19 Maret 2015

BEBERAPA CATATAN TEKNIK ANALISIS NASKAH SUNDA DALAM ARKEOLOGI

Agustijanto Indradjaja (Agustijanto2004@yahoo.com)
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Pendahuluan
            Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia.  Pengertian naskah dalam tulisan ini juga mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.  Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun tidak langsung.  Penggunaan naskah sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan.  Padahal beberapa ahli arkeologi selalu menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan  David Clarke, seorang arkeolog Inggris menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra F,1992,37).  Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik dan metode sendiri dalam penelitiannya.  Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan eksakta sebagai ilmu bantunya.  Salah satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah adalah cara memperlakukan naskah tersebut.  Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data artefaktual lainnya.  Sejarawan cenderung lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah.  Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra F,1992:35).  Penelitian naskah bagi arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
      
      Bila demikian tataran ideal yang ingin dicapai oleh seorang arkeolog dalam penelitiannya  terhadap naskah kuna.  Pertanyaannya adalah bagaimanakah teknik analisis naskah dalam arkeologi dan sejauh mana kontribusi naskah Sunda  dalam upaya merekonstruksi sejarah kebudayaan masyarakat Sunda kuna.

            Sekilas Tentang Keberadaan Naskah Sunda Saat Ini
            Sebagai pengantar bagi penelitian naskah Sunda, perlu adanya penyamaan presepsi tentang naskah Sunda.  Pengertian naskah Sunda adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat), berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu., dan dibuat dengan huruf dan bahasa yang dikenal/ pernal dikenal / digunakan oleh masyarakat Sunda  Hal tersebut disebabkan adanya naskah yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Sunda kuna tetapi tidak dibuat di daerah Sunda atau menggunakan bahasa yang pernah digunakan/ dikenal oleh masyarakat Sunda kuna sehingga naskah tersebut tidak dapat disebut sebagai naskah Sunda.  Salah satunya yang dapat dijadikan contoh adalah catatan perjalanan yang ditulis oleh Armando Cortesao dengan judul The Suma Oriental. of Tome Pires.  Kesadaran bahwa naskah kuna dapat memberikan informasi yang sangat berharga bagi penyusunan sejarah masyarakat Sunda kuna telah ditunjukkan oleh seorang yang berkebangsaan Inggris, Thomas Stanford Raffles.  Di dalam karya tulisnya yang berjudul History of Java, Raffles telah menggunakan naskah Sunda kuna sebagai sumber penelitiannya.  Pada masa berikutnya banyak peneliti dari dalam dan luar negeri yang memberikan perhatian terhadap keberadaan naskah Sunda kuna.  Beberapa di antaranya adalah Hageman (1852 M), Holle (1864 M), Pleyte (1911 M), Coolsman (1904 M), Poerbatjaraka (1921 M), Atja (1967 M), Ekadjati (1979 M).(Edi S.E,1982:104).
            Menurut Edi E.S (1982:106) yang telah banyak melakukan penelitian terhadap naskah Sunda kuna, pembabakan naskah Sunda kuna berdasarkan waktu pembuatannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 periode yakni:
1.  Masa Kuna (abad 16 --17 M)
2.  Masa Peralihan (sekitar abad ke-18)
3.  Masa Baru (abad 19 --20 M)
            Pembabakan ini tampaknya didasarkan atas perbedaan kepada bentuk huruf, bahan dan bahasa yang digunakan pada masing-masing naskah.  Dari aspek bahasa misalnya, di dalam sistem tata bahasa Sunda dikenal istilah sosiolinguistik yakni kajian bahasa yang menyangkut undak-usuk/ tingkat tutur dalam pemakaian bahasa.  Gagasan ini mengacu pada pilihan pemakaian kata (diksi) kasar atau halus sesuai dengan tingkat sosial lawan bicara atau yang dibicarakan.  Dalam naskah periode kuna, ,undak usuk bahasa belum dikenal sehingga bahasa yang digunakan pada periode ini cenderung merupakan bahasa kasar.
Contoh : Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (masa kuna)
XII
 “... a(ng)ngos ma di pake hangkara, ja ngarasa maneh aya di lmah maneh, ku hakan  ku inum ku suka ka boga...”
Kata-kata a(ng)ngos (sudah), dipake (dipakai), ngarasa (merasa), hakan (makan), inum (inum) dalam sosiolinguistik termasuk dalam tingkat kata-kata kasar.
 Hal itu dapat dibandingkan dengan  pemakaian bahasa pada periode baru
Contoh : Wawacan Dewi Sekartaji  (masa baru)
Asmaran(dana)
19. mangga tuang sangu kopi, sareng deui ka sadaya, sabubar ngaleuet kabeh, saha nu manggihan sekartaji nu sangsara...
Kata-kata seperti mangga (silahkan), tuang (makan), ngaleuet (minum) dalam sosiolinguistik termasuk dalam tingkat kata-kata halus. 
            Naskah Sunda mengenal empat jenis huruf  yang digunakan dalam penulisannya yakni huruf Sunda kuna, Jawa-Sunda (Cacarakan), Arab (Pegon), dan Latin.  Urutan penyebutannya mencerminkan kronologi waktu munculnya pemakaian huruf tersebut.  Sedangkan jenis bahasa yang digunakan dalam naskah Sunda ada lima macam, yakni bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab, Sunda baru, dan Melayu.  Urutan bahasa juga mencerminkan pula kronologi waktu pemakaiannya.  Akan tetapi sesungguhnya tiap - tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak mencerminkan satu bahasa melainkan ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya (Edi S.E,1993:2-3).
            Bahan yang digunakan untuk menulis naskah Sunda terdiri dari  beberapa macam media seperti daun lontar, daun enau, daun nipah, daluang dan kertas.  Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih tampak jelas.  Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat (Ayat Rohaedi,1993:18-19).
            Dari segi tema, pada umumnya naskah tersebut berisi masalah-masalah tentang agama, kepercayaan, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mite, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, dan kesenian. Jumlah naskah yang telah tercatat keberadaannya sekitar 2000 buah dengan perincian  95 buah ditulis dalam huruf Sunda kuna, 38 buah ditulis dalam huruf Jawa-Sunda (Cacarakan), 1060 buah ditulis dalam huruf Arab (Pegon), 311 buah ditulis dalam huruf Latin, dan 114 buah yang ditulis dengan menggunakan dua macam huruf atau lebih  Keberadaan naskah-naskah tersebut kini tersebut baik di dalam dan luar negeri (Edi S.E.,1982:107).
            Teknik Analisis Naskah Sunda Dalam Arkeologi
            Selain pemahaman terhadap teknik analisis , maka faktor kemampuan bahasa yang dimiliki oleh peneliti amat mempengaruhi hasil penelitian terhadap naskah.  Oleh karena itu  dapat dikatakan bahwa syarat untuk menjadi seorang peneliti yang menangani khusus naskah-naskah kuna beraksara dan berbahasa apa pun, dia harus dapat membaca dan memahami liku-liku kebahasaan yang dipergunakan dalam naskah itu (Subadio, 1991: 9, Mujib, 1997:76). Hal ini tentulah tidak mudah mengingat bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis.  Disebut sistematis karena bahasa bukanlah sistem yang tunggal melainkan terdiri atas subsistem seperti subsistem fonologi, subsistem gramatik.  Sedangkan yang dimaksud dengan sistemis adalah bahasa dapat diurai atas satuan-satuan terbatas (T.Fatimah dkk,1994:6).  Persoalan lain yang menyebabkan bahasa-bahasa kuna seperti Sunda kuna menjadi sulit dipelajari karena bahasa tersebut tidak lagi dipergunakan sebagai lingua franca sehingga dianggap mati (Richadiana  K,1992:74).
            Dalam hal teknis analisis naskah dapat menggunakan teknik analisis yang dipakai dalam penelitian epigrafi  yakni dengan tiga model pendekatan.  Pertama ,penelitian analisis dengan pendekatan struktural, kedua, penelitian sintesis melalui pendekatan fungsi-fungsi kebudayaan dan ketiga adalah gabungan penelitian analisis dan sintesis (tabel 1) (Djoko D,1993:8)  Hal ini dapat dilakukan mengingat penelitian terhadap naskah dan prasasti , secara umum membutuhkan perangkat dasar yang sama yakni pengetahuan bahasa seperti tata bahsa, linguistik dan data kemasayarakatan (Richadiana K,1992:76).  Hanya saja bagi arkeolog, teknik analisis sampai pada tahap tersebut dianggap belum cukup tetapi membutuhkan  data pembanding terhadap segala informasi yang dihasilkan dari naskah. sehingga hasil penelitian dapat lebih obyektif.
skema 1
Sumber tertulis
Data lapangan/ pembanding
Penelitian analitis dan sintetis
Persamaan dan perbedaan

Rekonstrusi kehidupan manusia masa lalu
            Dengan demikian untuk melakukan analisis dengan pendekatan struktural terhadap naskah-naskah Sunda kuna, langkah pertama lebih dikenal dengan istilah praanalisis yang menyangkut dua halPertama, kritik ekstern meliputi deskripsi atas fisik naskah dan segala sesuatunya yang nampak oleh kasat mata seperti ukuran naskah, jumlah halaman, dan kondisi naskah (rincian deskripsi fisik naskah dapat.dilihat dari struktur data base dalam Teknik Analisis Sumber Tertulis, dalam Evaluasi Penelitian Hasil Arkeologi Lembang, Puslit Arkenas, 1999)  Langkah selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap huruf (analisis Paleografi), bahasa, dan bahan.  Hasil dari analisis ini akan diperoleh penafsiran kronologis dari naskah tersebut.  Langkah kedua dari praanalisis yakni kritik intern meliputi dua aspek dari isi naskah yakni transliterasi dan transkripsi.

Transliterasi Naskah
            Dalam proses alih aksara (transliterasi) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain, huruf Sunda kuna dan Cacarakan hanya memiliki 18 buah konsonan  karena  fonem      (t) dan      (d) dalam bahasa Jawa telah diwakili oleh  fonem      (t) dan     (d) dan 7 buah vokal (a,i,u,e,e,eu,o) (tabel 2).  Selain itu huruf Sunda kuna memiliki vocal mandiri yakni lambang vokal yang digunakan pada posisi awal kata.  ada tiga buah vokal pada beberapa teks naskah Sunda dilambangkan dengan dua bentuk sedangkan pengunaannya sering ditukarkan secara bebas.  Selain memiliki 18 buah konsonan maka huruf Sunda kuna juga memiliki empat huruf khusus yakni (   )leu, (   )reu, (   )ro dan (   ) tra.  Disebut huruf khusus karena bentuknya yang sudah baku (Ayat Rohaedi, 1993:27).              Untuk naskah-naskah yang memakai huruf Arab, pada naskah-naskah yang tidak tergolong naskah keagamaan seperti naskah sastra (cerita) huruf-huruf Arab tidak digunakan seluruhnya.  Huruf-huruf yang tidak digunakan itu seluruhnya berjumlah 11 buah yakni:

Tidak digunakannya huruf-huruf ini mungkin didasarkan pada pertimbangan seperti:
1. Kedelapan belas huruf lainnya sudah memadai untuk melambangkan fonologi bahasa    Sunda. Misalnya huruf-huruf  (     )tsa, (     )syin, (     )sin dan (     )shad yang dalam bahasa arab merupakan bunyi desis, dalam bahasa Sunda diwakilkan oleh (     ) sin (s).
2. Secara fonetik, bunyi-bunyi tersebut termasuk asing  dalam bahasa Sunda. (Iskandar-  wassid,1993:7-11).
            Penggunaan huruf Arab dalam naskah Sunda juga diketahui adanya beberapa penambahan huruf untuk melambangkan fonem bahasa Sunda yang tidak terdapat padanannya dalam abjad bahasa Arab yakni.
huruf                    untuk konsonan g    contoh                            puguh
huruf                    untuk konsonan c    contoh                            kocap
huruf                    untuk konsonan ng  contoh                            ngajawab
huruf                    untuk konsonan ny  contoh                            nyawa
huruf                    untuk konsonan p    contoh                            pupuh
            Pemakaian tanda vokal pada naskah-naskah keagamaan digunakan secara utuh seperti pada ayat-ayat Al-Qur’an atau hadist Nabi.  Pada naskah nonkeagamaan tanda vokal yang ditemukan hanya.
(       ) fathah melambangkan bunyi  (a)
(       ) kasrah melambangkan bunyi (i)
(       ) dlammah melambangkan bunyi (u)
(       ) sukun mematikan vokal
(       )  bertanda sukun melambangkan bunyi (e) contoh :
(       ) bertanda sukun melambangkan bunyi (o) contoh :
(       ) melambangkan bunyi (eu)  contoh :        
            Proses alih aksara (transliterasi) dari huruf Sunda/ Arab ke aksara latin dilakukan dengan metode berurutan.  Penerapan metode ini memungkinkan terlaksananya transliterasi naskah mulai dari halaman pertama hingga selesai.  Hasil transliterasi diberi tanda berupa nomor urut mulai dari nomor 001 sampai selesai.  Penomoran ini dilakukan perhalaman pada setiap lembaran naskah asli yang digarap.  Dalam setiap halaman maka usaha transliterasi dilakukan per-baris.  Jadi apabila dalam satu halaman terdapat lima baris maka dalam transliterasinya akan menghasilkan lima baris pula.  Adapun cara melakukan transliterasi adalah dengan mengalihaksarakan sebagai mana bunyi teks aslinya dengan memperhatikan pungtuasi, ejaan dan pembagian kata dalam setiap kalimat.  Apabila dalam naskah asli terdapat kata atau kalimat yang tidak dapat dibaca maka alih aksara diberikan tanda berupa lima titik bersela (......).  Sedangkan apabila bagian naskah yang rusak/ hilang sebanyak satu halaman maka titik bersela dibuat sepanjang satu baris.
(....................................................................................................................................)
Kata yang mendapatkan perbaikan hasil dari transliterasi diberi tanda (     ) pada bagian penambahannya seperti  kata Ba(n)nga. Dan kata yang dianggap tidak ada di beri anda /     / pada huruf yang dihilangkan, misal pada kata magatru/k/ menjadi magatru
Berikut ini contoh transliterasi pada naskah Amanat Galunggung (masa kuna)
I.rekto  ----   halaman pertama bagian depan
1. Awignam astu, nihan tembey sakakala rahyang ba(n)nga, masa sya nyusuk na pakwan
    makangaran ranhyangta wuwus maka
2. manak maharaja dewata......
            baris kedua
Transkripsi (Alih bahasa) Naskah
            Untuk melakukan alih bahasa maka perlu menggunakan pendekatan antara lain berupa analisa morfologi, analisa linguistik seperti etimologi, gaya bahasa, dan pungtuasi.  Pada analisa morfologi maka pemotongan kata menjadi penting agar tidak terjadi kesalahan pada makna. Misal pada kata maka dalam bahasa Sunda kuna mempunyai dua arti pertama sebagai kata penghubung/seperti kata maka dalam bahasa Indonesia dan kedua maka yang sama mempunyai arti sebagai awalan ber. Jadi pada contoh di atas kata makangaran harus disambung karena artinya bernama. dan kata maka manak harus dipisah karena terdiri dari dua kata dasar yang mempunyai makna  berbeda.
            Pada naskah Sunda  kuna sering kali ditemukan dalam kondisi rusak dikarenakan umurnya ataupun perawatannya yang tidak baik sehingga sukar untuk dibaca atau terhapus. Oleh karena itu peneliti juga perlu memperhatikan aspek etimologi dari sebuah kata. dan aspek konteks dari sebuah kalimat.
Sebuah contoh yang dapat diberikan ditemukan pada naskah Amanat Galunggung  yang berbunyi.
4. Darmasiksa siya ngawarah anak oncu umpi acip muning anggasana
Kata anggasana seharusnya tertulis anggasantana, sebab asal katanya adalah (angga=anggota, santana=keluarga/sanak).  Jadi kata yang benar pada kalimat di atas adalah anggasantana.
            Dalam alih bahasa juga digunakan metoda yang sama dengan transliterasi yakni metode berurutan, maksudnya adalah proses penerjemahan dilakukan dari halaman pertama (001) hingga akhir halaman sesuai dengan urutan alih aksara. Usaha penerjemahan isi naskah itu sendiri dilakukan secara terpisah antara tiap kata.  Jika isi naskah asli tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia maka penerjemahan dapat dilakukan per kalimat atau dapat ditulis dengan bahasa aslinya. Kemudian diberi penjelasan yang ditempatkan di antara dua tanda kurung (     ).
            Setelah kritik intern terhadap naskah dianggap selesai maka untuk mengetahui isi naskah digunakan analisis content (analisis isi). Analisis Isi adalah pendekatan yang difokuskan kepada pemahaman isi pesan atau gagasan yang terkandung dalam teks.  Dalam melakukan analisis isi  naskah maka perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk penelitian yang bertujuan merekonstruksi sejarah, maka ‘pemakai’ naskah perlu berhati-hati. Hal ini wajar mengingat naskah kuna tergolong dalam penulisan naskah historiografi tradisional, sehingga pemaparannya tidak dapat memisahkan antara mitos dan kenyataan serta cenderung regiosentris.  Memang pada kenyataannya tujuan penulisan tersebut  sebenarnya tidaklah dimaksudkan sebagai rekaman sejarah, naskah lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah.  Dengan demikian yang dituntut dari ‘pemakai’ naskah kuna dalam penelitiannya adalah kemampuan untuk dapat membedakan antara fakta dan mitos.    Untuk mempertajam keakuratan sebuah data dari naskah maka perlu dilakukan pula perbandingan dengan naskah-naskah sejaman.  Melalui analisis isi setidaknya akan dapat diketahui keadaan masyarakat pendukungnya seperti keadaan geografis, perjalanan sejarah, pemikiran dan filsafat hidupnya (Panuti S, 1995: 14).
            Akhirnya untuk merekonstruksi masyarakat Sunda Kuna secara lebih mendalam maka dapat digunakan pendekatan ketiga yakni gabungan antara penelitian analisis dan sintesis.  Dengan pendekatan ini maka penelitian terhadap naskah kuna juga menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan diharapkan dapat memberikan hasil berupa penafsiran yang lebih lengkap dan mendalam.  Menurut  Djoko D, dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam analisis sumber tertulis selain dapat menghidupkan narasi sejarah serta dapat memberi makna terhadap kejadian-kejadian ejarah, serta memberi peluang untuk membuat perbandingan atau generalisasi (1991:244).
            Sampai pada tahap ini penelitian arkeologi terhadap naskah sangat mirip dengan mekanisme kerja seorang filolog.  Namun penelitian yang dilakukan oleh arkeolog tetap mempunyai perbedaan dari filolog.  Menurut Baried, seorang filolog selalu berusaha untuk mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tertulis. Bahkan filolog tradisional selalu bertujuan menemukan bentuk teks yang asli atau yang paling mendekati asli dalam penelitiannya Caranya dengan mengelompokkan naskah-naskah varian menurut bacaan yang berbeda beda (Panuti S, 1995:98).  Berbeda dengan arkeolog yang menggunakan data tertulis ini sebagai data yang harus diintegrasikan dengan temuan di lapangan (data tidak tertulis).  Dengan kata lain, para arkeolog dapat melakukan penelitian terhadap naskah mulai tahap deskripsi, transkripsi, transliterasi, sampai analisis isi.  Atau dapat pula menggunakan hasil penelitian filolog sebagai data bagi penelitiannya yang akan diuji di lapangan..

            Kontribusi Naskah Sunda Dalam Upaya Merekonstruksi Sejarah Kebudayaan Masyarakat Sunda Kuna
            Kesadaran akan pentingnya informasi yang terdapat dalam naskah-naskah kuna bagi rekonstruksi /penulisan sejarah kebudayaan mendorong para ahli bahasa melakukan usaha mulai dari pengumpulan, pembacaan, penerjemahan serta publikasi terhadap seluruh naskah-naskah kuna yang ditemukan. Usaha tersebut secara intensif dan serius telah dikerjakan sejak tahun 1980-an yang dikerjaan secara lembaga dan perorangan..  Hasilnya sekitar 2000 naskah berhasil dikumpulkan dan diindentifikasikan keberadaannya baik di dalam dan luar negeri.  Namun baru sebagian kecil saja dari naskah tersebut yang telah diteliti secara lebih mendalam.
            Beberapa naskah kuna yang telah selesai dilakukan pembacaan dan penerjemahannya antara lain naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK), Amanat Galunggung (AG), Sewaka Darma (SW) dan Carita Parahyangan (CP).  Keempat naskah ini dikerjakan oleh Saleh D. dan Atja.
            Dari beberapa naskah kuna yang telah diteliti, maka banyak informasi yang dapat diperoleh tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda kuna.  Dari naskah SSKK misalnya , kita dapat mengetahui bahwa pada masa itu kehidupan keagamaan masyarakat Sunda kuna telah sedemikian komplek.  Meskipun secara resmi agama yang dianut oleh masyarakat adalah Hindu ,tetapi unsur-unsur lokal/ praHindu-Budha masih memberi warna dalam sistem religi mereka..
             Naskah ini juga memberikan informasi tentang berbagai jenis tempat suci yang ada di wilayah Sunda yakni pahoman (rumah sajen), pabutelan (?), pamujan (tempat pemujaan), lmahmaneh (?), candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), dan batu gangsa (?).  Selain jenis tempat pemujaan, naskah ini juga menyinggung nama-nama dewa yang dikenal oleh masyarakat Sunda dahulu yakni Sanghyang, Batara Seda Niskala, Siwa, Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, Isora, Brahma,Mahadewa, Wisnu dan Budha (SSKK), Batara Guru (AG) Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa, Pwa Sanghyang Sari (dewi padi), Pwa Naga Nagini (dewi bumi) dan Pwa Soma Adi (dewi bulan) (SD).
            Informasi yang diperoleh dari beberapa naskah tersebut harus diperlakukan sebagai data yang selanjutnya perlu dilakukan klarifikasi dengan kenyataan yang ada di lapangan.  Dari hasil penelitian arkeologi terhadap situs-situs di Jawa Barat menunjukkan bahwa beberapa jenis tempat suci memang ada dan masih dapat dikenali seperti candi misalnya. Harus diakui bahwa temuan candi di Jawa Barat memang tidak terlalu banyak tetapi dari beberapa candi yang ada menunjukkan  pengaruh Hindu dan Buddha.  Bahkan temuan terakhir yakni Candi Blandongan di daerah Batujaya Karawang menunjukkan tanda-tanda Buddha (dari temuan berupa stupika) yang diperkirakan berasal dari abad ke-6/ 7 M.  Namun demikian ada juga jenis tempat suci masa lalu yang sampai kini masih menjadi tanda tanya atau setidaknya perlu penelitian lebih lanjut seperti pabutelan, llmahmaneh,  dan batu gangsa.
            Demikian pula halnya dengan temuan lain seperti arca-arca dewa.  Sejauh ini  hasil penetian di lapangan menunjukkan bahwa meskipun masa Hindu- Buddha telah beerlangsung cukup lama, tetapi objek pemujaan masyarakat Sunda kuna tidak sekedar arca-arca dewa Hindu-Buddha.  Banyaknya temuan berupa menhir , dan arca arca lokal   menunjukkan bahwa tradisi praHindu-Buddha memang terus berlanjut bahkan sampai pada masa Islam.
            Penutup
            Dari hasil penelitian terhadap naskah-naskah kuna dan diintegrasikan pada temuan arkeologi di lapangan maka penelitian terhadap aspek religi masyarakat Sunda kuna akan semakin obyektif.  Hal itu disebabkan semua informasi yang ada di dalam naskah dapat dipertanggungjawabkan dengan temuan di lapangan.


Identifikasi naskah-naskah Sunda kuno
1. Berdasarkan waktu pembuatannya dapat dibagi dalam tiga periode
  I. Masa Kuno (16 - 17 Masehi)
 II. Masa Peralihan (sekitar abad ke-18 Masehi)
III. Masa Baru (19 - 20 Masehi)
Pd
Judul Naskah
Bahan
Huruf
Bahasa
Keterangan






I
Sanghyang Siksa
Daun nipah
Sunda Kuna
Sunda Kuna
Kropak 630







Carita Parahyangan











Sewaka Darma



Kropak 408







Amanat Galunggung



Kropak 632







Bujangga Manik



Perpustakaan





Bodleian Oxford

Carita Ratu Pakuan



Kropak 410






II
Carita Waruga Guru
Daluang
Sunda Kuna
Sunda Kuna







III
Sejarah Bandung
Kertas
Latin
Sunda








Wawacan Ahmad
Kertas
Arab (pegon)
Sunda


Muhammad

















2. Huruf yang digunakan Sunda Kuna, Jawa-Sunda (Cacarakan), Arab, Latin.
3. Bahasa yang digunakan Sunda Kuna, Jawa, Arab, Sunda, Melayu.
4. Bahan yang digunakan daun lontar,daun nipah, daun palem, daun pandan, daluang, kertas.
5. Cara penulisan : - Digores dengan alat (peso pangot)/pisau yang berujung runcing
 - Ditulis dengan tinta.
6. Isi naskah : Agama, kepercayaan, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mite, pendidikan, primbon, sastra, sastra sejarah, kesenian.


7. Jumlah naskah yang tercatat + 2000 buah dengan perincian :
    95 naskah ditulis dengan huruf Sunda Kuna
  438 naskah ditulis dengan huruf Jawa-Sunda (cacarakan)
1060 naskah ditulis dengan huruf Arab (pegon)
311 naskah ditulis dengan huruf latin
114 naskah ditulis dengan menggunakan dua macam huruf.
8. Beberapa tempat penyimpanan naskah Sunda:
Universitet Bibliotheek Leiden                      790 buah
Museum Nasional                                        540 buah
Museum Propinsi Jawa Barat                       150 buah
EFEO Bandung                                              50 buah
Museum Pangeran Geusan Ulun                     15 buah
Museum Cigugur Kuningan                 25 buah
Kraton Kasepuhan                                       tidak terdata     

Masyarakat                                                  tidak terdata

Tidak ada komentar: