Perpustakaan
|
||||
Bodleian
Oxford
|
|||||
Carita
Ratu Pakuan
|
Kropak
410
|
||||
II
|
Carita
Waruga Guru
|
Daluang
|
Sunda
Kuna
|
Sunda
Kuna
|
|
III
|
Sejarah
Bandung
|
Kertas
|
Latin
|
Sunda
|
|
Wawacan
Ahmad
|
Kertas
|
Arab
(pegon)
|
Sunda
|
||
Muhammad
|
|||||
2. Huruf yang digunakan Sunda
Kuna, Jawa-Sunda (Cacarakan), Arab, Latin.
3. Bahasa yang digunakan Sunda
Kuna, Jawa, Arab, Sunda, Melayu.
4. Bahan yang digunakan daun lontar,daun nipah, daun palem, daun pandan,
daluang, kertas.
5. Cara penulisan : - Digores
dengan alat (peso pangot)/pisau yang berujung runcing
- Ditulis dengan tinta.
6. Isi naskah : Agama, kepercayaan, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mite,
pendidikan, primbon, sastra, sastra sejarah, kesenian.
7. Jumlah naskah yang tercatat +
2000 buah dengan perincian :
95 naskah ditulis dengan huruf Sunda Kuna
438 naskah ditulis dengan huruf Jawa-Sunda
(cacarakan)
1060 naskah
ditulis dengan huruf Arab (pegon)
311 naskah
ditulis dengan huruf latin
114 naskah
ditulis dengan menggunakan dua macam huruf.
8. Beberapa tempat penyimpanan
naskah Sunda:
Universitet
Bibliotheek Leiden 790
buah
Museum
Nasional 540
buah
Museum
Propinsi Jawa Barat 150
buah
EFEO Bandung 50 buah
Museum
Pangeran Geusan Ulun 15 buah
Museum Cigugur
Kuningan 25 buah
Kraton
Kasepuhan tidak
terdata
Masyarakat tidak
terdata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar