11 September 2018

Temuan Dermaga Kuna Masa Sriwijaya di Bangka


Pulau Bangka adalah sedikit pulau penting di kawasan selat Malaka yang cukup popular sejak awal millennium pertama.  Berita paling tua yang menyebut Bangka diperoleh dari sebuah karya sastra Buddha yang ditulis pada abad ke-3 Masehi (Māhāniddesa) menyebutkan sejumlah nama tempat di Asia, antara lain tentang Swarnna­bhūmi, Wangka, dan Jawa. Nama Swarnnabhūmi dapat diidentifi­ka­sikan dengan Sumatra sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Milindapañca, sedangkan Wangka mungkin dapat diidentifikasikan dengan Bangka (Damais 1995, 85).
Berita Cina dari sekitar abad ke-3 M juga menyinggung tentang aktivitas masyarakat Bangka kuna pada masa itu,  “….Teluk Wen dan para penduduknya di daerah P’u-lei yang berlayar ke laut untuk memotong perjalanan kapal dan menukar bahan makanan dengan benda-benda logam….”.  Teluk Wen dideskripsikan oleh Wolters verada di utara Karawang.  Wolters yakin bahwa yang disebut sebagai Wen adalah toponim; yang merujuk kepada bukit Menumbing di baratlaut pulau Bangka dan menjadi daerah yang penting untuk orang orang Tamil pada sekitar abad ke-11 M (Wolters,1979 : 29). 


Pulau Bangka menjadi penting karena pantai barat Bangka merupakan wilayah yang strategis pada masa lalu karena posisinya yang berhadapan langsung dengan pantai timur Sumatra Selatan, yang diketahui sebagai pusat kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi.  Di samping itu, terdapat Selat Bangka yang bersambung dengan Selat malaka yang merupakan jalur pelayaran penting yang menghubungkan India - Nusantara – Cina pada masa itu.  
Pulau Bangka mulai dipandang penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara setelah satu prasasti ditemukan di sana.  Adalah Prasasti Kota Kapur yang merupakan  salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.  Batu kutukan ini ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
          Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan tahun 1892 oleh J.K.van der Meulen, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada tanggal 29 November 1920, dan bebe­rapa hari sebelumnya telah ditemu­kan Prasasti Talang Tuo pada 17 November 1920.  Orang yang pertama kali membaca prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mula­nya  ia menganggap "Śrīwijaya" itu adalah nama seorang raja (Kern 1913, 214). Kemudian atas jasa Cœdès, mulailah diketa­hui bahwa di Sumatra pada abad ke-7 Masehi ada sebuah kerajaan besar ber­nama Śrīwijaya (Cœdès dan L. Ch. Damais 1989, 1-46).
Meskipun prasasti Kota Kapur telah ditemukan sejak 100 tahun yang lalu, penelitian arkeologi di kawasan ini  baru dilakukan pertama kali oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1993 yang melaporkan adanya benteng tanah di kawasan situs Kota Kapur  (Tim Pelaksana.2007: 11).  Dalam perkembangannya, penelitian arkeologi juga menghasilkan informasi tentang adanya permukiman di tepi pantai barat dengan sejumlah temuan penting seperti  reruntuhan candi, benteng tanah, dan fragmen arca Wisnu yang mungkin berasal dari abad ke-6/ 7 Masehi.
Penelitian terakhir Pusat Penelitian Arkeologi tahun 2013 di sebelah utara kawasan situs Kota Kapur. Areal ini tampaknya dahulu merupakan areal rawa belakang yang berada kurang dari satu kilometer dari Selat Bangka.  Saat ini kawasan  sudah mengalami sedimentasi sehingga menjadi daratan yang luas.  Sebagian lahan dijadikan perkebunan sawit dan sisanya menjadi semak belukar yang cukup rapat.  Salahh satu aliran sungai yang melewati areal ini adalah sungai Air Pancur yang bermuara di Selat Bangka. 

Dan, di aliran Sungai Pancur inilah penggalian arkeologi dilakukan, dengan membuka 11 kotak ekskavasi seluas 30 meter persegi.  Selama penggalian berlangsung, aliran sungai terpaksa dipindahkan terlebih dahulu karena itu jauh lebih mudah dibanding membendung aliran sungainya (dan itu tentunya mustahil).  Penggalian baru menampakkan hasilnya yakni sisa dermaga kuna, setelah menggali hampir sedalam 110-140 cm dari permukaan tanah sekarang.  Sebuah dermaga kuna yang diusung oleh dua deretan tiang kayu nibung (Oncospermatigilarium)[1] yang mengarah dari timur ke barat.  Jarak antar tiang cukup rapat sekitar 20 - 30 cm.  Jika dihitung, panjang seluruh deretan tiang kayu ini mencapai  panjang 6.7 meter dengan lebar sekitar 1 meter.  Di ujung barat deretan tiang nibung ini terdapat susunan lantai kayu yang dibuat dari gelondongan kayu pelangas(aporoso aurita) yang dijajarkan timur-barat sebanyak lima buah.  Untuk memperkuat susunan lantai kayu gelondongan agar tidak goyang maka pada masing masing kayu ditancapkan tiang-tiang kayu dan pada beberapa bagian kayu terutama sisi utara diikat dengan tali ijuk.  Tampaknya susunan lantai kayu ini adalah tempat pijakan pertama orang setelah turun dari kapal, lalu melalui jembatan sepanjang 6.7 meter menuju daratan.
Hasil pertanggalan mutlak terhadap sampel tiang kayu dengan metode C14 diketahui bahwa tiang kayu ini berasal dari masa sekitar 480-620 M (abad ke-5-7 M), dan sampel ijuk berasal dari sekitar 250-590 M (abad ke 3-6 M), yang berarti sejaman dengan temuan prasasti Kota Kapur berangka tahun 686 M (Coedes, 2010:126),  Arca Wisnu Kota Kapur yang dipertanggalkan sekitar abad ke 6/7 M[2] dan sisa candi yang dipertanggalkan 532 M (Dalsheimer dan Manguin tt, 14).  Dengan demikian jelas bahwa dermaga tersebut merupakan bagian dari kelengkapan komponen permukiman di situs Kota Kapur pada masa lalu.
Dalam konteks hubungan Sriwijaya dan Bangka, maka temuan sisa dermaga kuna  ini dapat dilihat sebagai indikasi adanya pelabuhan pendukung (feeder point) bagi kadatuan Sriwijaya.  Pelabuhan pendukung merupakan pusat perdagangan lokal kecil yang melayani entrepot-entrepot dan pusat pengumpulan komoditas di tingkat regional yang penting. Pelabuhan ini biasanya dijadikan sebagai tempat untuk menampung beberapa jenis komoditas tertentu yang hanya dapat ditemukan di wilayah dekat dengan pelabuhan pendukung.   Berbeda dengan pelabuhan utama (entreport) maka pelabuhan pendukung lebih mendekati sumber sumber komoditas tersebut diperoleh.   Pelabuhan pendukung ini biasanya memiliki ciri  sebagai tempat asal komoditas diperoleh dan dibangun di pertemuan sungai atau di muara sungai karena dianggap sebagai tempat paling strategis.
Posisinya sebagai pelabuhan pendukung ini juga relevan, karena sampai saat ini masyarakat lokal di Bangka masih mengingat wilayah Kota Kapur sebagai pelabuhan benteng Kota Kapur (Koestoro dkk,1994:64), kenyataan lapangan menunjukkan situs Kota Kapur ini memang dikelilingi oleh benteng tanah sepanjang hampir 1.5 KM di sebelah selatan, timur dan barat.  Bahkan di sisi timurlaut ditemukan dua lapis benteng tanah hampir setinggi 4 meter sedangkan sisi utara yang berhadapan dengan Sungai Mendo diduga sebagai areal yang cocok untuk pelabuhan.



[1] Nibung (nibung) adalah tanaman asli Indochina dan Asia Tenggara, yang tinggal di dataran rendah, biasanya hutan pantai dengan air payau di ketinggian 0-50 meter di atas permukaan laut. Log sering digunakan sebagai tiang dan lantai rumah nelayan karena mereka tahan terhadap payau dan air laut (Tim Penyusun, 2004:127-128)
[2]  Cukup banyak pendapat para ahli tentang kronologis dari arca Wisnu Kota Kapur di antaranya M,Stutterheim (1937) yang memasukkan arca ini berasal dari abad ke-7 M , Satyawati Suleiman (1980) dan Edi Sedyawati (1963) menyebutkan arca Wisnu Kota Kapur  berasal dari abad ke-6 sementara Suheimi (1979), P.Y.Manguin dan Dalsheimer memberi pertanggalan sekitar abad ke 6/7 , dan Stanley J.Connor (1971) cenderung memasukkan dalam periode  650-800 (Trimarhaeni S.B.1997:26)

Tidak ada komentar: