Situs Bale Kambang
Hari ini Kali Kuto
menjadi perhatian publik terutama para pemudik, sehubungan dengan dibukanya
jembatan Kali Kuto untuk jalur mudik di daerah pantura. Namun tahukah kita bahwa dahulu sekitar 1300
tahun yang lalu, Kali Kuto sudah menjadi jalur bagi masuknya pengaruh Hindu
Buddha ke pedalaman Jawa Tengah? Adalah
Bale Kambang sebuah
petirtaan di tepi pantai, Gringsing, Batang
dapat disebut sebagai entri point
bagi masuknya Hindu-Buddha ke
pedalaman Jawa pada sekitar abad ke-7 M. Kronologis situs Bale Kambang ini didasarkan
pada temuan prasasti Balekambang (dikenal juga sebagai prasasti Bendosari) berbahan
batu yang berukuran 85 x 44 x 34 cm, kondisi
rusak dan sekarang tersimpan di Museum Ranggawarsita (MR
04,00076 dan 04.00078) di Semarang.
Prasasti ini terdiri dari lima baris teks ditulis dalam huruf Pallava
dan bahasa Sansekerta. Secara
paleografi, Soekarto Atmodjo memasukan prasasti ini berasal dari abad ke-6 M.
(Goenadi Nitihaminoto 1978: 19). Prasasti Balekambang baru-baru ini diteliti
oleh Arlo Griffiths (2012: 474-477)
berdasarkan perbandingan paleografi dengan prasasti
Kalasan maka inskripsi pada prasasti
Balekambang ditempatkan pada paruh kedua abad ketujuh. Griffiths juga menambahkan bahwa gaya
penulisan prasasti
Balekambang memiliki kemiripan dengan prasasti
Sojomerto.
Posisi petirtaan Bale Kambang yang
sangat strategis karena berada tidak jauh dari muara Sungai Kuto, tampaknya sudah berperan sebagai tempat penyediaan
air tawar bagi kapal-kapal yang
berlayar melewati pantai utara Jawa pada masa itu. Tidak heran bangunan
candi yang melengkapi keberadaan petirtaan menjadi bukti bahwa petirtaan memang
sudah dikenal dan menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal yang berlayar. Dalam tulisan kali ini saya tidak igin membicarakan bukti
bukti arkeologis yang mendukung pernyataan Kali Kuto sebagai jalur masuknya
Hindu-Buddha pada periode pre-Mataram Kuna, tetapi saya ingin membahas temuan sepasang
arca naga yang tingginya mencapai 1
meter yang kini terserak di situs Bale Kambang. Terserak
karena arca ini memang tidak mendapat perhatian serius sehingga
satu arca sudah diberi kepala baru sedangkan yang lainnya dalam kondisi sudah
di semen.
Naga Bale Kambang
Temuan arca naga
setinggi satu meter termasuk
unik di Jawa tengah karena tidak
banyak arca naga yang ditemukan di Jawa Tengah apalagi setinggi itu.
Kehadiran arca Naga selama
ini selalu dihubungkan dengan yoni, dwarapala dan beberapa
figure di dalam cerita relief. Naga pada yoni selalu diletakkan di bawah cerat bersama
sama dengan kura-kura (kurma), kadang
naga digambarkan di bawah kura-kura (kurma)
atau sebaliknya. Naga sebagai dwarapala atau
arca penjaga tempat suci keagamaan memang dikenal di dalam kesenian Hindu.
Istilah dwalapala berasal dari kata sangsakerta dvar yang berarti pintu masuk/ gerbang
dan pala artinya penjaga sehingga
arti secara keseluruhan adalah penjaga pintu gerbang atau pintu masuk. Dwarapala adalah pelindung tempat tinggal
dewa, posisinya berada di antara wilayah sakral dan profane, atau berada di batas
daerah kurang sakral- sakral. Naga
memang identik dengan air dalam posisinya sebagai penjaga air kehidupan dalam
konsepsi Hindu. Oleh karena itu
kehadiran sepasang arca naga di petirtaan sebagai penjaga sumber air yang
dianggap suci menjadi sangat relevan.
Di luar itu Naga
jarang ditampilkan. Ada beberapa temuan Naga pada periode jawa Tengah yang berhasil
dicatat antara lain, Naga ditemukan pada Makara-Naga Candi
Bubrah, Candi Merak, dan Candisari, (Temanggung). Naga di belakang
makara di Candi
Pringapus, Jaladwara Naga dari Rambeanak, (Magelang), Kala- Naga
di Candi Umbul, (Magelang) Terkait dengan
Kala-Naga dari Candi Umbul memang kondisinya saat ini sudah beralih fungsi
menjadi penghias pada pipi tangga masuk ke dalam petirtaan, namun ada
kemungkinan dahulu di situs ini pernah berdiri sebuah candi yang menggunakan
ragam hias Kala- Naga pada ambang pintu masuk.
Dengan demikian tidaklah benar jika ragam hiasan Kala-Naga baru muncul
pada periode Jawa Timur .
Kala-Naga Candi Umbul
Selain itu, dua
arca naga juga dilaporkan pernah ditemukan di
Candi Dieng. Dari
pengamatan ikonografi,
arca Naga Candi Dieng sangat mirip
dengan naga yang ditemukan di Situs Bale Kambang., tetapi dari segi ukuran, jelas tidak dapat disamakan, karena jelas
lebih kecil
Masalahnya
Naga sebagai dwarapala di Nusantara tidaklah populer seperti arca raksasa atau
mahakala/ nandiswara. Pada masa Mataram
kuna dan bahkan sampai Majapahit, Naga selalu digunakan untuk menghiasi
/penyangga cerat pada yoni. .Naga Bale
Kambang secara ikonografi lebih dekat ke periode Jawa Tengah, namun dilihat
dari ukuran dan kemungkinannya tampak lebih kepada periode Jawa Timur yang
merepresentasikan ular di dalam arsitekturnya. Pada periode Jawa Timur, Naga dipresentasikan
cukup menyolok, Naga dibuat dalam ukuran yang besar seperti yang ditemukan di Candi Naga , komplek Candi Panataran, yang dihubungkan
dengan cerita Samudramanthana yakni kisah pencarian air Amerta (air kehidupan).
Candi Naga ,Panataran
Satu
temuan arca Naga di museum Trowulan lebih mirip dengan arca Naga Bale Kambang
jika dilihat dari ukurannya yang mencapai tinggi 1 meter tetapi gaya kedua arca
ini jauh berbeda. Naga masa Majapahit
tampak lebih raya dibandingkan dengan naga periode Jawa Tengah.
Naga Trowulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar