30 Desember 2020

Dinamika "Oeang Toengkal " Sebagai Alat Tukar Pada Masa Revolusi Indonesia



Membaca postingan seorang numismatik senior di dalam Grup Jurnal Rupiah Community terkait Orida Toengkal yang ternyata menurut beliau, uang Orida Toengkal adalah Coupun alat tukar yg masa beredarnya hanya sesaat karena tidak disetujui oleh Residen Djambi dengan salah satu alasan kecemburuan dari daerah NRI lainnya. Coupun Penukaran dengan nominal 2,5 rupiah bertanggal 20 Mei 1947. Uang ini dimuat di dalam buku katalog Oeang dengan informasi diragukan keasliannya, sedangkan di dalam buku ORIDA terbitan terbaru uang ini malah tidak dimuat. Sebelumnya, banyak yang meragukan keberadaan Orida Toengkal sebagai alat tukar dan mengkatagorikannya sebagai uang mainan/ palsu atau semacam itu. Mungkin sebagian orang akan berfikir, emang di zaman revolusi seperti saat itu, ada juga orang yang membuat uang palsu seperti masa sekarang ini? Uang-uang palsu sebenarnya marak juga di zaman revolusi namun bisa jadi tujuannya tidak sekadar mendapatkan keuntungan ekonomi namun politik, untuk mengacaukan pemerintahan Republik Indonesia yang baru merdeka.

20 Desember 2020

Punden Berundak di Gunung Kuta, Bumiayu, Brebes

Punden Berundak Gunung Kuta secara administrasi berada di Kampung Lebak Wangi, Desa Gunung Tajam, Kecamatan Salem, Brebes. Secara geografis berada pada koordinat Koordinat 07°09’ 42.685” LS dan 108°43’35.507” BT.
Punden berundak ini ditandai oleh sepasang batu (menhir) yang menyerupai gapura di bawah pohon yang rindang di tepi jalan setapak. Sepasang menhir disebut gada-gada oleh penduduk setempat. Tinggi menhir sekitar 1.50 cm. menurut penduduk setempat dua buat batu yang menyerupai pintu gerbang tersebut merupakan jalan masuk ke pertapaan(pemujaan) Eyang Ajar Sakti. Tidak jauh dari kedua menhir tersebut ditemukan dua menhir lainnya dengan alas batu alam di bawahnya. Penduduk menyebutnya Gunung Kuta. Kira kira 50 meter ke arah utara di atas teras yang lebih tinggi terdapat dua menhir berukuran masing masing 180 cm dan 125 cm.
Selanjutnya 10 meter ke arah utara lagi terdapat sebuah menhir berukuran tinggi 140 cm. Di atas teras yang tertinggi ditemukan susunan batu alam lainnya ukuran 6 x 5 meter yang dahulu merupakan tempat yang dianggap keramat oleh penduduk. Sayangnya arealnya sangat rimbun ketika survei ke lokasi dilaksanakan membuat pengamatan atas situs ini menjadi sangat terbatas. Diperlukan penelitian yang lebih seksama, tentu dengan membuka areal punden dari bagian bawah sampai bagian paling atas, sehingga bentuk tata letak punden ini dapat terlihat secara jelas. 

02 Desember 2020

BERTEMU KEMBALI SETELAH SERIBU TAHUN BERPISAH..

Sisi lain dari penelitian arkeologi yang seringkali tidak diduga adalah penemuan satu artefak apapun bentuknya, yang ternyata temuan artefak itu adalah bagian dari artefak lainnya yang telah diketahui sebelumnya. Katakanlah penemuan arca yang ternyata ianya merupakan pasangan dari arca lain yang telah ditemukan sebelumnya. Atau temuan fragmen (bagian) dari suatu artefak yang ternyata temuan tersebut melengkapi bagian artefak lainnya yang telah lebih dahulu ditemukan. Kejadian seperti ini mungkin saja bisa terjadi di dalam suatu penelitian, hanya saja karena dianggap sebagai sesuatu yang biasa maka kejadian seperti ini seringkali tidak terceritakan. Padahal jika direnungkan lebih jauh, hal ini harusnya menjadi sesuatu yang luar biasa. Bayangkan jika anda memiliki sepatu, lantas salah satu dari sepatu anda hilang, dan 1000 tahun kemudian si sepatu yang hilang tadi ketemu sehingga anda kembali memiliki sepasang sepatu. Bagaimana perasaan anda? Pasti tidak akan biasa biasa saja..
Hal ini juga yang pernah terjadi pada kegiatan penelitian di Situs Bale Kambang, Batang, Jawa Tengah. Situs ini pernah diteliti oleh Puslitarkenas di tahun 1977. Di dalam laporannya pada waktu itu, salah satu artefak yangditemukan adalah dua arca angsa yang telah hilang bagian kepala dan kakinya. Kini kedua angsa ini berada di Museum Ranggawarsita, Semarang. Kemudian di tahun 2004 penelitian kembali dilakukan di situs ini dan tim kembali menemukan satu lapik arca yang di atas lapik ini terdapat sepasang kaki unggas. Temuan sepasang kaki ini langsung dihubungkan dengan temuan badan angsa. Tampaknya temuan kaki unggas ini ada kecocokan dengan tubuh arca angsa yang telah ditemukan sebelumnya. Namun mengingat ada dua arca angsa di situs ini seharusnya masih ada satu pasang kaki angsa lainnya di situs ini. 

Temuan menarik lainnya yang mungkin tidak sengaja namun ini juga cukup penting untuk pelurusan informasi adalah cerita tentang sebuah relief yang disimpan di Museum Ronggowarsito (di halaman luar museum) (foto MR_04_54). Potongan relief yang di bagian bawahnya diberi label asal relief dari Candi Gedong Songo . Fragmen relief yang bergambar kepala binatang mungkin kepala kambing yang berjanggut dan menggigit dua kuntum teratai. Gambar relief ini dibatasi di oleh bingkai yang berhias motif geometris dan ceplok bunga. Informasi tentang asal artefak inilah yang tampaknya harus ditinjau kembali mengingat survai kami di wilayah Kabupaten Semarang, dimana salah satunya menyasar Petirtaan Senjoyo di Tegalwaton, Tengaran, menemukan satu fragmen panel relief berupa bagian belakang dari binatang berkaki empat. Di dalam relief itu digambarkan dua kaki belakang binatang serta ekor yang pendek dan lurus (foto Sanjaya_1778_VD). Relief ini kemungkinan adalah relief bagian dari binatang kambing/ domba. Temuan relief bagian belakang kambing tampaknya merupakan pasangan dari fragmen relief yang kini menjadi koleksi museum, meskipun tampaknya bagian tengah tubuh binatang ini masih ada bagian yang belum ditemukan. Dengan demikian, besar kemungkinannya potongan panil relief kepala binatang tersebut dahulu berasal dari runtuhan Candi Bener, Petirtaan Senjoyo, Semarang bukan berasal dari Gedong Songo.
Seperti diketahui, Patirtaan Senjoyo kini telah menjadi objek wisata air bagi masyarakat Semarang. Pada zaman Belanda, di Petirtaan Senjoyo ini pernah berdiri candi yang dikenal sebagai Candi Bener. Meskipun memang pada zaman itu, Candi Bener sudah tinggal runtuhan, namun batu batu candinya masih cukup banyak. Dokumentasi pada tahun 1940-an, menunjukkan adanya konsentrasi sisa batu batu candi dan fragmen reliefnya masih berada di tempat sehingga masih dapat dipotret. Kini foto-foto tinggalan Candi Bener masih dapat ditemukan di dalam koleksi milik KITLV. 

 Kasus penemuan lain yang cukup menarik juga terjadi pada tahun 2017 ketika penelitian arkeologi oleh Puslitarkenas dilakukan di Situs Adan Adan yan dikenal juga sebagai Candi Gempur, di Kediri. Pada saat itu, tim peneliti menemukan satu arca besar yang diidentifikasi sebagai arca dwarapala (penjaga ) di sisi kanan tangga masuk Candi Adan-adan. Arca yang ditemukan dalam posisi insitu( tetap berada pada posisinya semula ketika ditemukan) kondisinya masih sangat baik, kecuali ada sedikit rusak di bagian jari tangan, mata dan hidungnya. Temuan arca dwarapala ini tentu saja melengkapi temuan arca pasangannya 110 tahun yang lalu. Di dalam laporan Belanda tahun 1908 menyebutkan bahwa di padukuhan Candi Gempur (di lubang sedalam 1 m besar, milik Bapak Irsat), ditemukan dua makara besar dan satu dvarapala. Yang terakhir (arca dvarapala) dibawa ke rumah Bupati di Kediri setelah tahun 1908. Dalam laporan tersebut juga arca ini dideskripsikan sebagai satu arca kolosal dalam kondisi rusak berat, berdiri di atas batu bundar. Wajahnya sangat rusak/ termutilasi. Rambut disisir dengan halus dan jatuh ke leher dan kembali dalam empat baris benjolan (?), yang berhias seperti gulungan ular. Hiasannya terdiri dari upavita -ular, kalung terbuat dari empat ular, yang digulung tak beraturan satu sama lain, menutupi dada dengan lingkaran yang aneh; ular sebagai kelat bahu, ular sebagai gelang dan gelang kaki. Sebuah kain menggantung sampai di atas lutut. Tangan kanan memegang ular; Tangan kiri bertumpu pada sebuah gada yang panjangnya mencapai lapik arca. Di sebelah kanan, tubuh ular berdiri tegak, dengan kepala menghadap ke kanan. Dan tinggi arca 1.94 meter. Setelah dicocokan maka ketemulah arca yang dimaksud adalah arca dwarapala yang kini menghiasi di halaman depan Museum Kediri. Seharusnya arca ini dahulu berada di sisi kiri pipi tangga masuk candi berpasangan dengan arca yang baru ditemukan itu
Ah.. senang rasanya bisa menyatukan kembali mereka mereka yang telah terpisah begitu lama…walau itu hanya artefak.

14 September 2020

Temuan Menarik dari Situs Yosorejo, Pekalongan (1)

 Agustijanto Indradjaja, dan Veronique Degroot

Oktober 2014 survei arkeologi di Desa Yosorejo, Petungkriyono, Pekalongan  berhasil menemui  warga yang pernah menemukan satu guci berisi penuh alat alat logam.  Temuan ini sempat menghebohkan warga sekitar  2 atau 3 tahun silam  untungnya penemu masih menyimpan seluruh temuannya dengan baik.  Kabar terakhir, seluruh temuan sudah diselamatkan oleh pihak berwenang.  Seluruh temuan yang berjumlah sekitar lebih dari 30 item yang dapat dikelompokan menjadi alat upacara, alat pertanian dan alat pertukangan.  Tidak jauh jauh, guci itu ditemukan  pada kedalaman seitar 50 cm di samping teras rumah warga yang ingin membuat pondasi baru.  Ketika guci ini diangkat tampak bahwa guci Guandong setinggi hampir 1 meter diproduksi sekitar abad ke-9 masehi telah digunakan untuk menyimpan alat alat upacara keagamaan Hindu dan Buddha.  Secara garis besar seluruh temuan ini bisa dikelompokan ke dalam tiga kelompoyakni alat alat upacara, alat pertanian dan alat pertukangan. 

Alat alat upacara jika drinci lebih lanjut antara lain

1 Genta Pendeta

            Di antara temuan benda logam ini ada tiga genta pendeta kecil.  Ukurannya tidak sama persis tetapi memiliki kemiripan bentuk dan gayanya  Bagian tubuh genta berbentuk cembung dan diakhiri oleh leher yang pendek pada bagian atas .  Permukaan rata, hanya ada ornamen berupa garis horisontal di sisi bawa, pundak dan leher. Bagian pegangan lebih rumit. Bagian tengahnya dihiasi lingkaran konsentris.  Bagian atas dan bawah diberi hiasan dengan cetakan yang sama dan beberapa lingkaran kosentris – diulang secara simestris. Pada bagian atas pegangan dihiasi oleh bentuk kelopak dari bunga teratai terbuka. Bagian tengah lurus dikelilingi oleh empat  yang bentuknya lebih melengkung keluar. Kaki setiap kelopak diberi hiasan motif daun kecil.  Bentuk ini bisa berupa kelopak teratai atau wajra.  

tiga genta pendeta dari Yosorejo

23 Agustus 2020

Cerita Satu Arca Tokoh di Museum Nasional

 

Museum sebagai tempat untuk mengumpulkan, merawat, serta menyajikan benda warisan budaya masa lalu kepada masyarakat selalu berusaha menampilkan koleksinya semenarik mungkin.  Oleh karena itu narasi yang dibangun untuk menjelaskan koleksi yang ditampilkan juga sedapat mungkin haruslah valid.  Menampilkan koleksi tanpa informasi yang memadai hanya akan membuat pengunjung bosan dan tidak tercerahkan.  Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghidupkan museum dengan narasi yang benar, menarik dan memberikan informasi/ pemahaman baru tentang “nilai” koleksi itu pada saat koleksi itu masih aktif di ruang public pada masa lalu.  Jika demikian adanya, maka mengunjungi museum menjadi satu ajang yang menyenangkan karena pengunjung disuguhi dengan beragam tata kehidupan sosial masyarakat masa lalu  yang dapat menjadi inspirasi untuk masa kini dan masa depan. Terkait dengan koleksi yang ditampilkan, mungkin pengunjung juga bisa berpartisipasi untuk memberi masukan yang positif.   Salah satu adalah terkait kemungkinan asal muasal satu koleksi arca yang terbuat dari batu putih (limestone) yang terletak di ruang arca Museum Nasional..

Adalah arca tokoh yang digambarkan dalam posisi duduk bersila di atas padmasana ganda setinggi 58 cm , kaki kanan diletakan di atas kaki kiri,  kedua tangan diletakan di depan perut dalam posisi dhyana mudra (semadi) yang di atasnya diletakan satu Padma dalam kondisi mekar.  Arca tokoh memakai mahkota yang merupakan pilinan rambutnya sendiri (jatamakuta) yang tinggi dengan jamang (ikat kepala) berbentuk pita lebar. Digambarkan juga pilinan rambut yang dibuat di atas kedua bahu tokoh sampai di bawah pundak.  Meskipun tidak tampak jelas lagi, namun ada jejak sirakscakra pada bagian belakang kepala tokoh.  Memakai pakaian yang bermotif bunga menutupi tubuh sampai di atas mata kaki, perhiasan berupa dua kalung motif sulur yang melebar di bagian depan. Kelat bahu, dua gelang lengan dan dua gelang tangan dan kaki, ikat perut  serta anting anting .Penggambaran arca tokoh seperti ini biasa diidentifikasi sebagai arca dewa perwujudan.

                                                   Arca Tokoh dari Museum Nasional

16 Agustus 2020

Sekilas Tentang Garis Pantai Utara Jawa Tengah Pada Abad ke-7-10 M

 


                      Penelitian Arkeologi di Situs Tegal Sari, Kendal 

  Survei arkeologi di Pantai Utara Jawa Tengah tepatnya di muara Kali Kuto sisi timur  yakni wilayah Kabupaten Kendal pada tahun 2018-2019 berhasil menemukan sekitar tujuh lokasi situs arkeologi dari periode Hindu Buddha (Candi Boto Tumpang, Tegal Sari, Kebon Sari, Pojok Sari, Ngrumbul,  Watu Tapak, Kalioso ) di pesisir pantai utara Kendal.  Kecuali Tegal Sari, situs- situs ini bisa dibilang benar benar baru, karena memang tidak tercatat di dalam laporan survei pada masa Belanda ataupun yang dilakukan Puslitarkenas (tahun 1977) atau Balai Arkeologi Yogyakarta (tahun 2000an) .  Situs-situs ini secara geologis berada pada endapan alluvium dimana saat ini sebagian besar berada di areal persawahan meskipun ada juga yang berada di areal permukiman warga.  Ketujuh situs yang berupa sisa bangunan terbuat dari bata (kemungkinan candi) baru dua situs yang digali secara sistematis oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yakni Situs Tegalsari dan Boto Tumpang(Tahun 2018-2019).  Tentu saja keberadaan situs situs yang berada di pesisir pantai utara ini menjadi penting bagi rekonstruksi garis pantai kuna pada abad ke-7-10 di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, khususnya wilayah Kendal.  

Situs situs dapat memberikan informasi baru yang cukup penting terkait reinterpretasi kembali terhadap garis pantai utara Jawa Tengah  pada sekitar abad ke-8-10 M.   Soekmono dalam salah satu artikelnya yang berjudul ’’A Goegraphical Reconstruction of Northeastern Central Java and The Location of Medang ‘’ dengan mengutip pernyataannya Bemellen yang menyebutkan bahwa gambaran peta Jawa memperlihatkan Gunung Muria dahulu sebuah pulau yang terpisah dari pantai utara Jawa Tengah. Dimana garis pantai Semarang-Rembang jauh lebih ke selatan dari saat ini –Bukannya tergabung seperti saat ini-.  Kita dapat berasumsi bahwa periode sebelum abad ke-10 M.,  Muria sebagai pulau yang dipisahkan dari Jawa oleh selat yang membentang dari Semarang ke arah timur ke Rembang. Dengan menghubungkan tempat-tempat di mana keramik yang lebih tua ditemukan, kita dapat meletakan garis pantai lebih tepat. Garis pantai ini terbukti berada di sepanjang garis kontur 25 meter pada peta topografi masa kini. Karena itu, tampaknya daerah antara Semarang dan Rembang yang sekarang terletak lebih rendah dari 25 meter di atas permukaan laut dulunya merupakan bagian dari selat (Soekmono.R 1967, 4-6)

                    Peta Sebaran situs situs HIndu Buddha di Kendal

11 April 2020

Kesaksian Para Pencari barang tuha di SItus Muara Kaman





Daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai kartanegara masuk di dalam Sejarah Nasional Indonesia karena di tempat ini kerajaan bercorak Hindu paling awal muncul ditandai oleh temuan sejumlah Yupa berinskripsi.  namun sedikit orang tahu bahwa di Situs Muara Kaman juga ditemukan sisa bangunan mungkin candi, wadah wadah keramik dan arca-arca logam.  tahun 1980-an di daerah ini sempat dihebohkan oleh kehadiran orang orang yang mencari "harta karun" di sana.  Kegiatan pencarian barang antik ini dipicu oleh temuan satu arca perunggu secara tidak sengaja oleh seorang anak kecil. 

"Adik saya dahulu yang menemukannya” ujar pak Karim mengawali pertemuan kami di pagi pertama di Muara Kaman Hulu.  Lalu mulailah pak Karim bercerita panjang lebar tentang barang-barang tuha di Muara Kaman Ulu, tahun 1987 ketika dilaksanakan proyek pengadaan air bersih di desa ini maka dilakukan penggalian tanah yang cukup panjang untuk pembuatan saluran air yang melintas desa Muara Kaman Ulu.  Saat waktu makan siang dan ketika para pekerja galian ini naik untuk istirahat, maka beberapa anak kecil termasuk Jaka, adik pak Karim mengais-ngais tanah yang sudah tergali, dan tanpa diduga dia menemukan sebuah arca logam dalam kondisi tertelungkup. Segera diambilnya arca tersebut dan dibawanya pulang.  Sesampai di rumah dan setelah dibersihkan maka wujud arca sesungguhanya semakin tampak jelas.  Arca yang ditemukan adalah arca seorang dewi dalam posisi duduk bersila (wirasana) dengan kedua tangan disatukan di depan muka seperti posisi menyembah.  Arca setinggi 40 cm duduk di atas sebuah bantalan arca ini jelas merupakan sisa sisa peninggalan Hindu-Buddha di kawasan situs Muara Kaman.  

Berita temuan ini sempat menjadi buah bibir masyarakat di sekitar desa Muara Kaman Ulu maka tak ayal lagi berbondong-bondong orang datang ke Muara Kaman untuk melihat sendiri arca tersebut. “Suasananya seperti Erau dan bahkan sempat di syuting oleh TVRI dulu pak” tambahnya.  Ramainya pemberitaan ini juga mengundang Dinas P& K Kabupaten Kutai Kartanegara untuk datang menemui keluarga Karim dan membicarakan tentang temuan Karim tersebut.  Maka disepakatilah pada waktu itu arca tersebut akan menjadi koleksi Museum Mulawarman dan sebagai kompensasinya Jaka dan kelima temannya diberi uang sebesar Rp.100.000, dan setumpuk janji manis.  Mulai dari janji beasiswa sampai selesai, renovasi rumah  dan lainnya yang seingat Karim begitu diobral dan setelah itu tidak ada satupun janji itu yang terpenuhi.  “Uang itu sudah saya belikan perahu dan kini sudahlah rusak”  Ujarnya. Tetapi janji-janji itu yang selalu teringat olehnya dan oleh masyarakat Muara Kaman yang membuat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada “pemerintah”.