Tinggalan arkeologi di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya Kecamatan Pedes, Karawang pertama kali disinggung sekitar tahun 60an. Ketika itu, Sutayasa dalam laporannya yang menyangkut tembikar dari komplek Buni menyebutkannya adanya temuan fragmen tembikar dan kerangka manusia. Di antara kerangka manusia tersebut terdapat fragmen logam (pisau)(Sutayasa,1969: 33). Namun sayangnya berita dari temuan masyarakat di daerah Kobak Kendal ini tidak dilanjutkan dengan kegiatan penelitian arkeologi yang intensif sehingga potensi tinggalan arkeologi di daerah tersebut tidak dapat diketahui secara jelas.
Dusun Kobak Kendal kembali menarik perhatian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional setelah pada awal tahun 2007, sejumlah pemberitaan baik melalui surat kabar maupun media televisi yang menyebutkan adanya temuan benda purbakala khususnya yang terbuat dari emas di daerah ini. Lokasi yang dimaksud berada di areal persawahan yang berada di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dari pasar Rengasdengklok mengambil arah Kecamatan Pedes sekitar 10 Km.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan awal antara lain; Areal penggalian yang dilakukan merupakan sebuah komplek kubur dari periode prasejarah akhir atau awal masehi. Periode ini lebih dikenal dengan istilah masa protosejarah, yakni masa dimana masyarakat lokal belum mengenal tulisan tetapi daerah ini telah dikenal, didatangi dan dicatat oleh masyarakat internasional serta telah terjadi kontak yang cukup intensif dengan mereka. Kitab Arthasastra dan Sanka Jataka yang diperkirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebut nama Suvarnabhumi. Kitab Maha Nidesa yang juga berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebutkan nama tempat seperti Java dan Suvarnabhumi.
Pada masa prasejarah sampai protosejarah, masyarakat Pedes kuna merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang mengusung budaya komplek tembikar Buni yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang menghasilkan tembikar dengan pola hias khas Buni, yang hidup di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari daerah Banten sampai Cirebon. Hal ini didasarkan pada temuan sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan sejumlah bekal kubur di antaranya yang paling umum adalah wadah tembikar. Wadah tembikar yang paling dominan adalah bentuk wadah berupa periuk kecil (kendil) berdiameter antara 10-15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk. Wadah-wadah tembikar ini menurut inform
asi ada yang berisi manik-manik. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari kerangka. Selain wadah tembikar, biasanya dibekali pula dengan senjata tajam berupa parang, pisau atau tombak. Yang menarik bagi sebagian kerangka diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata dan gelang . Kalung terbuat dari manik-manik emas dan manik-manik kaca. Hal ini menandakan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung Tembikar Buni.
Temuan berupa bandul jala, Kapak batu, dan tatap pelandas memberi informasi bahwa masyarakat tembikar Buni bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka juga telah mengenal bercocok tanam dan sebagian telah memiliki keahlian membuat wadah-wadah tembikar dengan teknologi tatap pelandas. Selain itu mereka telah memiliki keahlian membuat alat-alat logam dan manik-manik. Pembuatan.
Adanya kontak-kontak dengan dunia luar pada masa protosejarah (mungkin sejak masa prasejarah) diketahui dari sejumlah tinggalan manik-manik. Di Asia Tenggara, perdagangan manik-manik tertua mulai sekitar 400 SM dan Arikamedu telah dikenal sebagai pusat produksi manik-manik yang diekspor ke Asia Tenggara. Arikamedu sebagai pusat penghasil manik-manik ini berlangsung sampai abad ke-3 M, kemudian pusat-pusat produksi tersebut berpindah ke Asia Tenggara seperti Klong Thom (Thailand Selatan) dan Oc-eo (Viernam) dan Mantai (Srilangka).
Selain manik-manik kaca, bahan kaca, manik batu karnelian, Tembikar kasar India juga termasuk temuan yang cukup penting. Tembikar-tembikar ini dibawa oleh para pendatang sebagai alat keperluan sehari-hari dan tidak diperdagangan. Tembikar-tembikar kasar India (Arikamedu) telah diperoduksi sekitar akhir abad ke-1 sebelum masehi sampai awal abad ke 1 Masehi atau abad ke 2 M.
Adanya jalur perdagangan India - Asia Tenggara termasuk Nusantara didukung oleh catatan Clodius Ptolomeaus dari abad ke-2-3 Masehi yang membuat peta perjalanan dengan menyebut beberapa tempat di Indonesia terutama di dejat Selat Sunda Sebenarnya jalur perdagangan India- Asia Tenggara merupakan jalur pengembangan dari jalur Mediterania – India. Jalur perdagangan ini menghubungkan sejumlah situs-situs dari masa protosejarah sampai masa sejarah. Terdapat sejumlah situs-situs protosejarah di Indonesia antara lain situs Kota Kapur, Air Sugihan, Karangagung (Palembang), Batujaya, Cibuaya (Jawa Barat) , Sembiran (Bali), dan Takalar (Sulawesi Selatan).
Dari kontak-kontak yang cukup intensif inilah terjadi akulturasi kebudayaan antara masyarakat pendatang (India) dan masyarakat lokal (masyarakat pendukung tembikar buni) yakni diterimanya kebudayaan India ke dalam kebudayaan lokal. Agama
Hindu dan Budha tampak tumbuh dan berkembang di masyarakat yang telah memiliki tingkat budaya yang cukup tinggi (Komplek Tembikar Buni). Hal ini ditandai dengan kehadiran tujuh bangunan bata (candi) di daerah Cibuaya. Temuan tiga arca Wisnu berbahan batu hitam merupakan arca-arca yang dibawa langsung dari India karena bahan batu seperti itu hanya ditemukan di India. Berdasarkan ikonografinya arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-7/8 masehi (Ferdinandus,2002: 8). Bangunan-bangunan suci (stupa ) untuk umat Budha hadir sebagai sebuah komplek pemujaan yang cukup lengkap dan luas di daerah Batujaya.
Kontak budaya tersebut selain memberi dampak diterimanya agama Hindu dan Budha pada akhirnya sebuah institusi kerajaan bersifat Hinduistik juga muncul di Jawa Barat pada sekitar abad ke-5-7 Masehi dengan rajanya yang terkenal bernama Purnawarman.
Pada masa yang lebih kemudian, masyarakat pendukung tembikar Buni pun telah melakukan kontak dengan Cina namun dalam kadar yang sangat terbatas. Hal ini didasarkan pada temuan keramik China yang sangat jarang. Yang menarik adalah mengapa para pedagang Cina pada masa awal-awal sejarah tidak melakukan kontak dagang di daerah Jawa Barat ? Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan situs-situs dari masa Sriwijaya seperti situs Kota Kapur dan Air Sugihan, dimana di situs-situs tersebut fragmen keramik Cina cukup dominan ditemukan. Satu-satunya berita Cina yang memberi infomasi tentang wilayah Jawa bagian barat hanyalah disampaikan oleh Fa-hsien dari sekitar tahun 414 Masehi, seorang musafir beragama Buddha yang dalam pelayarannya kembali ke Cina, kapalnya terdampar di Ye-po-ti. Menurut Fa-hsien, di daerah ini banyak ditemukan orang-orang brahmana dan penganut agama kotor sedangkan penganut Budha sangat sedikit sekali dijumpai
Mengingat lokasi situs Pedes yang hanya berjarak 2 km dari situs Cibuaya (abad ke 7/8 M). Besar kemungkinan masyarakat Pedes Kuna juga merupakan pendukung komplek candi di Cibuaya namun hal ini tentu masih terlalu dini untuk dijadikan sebuah pembenaran. Penelitian lebih lanjut yang disertai dengan ekskavasi sebagai cara mengumpulkan data arkeologi secara sistimatis sudah merupakan sebuah keharusan untuk dapat mengungkap eksistensi masyarakat Pedes lebih lanjut. Semoga.