24 Desember 2017

UNIKNYA DWARAPALA DARI ROGOSELO, PEKALONGAN.

Agustijanto Indradjaja
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Salah satu sasaran survei arkeologi di Pekalongan adalah situs Rogoselo yang berada di  Desa Rogoselo, Kecamatan Doro. (07°04’08.8” LS;109°40’12.0” BT).  Situs ini berada di sebuah bukit kecil di tepi Sungai Rogoselo, yang dibuat berundak-undak. Masing masing undak diperkuat dengan susunan batu kali berukuran 10-20 cm.  Pada teras terbawah terdapat satu batu diameter 85 cm.  Pada bagian atas permukaan dibuat lubang  berukuran 28 cm yang memberi kesan selintas seperti sebuah batu dakon. Teras kedua sedikit lebih tinggi dan diberi penguat teras berupa susunan batu, di teras ini ditemukan dua arca dwarapala berukuran besar dan batu-batu tegak (menhir). 
                           Situs Rogoselo yang berada di seberang sungai Rogoselo 
                           yang pada waktu tertentu berarus deras.

Arca dwarapala dibuat dari batuan breksi vukanik sangat kasar.  Arca digambarkan dengan bola mata yang bulat dan besar, gigi sangat besar, bertaring, dan memegang alat (gada) yang diletakan di bagian dada sebelah kanan.  Teknik pengarcaannya, memiliki kemiripan dengan arca dwarapala yang ditemukan pada masa Majapahit (abad ke-13-14 M).  Arca paling besar setinggi 1.4 meter sedangkan satu lainnya memilik tinggi 95 cm dengan sebagian badannya masih tertimbun tanah. Pada teras ketiga (tertinggi) ditemukan  yoni yang berukuran 75 x 75 x 69 cm. 
                                                Arca Dwarapala Rogoselo

Di dalam laporan N.J.Krom tentang situs Rogoselo disebutkan bahwa di samping tinggalan masa Hindu-Buddha  juga ditemukan tiga kubur.  Pada kubur yang paling atas adalah kubur “Kjai Matas Angin” (4.9 x 3 m).  Kubur ini ditandai oleh dua batu tegak yang rata sebagai nisannya.  Sekitar 500 meter dari kubur pertama terdapat kubur “Panggerang Dipan” atau “Gara Manik”, yang kuburnya ditata dengan batu kali.  Sekitar 50 meter dari kubur kedua dikenali oleh masyarakat sebagai “Pangerang Sling Singan.  Satu inskripsi modern terbuat dari batu berhuruf Jawa pertengahan juga ditemukan di tempat ini.  Inskripsi tersebut kini berada di Museum Nasional di Jakarta (nomer inventaris D.24). Inskripsi ini dipertanggalkan sekitar 1571 saka (1659 M).



Keberadaan arca dwarapala di Rogoselo seringkali disalahartikan sebagai arca prasejarah.  Oleh karena itu tampaknya perlu sedikit dijelaskan tentang arca dwarapala pada kesenian Hindu-Buddha di Indonesia.  Istilah dwalapala berasal dari kata sangsakerta dvar yang berarti pintu masuk/ gerbang dan pala artinya penjaga sehingga arti secara keseluruhan adalah penjaga pintu gerbang atau pintu masuk.  Dwarapala dapat digambarkan dalam posisi berdiri, duduk atau jongkok dan mereka diletakan sebagai penjaga pintu bangunan / tempat yang bersifat sakral.  Keberadaan dwarapala di dalam komplek candi terkait dengan pandangan bahwa candi sebagai replika gunung meru, tempat tinggal para dewa, demi-dewa, dan para penjaganya.   Dwarapala adalah pelindung tempat tinggal dewa, posisinya berada di antara wilayah sakral dan profane, atau berada di batas daerah kurang sakral- sakral.

Arca dwarapala biasanya ditemukan pada tempat-tempat sakral Hindu dan Buddha seperti candi, petirtaan atau goa pemujaan,  bisa dipahatkan pada dinding candi atau dibuat dalam wujud arca.  Di Candi Merak, dwarapala dipahatkan pada kedua pipi tangganya.  Di dalam agama Buddha, penggambaran dwarapala bisa berupa mahluk mahluk kedewaan/ khayangan (bisa laki-laki atau wanita) yang ditandai oleh adanya nimbus di bagian belakang tokoh seperti yang ditemukan di Candi  Pawon, atau Plaosan.  Dwarapala juga bisa merupakan tokoh Dhyani boddhisatva seperti yang ditemukan di Candi Mendut dimana pada candi ini, dwarapala diidentifikasi sebagai boddhisatva Samantabhadra dan Sarvaniviskambin. Selain itu bentuk dwarapala lainnya adalah wujud Raksasa seperti yang ditemukan di Candi Sewu. Wujud dwarapala pada bangunan Buddha lainnya adalah tokoh warrior (tentara) seperti pada temuan dwarapalan di candi-candi Padang Lawas. 

Dwarapala pada candi Hindu, memiliki variasi bentuk yang hampir sama dengan dwarapala Buddha.  Oleh karena itu tidaklah bisa mengidentifikasi satu candi apakah bersifat Hindu atau Buddha hanya dari temuan dwarapalanya kecuali pada bentuk sepasang dwarapala Mahakala-Nandiswara yang ditandai oleh atribut gada untuk Mahakala dan trisula untuk Nandiswara.  Di dalam naskah Agni-Purana dan Silpasastra disebutkan bahwa Nandiswara sebagai penjaga tempat pemujaan Siva.  Di dalam kitab Ramayana, menyebutkan Nandiswara sebagai penjaga Gunung Kailasa, tempat tinggal Siva, menjaga gunung dengan trisulanya untuk mengusir Ravana yang menyamar sebagai kera.  Mahakala tidak disebutkan sebagai pasangan Nandiswara tetapi sebagai figur yang independen.  Kemunculan tokoh Mahakala-Nandiswara sebagai penjaga pintu masuk ke dalam candi di Jawa baru sekitar abad ke-8 M.  Tokoh lain yang ditemukan memiliki fungsi seperti dwarapala pada agama Hindu di Jawa adalah tokoh yang dikenal di dalam dunia pewayangan sebagai Bima.  Tokoh Bima sebagai penjaga pintu masuk biasanya mulai digunakan pada sekitar abad ke 14-15 M seperti yang ditemukan pada arca Bima di Candi Sukuh dan Penanggungan.


Kembali pada dwarapala dari Rogoselo, keunikan yang ditemukan pada arca ini adalah arca dwarapala tidak ditempatkan untuk menjaga candi atau petirtaan atau tempat bangunan suci yang biasa dikenal di dalam agama Hindu-Buddha.  Sebaiknya, arca ini ditempatkan di sana untuk menjaga sebuah punden berundak. Kondisi ini jelas belum ditemukan di tempat lain karena biasanya punden berundak digunakan untuk sarana pemujaan pada masa prasejarah atau setidaknya merupakan tradisi berlanjut pemujaan nenek moyang.  Di bagian puncak punden berundak ini tidak ditemukan menhir tetapi sebuah yoni.  Jelas bahwa punden berundak ini telah digunakan oleh para penganut Hindu di Pekalongan sebagai tempat pemujaan.  Penjelasan paling sederhana terhadap fenomena ini adalah kemungkinan pada masa lalu, masyarakat Hindu kuna  mempersepsikan punden berundak sebagai sebuah gunung yang merupakan rumah para dewa sehingga pada bagian bawah diletakan dua arca dwrapala sebagai arca penjaga gunung suci dan bagian paling atas diberi lingga-yoni sebagai personifikasi dewa tertinggi Siva.  Menarik juga jika membayangkan  bagaimana masyarakat masa lalu “memodifikasi” sesuatu yang datang dari luar (Hindu-Buddha) menjadi sesuai dengan budaya mereka saat itu.

Tidak ada komentar: