Agustijanto Indradjaja
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Salah satu sasaran survei
arkeologi di Pekalongan adalah situs Rogoselo yang berada di Desa Rogoselo, Kecamatan Doro. (07°04’08.8” LS;109°40’12.0”
BT). Situs ini berada di sebuah bukit
kecil di tepi Sungai Rogoselo, yang dibuat berundak-undak. Masing masing undak
diperkuat dengan susunan batu kali berukuran 10-20 cm. Pada teras terbawah terdapat satu batu
diameter 85 cm. Pada bagian atas
permukaan dibuat lubang berukuran 28 cm
yang memberi kesan selintas seperti sebuah batu dakon. Teras kedua sedikit
lebih tinggi dan diberi penguat teras berupa susunan batu, di teras ini
ditemukan dua arca dwarapala berukuran besar dan batu-batu tegak (menhir).
Situs Rogoselo yang berada di seberang sungai Rogoselo
yang pada waktu tertentu berarus deras.
Arca dwarapala dibuat
dari batuan breksi vukanik sangat kasar. Arca digambarkan dengan bola mata yang bulat
dan besar, gigi sangat besar, bertaring, dan memegang alat (gada) yang
diletakan di bagian dada sebelah kanan. Teknik
pengarcaannya, memiliki kemiripan dengan arca dwarapala yang ditemukan pada
masa Majapahit (abad ke-13-14 M). Arca
paling besar setinggi 1.4 meter sedangkan satu lainnya memilik tinggi 95 cm
dengan sebagian badannya masih tertimbun tanah. Pada teras ketiga (tertinggi)
ditemukan yoni yang berukuran 75 x 75 x
69 cm.
Arca Dwarapala Rogoselo
Di
dalam laporan N.J.Krom tentang situs Rogoselo disebutkan bahwa di samping
tinggalan masa Hindu-Buddha juga
ditemukan tiga kubur. Pada kubur yang
paling atas adalah kubur “Kjai Matas Angin” (4.9 x 3 m). Kubur ini ditandai oleh dua batu tegak yang
rata sebagai nisannya. Sekitar 500 meter
dari kubur pertama terdapat kubur “Panggerang Dipan” atau “Gara Manik”, yang
kuburnya ditata dengan batu kali.
Sekitar 50 meter dari kubur kedua dikenali oleh masyarakat sebagai
“Pangerang Sling Singan. Satu inskripsi
modern terbuat dari batu berhuruf Jawa pertengahan juga ditemukan di tempat
ini. Inskripsi tersebut kini berada di
Museum Nasional di Jakarta (nomer inventaris D.24). Inskripsi ini
dipertanggalkan sekitar 1571 saka (1659 M).
Keberadaan arca
dwarapala di Rogoselo seringkali disalahartikan sebagai arca prasejarah. Oleh karena itu tampaknya perlu sedikit
dijelaskan tentang arca dwarapala pada kesenian Hindu-Buddha di Indonesia. Istilah dwalapala berasal dari kata sangsakerta
dvar yang berarti pintu masuk/
gerbang dan pala artinya penjaga
sehingga arti secara keseluruhan adalah penjaga pintu gerbang atau pintu
masuk. Dwarapala dapat digambarkan dalam
posisi berdiri, duduk atau jongkok dan mereka diletakan sebagai penjaga pintu
bangunan / tempat yang bersifat sakral.
Keberadaan dwarapala di dalam komplek candi terkait dengan pandangan
bahwa candi sebagai replika gunung meru, tempat tinggal para dewa, demi-dewa,
dan para penjaganya. Dwarapala adalah pelindung tempat tinggal
dewa, posisinya berada di antara wilayah sakral dan profane, atau berada di
batas daerah kurang sakral- sakral.
Arca dwarapala biasanya
ditemukan pada tempat-tempat sakral Hindu dan Buddha seperti candi, petirtaan
atau goa pemujaan, bisa dipahatkan pada
dinding candi atau dibuat dalam wujud arca. Di Candi Merak, dwarapala dipahatkan pada
kedua pipi tangganya. Di dalam agama
Buddha, penggambaran dwarapala bisa berupa mahluk mahluk kedewaan/ khayangan
(bisa laki-laki atau wanita) yang ditandai oleh adanya nimbus di bagian
belakang tokoh seperti yang ditemukan di Candi Pawon, atau Plaosan. Dwarapala juga bisa merupakan tokoh Dhyani
boddhisatva seperti yang ditemukan di Candi Mendut dimana pada candi ini,
dwarapala diidentifikasi sebagai boddhisatva Samantabhadra dan
Sarvaniviskambin. Selain itu bentuk dwarapala lainnya adalah wujud Raksasa
seperti yang ditemukan di Candi Sewu. Wujud dwarapala pada bangunan Buddha
lainnya adalah tokoh warrior
(tentara) seperti pada temuan dwarapalan di candi-candi Padang Lawas.
Dwarapala pada candi
Hindu, memiliki variasi bentuk yang hampir sama dengan dwarapala Buddha. Oleh karena itu tidaklah bisa
mengidentifikasi satu candi apakah bersifat Hindu atau Buddha hanya dari temuan
dwarapalanya kecuali pada bentuk sepasang dwarapala Mahakala-Nandiswara yang
ditandai oleh atribut gada untuk Mahakala dan trisula untuk Nandiswara. Di dalam naskah Agni-Purana dan Silpasastra
disebutkan bahwa Nandiswara sebagai penjaga tempat pemujaan Siva. Di dalam kitab Ramayana, menyebutkan
Nandiswara sebagai penjaga Gunung Kailasa, tempat tinggal Siva, menjaga gunung
dengan trisulanya untuk mengusir Ravana yang menyamar sebagai kera. Mahakala tidak disebutkan sebagai pasangan
Nandiswara tetapi sebagai figur yang independen. Kemunculan tokoh Mahakala-Nandiswara sebagai
penjaga pintu masuk ke dalam candi di Jawa baru sekitar abad ke-8 M. Tokoh lain yang ditemukan memiliki fungsi
seperti dwarapala pada agama Hindu di Jawa adalah tokoh yang dikenal di dalam
dunia pewayangan sebagai Bima. Tokoh
Bima sebagai penjaga pintu masuk biasanya mulai digunakan pada sekitar abad ke
14-15 M seperti yang ditemukan pada arca Bima di Candi Sukuh dan Penanggungan.
Kembali pada dwarapala
dari Rogoselo, keunikan yang ditemukan pada arca ini adalah arca dwarapala
tidak ditempatkan untuk menjaga candi atau petirtaan atau tempat bangunan suci
yang biasa dikenal di dalam agama Hindu-Buddha.
Sebaiknya, arca ini ditempatkan di sana untuk menjaga sebuah punden
berundak. Kondisi ini jelas belum ditemukan di tempat lain karena biasanya
punden berundak digunakan untuk sarana pemujaan pada masa prasejarah atau
setidaknya merupakan tradisi berlanjut pemujaan nenek moyang. Di bagian puncak punden berundak ini tidak
ditemukan menhir tetapi sebuah yoni.
Jelas bahwa punden berundak ini telah digunakan oleh para penganut Hindu
di Pekalongan sebagai tempat pemujaan. Penjelasan
paling sederhana terhadap fenomena ini adalah kemungkinan pada masa lalu,
masyarakat Hindu kuna mempersepsikan punden
berundak sebagai sebuah gunung yang merupakan rumah para dewa sehingga pada
bagian bawah diletakan dua arca dwrapala sebagai arca penjaga gunung suci dan
bagian paling atas diberi lingga-yoni sebagai personifikasi dewa tertinggi Siva.
Menarik juga jika membayangkan bagaimana masyarakat masa lalu “memodifikasi”
sesuatu yang datang dari luar (Hindu-Buddha) menjadi sesuai dengan budaya
mereka saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar