11 Maret 2015

TELAGA SANGHYANG : Mencari model hubungan kabuyutan dan kerajaan di Sunda Kuna


            Kabuyutan sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna mengenal candi atau kuil.  Tepatnya ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang.  Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu - Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda kuna.  Salah satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi.  Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21 ).  Menurut Agus A.M., bentuk bangunan pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya (1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,  tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.  Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
            Hal ini tercermin pada masa Kerajaan Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan.  Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan di kerajaannya.  Naskah CP menyebutkannya sebagai “...disilihan doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
            Kehadiran Kabuyutan yang berakar dari kepercayaan kepada roh nenek moyang  dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.


II
             Sejauh ini hanya Naskah Bujangga Manik (BM) yang menyebutkan salah satu bentuk kabuyutan sebagai sebuah telaga.  Naskah ini menyebut sebagai “...sadatang ka bukit ageung eta hulu cihaliwung kabuyutan ti pakuan sanghiang talaga warna...” artinya “...sedatang di bukit agung hulu sungai ciliwung (terdapatlah disana) kabuyutan pakuan, yaitu sanghiang telaga warna...” (J Noorduyn,1984:10 ).  Digunakannya telaga sebagai sebuah kabuyutan tampaknya erat pula sebagai bentuk petirtaan yang memang disyaratkannya kehadiran air sebagai sumber kehidupan dan unsur pembersihan jiwa.   Beberapa data arkeologi di Jawa Barat memang mencantumkan telaga sebagai sebuah tempat suci .  Salah satunya adalah Talaga Sanghyang yang telah dilakukan penelitiannya oleh Vivian Sukanda.  Telaga ini terletak di lereng barat daya Gunung Ciremai berupa sebuah danau vulkanik yang dalam dan berbentuk bulat telur.  Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Desa Sanghyang Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka.  Luas situs sekitar 18 ha berada pada ketinggian 900m dpl dengan temperatur udara berkisar antara 25 - 30 C ( -, 1990, ).  Dari jalan masuk sampai ke tepi Talaga Sanghyang membujur arah utara-selatan dan mempunyai dua pintu gerbang.  Di sepanjang jalan terdapat sejumlah peninggalan megalitik yang oleh masyarakat dianggap sebagai ‘tapak’ patih pengikut Raja Telaga Manggung. Beberapa peninggalan megalitik ( menhir) telah diberi nama khusus oleh masyarakat seperti Buyut Tutuq, Buyut Teteq, Buyut Astrawana dan Buyut Jayapatra. Temuan lain di lokasi situs ini adalah pecahan keramik Cina, di antaranya berasal dari Dinasti Ming (abad ke-14 M) yang tersebar di sepanjang jalan setapak menuju makam Raja Parung.  Makam milik keturunan raja-raja Talaga sejak Raja Parung dan keturunannya saat ini terletak sekitar 500 m di sebelah timur telaga (Vivian S, 1992 :619). Menurut Vivian S, Talaga Sanghyang merupakan situs pemujaan yang telah digunakan sejak zaman prasejarah sampai pada masa Islam dan sesudahnya. Situs ini juga erat  kaitannya dengan Kerajaan Talaga yang merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Sunda.  Menurut sumber tradisional yang mengungkapkan eksistensi Kerajaan Talaga yakni Babad Kertajaya yang berasal dari Pakungwati Cirebon, kerajaan ini berdiri sekitar pertengahan abad ke-14 dan pada tahun 1530 M jatuh ke tangan Cirebon dan sejak itu raja-raja di Kerajaan Talaga memeluk Agama Islam (Emon S dan Anwar F, 1989: -). Menurut Ter Dam, Pada masa Kerajaan Sunda, wilayah Talaga telah menjadi salah satu jalur lalu lintas darat yang menghubungkan Kerajaan Sunda dengan Kawali (Galuh) (Moh. Amir S,1965: 52).  Beberapa ahli sejarah memperkirakan lokasi Kerajaan Talaga berada di sekitar Kecamatan Talaga dimana semua peninggalan kerajaan masih tersimpan dengan baik oleh ahli warisnya.
            Beberapa peninggalan Kerajaan Talaga yang masih dapat diamati cukup lengkap antara lain adalah arca-arca dewa berukuran 20-30 cm terbuat dari perunggu yang merupakan perwujudan dewa-dewa Hindu-Buddha, mangkuk upacara Buddha yang bergambar 12 zodiac, Berbagai macam senjata perang, alat alat gamelan, dan mata uang asing (China) dalam jumlah yang cukup banyak serta menhir sepanjang dua meter yang merupakan pusaka kerajaan.

III
III.1. Makna Kabuyutan
            Kabuyutan berasal dari kata buyut yang berarti leluhur, atau nenek moyang.  Arti kata kabuyutan sendiri adalah tempat tinggal nenek moyang atau tempat keramat.  Wujud  dari kabuyutan ini dapat berupa bangunan kuil, candi, maupun makam nenek moyang (L.Mardiwarsito, 1981 :121).  Menurut J.G.de Casparis, kabuyutan adalah semacam objek pemujaan, sedangkan Pigeaud menyatakan bahwa kabuyutan adalah bangunan suci yang terletak jauh dari keramaian (Agus Aris Munandar, 1992: 154).
            Untuk memahami keberadaan kabuyutan sebagai wujud kebudayaan material yang erat dengan aspek religi yang melatar belakanginya, maka perlu diketahui dahulu konsep-konsep religi masyarakat Sunda kuna.  Menurut Christopher Dawson, sebagai dasar untuk memahami hasil budaya suatu masyarakat terlebih dahulu haruslah mengerti agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
            “Agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami hakekat tata masyarakat  tanpa mengerti agamanya.  Kita tidak dapat memahami hasil budaya mereka tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar belakangnya.  Dalam setiap jaman hasil utama budaya didasarkan pada gagasan-gagasan keagamaan dan diabadikan untuk tujuan keagamaan” (Kusen, 1993 :91)
            Seperti yang telah disinggung di muka bahwa perkembangan religi masyarakat Sunda telah terjadi sinkretisme Agama Hindu-Buddha dengan kepercayaan asli.  Hal ini paling tidak telah berlangsung sejak abad ke XI M di dalam Prasasti Sanghyang Tapak disebutkan tentang adanya pemujaan terhadap sanghyang tapak yang dapat diartikan sebagai pemujaan terhadap jejak, bekas-bekas sanghyang.  Wujud sanghyang tapak ini dapat berupa menhir yang memang dianggap sebagai simbol kehadiran leluhur di dunia. Perkembangan Agama Hindu-Buddha yang telah bercampur dengan kepercayaan asli masyarakat Sunda kuna juga tidak luput dari perhatian Kerajaan Majapahit.  Naskah Nagarakrtagama mencatat gejala ini dalam :
Pupuh XVI
            kunan ika san bhujanga sugatabrateki karno apituwin ajna hajya tan asin paranantika hinilahila sakulwan ikanan tanah jawa kabeh taya rin bodda mara rakwa sambhawa tinut (Th.G.Th.Pigeaud, 1960 :13).
terjemahan :
            konon kabarnya para pendeta penganut sang sugata dalam perjalanan mengemban perintah baginda nata, dilarang menginjak tanah di sebelah barat pulau Jawa karena penghuninya bukan penganut ajaran buddha (Slamet Mulyana, 1960 :281).
            Untuk memahami konsep kepercayaan masyarakat Sunda kuna paling tidak ada beberapa naskah Sunda kuna yang ditulis sekitar abad ke XV-XVI M seperti Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK), Amanat Galunggung (AG), dan Sewaka Darma (SD). Di dalam Naskah SSKK, penulisnya telah menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya naskah ini adalah untuk pegangan hidup orang banyak (kundangan urang reja). Ada beberapa hal penting untuk digarisbawahi dalam kepercayaan Sunda kuna, pertama adanya keyakinan bahwa sanghyang merupakan azas tertinggi dimana kedudukan para dewa dewa Agama Hindu-Buddha berada di bawah sanghyang.  Naskah SSKK menyebutkan sebagai “...ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang...” artinya raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang (Atja dan Saleh D, 1981a :43).  Dalam ajarannya mengenai perjalanan jiwa mencapai kesempurnaan setelah kematian (ngahiang) mempunyai tujuan yang utama, yakni untuk  mencapai derajat kahiyangan tertinggi sehingga dapat bersatu dengan hyang.  Naskah SSKK menyebutkan sebagai manggihkeun hiyang tapa balik dewa (bersatu dengan hyang bukan dengan dewa).  Perlu dipahami bahwa tempat tinggal hyang di alam kedewaan adalah parahyangan sedangkan di alam dunia diyakini tempatnya adalah kabuyutan. Adanya perbedaan posisi dewa dan sanghyang dalam konsep keagamaan menyebabkan kedudukan kabuyutan sebagai tempat tinggal sanghyang lebih penting daripada candi atau kuil sebagai tempat tinggal dewa.
            Mengenai fungsi kabuyutan, tidak ada sumber langsung yang dapat digunakan sebagai rujukan, tetapi secara tersirat dapat ditemukan dalam Naskah Bujangga Manik (BM) yang menyebutkan “...rabut palah, kabuyutan majapahit nu disembah ku na jawa....datang nu puja ngancana nu nembah hanteu pegatna, nu ngideran ti nagara... artinya “...rabut palah, kabuyutan majapahit, yang dipuja oleh orang jawa, ...datanglah yang memuja bersaji emas, yang memuja tiada hentinya yang berdatangan dari negeri...”(J.Noorduyn, 1984:34).  Rabut Palah adalah nama asli dari Candi Panataran yang terletak di sebelah barat daya kaki Gunung Kelud. Di dalam Naskah BM ini diketahui bahwa pada saat itu masyarakat Majapahit telah menjadikan Candi Panataran sebagai kabuyutannya. Naskah BM juga menyebutkan tentang tujuan pendeta Hindu-Sunda datang ke Palah yakni untuk menuntut ilmu keagamaan. Disebutkan pula bahwa hampir satu tahun ia belajar disana lalu pergi disebabkan tidak  betah oleh keramaian yang terus menerus terjadi karena banyaknya orang yang datang melakukan pemujaan (henteu betah kagenteran). Dengan demikian fungsi kabuyutan, mengacu pada Candi Panataran ada dua hal pokok, yakni yang pertama sebagai tempat pemujaan dan kedua sebagai tempat menuntut ilmu (kawikuan).
            Talaga Sanghyang sebagai kabuyutan yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tampaknya cenderung sebagai bentuk petirtaan.  pengertian Tirta adalah pemandian atau air suci selalu dikaitkan dengan ajaran tentang kelepasan (ngahiang). Secara konseptual petirtaan sendiri tidak harus berupa sebuah bangunan karena menurut Stella Kramrish yang menulis tentang bentuk bentuk petirtaan di India, maka petirtaan di sana hanya mengacu pada tempat tempat yang mengandung air “...tirtha is the name of a place of pilgrimage on the bank of the river, the seashore of lake...(1946: 3). Bentuk petirtaan yang berwujud sebuah telaga tampaknya memang bukan sesuatu yang asing lagi di Indonesia.  Hal ini dapat ditemukan pula pada Naskah Adiparwa I yang memuat tentang digunakannya  air Telaga Samantapancaka untuk mencapai moksa. Di dalam naskah disebutkan:
            “...matang yan samantapantjakatirta ngarannya. kunang asing mati rikang tirtha nguni muliheng swarga. nguni weh ikang craddha maradyusa byakta ya mukta kleca muliheng swargaloka...” artinya “...oleh sebab itu bernama petirtaan samantapancaka sebab barang siapa yang mati di petirtaan itu kembali ke surga.  demikian pula yang menjadikan upacara sraddha ke tirtha akan hilang seluruh dosanya dan sempurna masuk kembali ke surga (Siman W, 1968 :4)
            Dengan demikian digunakan Talaga Sanghyang untuk tempat pemujaan erat hubungannya dengan petirtaan. Dalam historiografi tradisional disebutkan bahwa kabuyutan Talaga Sanghyang telah digunakan sebagai tempat ngahiang (moksa) bagi Raja Talaga Manggung dan putranya Raden Panglurah bersama 40 orang pengikutnya.
            Selain sebagai tempat pemujaan, kabuyutan Talaga Sanghyang juga tampaknya telah digunakan sebagai kawikuan mengingat letaknya yang dekat dengan sumber air. Telah diketahui bahwa air selain merupakan unsur yang sangat  penting dalam upacara-upacara keagamaan juga dari segi praktis tentunya akan memudahkan para resi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan air.  Naskah Adiparwa I menyinggung pula tentang lokasi kawikuan yang letaknya dekat dengan sumber air “...sadateng sang ugrasena sin wagatan ta sira de sang tamolah ing acrama kabeh sakweh sang maha rsi magawe tapa ring nemisaranya... ri sampur ikang carita lumaku ta bhujangga mpu matirtha ring samantapancaka kunang pwa maparek irikang patapan ing nemisaranya sang keng samantapancaka... artinya “...ketika sang ugrasena datang disambutlah oleh segala penghuni asrama, segala maha resi yang bertapa di hutan nemisa... selesai itu hamba terus pergi mandi di telaga samantapancaka karena pertapaan di hutan nemisa berdekatan dengan telaga samantapancaka (Siman W, 1968:2). Sumber visual berupa relief mengenai letak petirtaan yang tidak jauh dari kawikuan dapat ditemukan pula di komplek Candi Panataran.  Relief tersebut menunjukkan keterkaitan antara petirtaan dengan kawikuan.  Relief pertirtaan yang dimaksud ini merupakan bagian dari relief cerita Kresnayana.  Pada salah satu panilnya ditemukan adegan yang menceritakan dimana seorang resi sedang memberikan pengajaran kepada tiga orang muridnya dengan latar belakang sebuah petirtaan (Nareswara, 1993:96).
            Pada masa Kerajaan Sunda bentuk-bentuk kawikuan bukanlah hal yang aneh karena laporan Portugis menyatakan bahwa apabila kaum wanita dari kalangan bangsawan tidak berhasil dikawinkan dengan pria idaman orang tua mereka dan untuk menjaga nama baik maka akan dimasukan ke dalam mandala khusus untuk kaum wanita demikian pula bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, ia dapat memilih masuk dalam mandala/ kawikuan  atau ikut mati bersama suaminya (Moh. Amir S, 1966 :54).
            Kabuyutan Talaga Sanghyang sebagai sebuah kawikuan dapat diindikasikan dengan berbagai temuan berupa pecahan keramik asing (China). Apabila dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat pada saat itu maka tidak semua golongan masyarakat mampu memiliki keramik-keramik asing.  Indikasi ini dapat dijadikan salah satu alasan bagi adanya pemukiman/ kawikuan di sekitar Talaga Sanghyang karena  menurut K.C.Chang, tipe situs pemukiman biasanya ditandai oleh sekumpulan sisa sisa kegiatan manusia  yang ditinggalkan oleh suatu komunitas tertentu (Chang,K.C.1968, P.H.Subroto,1980: 1176)

III. 2. Kedudukan Raja
            Menurut Tome Pires, Kerajaan Sunda diperintah oleh seorang raja.  Disamping seorang raja pusat, di daerah-daerah tertentu terdapat raja-raja yang berkuasa di daerah masing-masing.  Hak waris tahta kerajaan diberikan kepada anaknya tetapi jika raja tidak tidak memiliki anak, maka yang akan menggantikannya  adalah salah satu dari raja-raja daerah (Cortesao, A.1967: 167). Raja-raja daerah diberikan hak untuk mengatur wilayahnya hanya saja mereka diwajibkan untuk menghadap raja setiap tahun pada waktu tertentu.  Naskah Kropak 406 menyebutkan sebagai “...anaking sang prebu, prebu, rama, resi samadaya sarerea siya marek ka pakwan unggal tahun...” artinya “...anakku prebu, rama, resi, bersama-sama semuannya menghadap ke pakuan setiap tahun...” (Bambang S,1984: 352). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sunda menganut asas kosmologi yang menekankan pada anggapan bahwa keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan sebagai bentuk kecil dari jagat raya.  Dalam konsep kosmologis seperti ini kedudukan seorang raja diperoleh bukan atas usahanya, tetapi melalui “wahyu” para dewa dan hyang.  Hal ini menyebabkan seorang raja hanya berbakti pada dewa dan hyang.  Selama dewa dan hyang masih memberikan wahyunya maka seorang raja tidak dapat digantikan (Nurhadi M, 1980 :445).
            Dalam konsep mengenai kedudukan seorang raja di Kerajaan Sunda, Naskah SSKK menyebutkan sebagai “...ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang...” artinya “...raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada hyang...”.  Dengan demikian hyang adalah pemegang pemegang kekuasaan tertinggi atau dengan kata lain raja adalah wakil dewa dan hyang yang harus menjalankan semua kehendak  dewa/hyang di dunia.
            Di sisi lain para resi memiliki peranan yang khusus dalam kehidupan kerajaan di Kerajaan  Sunda . Para resi yang tinggal di Kawikuan jauh dari dunia ramai telah menjadi kelompok yang mendalami berbagai hal tentang dewa/hyang. Sehingga para resi dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya diyakini sebagai golongan yang memiliki kemampuan meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Mereka juga dianggap paling mengetahui masalah wahyu para dewa dan hyang untuk seorang raja.
            Dengan demikian sebenarnya para resi memainkan peranan yang sangat penting dalam hubungan kerajaan (raja) dengan para dewa/ hyang. Pentingnya posisi para resi dalam hubungan sosial- politik pada Kerajaan Sunda dapat kita temukan dalam Naskah SSKK yang menyinggung tentang adanya  konsep Tritangtu yaitu tiga peneguh dunia. Dalam naskah SSKK disebutkan sebagai “...ini tritangtu di bumi bayu kita pina(h)ka  prebu, sabda kita pina(h)ka rama, h(e)dap kita pina(h)ka resi... “ artinya “...inilah tiga ketentuan di dunia, kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat sang rama, budi kita ibarat resi...”(Atja dan Saleh D, 1981a:12).  Di dalam  konsep tritangtu, yakni  raja, rama3 dan resi adalah  tiga komponen yang harus dijaga agar hubungan ketiganya dapat berjalan dengan baik. Ketiganya mempunyai tugas yang berbeda tetapi ketiganya saling berhubungan dimana raja sebagai pemegang kekuasaan di wilayah kerajaan, rama sebagai pemegang mandat di daerah yang dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan kehendak raja dan resi sebagai pemegang wahyu dari dewa/ hyang bagi raja.   Oleh karena itu tidaklah salah bila disebutkan dalam Naskah SSKK bahwa apabila raja menjalankan tugasnya mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Naskah SSKK maka kerajaan yang dipimpinnya akan menjadi aman, makmur dan sentosa. Naskah SSKK menyebut sebagai”...nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana kreta lor kidul kulon wetan...” artinya”...demikian, bila pendeta dan raja sungguh-sungguh mensejahterakan negara maka sejahteralah di utara, selata, barat dan timur... (ibid: 21).  Sebaliknya apabila seorang raja tidak menjalankan tugasnya seperti yang terdapat dalam Naskah SSKK, maka dapat dipastikan kerajaan akan mengalami kehancuran.

III.3. Hubungan Kabuyutan dan Kerajaan
            Mengingat bahwa wahyu para dewa/ hyang ini yang dijadikan alat legitimasi seorang raja untuk berkuasa maka telah menjadi kewajibannya pula untuk menjaga tempat para dewa/ hyang di dunia yakni kabuyutan.  Prasasti Sanghyang Tapak merupakan pernyataan seorang raja Sunda dalam usahanya melindungi kabuyutan.  Dalam prasasti ini dewa dan hyang dimohon untuk memberikan hukuman bagi yang melanggar larangan yang telah dibuat oleh raja.  Hukuman yang diminta antara lain “...matiya siwak kapalanya, cucup uteknya, lelah dadanya, inum rahnya, rantan ususnya...” artinya “...terbelah kepalanya, terhisap otaknya, terbelah dadanya, terminum darahnya dan terpotong ususnya (Hasan Djafar, 1992: 20).  Prasasti Kebantenan III secara tegas menyebutkan tidak sekedar mendapatkan kutukan dari dewa dan hyang akan tetapi petugas yang berwenang diperintahkan untuk membunuh orang yang memaksa memasuki kabuyutan tanpa ijin.  Prasasti tersebut berbunyi”...lamun aya nu kodo pa(am)bahna lurah su(n)da sembawa ku ain di titah di paehan...”artinya “...jika ada yang memaksa memasuki daerah sunda sembawa aku perintahkan agar dibunuh...”.  Pada bagian lain dari Prasasti Kebantenan IV menyebutkan pula bahwa raja memberikan perlindungan pada kabuyutan karena para resi juga memberikan perlindungan kepada raja. “...nu purah mibuhayakon na ka ratu pun nu pagoh nawakarna dewa sasana pun...” artinya “...yang selalu memberikan perlindungan kepada raja yang teguh memelihara dewa sasana...” (ibid: 10).
            Begitu pentingnya kabuyutan bagi kerajaan maka Rakean Darmasiksa memberikan peringatan agar kabuyutan dijaga dengan baik, karena apabila seseorang dapat merebut kabuyutan pasti akan mendapatkan semua keinginannya.  Naskah AG menyebutnya “...asing iya nu monangkon kabuyutan na galunggung iya sakti tapa, iya jaya prang, iya hobol nyewana, iya bagya na drabya sakati watiwana...” artinya siapapun yang dapat menguasai kabuyutan di galunggung dia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya dia akan unggul dalam perang dia akan lama berjaya dia akan mendapatkan kebahagiaan dan kekayaan secara turun temurun(Atja dan Saleh D,1981c: 29).
            Oleh karena itu kabuyutan harus dipertahankan sekuat tenaga karena itu adalah simbol kemuliaan orang Sunda.  Apabila kabuyutan sampai jatuh ke tangan musuh sama artinya dengan hilangnya “wahyu” para dewa dan hyang bagi seorang raja dengan demikian kekuasaan raja telah terputus sehingga raja tidak pantas lagi memerintah di kerajaannya.
            Dari pembahasan di muka dapat dilihat bahwa model hubungan antara kabuyutan dan kerajaan dapat dilihat dari dua sisi.  Dari sudut pandang penguasa (kerajaan) yang dalam hal ini erat hubungannya aspek politik, hubungan ini telah memberikan keuntungan bagi kepentingan kerajaan.  Adanya dukungan para resi bagi raja itu artinya bahwa raja telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin kerajaan.  Dari sisi para resi ( kabuyutan) yang dalam hal ini erat hubungannya dengan aspek religius dukungan para resi terhadap raja yang berkuasa membuat posisi kabuyutan menjadi terjaga di samping mendapatkan perlindungan yang baik dari raja para resi juga menikmati fasilitas lain yang diberikan oleh raja seperti pembebasan pajak .
            Melihat hubungan antara kerajaan dan kabuyutan yang begitu erat dimana antara kedua institusi/ golongan tersebut terdapat indikasi saling membutuhkan maka hubungan yang demikian dapat disebut sebagai model hubungan simbiosis mutualisme.  Tampaknya model hubungan seperti ini memang telah berlaku selama ini baik pada Kerajaan Sunda maupun Kerajaan-kerajaan vasalnya.
            Meskipun tidak ada data tertulis yang memuat secara akurat mengenai adanya hubungan mutualisme antara Kabuyutan Talaga dengan Kerajaan Talaga, namun melihat dari indikasi yang ada tampaknya hubungan mutualisme  memang telah berlaku di Kerajaan Talaga.  Indikasi yang dimaksud adalah tetap terpeliharanya Kabuyutan Talaga Sanghyang meskipun Keturunan raja-raja Talaga telah memeluk agama Islam.  Kekeramatan Talaga Sanghyang tetap terjaga dengan digunakannya Talaga Sanghyang sebagai tempat pemakaman bagi keturunan raja-raja Talaga.  
IV

            Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa kabuyutan sebagai tempat tinggal hyang di dunia.  Berdasarkan analogi fungsi pada Candi Panataran, diketahui bahwa kabuyutan mempunyai dua fungsi yakni sebagai tempat pemujaan dan kawikuan.  Demikian pula dengan Talaga Sanghyang sebagai sebuah kabuyutan diduga mempunyai dua fungsi diatas yakni sebagai tempat pemujaan yang diidentifikasikan sebagai sebuah petirtaan yang erat hubungannya dengan tirta (air suci) dan sebagai tempat untuk melakukan moksa (ngahiang).  Kabuyutan Talaga Sanghyang Sebagai sebuah kawikuan dapat diindikasikan dengan berbagai temuan berupa pecahan keramik asing (China) yang apabila dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya pada saat itu tidak semua orang mempunyai keramik-keramik asing. Di sisi lain adanya kedekatan hubungan para resi dengan pejabat kerajaan (raja) memungkinkan para resi memiliki keramik-keramik asing tersebut.
            Posisi/ kedudukan kabuyutan pada masa lalu dapat diketahui dari hubungan yang erat antara kerajaan dan kabuyutan yang dilatarbelakangi oleh adanya konsep pembentukan kerajaan yang didasarkan pada konsep kosmologi.  Dalam konsep ini kedudukan raja diperoleh bukan atas hasil usahanya melainkan melalui wahyu para dewa dan hyang.  Hal ini yang mendorong seorang raja harus berbakti pada para dewa dan hyang.  Di sisi lain para resi adalah golongan yang dianggap paling mengetahui keinginan para dewa dan hyang.  Agar wahyu para dewa dan hyang tetap kekal maka pihak kerajaan (raja) harus membina hubungan yang baik dengan para resi.  Hal ini diwujudkan antara lain dengan memberikan perlindungan kepada para resi di kabuyutan dan beberapa fasilitas lainnya.  Hal itu juga tercermin di Talaga Sanghyang yang masih terpelihara kekeramatannya meskipun keturunan raja-raja Talaga telah memeluk Agama Islam.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedudukan kabuyutan pada masa lalu telah mendapatkan tempat yang strategis bagi legitimasi seorang raja dan kerajaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Aris Munandar.  1992. “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber  Tertulis:, PIA VI. Malang: Puslit Arkenas. hlm. 150-157.
Atja dan Saleh Danasasmita, 1981a Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
_______________________, 1981b Carita  Parahyangan. Bandung : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
_______________________, 1981c Amanat Galunggung. Bandung : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
_______________________,1981d Sewaka Darma. Bandung : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ardana, I Gusti .1986 “Local Genius dalam Kehidupan Beragama:, dalam Ayatrohaedi, ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local genius). Jakarta : Pustaka Jaya.
Brosur. 1990 Wana Wisata Situ Sangiang. Bandung : Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Bambang Sumadio, et al., ed. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Cortesao, Armando. 1967 The Suma Oriental of Tome Pires, Volume I. Kraus Reprint Limitd.
Emon Suryatmana dan Anwar Falah,1989.  Telaah Singkat Tentang Keberadaan Talaga Dalam Kerangka  Sejarah Jawa Barat. Bandung: Depdikbud.
Hasan Djafar. 1992“Prasasti-Prasasti di Jawa Barat:, Seminar Gotrasawala Sejarah III: Peninggalan Kepurbakalaan di Jawa Barat. Bandung: Universitas Pasundan.
Koentjaraningrat 1986 Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Kusen, et al. 1993. “Agama dalam Kepercayaan Masyarakat Majapahit , dalam Sartono Kartodirdjo, ed.,dkk. 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur.
Kramrish, Stella. 1946. The Hindu Temple, volume I. Delhi: Motilal Banersida.
Mardiwarsito, L.1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Mohammad Amir Sutaarga.1965. Prabu Siliwangi. Bandung : Duta Rakyat.
Nareswara.1993. “Pengertian dan Fungsi Petirtaan pada Masa Klasik di Jawa”, Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Noorduyn, J. 1984. Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa : Data Topografi Dari Sumber Sunda Kuna. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Nurhadi Magetsari.1980. “Masalah-Masalah Agama dan Kebudayaan dalam Arkeologi Klasik Indonesia, PIA II. Jakarta: Puslitarkenas. hlm. 445-448.
Ph.Subroto. 1985. “ Studi Tentang Pola Pemukiman Arkeologi, Kemungkinan-Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, PIA III .Jakarta: Puslitarkenas. hal 1176-1184.
Pigeaud, Th.G.th.1963. Java in The Fourteenth Century: A Study in Cultural History The Nagarakrtagama by Rakawi Prapantja of Majapahit 1365 AD, Volume I . The Hague: Martinus Nijhoff.
Slamet Mulyana.1979. Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Siman Widyatmanta.1968. Adi Parwa I. Yogyakarta : Sping.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
Vivian Sukanda. 1982.“ Telaga Sanghyang Sebagai Pola Permanensi Tempat Pemujaan/ Ibadat Sepanjang Masa:, PIA IV. Jakarta: Puslitarkenas. hlm.619-626




1 Sinkretisme adalah paham/ aliran baru yang merupakan perpaduan dua atau beberapa paham/ aliran yang  berbeda untuk mncari keserasian (Tim Penyusun:1989)
2  Local Genius menurut Quaritch Wales adalah the sum of the cultural characteristic which the vast mayority of a people have in common as a result of their experience in early life artinya keseluruhan ciri-ciri yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau (I Gusti Ardana :1986)
3 Rama adalah sesepuh atau kelompok tokoh masyarakat baik dalam tingkat wanua (desa) atau watek (sekelompok desa).  Biasanya juga merupakan pejabat di tingkat desa atau lebih tinggi lagi.

Tidak ada komentar: