Pulau Bangka adalah sedikit pulau penting di
kawasan selat Malaka yang cukup popular sejak awal millennium pertama. Berita paling tua yang
menyebut Bangka diperoleh dari sebuah karya sastra Buddha yang ditulis pada
abad ke-3 Masehi (Māhāniddesa)
menyebutkan sejumlah nama tempat di Asia, antara lain tentang Swarnnabhūmi,
Wangka, dan Jawa. Nama Swarnnabhūmi
dapat diidentifikasikan dengan Sumatra sebagaimana disebutkan juga dalam
kitab Milindapañca, sedangkan Wangka mungkin dapat diidentifikasikan
dengan Bangka (Damais 1995, 85).
Berita Cina dari sekitar abad ke-3 M juga menyinggung tentang aktivitas
masyarakat Bangka kuna pada masa itu,
“….Teluk Wen dan para penduduknya di daerah P’u-lei yang berlayar ke
laut untuk memotong perjalanan kapal dan menukar bahan makanan dengan
benda-benda logam….”. Teluk Wen
dideskripsikan oleh Wolters verada di utara Karawang. Wolters yakin bahwa yang disebut sebagai Wen
adalah toponim; yang merujuk kepada bukit Menumbing di baratlaut pulau Bangka
dan menjadi daerah yang penting untuk orang orang Tamil pada sekitar abad ke-11
M (Wolters,1979 : 29).
Pulau Bangka menjadi penting karena pantai barat Bangka merupakan wilayah
yang strategis pada masa lalu karena posisinya yang berhadapan langsung dengan pantai
timur Sumatra Selatan, yang diketahui sebagai pusat kerajaan Sriwijaya pada
sekitar abad ke-7 Masehi. Di samping
itu, terdapat Selat Bangka yang bersambung dengan Selat malaka yang merupakan
jalur pelayaran penting yang menghubungkan India - Nusantara – Cina pada masa
itu.
Pulau Bangka mulai dipandang penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara
setelah satu prasasti ditemukan di sana.
Adalah Prasasti Kota Kapur yang merupakan
salah satu dari lima buah batu
prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan
Śrīwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu
bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19
cm pada bagian puncak. Batu
kutukan ini ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti
Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan tahun 1892 oleh J.K.van der Meulen, jauh
sebelum Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada tanggal 29
November 1920, dan beberapa hari sebelumnya telah ditemukan Prasasti Talang
Tuo pada 17 November 1920. Orang
yang pertama kali membaca prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi
bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch
Genootschap di Batavia. Pada mulanya
ia menganggap "Śrīwijaya" itu adalah nama seorang raja (Kern
1913, 214). Kemudian atas jasa Cœdès, mulailah diketahui bahwa di Sumatra pada
abad ke-7 Masehi ada sebuah kerajaan besar bernama Śrīwijaya (Cœdès dan L. Ch.
Damais 1989, 1-46).
Meskipun
prasasti Kota Kapur telah ditemukan sejak 100 tahun yang lalu, penelitian
arkeologi di kawasan ini baru dilakukan pertama kali oleh Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1993 yang melaporkan adanya benteng tanah
di kawasan situs Kota Kapur (Tim
Pelaksana.2007: 11). Dalam
perkembangannya, penelitian arkeologi juga menghasilkan informasi tentang
adanya permukiman di tepi pantai barat dengan sejumlah temuan penting
seperti reruntuhan candi, benteng tanah,
dan fragmen arca Wisnu yang mungkin berasal dari abad ke-6/ 7 Masehi.
Penelitian terakhir Pusat Penelitian Arkeologi tahun 2013 di sebelah utara
kawasan situs Kota Kapur. Areal ini tampaknya
dahulu merupakan areal rawa belakang yang berada kurang dari satu kilometer
dari Selat Bangka. Saat ini kawasan sudah mengalami sedimentasi sehingga menjadi
daratan yang luas. Sebagian lahan
dijadikan perkebunan sawit dan sisanya menjadi semak belukar yang cukup
rapat. Salahh satu aliran sungai yang
melewati areal ini adalah sungai Air Pancur yang bermuara di Selat Bangka.
Dan, di aliran Sungai Pancur inilah penggalian
arkeologi dilakukan, dengan membuka 11 kotak ekskavasi seluas 30 meter
persegi. Selama penggalian berlangsung,
aliran sungai terpaksa dipindahkan terlebih dahulu karena itu jauh lebih mudah
dibanding membendung aliran sungainya (dan itu tentunya mustahil). Penggalian baru menampakkan hasilnya yakni
sisa dermaga kuna, setelah menggali hampir sedalam 110-140 cm dari permukaan
tanah sekarang. Sebuah dermaga kuna yang
diusung oleh dua deretan tiang kayu nibung (Oncospermatigilarium)[1]
yang mengarah dari timur ke barat. Jarak
antar tiang cukup rapat sekitar 20 - 30 cm.
Jika dihitung, panjang seluruh deretan tiang kayu ini mencapai panjang 6.7 meter dengan lebar sekitar 1
meter. Di ujung barat deretan tiang nibung
ini terdapat susunan lantai kayu yang dibuat dari gelondongan kayu pelangas(aporoso aurita) yang dijajarkan
timur-barat sebanyak lima buah. Untuk
memperkuat susunan lantai kayu gelondongan agar tidak goyang maka pada masing
masing kayu ditancapkan tiang-tiang kayu dan pada beberapa bagian kayu terutama
sisi utara diikat dengan tali ijuk. Tampaknya
susunan lantai kayu ini adalah tempat pijakan pertama orang setelah turun dari
kapal, lalu melalui jembatan sepanjang 6.7 meter menuju daratan.
Hasil pertanggalan mutlak terhadap sampel tiang kayu dengan metode C14
diketahui bahwa tiang kayu ini berasal dari masa sekitar 480-620 M (abad ke-5-7
M), dan sampel ijuk berasal dari sekitar 250-590 M (abad ke 3-6 M), yang
berarti sejaman dengan temuan prasasti Kota Kapur berangka tahun 686 M (Coedes,
2010:126), Arca Wisnu Kota Kapur yang
dipertanggalkan sekitar abad ke 6/7 M[2]
dan sisa candi yang dipertanggalkan 532 M (Dalsheimer dan Manguin tt, 14). Dengan demikian jelas bahwa dermaga tersebut
merupakan bagian dari kelengkapan komponen permukiman di situs Kota Kapur pada
masa lalu.
Dalam konteks hubungan Sriwijaya dan Bangka, maka temuan sisa dermaga
kuna ini dapat dilihat sebagai indikasi
adanya pelabuhan pendukung (feeder point)
bagi kadatuan Sriwijaya. Pelabuhan
pendukung merupakan pusat perdagangan lokal kecil yang melayani entrepot-entrepot dan pusat pengumpulan
komoditas di tingkat regional yang penting. Pelabuhan ini biasanya dijadikan
sebagai tempat untuk menampung beberapa jenis komoditas tertentu yang hanya
dapat ditemukan di wilayah dekat dengan pelabuhan pendukung. Berbeda dengan pelabuhan utama (entreport) maka pelabuhan pendukung
lebih mendekati sumber sumber komoditas tersebut diperoleh. Pelabuhan pendukung ini biasanya memiliki
ciri sebagai tempat asal komoditas
diperoleh dan dibangun di pertemuan sungai atau di muara sungai karena dianggap
sebagai tempat paling strategis.
Posisinya sebagai pelabuhan pendukung ini juga relevan, karena sampai saat
ini masyarakat lokal di Bangka masih mengingat wilayah Kota Kapur sebagai
pelabuhan benteng Kota Kapur (Koestoro dkk,1994:64), kenyataan lapangan
menunjukkan situs Kota Kapur ini memang dikelilingi oleh benteng tanah
sepanjang hampir 1.5 KM di sebelah selatan, timur dan barat. Bahkan di sisi timurlaut ditemukan dua lapis
benteng tanah hampir setinggi 4 meter sedangkan sisi utara yang berhadapan
dengan Sungai Mendo diduga sebagai areal yang cocok untuk pelabuhan.
[1] Nibung (nibung) adalah tanaman asli Indochina
dan Asia Tenggara, yang tinggal di dataran rendah, biasanya hutan pantai dengan
air payau di ketinggian 0-50 meter di atas permukaan laut. Log sering digunakan
sebagai tiang dan lantai rumah nelayan karena mereka tahan terhadap payau dan
air laut (Tim Penyusun, 2004:127-128)
[2]
Cukup banyak
pendapat para ahli tentang kronologis dari arca Wisnu Kota Kapur di antaranya
M,Stutterheim (1937) yang memasukkan arca ini berasal dari abad ke-7 M ,
Satyawati Suleiman (1980) dan Edi Sedyawati (1963) menyebutkan arca Wisnu Kota
Kapur berasal dari abad ke-6 sementara Suheimi
(1979), P.Y.Manguin dan Dalsheimer memberi pertanggalan sekitar abad ke 6/7 ,
dan Stanley J.Connor (1971) cenderung memasukkan dalam periode 650-800 (Trimarhaeni S.B.1997:26)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar