Sebenarnya menjelang ke hulu sungai Belayan termasuk di wilayah Desa Muara
Tuboq ini memiliki kontur berbukit bukit sehingga memungkinkan ditemukannya air
terjun lainnya hanya saja beberapa di antaranya masih berada di dalam kawasan
hutan Gunung Batu yang sangat sukar
untuk di jelajahi. Salah satunya adalah
air terjun Sungai Lunuk 2. Yang memiliki kontur sangat berbeda dengan air
terjun Sungai Linuk 1. Air terjun Sungai
Limuk 2 ini berada di wilayah desa MuaraTiq.
Air terjun ini tidak terlalu tinggi tetapi yang menjadikannya lebih
menarik karena air terjun ini bertingkat tiga. Selain itu struktur batuannya
berbentuk seperti jamur-jamur bertingkat yang dibentuk oleh gelombang pasang
surut air sungai. Hal ini bisa terjadi
karena strutur dasar dari batuannya yang berlapis. Namun debit air di sini sangat ditentukan oleh
musim.
04 Desember 2015
Ekspedisi Mahakam 14: AIr Terjun Long San
Di arah ke hilir dari Kecamatan Tabang masih ada air terjun yang tidak
kalah menariknya dengan kedua air terjun sebelumnya. Air terjun ini berada di kawasan Sungai Lunuk
namun sudah masuk ke wilayah Desa Sido Mulyo. Air
terjun ini dikenal dengan air terjun long san, Air terjun di Longsan ini
mempunyai kelebihan karena airnya yang jernih. Hal ini dimungkinkah oleh
beberapa hal di antaranya karena litologi batuannya berupa napal dan batuan
padat lainnya. Selain itu didukung oleh kondisi lingkungannya yang masih padat
dengan tumbuhan hutan yang memiliki akar-akar yang besar dan dapat menjadi
media penyaring lempung yang terbawa oleh air. Air terjun memiliki ketinggian di lebih dari 20 meter
dengan batu-batuan berbentuk lempengan berukuran besar di bagian muaranya.
Ekspedisi Mahakam 14: Keindahan Air Terjun Sungai Lunuk (Muara Bentuq)
Dari Desa Muara Belinau,
apabila kita terus menjalankan perahu kita ke arah hulu Sungai Belayan maka
dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapai air terjun Sungai Lunuk
ini. Artinya jika kami menempuh dari
kecamatan Tabang dibutuhkan waktu 1 jam untuk menempuh jarak sekitar 4 KM untuk sampai ke lokasi. Jika debit air dalam kondisi tinggi, maka
perahu akan dapat mencapai lokasi air terjun ini namun jika tidak perahu harus ditambatkan di tepi sungai
Belayan lalu kita dapat berjalan kaki menyusuri anak sungai Belayan menuju
Muara Bentuq, tempat air terjun itu berada.
26 Oktober 2015
Ekspedisi Mahakam 13 : Mengunjungi dayak Punan dan Kenyah
Desa pertama yang kami kunjungi ketika kami berangkat dari Kecamatan Tabang
adalah Desa Muara Belinau merupakan pemukiman Dayak Punan. Pola permukiman yang sejajar dengan Sungai
Belayan tampak berderet rapi. Beberapa
rumah di dalam desa ini tampak belum berpenghuni dan memiliki bentuk yang
seragam. Tampaknya rumah rumah ini
disediakan oleh pemerintah daerah agar masyarakat Dayak Punan mau tinggal
secara menetap.
Seperti diketahui komunitas dayak Punan termasuk komunitas yang wilayah
pesebarannya tidak terlalu luas. Suku
dayak Punan merupakan salah satu sub suku dayak yang baru sekitar 30 tahunan
mau hidup secara menetap dalam satu pemukiman, sebelumnya mereka hidup
terpencar-pencar dan tinggal di daerah yang sangat sulit dijangkau. Namun dalam
waktu 30 tahun banyak kemajuan yang dicapai sehingga suku dayak punan pun dapat
bersosialisasi dengan masyarakat luar.
Ekspedisi Mahakam 13 : TABANG...
Sepanjang perjalanan kami
disuguhkan oleh pemandangan yang begitu mempesona sambil sekali kali kami
berjumpa dengan rumah rumah yang dibangun di tepi sungai Mahakam. Burung burung elang yang berterbangan
sekali-kali kami jumpai dalam perjalanan ini bahkan beberapa kelompok monyet
dapat ditemui di tepi sungai ini. Di
tepi sungai Mahakam juga kami kembali melihat tempat tempat pengolahan kayu
lapis (Saumil) yang tengah beroperasi membuat kayu-kayu lapis dimana limbahnya
menggunung diletakkan di tepi sungai Belayan serta lokasi-lokasi penampungan
tambang batu bara yang sibuk memasukan batubara ke dalam kapal kapal kontainer yang
bersandar di tepi sungai. Entah berapa
lama sudah kami menyusuri sungai Belayan, akhirnya kami tiba di Desa Tukung
Ritan dan Ritan Baru. Sebuah gapura
dengan empat tiang kayu berwarna
merah yang berhias ukir ukiran khas dayak tampak berdiri indah di tepi sungai
Belayan seolah mengundang siapa pun yang melewati sungai ini untuk mampir
sejenak di sini.
07 September 2015
Ekspedisi Mahakam 12 : Sekilas tentang Komunitas Dayak Modang di Desa Long Bleh, Kembang Janggut
Menurut penuturan Kepala Adat Dayak Modang, Bapak Zai Asnadi Long Dea, Desa Long Bleh terbentuk pada tahun 1945
bertepatan dengan berkibarnya bendera merah putih yang pertama kalinya. Kini
tiang bendera tersebut masih berdiri utuh dan mengingatkan mereka pada saat
penting yakni Proklamasi Kemerdekaan RI. Asal-usul Dayak Modang sendiri, konon mereka
berasal dari Sungai kejun Besar di daerah Apo Kayan. Sebelum tahun 1945, sudah
ada kelompok-kelompok kecil dengan berjalan kaki menyusuri Sungai Mahakam. Menuju
arah hilir sungai. Kelompok pertama,
sampai di daerah Sebrang Long Bleh Halo, dan kemudian tahap demi tahap membuka
daerah baru di tempat yang kini dikenal sebagi Long Bleh. pemukiman dayak Modang
di wilayah Kembang Janggut ini terkonsentrasi di dua wilayah yakni Desa Long
Bleh Modang, dan Long Bleh Malih.
Motivasi utama dari
perpindahan mereka dari tempat asalnya tidak lain adalah adanya keinginan
merubah hidup menjadi lebih baik. Sekalipun tanah di hulu Mahakam cukup subur,
akan tetapi mereka sulit memperoleh bahan pokok hidup lainnya seperti pakaian,
atau bahan makanan. Pendidikan, juga menjadi salah satu alasan kepindahan
mereka.
Ekspedisi Mahakam 12 : Perjalanan ke Kembang Janggut
Perjalanan kami selanjutkan menuju Kecamatan Kembang Janggut dilakukan
dengan kendaraan roda empat. Hari masih
siang cuaca juga cukup bersahabat ketika
kami sampai ke penginapan di Kembang Janggut.
Seperti halnya di Kenohan, kondisi penginapan berupa sebuah rumah besar
yang memiliki 4 kamar tidur. Untuk
keperluan memasak terpaksa kami minta tolong pemilik rumah untuk membantu
menyiapkan makan tim.
13 Agustus 2015
Ekspedisi Mahakam 11: Dayak Tunjung di Teluk Bingkai
Pada kesempatan ini juga kami menyempatkan diri untuk mengunjungi
permukiman Suku Dayak Tunjung di desa Teluk Bingkai yang merupakan desa paling utara dari Kecamatan Kenohan. Jalan darat yang
musti kami lalui pada saat itu cukup rata meskipun tidak beraspal. Kehidupan Masyarakat
dayak Tunjung di Teluk Bingkai cukup harmonis untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya sebagian dari mereka bekerja sebagai petani dan sekaligus nelayan yang
memanfaatkan sungai Belayan (Anak sungai Mahakam) untuk mencukupi sebagian kebutuhan
hidupnya Mayoritas dari
mereka beragama Katolik, meskipun demikian sebagian masyarakatnya masih
melaksanakan upacara adat seperti Kwangkai dan Belian. Sistem kekerabatan Dayak
Tunjung menarik garis keturunan Ibu dan Ayah
Ekspedisi Mahakam 11 : Arsitektur Rumah Orang Kutai di Kahala
Salah satu hal paling
menarik di desa Tuana Tuha adalah masih ditemukannya rumah rumah bergaya melayu
tua yang meskipun sebagian besar sudah hampir hancur dimakan zaman dan tidak
dihuni lagi namun keberadaannya mencerminkan kejayaan masyarakat Kutai di
Kenohan pada masa lalu. Rumah rumah panggung
yang dibangun sejajar berjarak sekitar 20 meter dari tepi sungai dan memanjang
mengikuti alur anak sungai Mahakam.
Rumah-rumah ini merupakan bagian yang tersisa dari pemukiman awal desa
Kahala. Dari pengamatan kami di antara sebagian yang telah dirubuhkan dan
diganti dengan bangunan baru paling tidak terdapat lebih dari 10 rumah kuna
berarsitektur rumah Banjar. Ciri utama
rumah bergaya rumah banjar ini adalah berbentuk rumah panggung, memanjang ke
belakang, di bagian atas layar rumah terdapat hiasan dan pada bagian lisplang
terdapat ukiran krawangan. Diperkirakan arsitektur sejenis ini marak pada
sekitar awal abad ke XX.
Di daerah Kenohan juga
kami mendengar tentang adanya taman anggrek yang begitu luas. Tetapi tempat itu cukup jauh dan dipenuhi
oleh cerita-cerita gaib. Banyak orang
yang tersesat dan kesulitan untuk mencari jalan pulang ketika pergi ke sana. Sehingga untuk mencapai tempat itu harus
dengan petunjuk dari seorang pawang.
Sayangnya kami tidak berhasil menjumpai orang yang bisa mengantar kami
ke sana. Tetapi memang tanaman anggrek yang tumbuh liar di hulu Mahakam masih sering kami jumpai..seperti halnya tanaman kantung semar ini, di habitat nya tumbuh seperti halnya tanaman liar lainnya.
07 Agustus 2015
Temuan Inskripsi perak dari Sungai Musi, Palembang.
Teks
Dibaca
oleh Arlo Griffiths, 30/09/2013.
(1) // °oṃ °āḥ rakṣa rakṣa māṃ sarvamāraduṣṭacittebhya[ḥ] svāhā // @
//
(2) // °oṃ ° hana hana vijaye jaḥ rakṣa rakṣa māṃ svāhā // @ //
‘Om āḥ. Lindungilah, lindungilah aku dari segala
demon dan pikiran yang buruk, svāhā!
‘Om
hana hana pemenang jaḥ lindungilah, lindungilah aku svāhā!’
Mantra
yang persis sama belum saya temukan di sumber-sumber lain, namun boleh
dibandingkan dengan mantra yang terdapat dalam teks-teks suci agama Buddha
seperti misalnya Mahāpratisarāmahāvidyārājñī (cf. Cruijsen, Griffiths & Klokke
2013): oṃ maṇivajre hṛdayavairemārasainyavidāriṇi hana
hana sarvaśatrūn rakṣa rakṣa mama śarīraṃ sarvasatvānāṃ ca vajre vajre vajragarbhe vajragarbhe | trāsaya trāsaya sarvamārabhavanāni hūṃ hūṃ phaṭ phaṭ svāhā ||. Mantra ini berhuruf pallawa dan bahasa sansakerta dari sekitar abad ke7/8 Masehi.
Mantra, rajah, isim atau jampi-jampi sampai saat ini bukanlah
hal yang asing pada sebagian besar masyarakat Indonesia , bahkan sampai sekarang,
penggunaan mantra masih cukup populer.
Meskipun hadir dalam bentuk dan penyajian yang berbeda, fungsinya masih
dapat dikatakan belum banyak berubah yakni untuk mendapatkan bantuan dari
kekuatan gaib dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
06 April 2015
Ekspedisi Mahakam 11 : Mengunjungi Maestro Seni Kutai
Ada dua orang seniman musik Tingkilan Kutai yang cukup populer di Kenohan,
bahkan salah satunya pernah membawa nama Kalimantan Timur ke manca negara untuk
memainkan musik tingkilan. Satu prestasi
yang membanggakan tentunya bagi Mak Peot.
Wanita separuh baya itu kini sudah tidak muda lagi, umurnya sudah
mendekati angka 60 tahun sejalan dengan makin banyaknya guratan di
wajahnya. Namun ketika kami berkunjung
ke rumahnya, beliau dengan bersemangat mau menceritakan perjalanan kehidupan
beliau kepada kami. Kecintaannya pada
seni musik tingkilan bukanlah suatu kebetulan, namun ia memang mencintainya
sejak kanak-kanak. Kedua orang tuanyalah
yang mengenalkan beliau kepada alat musik gambus. Dengan ketekunan dan keseriusannya menggeluti
seni musik inilah kini beliau dikenal tidak saja oleh warga kecamatan Kenohan
namun namanya sudah tercatat dalam pentas musik
tradisional tingkat internasional di Jepang.
Ekspedisi Mahakam 11 : Menuju Kecamatan Kenohan
Siang itu cuaca mulai cukup cerah ketika kapal kami berangkat meninggalkan
dermaga Muara Wis menuju Kecamatan Kenohan.
”Dibutuhkan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai Kenohan” demikian kata pak....,sang
kapten kapal kami memberikan informasi perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju Kenohan kami
habiskan untuk beristirahat, membereskan data yang sudah masuk atau tidur. Sebagian lainnya menikmati perjalanan sambil
terus mendokumentasikan keindahan alam dan Sungai Mahakam yang berarus
tenang. Awan putih dengan latar langit biru dan sekali
kali kami menjumpai burung elang yang
terbang rendah untuk menjemput ikan di sungai Mahakam merupakan hiburan kami
selama dalam perjalanan. Sekali-kali
kami berpapasan dengan kapal kapal berukuran besar memuat batu bara, atau
kapal-kapal barang yang berisi berbagai kebutuhan sehari hari mulai dari sabun,
minyak goreng, gula sampai sepeda
anak-anak.
Menjelang sore kapal kami
mendarat di Desa Tuana Tuha. Kapal kami
harus berhenti di sini karena untuk melaju ke arah hulu lagi tidak memungkinkan
karena saat air surut seperti sekarang kedalaman sungai tidak memungkinkan
untuk dilalui oleh kapal-kapal besar seperti yang kami gunakan. Terpaksa keakraban kami dengan kapten kapal
dan empat orang ABK harus berakhir di sini.
Perjalanan selanjutnya dapat menggunakan kapal yang lebih kecil atau melalui
jalur darat untuk mencapai Kecamatan Kenohan, untuk mencari penginapan yang
hanya ada di kecamatan. Akhirnya kami
memilih menggunakan jalur darat, dan satu satunya kendaraan yang ada untuk
mengangkut kami serta seluruh barang bawaan kami hanyalah truk.
22 Maret 2015
Ekspedisi Mahakam (10) : Menjejakan Kaki di Muara Wis
Puas mengeksplorasi Muara Muntai, Perjalanan dilanjutkan
ke kecamatan Muara Wis. Cuaca sedikit
mendung ketika kami merapat di pelabuhan Muara Wis. Namun denyut kehidupan masyarakat Muara Wis tidaklah terhenti hanya karena hujan ringan. Kami menyumpai sebagian mereka tengah
beraktivitas di sungai. Kehidupan
masyarakat di Muara Wis tidak berbeda pula dengan masyarakat tepi sungai
Mahakam lainnya, untuk kebutuhan protein mereka dengan mudah mendapatkan dari
Sungai Mahakam. Ikan Patin, Baung dan Udang
adalah yang paling banyak dan mudah untuk ditangkap. Kami menjumpai salah seorang warga yang baru
berhasil mendapatkan ikan patin seukuran paha orang dewasa hanya dengan umpan
bakso. ”Ikan disini ngampang dipancing
mas, umpannya cukup dengan sedikit bakso atau pisang goreng kita sudah dapat ”
katanya ringan. Wow, Jika saat ini saja
Sungai Mahakam masih mampu memberi kehidupan bagi penduduk di sepanjang sungai
tersebut bisa dibayangkan dahulu tentu potensi ikan air tawar di Sungai Mahakam
menjamin kehidupan penduduknya...Terlintas sedikit bangga di hati ini, sebenarnya
masyarakat di bagian hulu Mahakam, merupakan masyarakat mandiri.. di mana alam
telah menyediakan kebutuhan dasar bagi penghuninya... Lantas akankah kondisi
ini terjaga kelestariaannya di tengah eksploitasi sumberdaya
alam di bagian hulu sungai?. Semoga tetap lestari.. sehingga senyum orang orang di hulu Mahakam tetap mengembang..
Seperti wilayah tepi sungai Mahakam Lainnya, perkampungan
Muara Wis dibangun dengan menggunakan materiil kayu berbentuk rumah panggung
yang memiliki ketinggian minimal 1 meter dari muka tanah. Ragam arsitektur seperti ini juga berlaku
pada bangunan pemerintahan, masjid dan sekolah yang ada. Areal yang sebagian besar didominasi oleh rawa
pasang surut merupakan penyebab utama mengapa rumah rumah mereka adalah rumah
panggung. Sekali lagi kita
dipertunjukkan bagaimana jeniusnya masyarakat Muara Wis dalam beradaptasi
dengan lingkungan rawa.
19 Maret 2015
BEBERAPA CATATAN TEKNIK ANALISIS NASKAH SUNDA DALAM ARKEOLOGI
Agustijanto Indradjaja (Agustijanto2004@yahoo.com)
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Pendahuluan
Tulisan ini
didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama
ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia . Pengertian naskah dalam tulisan ini juga
mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama
ini dipahami oleh masyarakat luas.
Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai
sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan
tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Penggunaan naskah
sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi
bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan. Padahal beberapa ahli arkeologi selalu
menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog
sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan David Clarke, seorang arkeolog Inggris
menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical
data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra
F,1992,37). Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik
dan metode sendiri dalam penelitiannya.
Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan
eksakta sebagai ilmu bantunya. Salah
satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah
adalah cara memperlakukan naskah tersebut.
Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut
aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data
artefaktual lainnya. Sejarawan cenderung
lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis
atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah. Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan
perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra
F,1992:35). Penelitian naskah bagi
arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil
penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
14 Maret 2015
PERMUKIMAN KUNA DI PANTAI UTARA JAWA BARAT : TINJAUAN TERHADAP HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS BATUJAYA DAN SEKITARNYA
Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional
(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional
(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
Batujaya site which for nearly
two decades of fairly intensive study by The National Research and Development
Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite
interesting. Not only from a
chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex.
Archaeological research in the last two years shows that the existence of
batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient
settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new
data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the
Batujaya site in the past
Kata Kunci : Pemukiman kuna,
Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat
I
PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama
hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan
informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan
sejarah budaya di Indonesia. Situs ini
bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat
namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua
puluh bangunan yang terdapat di atasnya.
Dalam perkembangannya di tahun 2005,
berhasil ditemukan adanya sisa
bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan
hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi
Batujaya[1] Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman
pendukung komplek candi ini berada?
Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa
Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan
dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2] memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam
komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki. Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di
sepanjang pantai barat India
didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981: Peter:2006: 121)
Kerangka Pikir dan Metode
Dalam konteks permukiman yang
terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua
kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang
berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya
orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut. Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860
Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka
Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas. Di situ akan didirikan prasāda dengan
arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika. Lain dari pada itu dua orang anak pāduka
Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat
tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima
tersebut (Boechari,1980 :326).
Permukiman
di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan
keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk
menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan
”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks
percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi
kompleks candi ini. Keberadaan
permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat
daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan
berkembangnya permukiman di sana.
Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi
beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial
dan macam-macam institusi yang berlaku. Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki
hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap
sistem permukiman. Setiap masyarakat
memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan
dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam
pola permukiman.
Unsur lingkungan sangat erat
hubungannya dengan pola permukiman.
Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari
aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun
non fisik (biotik). Lingkungan fisik
berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut
sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang
hidup di muka bumi.
Dalam skala
keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan
ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari
pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari
pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola
sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap
kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya juga akan menggunakan pendekatan terhadap
kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan
arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat
terbatas. Kebudayaan materi juga
mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5:
2006).
13 Maret 2015
BEBERAPA PRINSIP TEOLOGI NASKAH SUNDA KUNA (Hubungannya dengan masyarakat Sunda kuna)
Pengertian
arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu
berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi
yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel
dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source”
(Daniel,1976, Hasan M,1982: 123). Dengan
demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang
amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam
jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi
‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
Salah satu sumber data primer bagi
penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak
bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka
aspek-aspek sosial masa lalu masih dapat
diketahui dan direkonstruksi kembali.
Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di
Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru
Pangambat. Prasasti yang dibuat oleh Sri
Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar
yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan
pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,
tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak
budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun
demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan
naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda(
sekitar abad 15-16 M).
Pengertian naskah-naskah Sunda kuna
adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah
masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran
masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang
merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui
pendekatan teori fungsional.
Berdasarkan waktu pembuatannya,
naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke
16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi
S, 1982: 106). Ada empat macam huruf
yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab
(pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya
pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada
lima jenis bahasa meliputi bahasa Sunda
kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga
mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa. Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan
dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi
unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
Bahan yang digunakan untuk menulis
naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau,
daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang
dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya
masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah
mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat.
(Ayatrohaedi,1993: 18-19)
12 Maret 2015
EARLY TRACES HINDU-BUDDHA INFLUENCE ALONG THE NORTH COAST OF CENTRAL JAVA: ARCHAEOLOGICAL SURVEY AT DISTRICT OF BATANG (lanjutan)
(Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Amerta Vol.32 tahun 2014 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
According to the inventory of the Ronggowarsito Museum ,
six other sculptures would also come from Balekambang: a statue of Durga
(04.00077), a second makara (04.00079), two jaladwara (04.0080 and 0.00081) and
two antefixes (04.00082, 04.00083). The Durga is broken into three parts and
unfortunately so eroded that it is impossible to define its style. The goddess
is depicted standing on the buffalo. She has eight arms and one can still
distinguish the conch in her upper left hand and the disc in her upper right
hand. The second upper right hand probably held a short sword or a club. The
remaining attributes are unidentifiable. The second makara attributed to the site
of Balekambang in the inventory of the Ronggowarsito Museum
does not form a pair with the one we mentioned above. It is also likely come
from a staircase, but it should have been part of a staircase of smaller
dimensions because the lower two thirds of the inside are not decorated. The
trunk is clearly symmetric and wrapped. The necklace is entirely plant like and,
in the monster's mouth , one can see a lion's head. Behind the head of the
makara one can find a pattern quite similar to the one of the first makara
discussed, which suggests that the two makara are more or less the same period
(ninth century). Of the two jaladwara, one is a simple duct without decor (MR
04.00080 ), while the other is of a singular kind (MR 04.00081). The end of the
duct has the shape of a crocodile, mouth open and all fangs visible. A young
woman sits astride the crocodile, legs bent, her chest leaning forward and her
his hands on the head of the animal. Her hair falls in ringlets down her back
and to her feet . The duct is unfortunately cut in a coarse conglomerate and no
detail is visible.
At
around 200m from the spring, to the north-east, a first surface survey has
yielded numerous potsherds, the majority of which are Chinese and Thai ceramics
from the late fifteenth or early sixteenth century.
BEBERAPA MASALAH PERUBAHAN STATUS TANAH DI JAWA BARAT MENURUT SUMBER PRASASTI
Salah satu
peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah
prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu. Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui
ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
Pada umumnya prasasti merupakan
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi
kerajaan. Isi prasasti dapat berupa pernyataan
pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan
hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan
amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam
bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
Sebagai
sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat
penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa lalu seperti sistem ekonomi,
politik, dan budaya serta aktivitas manusia
pada masa lalu lainnya. Sejauh
ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa
Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah
menjadi daerah perdikan (sima). Dari
sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh
seorang pejabat atau raja kepada
orang-orang yang telah berjasa kepada raja,
keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
Penetapan
suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut
perubahan status sebidang tanah dan
beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975,
Djoko D.dkk 1992).
Berbeda
dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti
yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11). Beberapa prasasti lain juga menyangkut
perubahan status daerah /tanah menjadi tepek
(daerah larangan), kabuyutan, dan
dewasasana.
Dari sejumlah
prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah diatas yang menyangkut perubahan status tanah
manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima
tidak populer di daerah Jawa Barat.
11 Maret 2015
TELAGA SANGHYANG : Mencari model hubungan kabuyutan dan kerajaan di Sunda Kuna
Kabuyutan
sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik
untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah
tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna
mengenal candi atau kuil. Tepatnya
ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat
kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu -
Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan
kebudayaan masyarakat Sunda kuna. Salah
satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi. Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian
(SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan),
batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21
). Menurut Agus A.M., bentuk bangunan
pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan
pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala
variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya
(1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,
tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya
pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli
dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian
ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.
Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau
membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
Hal ini tercermin pada masa Kerajaan
Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan. Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan
bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan
di kerajaannya. Naskah CP menyebutkannya
sebagai “...disilihan doiku sa(ng)
rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang
binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang
disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh
sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti
pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri,
sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
Kehadiran Kabuyutan yang berakar
dari kepercayaan kepada roh nenek moyang
dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa
klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan
kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.
Langganan:
Postingan (Atom)