Kabuyutan
sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik
untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah
tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna
mengenal candi atau kuil. Tepatnya
ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat
kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu -
Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan
kebudayaan masyarakat Sunda kuna. Salah
satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi. Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian
(SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan),
batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21
). Menurut Agus A.M., bentuk bangunan
pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan
pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala
variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya
(1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,
tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya
pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli
dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian
ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.
Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau
membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
Hal ini tercermin pada masa Kerajaan
Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan. Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan
bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan
di kerajaannya. Naskah CP menyebutkannya
sebagai “...disilihan doiku sa(ng)
rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang
binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang
disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh
sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti
pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri,
sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
Kehadiran Kabuyutan yang berakar
dari kepercayaan kepada roh nenek moyang
dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa
klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan
kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.
II
Sejauh ini hanya Naskah Bujangga Manik (BM)
yang menyebutkan salah satu bentuk kabuyutan sebagai sebuah telaga. Naskah ini menyebut sebagai “...sadatang ka bukit ageung eta hulu
cihaliwung kabuyutan ti pakuan sanghiang talaga warna...” artinya
“...sedatang di bukit agung hulu sungai ciliwung (terdapatlah disana) kabuyutan
pakuan, yaitu sanghiang telaga warna...” (J Noorduyn,1984:10 ). Digunakannya telaga sebagai sebuah kabuyutan
tampaknya erat pula sebagai bentuk petirtaan yang memang disyaratkannya
kehadiran air sebagai sumber kehidupan dan unsur pembersihan jiwa. Beberapa data arkeologi di Jawa Barat memang
mencantumkan telaga sebagai sebuah tempat suci . Salah satunya adalah Talaga Sanghyang yang
telah dilakukan penelitiannya oleh Vivian Sukanda. Telaga ini terletak di lereng barat daya
Gunung Ciremai berupa sebuah danau vulkanik yang dalam dan berbentuk bulat
telur. Secara administratif situs ini
termasuk dalam wilayah Desa Sanghyang Kecamatan Talaga, Kabupaten
Majalengka. Luas situs sekitar 18 ha
berada pada ketinggian 900m dpl dengan temperatur udara berkisar antara 25 - 30
C ( -, 1990, ). Dari jalan masuk sampai
ke tepi Talaga Sanghyang membujur arah utara-selatan dan mempunyai dua pintu
gerbang. Di sepanjang jalan terdapat
sejumlah peninggalan megalitik yang oleh masyarakat dianggap sebagai ‘tapak’
patih pengikut Raja Telaga Manggung. Beberapa peninggalan megalitik ( menhir)
telah diberi nama khusus oleh masyarakat seperti Buyut Tutuq, Buyut Teteq,
Buyut Astrawana dan Buyut Jayapatra.
Temuan lain di lokasi situs ini adalah pecahan keramik Cina, di antaranya
berasal dari Dinasti Ming (abad ke-14 M) yang tersebar di sepanjang jalan
setapak menuju makam Raja Parung. Makam
milik keturunan raja-raja Talaga sejak Raja Parung dan keturunannya saat ini
terletak sekitar 500 m di sebelah timur telaga (Vivian S, 1992 :619). Menurut
Vivian S, Talaga Sanghyang merupakan situs pemujaan yang telah digunakan sejak
zaman prasejarah sampai pada masa Islam dan sesudahnya. Situs ini juga
erat kaitannya dengan Kerajaan Talaga
yang merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber tradisional yang mengungkapkan
eksistensi Kerajaan Talaga yakni Babad Kertajaya yang berasal dari Pakungwati
Cirebon, kerajaan ini berdiri sekitar pertengahan abad ke-14 dan pada tahun
1530 M jatuh ke tangan Cirebon dan sejak itu raja-raja di Kerajaan Talaga
memeluk Agama Islam (Emon S dan Anwar F, 1989: -). Menurut Ter Dam, Pada masa
Kerajaan Sunda, wilayah Talaga telah menjadi salah satu jalur lalu lintas darat
yang menghubungkan Kerajaan Sunda dengan Kawali (Galuh) (Moh. Amir S,1965:
52). Beberapa ahli sejarah memperkirakan
lokasi Kerajaan Talaga berada di sekitar Kecamatan Talaga dimana semua
peninggalan kerajaan masih tersimpan dengan baik oleh ahli warisnya.
Beberapa peninggalan Kerajaan Talaga
yang masih dapat diamati cukup lengkap antara lain adalah arca-arca dewa
berukuran 20-30 cm terbuat dari perunggu yang merupakan perwujudan dewa-dewa
Hindu-Buddha, mangkuk upacara Buddha yang bergambar 12 zodiac, Berbagai macam
senjata perang, alat alat gamelan, dan mata uang asing (China) dalam jumlah
yang cukup banyak serta menhir sepanjang dua meter yang merupakan pusaka
kerajaan.
III
III.1. Makna Kabuyutan
Kabuyutan berasal dari kata buyut
yang berarti leluhur, atau nenek moyang.
Arti kata kabuyutan sendiri adalah tempat tinggal nenek moyang atau
tempat keramat. Wujud dari kabuyutan ini dapat berupa bangunan
kuil, candi, maupun makam nenek moyang (L.Mardiwarsito, 1981 :121). Menurut J.G.de Casparis, kabuyutan adalah
semacam objek pemujaan, sedangkan Pigeaud menyatakan bahwa kabuyutan adalah
bangunan suci yang terletak jauh dari keramaian (Agus Aris Munandar, 1992:
154).
Untuk memahami keberadaan kabuyutan
sebagai wujud kebudayaan material yang erat dengan aspek religi yang melatar
belakanginya, maka perlu diketahui dahulu konsep-konsep religi masyarakat Sunda
kuna. Menurut Christopher Dawson,
sebagai dasar untuk memahami hasil budaya suatu masyarakat terlebih dahulu
haruslah mengerti agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
“Agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat
memahami hakekat tata masyarakat tanpa
mengerti agamanya. Kita tidak dapat
memahami hasil budaya mereka tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi
latar belakangnya. Dalam setiap jaman
hasil utama budaya didasarkan pada gagasan-gagasan keagamaan dan diabadikan
untuk tujuan keagamaan” (Kusen, 1993 :91)
Seperti yang telah disinggung di
muka bahwa perkembangan religi masyarakat Sunda telah terjadi sinkretisme Agama
Hindu-Buddha dengan kepercayaan asli.
Hal ini paling tidak telah berlangsung sejak abad ke XI M di dalam
Prasasti Sanghyang Tapak disebutkan tentang adanya pemujaan terhadap sanghyang
tapak yang dapat diartikan sebagai pemujaan terhadap jejak, bekas-bekas sanghyang. Wujud sanghyang
tapak ini dapat berupa menhir yang memang dianggap sebagai simbol kehadiran
leluhur di dunia. Perkembangan Agama Hindu-Buddha yang telah bercampur dengan
kepercayaan asli masyarakat Sunda kuna juga tidak luput dari perhatian Kerajaan
Majapahit. Naskah Nagarakrtagama
mencatat gejala ini dalam :
Pupuh XVI
kunan ika san bhujanga sugatabrateki karno
apituwin ajna hajya tan asin paranantika hinilahila sakulwan ikanan tanah jawa
kabeh taya rin bodda mara rakwa sambhawa tinut (Th.G.Th.Pigeaud, 1960 :13).
terjemahan :
konon kabarnya para pendeta penganut sang
sugata dalam perjalanan mengemban perintah baginda nata, dilarang menginjak
tanah di sebelah barat pulau Jawa karena penghuninya bukan penganut ajaran buddha
(Slamet Mulyana, 1960 :281).
Untuk memahami konsep kepercayaan
masyarakat Sunda kuna paling tidak ada beberapa naskah Sunda kuna yang ditulis
sekitar abad ke XV-XVI M seperti Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian
(SSKK), Amanat Galunggung (AG), dan Sewaka Darma (SD). Di dalam Naskah SSKK,
penulisnya telah menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya naskah ini adalah untuk
pegangan hidup orang banyak (kundangan
urang reja). Ada beberapa hal penting untuk digarisbawahi dalam
kepercayaan Sunda kuna, pertama adanya keyakinan bahwa sanghyang merupakan azas
tertinggi dimana kedudukan para dewa dewa Agama Hindu-Buddha berada di bawah
sanghyang. Naskah SSKK menyebutkan
sebagai “...ratu bakti di dewata, dewata
bakti di hyang...” artinya raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada
hyang (Atja dan Saleh D, 1981a :43).
Dalam ajarannya mengenai perjalanan jiwa mencapai kesempurnaan setelah
kematian (ngahiang) mempunyai tujuan
yang utama, yakni untuk mencapai derajat
kahiyangan tertinggi sehingga dapat bersatu dengan hyang. Naskah SSKK menyebutkan sebagai manggihkeun hiyang tapa balik dewa (bersatu
dengan hyang bukan dengan dewa). Perlu
dipahami bahwa tempat tinggal hyang di alam kedewaan adalah parahyangan
sedangkan di alam dunia diyakini tempatnya adalah kabuyutan. Adanya perbedaan
posisi dewa dan sanghyang dalam konsep keagamaan menyebabkan kedudukan
kabuyutan sebagai tempat tinggal sanghyang lebih penting daripada candi atau
kuil sebagai tempat tinggal dewa.
Mengenai fungsi kabuyutan, tidak ada
sumber langsung yang dapat digunakan sebagai rujukan, tetapi secara tersirat
dapat ditemukan dalam Naskah Bujangga Manik (BM) yang menyebutkan “...rabut palah, kabuyutan majapahit nu
disembah ku na jawa....datang nu puja ngancana nu nembah hanteu pegatna, nu
ngideran ti nagara...” artinya
“...rabut palah, kabuyutan majapahit, yang dipuja oleh orang jawa, ...datanglah
yang memuja bersaji emas, yang memuja tiada hentinya yang berdatangan dari
negeri...”(J.Noorduyn, 1984:34). Rabut
Palah adalah nama asli dari Candi Panataran yang terletak di sebelah barat daya
kaki Gunung Kelud. Di dalam Naskah BM ini diketahui bahwa pada saat itu
masyarakat Majapahit telah menjadikan Candi Panataran sebagai kabuyutannya.
Naskah BM juga menyebutkan tentang tujuan pendeta Hindu-Sunda datang ke Palah
yakni untuk menuntut ilmu keagamaan. Disebutkan pula bahwa hampir satu tahun ia
belajar disana lalu pergi disebabkan tidak
betah oleh keramaian yang terus menerus terjadi karena banyaknya orang
yang datang melakukan pemujaan (henteu
betah kagenteran). Dengan demikian fungsi kabuyutan, mengacu pada Candi
Panataran ada dua hal pokok, yakni yang pertama sebagai tempat pemujaan dan
kedua sebagai tempat menuntut ilmu (kawikuan).
Talaga Sanghyang sebagai kabuyutan
yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tampaknya cenderung sebagai bentuk
petirtaan. pengertian Tirta adalah
pemandian atau air suci selalu dikaitkan dengan ajaran tentang kelepasan (ngahiang). Secara konseptual petirtaan
sendiri tidak harus berupa sebuah bangunan karena menurut Stella Kramrish yang
menulis tentang bentuk bentuk petirtaan di India, maka petirtaan di sana hanya
mengacu pada tempat tempat yang mengandung air “...tirtha is the name of a place of pilgrimage on the bank of the river,
the seashore of lake...(1946: 3). Bentuk petirtaan yang berwujud sebuah
telaga tampaknya memang bukan sesuatu yang asing lagi di Indonesia. Hal ini dapat ditemukan pula pada Naskah
Adiparwa I yang memuat tentang digunakannya
air Telaga Samantapancaka untuk mencapai moksa. Di dalam naskah
disebutkan:
“...matang
yan samantapantjakatirta ngarannya. kunang asing mati rikang tirtha nguni
muliheng swarga. nguni weh ikang craddha maradyusa byakta ya mukta kleca
muliheng swargaloka...” artinya “...oleh sebab itu bernama petirtaan
samantapancaka sebab barang siapa yang mati di petirtaan itu kembali ke
surga. demikian pula yang menjadikan
upacara sraddha ke tirtha akan hilang seluruh dosanya dan sempurna masuk
kembali ke surga (Siman W, 1968 :4)
Dengan
demikian digunakan Talaga Sanghyang untuk tempat pemujaan erat hubungannya
dengan petirtaan. Dalam historiografi tradisional disebutkan bahwa kabuyutan
Talaga Sanghyang telah digunakan sebagai tempat ngahiang (moksa) bagi
Raja Talaga Manggung dan putranya Raden Panglurah bersama 40 orang pengikutnya.
Selain sebagai tempat pemujaan,
kabuyutan Talaga Sanghyang juga tampaknya telah digunakan sebagai kawikuan
mengingat letaknya yang dekat dengan sumber air. Telah diketahui bahwa air
selain merupakan unsur yang sangat
penting dalam upacara-upacara keagamaan juga dari segi praktis tentunya
akan memudahkan para resi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan air. Naskah Adiparwa I menyinggung pula tentang
lokasi kawikuan yang letaknya dekat dengan sumber air “...sadateng sang ugrasena sin wagatan ta sira de sang tamolah ing
acrama kabeh sakweh sang maha rsi magawe tapa ring nemisaranya... ri sampur
ikang carita lumaku ta bhujangga mpu matirtha ring samantapancaka kunang pwa
maparek irikang patapan ing nemisaranya sang keng samantapancaka... artinya
“...ketika sang ugrasena datang disambutlah oleh segala penghuni asrama, segala
maha resi yang bertapa di hutan nemisa... selesai itu hamba terus pergi mandi
di telaga samantapancaka karena pertapaan di hutan nemisa berdekatan dengan
telaga samantapancaka (Siman W, 1968:2). Sumber visual berupa relief mengenai
letak petirtaan yang tidak jauh dari kawikuan dapat ditemukan pula di komplek
Candi Panataran. Relief tersebut
menunjukkan keterkaitan antara petirtaan dengan kawikuan. Relief pertirtaan yang dimaksud ini merupakan
bagian dari relief cerita Kresnayana.
Pada salah satu panilnya ditemukan adegan yang menceritakan dimana
seorang resi sedang memberikan pengajaran kepada tiga orang muridnya dengan
latar belakang sebuah petirtaan (Nareswara, 1993:96).
Pada masa Kerajaan Sunda
bentuk-bentuk kawikuan bukanlah hal yang aneh karena laporan Portugis
menyatakan bahwa apabila kaum wanita dari kalangan bangsawan tidak berhasil
dikawinkan dengan pria idaman orang tua mereka dan untuk menjaga nama baik maka
akan dimasukan ke dalam mandala khusus untuk kaum wanita demikian pula bagi
seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, ia dapat memilih masuk dalam
mandala/ kawikuan atau ikut mati bersama
suaminya (Moh. Amir S, 1966 :54).
Kabuyutan Talaga Sanghyang sebagai
sebuah kawikuan dapat diindikasikan dengan berbagai temuan berupa pecahan
keramik asing (China). Apabila dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi
masyarakat pada saat itu maka tidak semua golongan masyarakat mampu memiliki
keramik-keramik asing. Indikasi ini dapat
dijadikan salah satu alasan bagi adanya pemukiman/ kawikuan di sekitar Talaga
Sanghyang karena menurut K.C.Chang, tipe
situs pemukiman biasanya ditandai oleh sekumpulan sisa sisa kegiatan
manusia yang ditinggalkan oleh suatu
komunitas tertentu (Chang,K.C.1968, P.H.Subroto,1980: 1176)
III. 2. Kedudukan Raja
Menurut Tome Pires, Kerajaan Sunda
diperintah oleh seorang raja. Disamping
seorang raja pusat, di daerah-daerah tertentu terdapat raja-raja yang berkuasa
di daerah masing-masing. Hak waris tahta
kerajaan diberikan kepada anaknya tetapi jika raja tidak tidak memiliki anak,
maka yang akan menggantikannya adalah
salah satu dari raja-raja daerah (Cortesao, A.1967: 167). Raja-raja daerah
diberikan hak untuk mengatur wilayahnya hanya saja mereka diwajibkan untuk
menghadap raja setiap tahun pada waktu tertentu. Naskah Kropak 406 menyebutkan sebagai “...anaking sang prebu, prebu, rama, resi
samadaya sarerea siya marek ka pakwan unggal tahun...” artinya “...anakku
prebu, rama, resi, bersama-sama semuannya menghadap ke pakuan setiap tahun...”
(Bambang S,1984: 352). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sunda menganut
asas kosmologi yang menekankan pada anggapan bahwa keselarasan antara kerajaan
dan jagat raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan sebagai bentuk kecil dari
jagat raya. Dalam konsep kosmologis
seperti ini kedudukan seorang raja diperoleh bukan atas usahanya, tetapi
melalui “wahyu” para dewa dan hyang. Hal
ini menyebabkan seorang raja hanya berbakti pada dewa dan hyang. Selama dewa dan hyang masih memberikan
wahyunya maka seorang raja tidak dapat digantikan (Nurhadi M, 1980 :445).
Dalam konsep mengenai kedudukan
seorang raja di Kerajaan Sunda, Naskah SSKK menyebutkan sebagai “...ratu bakti di dewata, dewata bakti di
hyang...” artinya “...raja berbakti pada dewata, dewata berbakti pada
hyang...”. Dengan demikian hyang adalah
pemegang pemegang kekuasaan tertinggi atau dengan kata lain raja adalah wakil
dewa dan hyang yang harus menjalankan semua kehendak dewa/hyang di dunia.
Di sisi lain para resi memiliki
peranan yang khusus dalam kehidupan kerajaan di Kerajaan Sunda . Para resi yang tinggal di Kawikuan
jauh dari dunia ramai telah menjadi kelompok yang mendalami berbagai hal
tentang dewa/hyang. Sehingga para resi dengan kapasitas keilmuan yang
dimilikinya diyakini sebagai golongan yang memiliki kemampuan meramalkan
sesuatu yang akan terjadi. Mereka juga dianggap paling mengetahui masalah wahyu
para dewa dan hyang untuk seorang raja.
Dengan demikian sebenarnya para resi
memainkan peranan yang sangat penting dalam hubungan kerajaan (raja) dengan
para dewa/ hyang. Pentingnya posisi para resi dalam hubungan sosial- politik
pada Kerajaan Sunda dapat kita temukan dalam Naskah SSKK yang menyinggung
tentang adanya konsep Tritangtu yaitu tiga peneguh dunia.
Dalam naskah SSKK disebutkan sebagai “...ini
tritangtu di bumi bayu kita pina(h)ka
prebu, sabda kita pina(h)ka rama, h(e)dap kita pina(h)ka resi... “
artinya “...inilah tiga ketentuan di dunia, kesentosaan kita ibarat raja, ucap
kita ibarat sang rama, budi kita ibarat resi...”(Atja dan Saleh D,
1981a:12). Di dalam konsep tritangtu,
yakni raja, rama3
dan resi adalah tiga komponen yang harus
dijaga agar hubungan ketiganya dapat berjalan dengan baik. Ketiganya mempunyai
tugas yang berbeda tetapi ketiganya saling berhubungan dimana raja sebagai
pemegang kekuasaan di wilayah kerajaan, rama sebagai pemegang mandat di daerah
yang dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan kehendak raja dan resi
sebagai pemegang wahyu dari dewa/ hyang bagi raja. Oleh karena itu tidaklah salah bila disebutkan
dalam Naskah SSKK bahwa apabila raja menjalankan tugasnya mengikuti ajaran yang
terdapat di dalam Naskah SSKK maka kerajaan yang dipimpinnya akan menjadi aman,
makmur dan sentosa. Naskah SSKK menyebut sebagai”...nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana,
nya mana kreta lor kidul kulon wetan...” artinya”...demikian, bila pendeta
dan raja sungguh-sungguh mensejahterakan negara maka sejahteralah di utara,
selata, barat dan timur... (ibid: 21).
Sebaliknya apabila seorang raja tidak menjalankan tugasnya seperti yang
terdapat dalam Naskah SSKK, maka dapat dipastikan kerajaan akan mengalami
kehancuran.
III.3. Hubungan Kabuyutan dan Kerajaan
Mengingat bahwa wahyu para dewa/
hyang ini yang dijadikan alat legitimasi seorang raja untuk berkuasa maka telah
menjadi kewajibannya pula untuk menjaga tempat para dewa/ hyang di dunia yakni
kabuyutan. Prasasti Sanghyang Tapak
merupakan pernyataan seorang raja Sunda dalam usahanya melindungi kabuyutan. Dalam prasasti ini dewa dan hyang dimohon
untuk memberikan hukuman bagi yang melanggar larangan yang telah dibuat oleh
raja. Hukuman yang diminta antara lain “...matiya siwak kapalanya, cucup uteknya, lelah
dadanya, inum rahnya, rantan ususnya...” artinya “...terbelah kepalanya,
terhisap otaknya, terbelah dadanya, terminum darahnya dan terpotong ususnya
(Hasan Djafar, 1992: 20). Prasasti
Kebantenan III secara tegas menyebutkan tidak sekedar mendapatkan kutukan dari
dewa dan hyang akan tetapi petugas yang berwenang diperintahkan untuk membunuh
orang yang memaksa memasuki kabuyutan tanpa ijin. Prasasti tersebut berbunyi”...lamun aya nu kodo pa(am)bahna lurah
su(n)da sembawa ku ain di titah di paehan...”artinya “...jika ada yang
memaksa memasuki daerah sunda sembawa aku perintahkan agar dibunuh...”. Pada bagian lain dari Prasasti Kebantenan IV
menyebutkan pula bahwa raja memberikan perlindungan pada kabuyutan karena para
resi juga memberikan perlindungan kepada raja. “...nu purah mibuhayakon na ka ratu pun nu pagoh nawakarna dewa sasana
pun...” artinya “...yang selalu memberikan perlindungan kepada raja yang
teguh memelihara dewa sasana...” (ibid: 10).
Begitu pentingnya kabuyutan bagi
kerajaan maka Rakean Darmasiksa memberikan peringatan agar kabuyutan dijaga
dengan baik, karena apabila seseorang dapat merebut kabuyutan pasti akan
mendapatkan semua keinginannya. Naskah
AG menyebutnya “...asing iya nu monangkon
kabuyutan na galunggung iya sakti tapa, iya jaya prang, iya hobol nyewana, iya
bagya na drabya sakati watiwana...” artinya siapapun yang dapat menguasai
kabuyutan di galunggung dia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya dia akan
unggul dalam perang dia akan lama berjaya dia akan mendapatkan kebahagiaan dan
kekayaan secara turun temurun(Atja dan Saleh D,1981c: 29).
Oleh karena itu kabuyutan harus
dipertahankan sekuat tenaga karena itu adalah simbol kemuliaan orang
Sunda. Apabila kabuyutan sampai jatuh ke
tangan musuh sama artinya dengan hilangnya “wahyu” para dewa dan hyang bagi
seorang raja dengan demikian kekuasaan raja telah terputus sehingga raja tidak
pantas lagi memerintah di kerajaannya.
Dari pembahasan di muka dapat
dilihat bahwa model hubungan antara kabuyutan dan kerajaan dapat dilihat dari
dua sisi. Dari sudut pandang penguasa
(kerajaan) yang dalam hal ini erat hubungannya aspek politik, hubungan ini
telah memberikan keuntungan bagi kepentingan kerajaan. Adanya dukungan para resi bagi raja itu
artinya bahwa raja telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin kerajaan. Dari sisi para resi ( kabuyutan) yang dalam
hal ini erat hubungannya dengan aspek religius dukungan para resi terhadap raja
yang berkuasa membuat posisi kabuyutan menjadi terjaga di samping mendapatkan
perlindungan yang baik dari raja para resi juga menikmati fasilitas lain yang
diberikan oleh raja seperti pembebasan pajak .
Melihat hubungan antara kerajaan dan
kabuyutan yang begitu erat dimana antara kedua institusi/ golongan tersebut
terdapat indikasi saling membutuhkan maka hubungan yang demikian dapat disebut
sebagai model hubungan simbiosis mutualisme.
Tampaknya model hubungan seperti ini memang telah berlaku selama ini
baik pada Kerajaan Sunda maupun Kerajaan-kerajaan vasalnya.
Meskipun tidak ada data tertulis
yang memuat secara akurat mengenai adanya hubungan mutualisme antara Kabuyutan
Talaga dengan Kerajaan Talaga, namun melihat dari indikasi yang ada tampaknya
hubungan mutualisme memang telah berlaku
di Kerajaan Talaga. Indikasi yang
dimaksud adalah tetap terpeliharanya Kabuyutan Talaga Sanghyang meskipun
Keturunan raja-raja Talaga telah memeluk agama Islam. Kekeramatan Talaga Sanghyang tetap terjaga
dengan digunakannya Talaga Sanghyang sebagai tempat pemakaman bagi keturunan
raja-raja Talaga.
IV
Dengan demikian, dari uraian di
atas, dapat diketahui bahwa kabuyutan sebagai tempat tinggal hyang di dunia. Berdasarkan analogi fungsi pada Candi
Panataran, diketahui bahwa kabuyutan mempunyai dua fungsi yakni sebagai tempat
pemujaan dan kawikuan. Demikian pula
dengan Talaga Sanghyang sebagai sebuah kabuyutan diduga mempunyai dua fungsi
diatas yakni sebagai tempat pemujaan yang diidentifikasikan sebagai sebuah
petirtaan yang erat hubungannya dengan tirta
(air suci) dan sebagai tempat untuk melakukan moksa (ngahiang). Kabuyutan Talaga Sanghyang Sebagai sebuah
kawikuan dapat diindikasikan dengan berbagai temuan berupa pecahan keramik
asing (China) yang apabila dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi
masyarakatnya pada saat itu tidak semua orang mempunyai keramik-keramik asing.
Di sisi lain adanya kedekatan hubungan para resi dengan pejabat kerajaan (raja)
memungkinkan para resi memiliki keramik-keramik asing tersebut.
Posisi/ kedudukan kabuyutan pada
masa lalu dapat diketahui dari hubungan yang erat antara kerajaan dan kabuyutan
yang dilatarbelakangi oleh adanya konsep pembentukan kerajaan yang didasarkan
pada konsep kosmologi. Dalam konsep ini
kedudukan raja diperoleh bukan atas hasil usahanya melainkan melalui wahyu para
dewa dan hyang. Hal ini yang mendorong
seorang raja harus berbakti pada para dewa dan hyang. Di sisi lain para resi adalah golongan yang
dianggap paling mengetahui keinginan para dewa dan hyang. Agar wahyu para dewa dan hyang tetap kekal
maka pihak kerajaan (raja) harus membina hubungan yang baik dengan para
resi. Hal ini diwujudkan antara lain
dengan memberikan perlindungan kepada para resi di kabuyutan dan beberapa
fasilitas lainnya. Hal itu juga
tercermin di Talaga Sanghyang yang masih terpelihara kekeramatannya meskipun
keturunan raja-raja Talaga telah memeluk Agama Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kedudukan kabuyutan pada masa lalu telah mendapatkan tempat yang strategis bagi
legitimasi seorang raja dan kerajaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Aris Munandar. 1992. “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda:
Data Arkeologi dan Sumber Tertulis:, PIA VI. Malang: Puslit Arkenas. hlm.
150-157.
Atja dan Saleh Danasasmita, 1981a Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.
_______________________, 1981b Carita Parahyangan. Bandung
: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
_______________________, 1981c Amanat Galunggung. Bandung : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa
Barat.
_______________________,1981d Sewaka Darma. Bandung : Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ardana, I Gusti .1986 “Local Genius dalam Kehidupan
Beragama:, dalam Ayatrohaedi, ed. Kepribadian
Budaya Bangsa (Local genius). Jakarta : Pustaka Jaya.
Brosur. 1990 Wana Wisata Situ Sangiang. Bandung :
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Bambang Sumadio, et al., ed. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, edisi IV. Jakarta : Balai Pustaka.
Cortesao,
Armando. 1967 The Suma Oriental of Tome
Pires, Volume I.
Kraus Reprint Limitd.
Emon
Suryatmana dan Anwar Falah,1989. Telaah
Singkat Tentang Keberadaan Talaga Dalam Kerangka Sejarah Jawa Barat. Bandung : Depdikbud.
Hasan
Djafar. 1992“Prasasti-Prasasti di Jawa Barat:, Seminar Gotrasawala Sejarah III: Peninggalan Kepurbakalaan di Jawa
Barat. Bandung :
Universitas Pasundan.
Koentjaraningrat 1986 Pengantar Antropologi. Jakarta :
Aksara Baru.
Kusen,
et al. 1993. “Agama dalam Kepercayaan Masyarakat Majapahit , dalam Sartono
Kartodirdjo, ed.,dkk. 700 Tahun Majapahit
Suatu Bunga Rampai. Surabaya :
Dinas Pariwisata Jawa Timur.
Kramrish, Stella. 1946. The Hindu Temple, volume I. Delhi: Motilal Banersida.
Mardiwarsito, L.1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa
Indah.
Mohammad Amir Sutaarga.1965. Prabu Siliwangi. Bandung
: Duta Rakyat.
Nareswara.1993.
“Pengertian dan Fungsi Petirtaan pada Masa Klasik di Jawa”, Skripsi Sarjana. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM.
Noorduyn,
J. 1984. Perjalanan Bujangga Manik
Menyusuri Tanah Jawa : Data Topografi Dari Sumber Sunda Kuna. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia .
Nurhadi
Magetsari.1980. “Masalah-Masalah Agama dan Kebudayaan dalam Arkeologi Klasik Indonesia , PIA II. Jakarta : Puslitarkenas. hlm. 445-448.
Ph.Subroto.
1985. “ Studi Tentang Pola Pemukiman Arkeologi, Kemungkinan-Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia, PIA III
.Jakarta: Puslitarkenas. hal 1176-1184.
Pigeaud,
Th.G.th.1963. Java in The Fourteenth
Century: A Study in Cultural History The Nagarakrtagama by Rakawi Prapantja of
Majapahit 1365 AD, Volume I . The
Hague : Martinus Nijhoff.
Slamet Mulyana.1979. Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta : Bhratara.
Siman Widyatmanta.1968. Adi Parwa I. Yogyakarta : Sping.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.1989. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
Vivian Sukanda. 1982.“ Telaga Sanghyang Sebagai Pola
Permanensi Tempat Pemujaan/ Ibadat Sepanjang Masa:, PIA IV. Jakarta: Puslitarkenas. hlm.619-626
1 Sinkretisme adalah paham/ aliran baru
yang merupakan perpaduan dua atau beberapa paham/ aliran yang berbeda untuk mncari keserasian (Tim
Penyusun:1989)
2
Local Genius menurut Quaritch Wales adalah the sum of the cultural
characteristic which the vast mayority of a people have in common as a result
of their experience in early life artinya keseluruhan ciri-ciri yang dimiliki
bersama oleh suatu masyarakat bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa
lampau (I Gusti Ardana :1986)
3 Rama adalah sesepuh atau kelompok tokoh
masyarakat baik dalam tingkat wanua (desa) atau watek (sekelompok desa). Biasanya juga merupakan pejabat di tingkat
desa atau lebih tinggi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar