30 Agustus 2010
Patung Korwar : Media Penghubung dengan Arwah Leluhur
Aspek religi merupakan bagian yang unik dalam kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah, kebutuhan manusia terhadap “zat yang adikodrati” telah muncul sebagai respon terhadap keterbatasan yang ada dalam dirinya. Hal ini tercermin dari beberapa tinggalan arkeologis yang diduga telah digunakan sebagai benda-benda upacara ritual seperti menhir dan punden berundak.
Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang asal-usul timbulnya religi seperti teori animis yang menyebutkan bahwa munculnya religi berasal dari fetisisme, pemujaan pada benda-benda mati dan binatang lalu berkembang menjadi politeisme dan akhirnya monoteisme. Max Muller yang mengemukakan aliran mitos alam menyebutkan bahwa dewa-dewa kuna dan dewa dewa yang dipuja dimana saja dan sepanjang masa adalah tidak lebih dari fenomena alam yang dimanusiakan (E.E.Evans, 1984) Berbeda dengan teori di atas, maka teori fungsional memandang bahwa asal-ususl religi dikarenakan faktor-faktor keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi kondisi alam yang keras. Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan referensi transendental yang berada di luar dunia empiris. Dengan demikian, kehadiran agama/ religi lebih karena kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri atas karakter manusia itu sendiri (Thomas F.,1992).
16 Agustus 2010
EKSPEDISI MAHAKAM 6
Perjalanan dilanjutkan ke Kecamatan Kota Bangun, Kapal kami perlu singgah di Kota Bangun guna mempersiapkan perbekalan kami untuk perjalanan selanjutnya, dan tepat di Kota Bangun kami mendengar kabar akan digelarnya upacara adat Dayak Kenyah di Long Anai, Kecamatan Loa Kulu. Tentu kami tidak ingin kehilangan kesempatan mendokumentasikan kegiatan tersebut tetapi kami juga harus merekam potensi sumberdaya alam, tradisi dan arkeologi di Kota Bangun untuk itu tim harus di bagi dua, satu tim berangkat ke Long Anai dengan kendaraan roda empat sedangkan sisanya melakukan pendokumentasian di Kota Bangun. Paling sedikit kami harus tinggal di Kota Bangun selama 3 hari sambil menunggu rekan rekan yang bertugas ke Long Anai. Ada beberapa catatan yang kami buat di Kota Bangun antara lain keberadaan situs Tanjung Urigin yang dipercaya tempat berdirinya kerajaan Sri Bangun di daerah ini,daerah Rajak yang diduga sebagai permukiman kuna dan perkampungan kedang Ipil yang diduga sebagai pelarian bagi orang orang Kutai yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam pada masa lalu. Berikut catatan kami tentang situs Tanjung Urigin.
Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah dijawab. Untuk menyusurinya, biasanya asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di daerah tersebut. Menurut tradisi lisan, asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga di sebut menandai daerah ini sebagai tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
Secara topografi daerah ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk dijadikan ancer-ancer bagi siapapun yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun sebaliknya karena di daerah ini terdapat sebuah bukit yang bernama Tanjung Uringin yang posisinya tepat berada di meander Sungai Mahakam.
Dari cerita ini tampak bahwa daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kertanaraga yang berdasarkan Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dalam salsilah tersebut juga disinggung sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun. Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-14 karena bukti arkeologi berbicara lain. Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah temuan arca Buddha dari Kota Bangun pada awal tahun 1846. Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie. Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antar Muara muntai dan Kota bangun (Anwar Soetoen,57: 1979). Arca digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra. Tangan kiri memegang wadah kecil. Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan usnisa. Arca mengenakan pakaian sampai ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka. Salah satu bagian yang menarik adalah adanya membran(jaring) di antara jari-jari tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959). Temuan dari masa klasik (Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca nandi yang terbuat dari batu andesit. Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin.
Pada masa Islam, daerah Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya ibukota kerajaan Kota Bangun dengan rajanya bernama Patih Bangun. Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Anggapan ini didukung oleh temuan pending emas di daerah ini. Selain itu, temuan penting lainnya di Tanjung Urigin adalah benteng dan parit tanah di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai benteng Awang long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Benteng tanah yang ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian 1.5- 2 meter dari parit. Namun tentunya dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur. Dan parit yang berada di depan benteng tanah harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Hal ini didasarkan pada temuan beberapa parit tanah di daerah Lampung yang diketahui memiliki benteng tanah dan parit sedalam 3-4 meter sehingga untuk melalui parit ini diperlukan sebuah jembatan yang dapat dipasang dan dilepaskan. Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun dibuat dengan pola linier. Namun pola linier pada benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur. Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah sampai rawa sisi barat dan timur maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari serangan musuh. Benteng tanah dengan parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan terus ke arah utara. Pada saat mencapai sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.
Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah dijawab. Untuk menyusurinya, biasanya asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di daerah tersebut. Menurut tradisi lisan, asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga di sebut menandai daerah ini sebagai tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
Secara topografi daerah ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk dijadikan ancer-ancer bagi siapapun yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun sebaliknya karena di daerah ini terdapat sebuah bukit yang bernama Tanjung Uringin yang posisinya tepat berada di meander Sungai Mahakam.
Dari cerita ini tampak bahwa daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kertanaraga yang berdasarkan Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dalam salsilah tersebut juga disinggung sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun. Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-14 karena bukti arkeologi berbicara lain. Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah temuan arca Buddha dari Kota Bangun pada awal tahun 1846. Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie. Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antar Muara muntai dan Kota bangun (Anwar Soetoen,57: 1979). Arca digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra. Tangan kiri memegang wadah kecil. Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan usnisa. Arca mengenakan pakaian sampai ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka. Salah satu bagian yang menarik adalah adanya membran(jaring) di antara jari-jari tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959). Temuan dari masa klasik (Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca nandi yang terbuat dari batu andesit. Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin.
Pada masa Islam, daerah Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya ibukota kerajaan Kota Bangun dengan rajanya bernama Patih Bangun. Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Anggapan ini didukung oleh temuan pending emas di daerah ini. Selain itu, temuan penting lainnya di Tanjung Urigin adalah benteng dan parit tanah di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai benteng Awang long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Benteng tanah yang ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian 1.5- 2 meter dari parit. Namun tentunya dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur. Dan parit yang berada di depan benteng tanah harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Hal ini didasarkan pada temuan beberapa parit tanah di daerah Lampung yang diketahui memiliki benteng tanah dan parit sedalam 3-4 meter sehingga untuk melalui parit ini diperlukan sebuah jembatan yang dapat dipasang dan dilepaskan. Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun dibuat dengan pola linier. Namun pola linier pada benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur. Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah sampai rawa sisi barat dan timur maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari serangan musuh. Benteng tanah dengan parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan terus ke arah utara. Pada saat mencapai sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.
PEMUKIMAN KUNA DI SITUS KOTA BANGUN, KUTAI KARTANEGARA
Oleh
Agustijanto I.[1]
Abstract
Archaeological
research in the area of the Mahakam river upstream flow is very limited so far,
although traces of Hindu-Buddhist civilization traces were also found in this
area. Call it the Buddha statue made of gold, which is now stored at the Museum
of Kutai Kartanegara known from Tabang, an area that is located farthest north
of the regency. One of the archaeological
research has been conducted in the upstream region is the site of Tanjung
Urigin located in the subdistrict
of Kota Bangun . Research
at this site provides new data about the development of ancient settlements in
the area of the Mahakam river upstream of where in the context of settlement
hierarchy, the emergence of a settlement are usually supported by the existence
of a larger group of settlements that have been there first. This
research uses inductive reasoning that starts from the specific observations
and then processed in a generalization. Collection of data were conducted survey and excavation at the site Tanjung Urigin.
Thus, this paper aims to find out more about the aspects of settlement in the
region especially in Tanjung Urigin site.
Abstrak
Penelitian arkeologi di daerah hulu aliran sungai Mahakam sejauh ini
masih sangat terbatas, padahal jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha juga
ditemukan di areal ini. Sebut saja arca
Buddha yang terbuat dari emas yang kini tersimpan di Museum Kutai Kartanegara
diketahui berasal dari Tabang, sebuah
kawasan yang terletak paling utara dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satu penelitian arkeologi yang telah
dilaksanakan di kawasan hulu adalah di situs Tanjung Urigin yang terletak di
wilayah Kecamatan Kota Bangun.
Penelitian di situs ini memberikan data baru tentang perkembangan
permukiman kuna di daerah hulu sungai Mahakam dimana dalam konteks permukiman
berjenjang, munculnya sebuah permukiman biasanya didukung oleh keberadaan
kelompok permukiman yang lebih besar yang telah ada terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan penalaran
induktif yang dimulai dari pengamatan khusus yang kemudian diproses dalam suatu
generalisasi. Penggumpulan data
dilakukan melakukan survei dan ekskavasi di situs Tanjung Urigin. Dengan
demikian tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek
permukiman di wilayah Kota Bangun terutama di situs Tanjung Uringin.
Kata Kunci : Permukiman kuna, situs Tanjung Urigin,
Kota Bangun
I. 1 PENDAHULUAN
Penelitian arkeologi di sepanjang DAS Mahakam sejauh ini masih tergolong jarang
dilakukan. Sejauh ini penelitian di
kawasan DAS ini masih terfokus pada situs Muara Kaman tempat temuan sejumlah
prasasti Yupa yang menunjukkan adanya eksistensi Mulawarman pada sekitar abad
ke-5 M. [2] Padahal
selain situs Muara Kaman, masih terdapat sejumlah lokasi lainnya yang juga
cukup menarik untuk diteliti lebih jauh.
Salah satunya adalah situs Tanjung Urigin yang berada di Desa Kota
Bangun Ulu Kecamatan Kota Bangun
Situs Tanjung Urigina dalah
tempat arca Nandi ditemukan. Selain arca Nandi, di bagian utara situs ini
ditemukan juga parit tanah yang dipercaya sebagai parit pertahanan Awang Long.[3] dan
makam-makam kuna yang nisannya memiliki corak bergaya Aceh. Selain itu, di sekitar situs Tanjung Urigin
juga pernah dilaporkan adanya temuan arca Buddha bergaya Gandhara dan sebuah
pending emas. Saat ini di situs Tanjung
Urigin selain digunakan sebagai areal permukiman juga telah berdiri sebuah sekolah
dasar, sekolah kejuruan dan areal pemakaman.
Langganan:
Postingan (Atom)