Daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai kartanegara masuk di dalam Sejarah Nasional Indonesia karena di tempat ini kerajaan bercorak Hindu paling awal muncul ditandai oleh temuan sejumlah Yupa berinskripsi. namun sedikit orang tahu bahwa di Situs Muara Kaman juga ditemukan sisa bangunan mungkin candi, wadah wadah keramik dan arca-arca logam. tahun 1980-an di daerah ini sempat dihebohkan oleh kehadiran orang orang yang mencari "harta karun" di sana. Kegiatan pencarian barang antik ini dipicu oleh temuan satu arca perunggu secara tidak sengaja oleh seorang anak kecil.
"Adik saya dahulu yang menemukannya”
ujar pak Karim mengawali pertemuan kami di pagi pertama di Muara Kaman
Hulu. Lalu mulailah pak Karim bercerita
panjang lebar tentang barang-barang tuha di Muara Kaman Ulu, tahun 1987 ketika
dilaksanakan proyek pengadaan air bersih di desa ini maka dilakukan penggalian
tanah yang cukup panjang untuk pembuatan saluran air yang melintas desa Muara
Kaman Ulu. Saat waktu makan siang dan
ketika para pekerja galian ini naik untuk istirahat, maka beberapa anak kecil
termasuk Jaka, adik pak Karim mengais-ngais tanah yang sudah tergali, dan tanpa
diduga dia menemukan sebuah arca logam dalam kondisi tertelungkup. Segera
diambilnya arca tersebut dan dibawanya pulang.
Sesampai di rumah dan setelah dibersihkan maka wujud arca sesungguhanya
semakin tampak jelas. Arca yang
ditemukan adalah arca seorang dewi dalam posisi duduk bersila (wirasana) dengan
kedua tangan disatukan di depan muka seperti posisi menyembah. Arca setinggi 40 cm duduk di atas sebuah
bantalan arca ini jelas merupakan sisa sisa peninggalan Hindu-Buddha di kawasan
situs Muara Kaman.
Berita temuan ini sempat menjadi buah
bibir masyarakat di sekitar desa Muara Kaman Ulu maka tak ayal lagi
berbondong-bondong orang datang ke Muara Kaman untuk melihat sendiri arca
tersebut. “Suasananya seperti Erau dan bahkan sempat di syuting oleh TVRI dulu
pak” tambahnya. Ramainya pemberitaan ini
juga mengundang Dinas P& K Kabupaten Kutai Kartanegara untuk datang menemui
keluarga Karim dan membicarakan tentang temuan Karim tersebut. Maka disepakatilah pada waktu itu arca
tersebut akan menjadi koleksi Museum Mulawarman dan sebagai kompensasinya Jaka
dan kelima temannya diberi uang sebesar Rp.100.000, dan setumpuk janji
manis. Mulai dari janji beasiswa sampai
selesai, renovasi rumah dan lainnya yang
seingat Karim begitu diobral dan setelah itu tidak ada satupun janji itu yang
terpenuhi. “Uang itu sudah saya belikan
perahu dan kini sudahlah rusak” Ujarnya.
Tetapi janji-janji itu yang selalu teringat olehnya dan oleh masyarakat Muara
Kaman yang membuat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada “pemerintah”.
Cerita
temuan tuha tak selesai sampai temuan arca itu semata, di tengah hilangnya rasa
percaya kepada “pemerintah” maka tahun 1990-1992 pencarian terhadap barang
barang tuha mencapai puncaknya. Hampir
seluruh warga Muara Kaman turun ke Tanjung Brubus, Tanjung Serai, dan areal di sekitar
makam Martapura pun tak luput digali untuk mencari barang tuha bahkan areal
pencarian mereka sampai ke areal permukiman. Kondisi ini diperparah lagi adanya musim
paceklik yang memaksa mereka mencari alternative lain untuk mencari uang. Tidak cukup sampai disitu, masyarakat di luar
Muara Kaman pun ikut mengadu peruntungannya di kampung ini. “ Barang-barang tuha itu sepertinya muncul sendiri
dipermukaan pak !, hanya dengan menggali sejengkal saja maka temuan berupa
guci, mangkuk, dan piring keramik sudah dapat kami temukan” ujar Jaelani. Khabar ini mungkin tidak selalu benar karena
kadangkala mereka harus menggali sampai kedalaman 3 meter. Bahkan yang paling ekstrim, penggalian
dilakukan sampai mencapai 8 meter seperti yang dikerjakan oleh pak Yum. Sehingga kadangkala untuk turun harus memakai
tangga. Kalau kiruk kami menyentuh sesuatu yang
mencurigakan baru kami menggali di sekitar kiruk itu. Kiruk adalah besi panjang sekitar 1-1.5 meter
yang bagian ujungnya dibuat meruncing namun pada bagian paling ujung dibuat
tumpul. Kiruk ini yang ditusuk-tusukan
ke dalam tanah untuk mencari keramik atau lainnya.
Demi mencari barang tuha itu mereka rela siang-malam menusuk-nusuk tanah, jika malam lampu-lampu petromak atau lampu genset menjadi teman mereka untuk menyinari tanah yang sedang digali. Tak jarang mereka rela menginap di tanah-tanah terbuka demi barang tuha yang menjanjikan tersebut. Barang barang keramik dan patung logam merupakan temuan yang paling dicari. Namun untuk mengangkatnya diperlukan kehati-hatian, terutama arca-arca perunggu. Arca perunggu seringkali ditemukan dalam kondisi yang sudah ratusan tahun terpendam di dalam tanah, proses korosi membuat barang-barang ini menjadi rapuh. Lain halnya dengan barang keramik yang seringkali dapat ditemukan dalam kondisi masih sangat baik. Semakin sempurna kondisi barang maka nilai jualnya juga semakin tinggi. Sayangnya temuan seperti struktur bata, sisa bangunan kuna, sisa perahu kuna sama sekali tidak menjadi perhatian, bahkan jika mereka menemukan hal tersebut maka akan segera dibongkar karena percaya di bawah susunan bata/ batu itu akan ditemukan barang-barang tuha yang dapat dijual. Ironis memang
Satu cerita lagi tentang perahu Cina
yang menarik adalah orang-orang tua Muara Kaman percaya bahwa dahulu daerah
Muara Kaman adalah ”lautan” dan hanya sedikit daratan di Banua Lawas yang
dikenal sebagai Tanjung Brubus dan Tanjung Serai. Ketika perahu Cina
kandas. Perahu tersebut begitu besar dan
panjang, maka lambat laut daerah tempat
perahu tersebut kandas berubah menjadi daratan yang kini dikenal sebagai Muara Kaman. Oleh karena itu usaha mencari dan mengangkat perahu Cina tersebut sama saja
dengan menenggelamkan wilayah Muara Kaman.
Maraknya penggalian barang tuha juga
membuat nama H.Udin, kolektor barang antik yang berdomisili di Samarinda
menjadi sangat populer. Di balik nama H.
Udin sebenarnya ada nama-nama lain seperti Pak Loreng, Pak Ting, dan Pak H.
Ismail Johan. Bahkan nama yang terakhir
adalah seorang penjual barang antik yang berdomisili di Jakarta. Menurut cerita
penduduk, Pak H.Udin pada saat itu telah menyebar sejumlah anak buahnya dan mereka
hadir di tengah-tengah warga yang sedang menggali. Tidak cukup sampai di situ saja, kabarnya
mereka juga mendrop beras sebanyak 3 ton yang diperuntukan bagi para pencari
barang tuha. Dan jika warga menemukan
barang tuha, mereka akan segera menaksir nilai nominal barang tersebut baik
secara satuan atau borongan. Jika kesepakatan
harga sudah dicapai maka dalam waktu yang tidak lama barang tersebut segera
diboyong ke Samarinda. Pak Yum, salah
satu warga Muara Kaman mengaku pada waktu itu menemukan hampir 15 buah patung
di dalam satu kotak gali berukuran 2 x 2 meter dengan kedalaman 1 meter saja. Dan
harga yang diperolehnya mestipun sudah tidak ingat secara pasti namun
setidaknya dihargai lebih dari 5 juta rupiah.
” Dahulu ada orang menemukan sekitar 15 buah piring keramik dan diborong
dengan harga 7.5 juta pak” demikian ungkap Pak Karim. ” bahkan saya sendiri pernah menemukan satu
buah piring keramik dengan gambar naga, dan saya jual ke pak H.Udin dengan
harga Rp.750.000 ” Tambahnya. Ketika
ditanya kenapa temuannya tidak lagi diserahkan ke ”pemerintah” , maka spontan
dijawab ” endik kehe (tidak
mau)”. Entah sudah berapa banyak koleksi
tuha dari Muara Kaman yang ”terbang” mengisi ruangan toko barang antik milik
H.Udin. Daeng Muis, asal
Pare-pare,sulawesi Selatan, ketika marak aksi cari dan jual barang tuha
ikut-ikutan menjadi penampung barang tuha yang ditemukan oleh warga. ”Saya belajar tentang keramik secara
aoutodidak pak,waktu itu ada teman saya yang membawa buku tentang keramik Cina,
dan saya belajar mengenali keramik ya dari buku itu” ungkap pak Daeng. Dengan modal pemahaman keramik yang minim,
dia terjun menjadi seorang penampung barang tuha, sedikit demi sedikit
pengetahuannya tentang keramik terus di asah sehingga dia mampu membedakan
antara keramik dari berbagai dinasti yang ada di Cina. ”Waktu itu keramik yang paling banyak
ditemukan adalah keramik dari dinasti Yuan dan Sung, namun tidak banyak yang
ditemukan tanpa ada cacatnya” tambahnya.
Tidak semua mereka yang menemukan
barang tuha memiliki cerita indah. Pak
Gordon (70 th) bercerita bahwa dia merasa dibohongi oleh temannya ketika
menemukan dua patung yang terbuat dari keramik. Menurut pengakuannya, tahun
1995 ketika dia menemukan dua buah arca keramik berwarna biru seperti batu giok
seberat hampir 3 Kg, seorang temannya membantu menjualkan barang tersebut
kepada H.Udin dan dari hasil penjualan arca tersebut, dia hanya mendapat bagian
sebesar 1.2 Juta. ”Saya yakin barang itu
dijual lebih dari 30 juta pak” tambahnya.
Kini cerita barang tuha tersebut
hanyalah tinggal sepenggal cerita orang orang tua yang diwariskan ke generasi
berikut tanpa mereka pernah melihat lagi seperti apa wujud barang-barang tuha
yang pernah ditemukan di tanah yang diwariskan kepada mereka sekarang, Muara
Kama Ulu. Semua kabar tentang kebesaran
sebuah kerajaan Hindu pertama di Nusantara tidak dapat tercermin dari tinggalan
budayanya karena generasi sebelum mereka telah menggadaikannya ke tangan tangan
kolektor yang semata-mata hanya mencari keuntungan tanpa peduli kepada warisan
sejarah yang semakin sulit untuk direkonstruksi kembali. ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar