28 Mei 2017

Pemetaan Kawasan Situs Batujaya Berbasis Fotogrametri

                                         Foto 1: Candi Blandongan, Batujaya

           “…JIka kamu mencari lokasi…akulah yang kamu cari…aku peta..aku peta..” jingle lagu ini dahulu pernah akrab di telinga kita dinyanyikan oleh artis cilik Dora The Explorer…Ya..Peta  adalah sesuatu yang sangat penting di dalam kehidupan kita.   Coba Tanya bang Gojek klo tak percaya karena mereka di dalam bekerja pasti memanfaatkan aplikasi peta seperti  google map, waze atau sejenisnya.  Selembar peta pada dasarnya adalah gambaran rupa bumi yang dibuat dalam bidang datar dengan menggunakan skala.  Tentunya jika itu peta arkeologi maka didalamnya informasinya terkait dengan situs arkeologi.  Di dalam setiap kegiatan penelitian apalagi menyangkut posisi suatu situs atau hubungan situs dengan lingkungan atau dengan situs lainnya pastilah memerlukan peta untuk menjawabnya.  Namun membuat peta arkeologi terutama untuk situs yang beskala besar dalam bentang alam tertentu memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sebentar.  Dalam perkembangannya, salah satu metode pembuatan peta  termasuk peta arkeologi adalah dengan menggunakan metode fotogrametri.     
            Teknik pemetaan fotogrametri adalah suatu teknik pemetaan dan pengukuran yang dilakukan tidak secara langsung melainkan dengan menggunakan foto udara sebagai media perantara. Teknik ini sudah lama digunakan dalam berbagai keperluan termasuk untuk pembutan peta dasar skala besar. Teknik ini diakui sebagai suatu teknik pemetaan yang cepat, dibandingkan dengan teknik lainnya serta dapat memberikan hasil yang baik.
        Nilai tambah lainnya dari teknik pemetaan cara fotogrametri yaitu, peta yang dihasilkan memberikan gambaran informasi permukaan tanah dan objek-objek diatasnya secara utuh. Para perencana akan dengan mudah dan leluasa melakukan perencanaan, interpretasi, dan pemahaman kondisi lapangan, bukan saja bentuk topografi tetapi juga objek-objek yang ada diatas permukaan bumi, baik objek alami (seperti tanaman, kondisi sungai) tetapi juga objek buatan manusia (seperti pemukiman dan jalan.   Kendala dalam teknik ini adalah memetakan objek-objek tertutup bayangan objek tinggi, seperti gedung dan  pohon, yang menghalangi penglihatan pada foto udara. Untuk mengatasi hal tersebut proses pemetaan fotogrametri akan diikuti dengan kegiatan lapangan, berupa pengukuran dan identifikasi lapangan.
            Teknik fotogrametri ini jugalah yang diterapkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB melakukan kegiatan pembuatan peta untuk situs Batujaya, Karawang, Jawa Barat.  Sekedar informasi, Pusat Penelitian telah berhasil mengidentifikasi sekitar 44 situs arkeologi di lahan berukuran 2 x 2.5 km persegi.  Sebagian besar berada di areal pertanian sedangkan sisanya berada di lingkungan permukiman. 
             Metode pembuatan peta Batujaya diawali dengan pemotretan terhadap objek dari beberapa sudut dan dari udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak maupun dari darat (terrestrial). Foto-foto yang diambil kemudian diproses dengan menggunakan Teknik Fotogrametri untuk menghasilkan model dense point cloud untuk merepresentasikan relief yang lebih rumit. Sedangkan foto yang diambil dari udara (citra foto udara dari drone (wahana tanpa awak)), digunakan untuk membentuk Digital Surface Model (DSM) dan peta orthofoto dari kompleks candi. Model 3D dari setiap objek candi dengan dua tingkat kedetilan yang lebih sederhana dihasilkan dari kombinasi foto udara dan foto terrestrial.  Hasil dari kedua teknik ini kemudian akan diintegrasikan dalam suatu sistem koordinat yang sama untuk menghasilkan sebuah model virtual dari kompleks Candi Batujaya yang tidak hanya sesuai secara visual, namun juga akurat dan presisi secara geometri. Data permukaan tersebut akan ditambah dengan data bawah tanah dari sensor radar bawah tanah. Hasil dari penelitian ini kemudian dapat digunakan sebagai dokumentasi 3D ataupun sebagai model dengan basis data spasial yang dapat digunakan untuk membantu eksvakasi, rekonstruksi maupun revitalisasi objek di masa mendatang.
 Secara garis besar tahapan-tahapan pekerjaan yang akan dilakukan untuk pelaksanaan pekerjaan ini adalah sebagai berikut : (1) Persiapan, termasuk didalamnya adalah kalibrasi kamera dan pembuatan rencana terbang di jalur yang akan dipetakan, (2)Pemotretan Udara, (3) Kompilasi Foto dan Mosaicking, (4) Penentuan Photo Point di atas mosaic Foto, (5) Pengukuran Kontrol Horisontal dan Vertikal dengan GPS, (6) Penentuan Titik Sekawan secara otomatis dengan menggunakan prinsip image matching, (7) Triangulasi Udara, dengan input adalah koordinat foto dari titik-titik sekawan dan koordinat GPS dari Photo Point sebagai Ground Control, (8) Pembuatan Model Permukaan Digital/ DSM (Digital Surface Model), (9) Proses Orthophoto,  (10) Pembuatan Kontur, dan (11) Kartografi atau proses penggambaran final peta. Ada satu tahap lagi sebagai tambahan, yaitu (12) Overlay data dengan data blok hasil eksvakasi arkeologi.

Tahap persiapan meliputi
Persiapan sistem pesawat berupa instalasi pesawat, instalasi sistem telemetri, auto pilot dan GPS.  Selain instalasi sistem pesawat dilakukan juga perencanaan jalur terbang. Kamera yang digunakan adalah Canon Powershot S100, dengan rencana tinggi terbang 350 meter diatas permukaan tanah sehingga akan menghasilkan resolusi sebesar 13 cm, dan cakupan exposure per foto sebesar 520 x 390 meter. Dalam pemotretan ini di rencanakan sidelap sebesar 50 % dan overlap sebesar 70 % sehingga jarak antar jalur terbang yang digunakan sebesar 260 meter. maka intervalometer harus diset 3 detik (exposure interval time) dan jarak antar jalur penerbangan 260 meter. Gambar 1dan Gambar 2  memberikan ilustrasi overlap dan sidelap dalam satu dan 2 jalur terbang.
                             Gambar 1: Teknik pemotretan

Pelaksanaan
Pemotretan udara dilakukan pada lokasi, sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Wahana udara yang digunakan adalah pesawat tanpa awak (UAV) dengan material EPO-Foam yang dilengkapi dengan sistem robotik autopilot.  Foto di bawah ini memperlihatkan kegiatan pemotretan udara yang dimulai dengan melakukan take off pesawat tanpa awak dengan cara dilempar. Pilot akan memandu pesawat sampai ketinggian yang direncanakan secara manual menggunakan radio kontrol. Setelah itu, pilot akan mengubah mode penerbangan menjadi auto-pilot dan switch shutter kamera diaktifkan. Pesawat terbang secara otomasi dengan panduan waypoint yang sudah di”injeksi”kan pada sistem. Selama penerbangan dan pemotretan otomatis, pilot dan navigator mengawasi pergerakan pesawat melalui layar komputer yang sudah terhubungkan dengan sistem tracking jarak jauh.
Add caption

                                         Foto 2 :  Pemotretan dengan drone

Penentuan PhotoPoint dan Pengukuran GPS
Ground Control Point (GCP) adalah titik yang digunakan sebagai titik kontrol. Jumlah titik kontrol disesuaikan dengan kebutuhan untuk pemrosesan foto secara fotogrametris pada AOI . Pengukuran GCP dilakukan dengan menggunakan alat GPS . Ketelitian posisi yang diperoleh pada level 10 centimeter. Titik kontrol tanah (GCP) didesain dengan jumlah dan penyebaran sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan Triangulasi Udara. Pemilihan lokasi GCP dilakukan dengan menggunakan hasil pemotretan. Dengan mengacu lokasi yang telah dipilih, maka tim survey GPS akan menuju ke detil yang telah ditentukan dengan membawa alat GPS teliti.
                           Foto 3 : Pembuatan Ground Control Point
Pengolahan Data
            Dalam pemrosesan, tetap menerapkan prinsip fotogrametri, artinya tidak hanya dengan cara stiching gambar manual yang umum digunakan untuk foto udara dari wahana terbang tanpa awak. Stiched foto dengan cara manual tersebut biasanya secara visual menyenangkan tapi mengandung distorsi, yaitu tidak cocok untuk daerah dengan variasi topografi tinggi atau untuk pengukuran jarak. Pemrosesan yang digunakan dalam sistem ini menggunakan konsep rektifikasi gambar ke orthomosaics, yang bebas dari distorsi terutama di daerah dengan variasi ketinggian cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan karena software yang digunakan menghitung model elevasi dalam proses perbaikan.  Ortorektifikasi menciptakan orthophotos akurasi yang sangat tinggi dan orthomosaics, yang dapat digunakan dalam pekerjaan seperti pemetaan topografi. Software pemetaan yang biasa digunakan antara lain adalah Agisoft, PCI maupun Erdas Imagine.
            Pada pekerjaan ini proses pengolahan data foto meliputi, automatic tie point generation dan automatic image alignment, pembuatan ortofoto, dan pembuatan mosaik.
c.         Pembuatan Mosaik
            Setelah itu dilakukan proses orthorectifikasi dan mosaic sehingga diperoleh hasil mosaik yang sudah ortogonal dari daerah yang dipetakan. 

                                        Foto 4 : Pembuatan mosaik peta

Sistem Grid dengan mengacu ke Indeks Peta Nasional
            Menurut PP 10 Tahun 2000 disebutkan bahwa peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.
Salah satu peta yang dihasilkan oleh BAKOSURTANAL adalah Peta Rupabumi Indonesia (RBI). Peta RBI yang dihasilkan oleh BAKOSURTANALmeliputi skala 1:1.000.000, 1:250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000 dan 1:10.000 dimana seluruh wilayah Indonesia dibagi ke dalam grid-grid ukuran peta yang sistematis.
          Semua lembar peta tepat antara satu dengan lainnya, demikian pula ukurannya sama untuk setiap lembar. Ukuran lembar peta tergantung dari skala peta yang dibuat. Ukuran lembar Peta Rupabumi Indonesia mengacu pada sistem grid UTM

Sistem Grid Lokal
           Selain membuat satu sistem penomoran yang bersifat nasional, sistem penomoran lokal, yang biasa dilakukan sebelumnya, akan tetap dibuat untuk mengakomodir kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Berikut ini adalah hasil dari grid yang dibuat setiap jarak 100 m di lapangan. Kemudian dibuat grid yang lebih teliti dengan jarak setiap 2.5 meter di lapangan.  
                                            Foto 5 : Pembuatan grid kotak ekskavasi 

        
      Setelah peta selesai dibuat maka ada satu tahap kerja lagi yakni pembuatan sistem informasi berbasis web.  Dengan sistem infomasi ini maka seluruh informasi hasil ekskavasi (catatan harian, stratigrafi, foto, dsb) dapat disimpan di dalam database yang bisa dipadukan dengan peta.    
Foto 6 : Semua informasi ekskavasi (catatan harian, foto, stratigrafi, dll) bisa disimpan di dalam kotak ekskavasi seperti contoh di atas

Tidak ada komentar: