Oleh
Agustijanto Indradjaja
Puslitarkenas
Tergelitik oleh berita tentang temuan
cermin Cina utuh berusia 1900 tahun yang lalu di Jepang mengingatkan saya pada
temuan dua cermin dari Dinasti Han di Bali beberapa tahun yang lalu. Tampaknya
tidaklah salah jika kembali disajikan sebagai pengingat bahwa artefak dari Dinasti
Han sudah ditemukan terserak di Nusantara sejak 2000 tahun yang lalu. Adalah Situs Pangkung Paruk (8°14’37” LS dan
114°48’113” BT) yang mungkin bukan nama yang familiar bagi sebagian orang
mengingat lokasinya berada di wilayah Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk,
Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali (Foto 1). Jarak situs ke Kecamatan Seririt kurang lebih
8 km. Namun situs ini harusnya menjadi penting karena di situs ini ditemukan
empat buah sarkofakus dari masa awal sejarah (2000 tahun yll) atau dikenal
sebagai protosejarah. Pada masa itu, situs
ini merupakan bagian dari Situs Nekropolis Gilimanuk yakni satu komunitas
masyarakat protosejarah yang berkembang di sepanjang pantai baratlaut Bali di
kawasan pantai Gilimanuk. Hal ini didasarkan pada kemiripan temuan wadah
tembikar (periuk) yang mempunyai pola hias terajala. Wadah tembikar yang paling populer ditemukan
di Gilimanuk.
Foto 1 : Menuju Situs Pangkung Paruk
Ada beberapa catatan menarik dari temuan di situs Pangkung
Paruk ini, pertama, Situs Pangkung Paruk
berada pada salah satu punggung daerah perbukitan dengan ketinggian 66 meter dpl. Perbukitan ini lebih dikenal masyarakat
sebagai bukit batu bertoreh. Penamaan
ini didasarkan pada adanya temuan satu batu alam yang memiliki torehan. Selain itu, wilayah bukit batu bertoreh ini
dikenal masyarakat sebagai daerah citre pedagang
yang berarti kuburan para pedagang ? Tidak jelas mengapa areal batu bertoreh ini
dikenal sebagai areal kuburan para pedagang (citre pedagang). Namun
pengakuan I Wayan Sudiarjana sebagai pemilik lahan di areal ini yang diperoleh
dari warisan orang tuanya menyebutkan bahwa 100 meter di sebelah utara tempat
temuan empat sarkofagus ini ketika diambil sebagian tanahnya untuk diratakan
pernah menemukan beberapa kerangka manusia dengan bekal kubur berupa alat
besi. Kurangnya pengetahuan terhadap hal
ini menyebabkan temuan ini hilang tanpa terdokumentasi. Baru ketika empat buah sarkofagus ditemukan
di areal ini menguatkan argumentasi bahwa wilayah ini memang disebut sebagai
kuburan pedagang karena memang daerah ini sebenarnya dahulu merupakan komplek
makam kuna.
Kedua, temuan empat kerangka dalam sarkofagus dan temuan kerangka
yang dikuburkan langsung di tanah dalam posisi tertekuk mencerminkan tatacara
penguburan pada awal sejarah di Bali. Setidaknya
ada dua cara menguburkan jenazah yakni diletakkan di dalam peti kubur batu (sarkofagus)
atau langsung dikuburkan di dalam tanah.
Adanya perbedaan tatacara penguburan ini diduga terkait dengan status
sosial dari individu yang akan dikuburkan.
Bagi individu yang memiliki status sosial yang tinggi dalam komunitasnya
maka jenazahnya akan dimasukkan dalam sarkofagus sedangkan untuk kelompok
masyarakat umum, individu yang meninggal akan dimakamkam langsung ke dalam
liang lahat.
Asumsi ini diperkuat juga dengan temuan bekal kubur yang
cukup raya di dalam sarkofagus dibandingkan dengan yang dikuburkan langsung. Bekal
kubur yang disertakan di dalam sarkofagus dari situs Pangkung Paruk cukup
variatif dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Anting anting, manik-manik, dan hiasan kepala
semuanya terbuat dari emas. Belum
termasuk manik-manik logam, manik-manik karnelian, manik-manik kaca lapis emas,
senjata dan cermin perunggu.
Ketiga, temuan kerangka manusia di luar sarkofagus mau tidak
mau memancing pertanyaan apakah keberadaan kerangka manusia di dekat sarkofagus
ini juga merupakan bagian dari bekal kubur?
Artinya ada individu dari golongan yang lebih rendah (budak?) yang
sengaja dibunuh dan dikuburkan untuk menemani individu yang bisa jadi tuannya
dalam perjalanan menuju alam kubur.
Tampaknya pemberian bekal kubur berupa manusia pada masa lalu memang
mungkin saja terjadi. R.P. Soejono dalam
disertasinya juga menyinggung temuan seperti ini dimana posisi individu yang
dijadikan bekal kubur dalam kondisi kaki dan tangan terikat ke belakang. Temuan ini berasal dari di situs Gilimanuk
sektor I (Soejono, 2009: 126). Sebagai
pembanding, pemberian bekal kubur pada
masa lalu di daerah Sumba, selain perhiasan, senjata dan emas juga disertakan
binatang dan manusia sebagai korban yang disebut sebagai padangangu yang berarti ”mereka yang menjadi si penghantar”.(Adam,
1969:156-168; Soejono, 2009:83).
Foto 2 : Cermin Han dengan motif TLV
Tulisan ini tidak bermaksud mendiskusikan budak yang
dijadikan bekal kubur tetapi ada kaitannya dengan bekal kubur yang terakhir disebut yakni cermin
perunggu. Cermin perunggu ditemukan
sebanyak dua buah sayangnya hanya satu dalam kondisi cukup baik sedangkan
sisanya dalam kondisi fragmentaris.
Cermin ini memiliki diameter 12 cm dan satu lagi berukuran lebih kecil sekitar
10.8 cm dengan ketebalan 0,4 cm. Keduanya
memiliki dua sisi dimana sisi depan digunakan sebagai cermin oleh karenanya dilapisi
dengan perak untuk menghasilkan pantulan yang maksimal. Sisi belakang cermin diberi hiasan motif
simbolik dan pada bagian tengah diberi tonjolan yang berlubang (bulat, persegi)
diduga sebagai tempat memasukkan tali pegangan. Motif hias cermin dari Dinasti Han juga
dikenal dengan motif TLV. Motif TLV ini diambil dari bentuk huruf latin yang
ditulis secara kapital. Seluruh huruf
ini mengekspresikan hubungan antara bumi dan langit, dan menggambarkan hubungan
yang aneh antara kekuatan misterius yang mengontrol dunia dan mengaturnya di
dalam keinginan pemilik cermin (sukar dipahami memang). Seluruh
permukaan diberi hiasan mulai dari bagian tengah berupa dua lingkaran konsentris dan dua persegi
empat, delapan bulatan kecil yang
sedikit menonjol, hiasan sulur suluran, lingkaran konsentris, segitiga
berderet, dan kembali ditutup dengan lingkaran konsentris lagi (Foto 2). Cermin
yang tidak utuh lagi memiliki perbedaan karena dihiasi motif hias burung dan
inskripsi panjang yang ditulis melingkar (Foto 3).
Foto 3 : Cermin dengan inskripsi Cina yang panjang
Berdasarkan gaya seni
hias pada bagian belakang cermin diduga
cermin tersebut berasal dari masa dinasti Xin (Raja Wang Mang) tahun
8-23 masehi, yang merupakan dinasti yang sangat singkat antara Western Han dan Eastern
Han atau pada awal eastern Han (25 masehi). Cermin perunggu seperti yang
ditemukan di dalam sarkofagus menurut Hsiao-Chun sejak 2000 tahun lalu sudah umum
dibuat tiruannya di Cina Selatan atau Vietnam (Kompyang Gede 2009:127).
Penyertaan cermin sebagai bekal kubur bukan satu-satunya yang
pernah ditemukan di Bali. Penelitian
arkeologi tahun 1980an di Situs Semawang, Sanur, Bali Selatan juga pernah
ditemukan satu cermin dari Cina meskipun dari periode yang lebih muda yakni
dari Dinasti Song (abad ke-10-11 M). Cermin perunggu digunakan sebagai bekal kubur pada
satu individu yang dikubur tanpa wadah (penguburan langsung ) (Suastika 2000).
Cermin perungu menempati posisi penting di dalam teknologi
logam di Cina mengingat adanya kepercayaan bahwa roh-roh jahat itu dapat
menyerupai bentuk manusia dan menipu mata manusia, tetapi mereka tidak bisa
merubah diri mereka di depan cermin. Oleh
karena itu para master Tao pada masa
lalu ketika mereka memutuskan untuk berhenti dari kehidupan dunia dan menetap
di gunung-gunung mereka selalu membawa cermin besar yang diletakan di bagian
belakang punggung mereka. Cermin perunggu
pada periode Han dibuat tidak hanya untuk kelompok elite saja melainnya sudah
menjadi produk masal dan dipakai secara luas oleh berbagai golongan masyarakat
sehingga kualitas cermin menjadi sangat bervariasi mulai dari yang sangat
sederhana sampai cermin yang berlapis emas ditemukan kembali. Cermin perunggu juga biasa ditemukan pada
makam-makam kuna di Cina sebagai bekal kubur. Ada kepercayaan di dalam masyarakat Cia kuna jika cermin dijadikan bekal kubur dapat membantu menunjukkan jalan bagi ruh yang meninggal.
Keberadaan cermin dari Dinasti Han sekitar 2000 tahun yang
lalu jelas ada kaitannya dengan aspek perdagangan dengan wilayah lain di luar
Bali. Bisa jadi masyarakat pantai utara
Bali telah melakukan kontak dengan dunia luar, dan meskipun Bali tidak secara
langsung berada di jalur perdagangan laut antara India dan Oce-o (Funan)-Cina,
namun beberapa komoditas yang paling dicari seperti kayu cendana, hanya didapat
di daerah timur Bali, didistribusikan ke Bali lalu ke Jawa atau Sumatra. Dari sini barang tersebut di bawa ke India
atau Oce-o dan China. Kebutuhan akan rempah-rempah di Nusantara merupakan
alasan yang kuat terjadinya kontak perdagangan antara masyarakat lokal dan
dunia luar. Selain kayu cendana, kamper,
dan gaharu, cengkeh diketahui telah
dikenal oleh bangsa Cina sejak abad ke-3 SM dan pada saat itu cengkeh hanya
ditanam di empat pulau di kepulauan Maluku( Ardika, 2003: 15).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar