Ada dua orang seniman musik Tingkilan Kutai yang cukup populer di Kenohan,
bahkan salah satunya pernah membawa nama Kalimantan Timur ke manca negara untuk
memainkan musik tingkilan. Satu prestasi
yang membanggakan tentunya bagi Mak Peot.
Wanita separuh baya itu kini sudah tidak muda lagi, umurnya sudah
mendekati angka 60 tahun sejalan dengan makin banyaknya guratan di
wajahnya. Namun ketika kami berkunjung
ke rumahnya, beliau dengan bersemangat mau menceritakan perjalanan kehidupan
beliau kepada kami. Kecintaannya pada
seni musik tingkilan bukanlah suatu kebetulan, namun ia memang mencintainya
sejak kanak-kanak. Kedua orang tuanyalah
yang mengenalkan beliau kepada alat musik gambus. Dengan ketekunan dan keseriusannya menggeluti
seni musik inilah kini beliau dikenal tidak saja oleh warga kecamatan Kenohan
namun namanya sudah tercatat dalam pentas musik
tradisional tingkat internasional di Jepang.
Satu seniman serba bisa lainnya tinggal di desa Kahala, Kenohan namanya Bapak Burhan. Di Kecamatan Kenohan selain Mak Peot maka Bapak Burhan adalah orang yang sangat dikenal sebagai seniman musik tradisional khas Kutai. Tidak seni musik seperti tingkilan dan kelintang/ paluan saja yang dikuasai tapi seni sastra seperti tarsul juga amat fasih dimainkan oleh Bapak Burhan. Ketika kami kunjungi beliau di kediamannya, kami mendapat sambutan yang sangat hangat dari beliau. Beliau amat senang jika ada orang yang peduli terhadap kesenian tradisional. Bagi Bapak Burhan, bermain musik adalah nafasnya, jari-jarinya sangat piawai memetik senar-senar gambus. Namun ketika kami bertanya bagaimana perkembangan musik tingkilan di kecamatan Kenohan nampak ada nada pesimistik yang keluar dari mulutnya. Kerisauan akan ditinggalkannya musik tingkilan oleh generasi muda rupanya sama dengan yang dialami oleh Mak Peot.
Kehadiran musik pop dan dangdut
di tengah-tengah masyarakat tampaknya semakin menggusur eksistensi musik
tingkilan ke sudut-sudut ruang publik sehingga penikmat musik tingkilan
hanyalah kelompok manula yang ingin sekedar berromantisme dengan alunan musik
tingkilan. Ironis memang, mengapa musik
tingkilan menjadi tidak menarik lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar