09 Januari 2018

Cermin Masa Dinasti Han Dari 2000 Tahun Yang Lalu (juga) Ditemukan di Bali

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Puslitarkenas

              Tergelitik oleh berita tentang temuan cermin Cina utuh berusia 1900 tahun yang lalu di Jepang mengingatkan saya pada temuan dua cermin dari Dinasti Han di Bali beberapa tahun yang lalu. Tampaknya tidaklah salah jika kembali disajikan sebagai pengingat bahwa artefak dari Dinasti Han sudah ditemukan terserak di Nusantara sejak 2000 tahun yang lalu.  Adalah Situs Pangkung Paruk (8°14’37” LS dan 114°48’113” BT) yang mungkin bukan nama yang familiar bagi sebagian orang mengingat lokasinya berada di wilayah Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali (Foto 1).  Jarak situs ke Kecamatan Seririt kurang lebih 8 km. Namun situs ini harusnya menjadi penting karena di situs ini ditemukan empat buah sarkofakus dari masa awal sejarah (2000 tahun yll) atau dikenal sebagai protosejarah.  Pada masa itu, situs ini merupakan bagian dari Situs Nekropolis Gilimanuk yakni satu komunitas masyarakat protosejarah yang berkembang di sepanjang pantai baratlaut Bali di kawasan pantai Gilimanuk.  Hal ini  didasarkan pada kemiripan temuan wadah tembikar (periuk) yang mempunyai pola hias terajala.  Wadah tembikar yang paling populer ditemukan di Gilimanuk.   
                                          Foto 1 : Menuju Situs Pangkung Paruk
Ada beberapa catatan menarik dari temuan di situs Pangkung Paruk ini, pertama,  Situs Pangkung Paruk berada pada salah satu punggung daerah perbukitan dengan ketinggian 66 meter dpl.  Perbukitan ini lebih dikenal masyarakat sebagai bukit batu bertoreh.  Penamaan ini didasarkan pada adanya temuan satu batu alam yang memiliki torehan.  Selain itu, wilayah bukit batu bertoreh ini dikenal masyarakat sebagai daerah citre pedagang yang berarti kuburan para pedagang ?   Tidak jelas mengapa areal batu bertoreh ini dikenal sebagai areal kuburan para pedagang (citre pedagang).   Namun pengakuan I Wayan Sudiarjana sebagai pemilik lahan di areal ini yang diperoleh dari warisan orang tuanya menyebutkan bahwa 100 meter di sebelah utara tempat temuan empat sarkofagus ini ketika diambil sebagian tanahnya untuk diratakan pernah menemukan beberapa kerangka manusia dengan bekal kubur berupa alat besi.  Kurangnya pengetahuan terhadap hal ini menyebabkan temuan ini hilang tanpa terdokumentasi.  Baru ketika empat buah sarkofagus ditemukan di areal ini menguatkan argumentasi bahwa wilayah ini memang disebut sebagai kuburan pedagang karena memang daerah ini sebenarnya dahulu merupakan komplek makam kuna.  


Kedua, temuan empat kerangka dalam sarkofagus dan temuan kerangka yang dikuburkan langsung di tanah dalam posisi tertekuk mencerminkan tatacara penguburan pada awal sejarah di Bali.  Setidaknya ada dua cara menguburkan jenazah yakni diletakkan di dalam peti kubur batu (sarkofagus) atau langsung dikuburkan di dalam tanah.  Adanya perbedaan tatacara penguburan ini diduga terkait dengan status sosial dari individu yang akan dikuburkan.  Bagi individu yang memiliki status sosial yang tinggi dalam komunitasnya maka jenazahnya akan dimasukkan dalam sarkofagus sedangkan untuk kelompok masyarakat umum, individu yang meninggal akan dimakamkam langsung ke dalam liang lahat. 
Asumsi ini diperkuat juga dengan temuan bekal kubur yang cukup raya di dalam sarkofagus dibandingkan dengan yang dikuburkan langsung.   Bekal kubur yang disertakan di dalam sarkofagus dari situs Pangkung Paruk cukup variatif dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.  Anting anting, manik-manik, dan hiasan kepala semuanya terbuat dari emas.  Belum termasuk manik-manik logam, manik-manik karnelian, manik-manik kaca lapis emas, senjata dan cermin perunggu. 
Ketiga, temuan kerangka manusia di luar sarkofagus mau tidak mau memancing pertanyaan apakah keberadaan kerangka manusia di dekat sarkofagus ini juga merupakan bagian dari bekal kubur?  Artinya ada individu dari golongan yang lebih rendah (budak?) yang sengaja dibunuh dan dikuburkan untuk menemani individu yang bisa jadi tuannya dalam perjalanan menuju alam kubur.  Tampaknya pemberian bekal kubur berupa manusia pada masa lalu memang mungkin saja terjadi.  R.P. Soejono dalam disertasinya juga menyinggung temuan seperti ini dimana posisi individu yang dijadikan bekal kubur dalam kondisi kaki dan tangan terikat ke belakang.  Temuan ini berasal dari di situs Gilimanuk sektor I (Soejono, 2009: 126).  Sebagai pembanding,  pemberian bekal kubur pada masa lalu di daerah Sumba, selain perhiasan, senjata dan emas juga disertakan binatang dan manusia sebagai korban yang disebut sebagai padangangu yang berarti ”mereka yang menjadi si penghantar”.(Adam, 1969:156-168; Soejono, 2009:83).
                             Foto 2 : Cermin Han dengan motif TLV
Tulisan ini tidak bermaksud mendiskusikan budak yang dijadikan bekal kubur tetapi ada kaitannya dengan  bekal kubur yang terakhir disebut yakni cermin perunggu.  Cermin perunggu ditemukan sebanyak dua buah sayangnya hanya satu dalam kondisi cukup baik sedangkan sisanya dalam kondisi fragmentaris.  Cermin ini memiliki diameter 12 cm  dan satu lagi berukuran lebih kecil sekitar 10.8 cm dengan ketebalan 0,4 cm.  Keduanya memiliki dua sisi dimana sisi depan digunakan sebagai cermin oleh karenanya dilapisi dengan perak untuk menghasilkan pantulan yang maksimal.  Sisi belakang cermin diberi hiasan motif simbolik dan pada bagian tengah diberi tonjolan yang berlubang (bulat, persegi) diduga sebagai tempat memasukkan tali pegangan.  Motif hias cermin dari Dinasti Han juga dikenal dengan motif TLV. Motif TLV ini diambil dari bentuk huruf latin yang ditulis secara kapital.  Seluruh huruf ini mengekspresikan hubungan antara bumi dan langit, dan menggambarkan hubungan yang aneh antara kekuatan misterius yang mengontrol dunia dan mengaturnya di dalam keinginan pemilik cermin (sukar dipahami memang).   Seluruh permukaan diberi hiasan mulai dari bagian tengah berupa  dua lingkaran konsentris dan dua persegi empat,  delapan bulatan kecil yang sedikit menonjol, hiasan sulur suluran, lingkaran konsentris, segitiga berderet, dan kembali ditutup dengan lingkaran konsentris lagi (Foto 2). Cermin yang tidak utuh lagi memiliki perbedaan karena dihiasi motif hias burung dan inskripsi panjang yang ditulis melingkar (Foto 3).
                              Foto 3 : Cermin dengan inskripsi Cina yang panjang
Berdasarkan  gaya seni hias pada bagian belakang cermin diduga  cermin tersebut berasal dari masa dinasti Xin (Raja Wang Mang) tahun 8-23 masehi, yang merupakan dinasti yang sangat singkat antara Western Han dan Eastern Han atau pada awal eastern Han (25 masehi). Cermin perunggu seperti yang ditemukan di dalam sarkofagus menurut Hsiao-Chun sejak 2000 tahun lalu sudah umum dibuat tiruannya di Cina Selatan atau Vietnam (Kompyang Gede 2009:127).
Penyertaan cermin sebagai bekal kubur bukan satu-satunya yang pernah ditemukan di Bali.  Penelitian arkeologi tahun 1980an di Situs Semawang, Sanur, Bali Selatan juga pernah ditemukan satu cermin dari Cina meskipun dari periode yang lebih muda yakni dari  Dinasti Song (abad ke-10-11 M).  Cermin perunggu digunakan sebagai bekal kubur pada satu individu yang dikubur tanpa wadah (penguburan langsung ) (Suastika  2000).
Cermin perungu menempati posisi penting di dalam teknologi logam di Cina mengingat adanya kepercayaan bahwa roh-roh jahat itu dapat menyerupai bentuk manusia dan menipu mata manusia, tetapi mereka tidak bisa merubah diri mereka di depan cermin.  Oleh karena itu para master  Tao pada masa lalu ketika mereka memutuskan untuk berhenti dari kehidupan dunia dan menetap di gunung-gunung mereka selalu membawa cermin besar yang diletakan di bagian belakang punggung mereka.  Cermin perunggu pada periode Han dibuat tidak hanya untuk kelompok elite saja melainnya sudah menjadi produk masal dan dipakai secara luas oleh berbagai golongan masyarakat sehingga kualitas cermin menjadi sangat bervariasi mulai dari yang sangat sederhana sampai cermin yang berlapis emas ditemukan kembali.  Cermin perunggu juga biasa ditemukan pada makam-makam kuna di Cina sebagai bekal kubur. Ada kepercayaan di dalam masyarakat Cia kuna jika cermin dijadikan bekal kubur dapat membantu menunjukkan jalan bagi ruh yang meninggal.

Keberadaan cermin dari Dinasti Han sekitar 2000 tahun yang lalu jelas ada kaitannya dengan aspek perdagangan dengan wilayah lain di luar Bali.  Bisa jadi masyarakat pantai utara Bali telah melakukan kontak dengan dunia luar, dan meskipun Bali tidak secara langsung berada di jalur perdagangan laut antara India dan Oce-o (Funan)-Cina, namun beberapa komoditas yang paling dicari seperti kayu cendana, hanya didapat di daerah timur Bali, didistribusikan ke Bali lalu ke Jawa atau Sumatra.  Dari sini barang tersebut di bawa ke India atau Oce-o dan China. Kebutuhan akan rempah-rempah di Nusantara merupakan alasan yang kuat terjadinya kontak perdagangan antara masyarakat lokal dan dunia luar.  Selain kayu cendana, kamper, dan gaharu,  cengkeh diketahui telah dikenal oleh bangsa Cina sejak abad ke-3 SM dan pada saat itu cengkeh hanya ditanam di empat pulau di kepulauan Maluku( Ardika, 2003: 15).   

Tidak ada komentar: