PERMUKIMAN KUNA DAN STRUKTUR MASYARAKAT KERAJAAN KUTAI KARTANEGARA
Secara geografis wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara berada di daerah pedalaman Kalimantan yang letaknya cukup jauh dari daerah pesisir pantai timur Kalimantan Namun justru di wilayah inilah kerajaan Hindu-Buddha tertua di Indonesia ditemukan. Bisa jadi kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya menjadi factor utama mengapa daerah ini dipilih menjadi tempat permukiman yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha seperti yang ditemukan di daerah Muara Kaman. Padahal di saat yang sama, wilayah-wilayah lain di Nusantara masih diliputi oleh kegelapan sejarah. Namun rentang waktu permukiman yang demikian panjang ini meninggalkan jejak yang begitu samar-samar bagi rekonstruksi sejarah perabadan di tanah Kutai Kartanegara. Posisi yang strategis pula yang menyebabkan ibukota kerajaan Kutai mampu bertahan di daerah ini hampir 300 tahun lamanya sebelum akhirnya pindah ke Pamarangan dan berakhir di Tenggarong. Sangat sulit dibayangkan jika dalam kurun waktu yang demikian lama Kerajaan Kutai Kartanegara tidak memiliki sistem organisasi sosial yang mapan dan ditunjang oleh kemapanan ekonomi serta stabilitas politik dan keamanan yang mantap.
Bahkan perpindahan pusat kerajaan diketahui bukan karena masalah lingkungan namun perpindahan pusat kerajaan dari Kutai Lama ke Pamarangan menurut Naskah Salasilah Kutai lebih disebabkan oleh keputusan politik setelah Sultan Aji Muhamad Aliyuddin merasa keamanan dirinya terancam oleh serangan orang-orang Bugis. Selanjutnya perpindahan pusat kerajaan dari Pamarangan ke Tenggarong lebih dilandasi oleh pandangan bahwa suatu daerah yang telah terebut/ diduduki oleh musuh telah kehilangan aspek magisnya. Pandangan yang terakhir ini cukup popular pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Salsilah Kutai menyebutkan bahwa ketika raja Aji Betara Agung Dewa Sakti (ABADS) membangun pusat pemerintahannya di daerah Gunung Jaitan Layar. Penamaan gunung Jaitan Layar menurut Salasilah Kutai berasal dari cerita ABADS yang gemar melakukan kegiatan sabung ayam sambil mengadakan taruhan. Diceritakan pada suatu ketika ABADS melakukan sabung ayam dengan seorang China dengan taruhan jika kalas seluruh si perahu beserta seluruh anak buah raja china akan menjadi milik ABADS. Sebaliknya jika kalah maka ABADS akan menjadi milik budak dari raja China. Persabungan berlangsung sangat seru, akhirnya ayam raja China harus menyerah kalah dan terpaksa menyerahkan perahunya. Raja China meminta waktu penangguhan sehari. Kelonggaran waktu yang diberikan oleh ABADS ini digunakan oleh raja China untuk menggalang perahu dan menjahit layar. Pada malam harinya raja China pun bermaksud hendak berlayar pulang ke negerinya. Namun perahu tidak dapat berlayar karena lau telah berubah menjadi tanah akibat sumpah ABADS. Mengetahui hal tersebut seluruh orang China pun lari ke dalam hutan. Pada saat ABDS melakukan perjalanan ke gunung ini maka dinamai gunung ini dengan Jaitan Layar
Namun hasil survey dan ekskvasi di sekitar Jaitan Layar memberikan data lain. Adanya permukiman di dearah ini tampaknya tidak didukung oleh data arkeologi. Sejauh ini temuan penduduk seperti kapak batu, dan batu asahan tidak cukup kuat untuk adanya permukiman demikian pula temuan berupa fragmen tembikar dan keramik yang dapat dianggap sangat terbatas. Secara praktis, akan lebih mudah dan aman untuk tinggal di tepi sungai Mahakam daripada tinggal di kaki gunung Jaitan layar. Apalagi pada masa lalu satu-satunya alat transportasi yang efektif hanyalah melalui jalur sungai. Kemungkinannya adalah daerah sekitar gunung Jaitan layar adalah areal perladangan/ perkebunan masyarakat Kutai masa lalu dan tentunya di areal perladangan pun tetap berdiri bangunan hunian yang sifatnya sementara .
Indikasi permukiman kuna baru muncul pada sector KTL 2 yang berada pada ketinggian 2-4 meter di atas permukaan laut ( Dpl) dan berjarak 170 m arah selatan dari tepi sungai Mahakam. Di sekitar ini banyak ditemukan selain fragmen tembikar dan keramik adalah uang kepeng (Uang China) dan uang Majapahit yang dikenal sebagai uang Gobog. Ekskavasi di sektor KTL 2 berhasil menemukan sejumlah tinggalan arkeologi. Hal yang cukup penting adalah kotak ini merupakan bagian dari sampah kerang yang sangat padat. Sampai penggalian dianggap steril (spit 6 atau 120 cm) hampir 70 % kotak galian berisi sisa kerang setinggi 1 meter (pada lapisan tanah pasir lempung berwarna coklat kehitaman dan gembur). Sampah kerang ini mencerminkan aktivits masyarakat Kutai kuna yang mengkosumsi kerang sebagai makanan mereka.
Penelitian arkeologi juga berhasil mengidentifikasikan sejumlah lokasi permukiman di pulau-pulau terdekat dari Kutai Lama yang mencerminkan pola tata ruang pada masa itu dimana wilayah Kutai Lama disamping berkembang dari permukiman menjadi sebuah pelabuhan penghubung bagi datangnya kapal-kapal dagang dari dan ke daerah pedalaman kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar