Lepas dari Kota Bangun kapal kami berlayar menuju wilayah Muaramuntai. (ce. ilee berlayar kayak mengarungi lautan aja he he ), Tempat yang kami tuju tepatnya di Desa Sebembam, desa ini merupakan desa terdekat untuk mencapai kantor kecamatan. Setelah beramah tamah sebentar dengan aparat kecamatan kami dihantar ke sebuah sanggar drama yang cukup populer di kecamatan Muara Muntai yakni sanggar seni drama Damarkulan. Memasuki rumah Bapak Armansyah yang sekaligus sebagai tempat latihan sanggar tari ini tampak tidak berbeda dengan rumah lainnya hanya saja di rumah ini juga tersimpan seluruh perlengkapan pentas sanggar mulai dari pakaian sampai ke alat musik yang digunakan. Menurut Bapak Armansyah, sanggar ini didirikan oleh Bapak Hamri tahun 1990 lalu. Tujuan pendirian sanggar seni drama ini adalah untuk melestarikan kebudayaan wayang orang yang sudah merupakan kegiatan turun temurun. O ya di kecamatan ini cukup banyak ditempati oleh orang Jawa dan umumnya mereka sangat menyukai kesenian wayang orang. Sehingga tidak heran seni drama yang dimainkan secara turun temurun, merupakan seni pertunjukkan mendapat pengaruh dari Jawa. Nama kelompok seninya pun yakni Damarrulan mengingatkan kita pada tokoh Damarwulan yang populer dalam cerita perwayangan. Pertunjukkan wayang orang ini biasanya dimainkan oleh 10 sampai 40 orang pemain tergantung kepada jalan cerita yang akan diangkat dalam pentas tersebut. Untuk satu kali pertunjukkan biasanya dimainkan antara 1 sampai 2 jam. Sedangkan lakon cerita yang cukup populer dimainkan antara lain Ramayana, Hanoman Obong, Nenek Raskul, Nenek Delon.
Usaha Pak Armansyah dan rekan-rekannya patut mendapat apresiasi yang tinggi dalam usaha melestarikan kesenian wayang orang yang kini sudah mulai tergeser oleh tontonan-tontonan lainnya di televisi.
12 April 2011
EKSPEDISI MAHAKAM 7 : Kedang Ipil, kampung tua pelestari upacara Belian
Penasaran dengan cerita-cerita tempo dulu tentang adanya kelompok masyarakat yang menolak masuk ke dalam Islam dan memilih untuk menghindar ke daerah pedalaman seperti yang dilakukan oleh leluhur masyarakat Kedang Ipil membuat Tim memutuskan untuk menengok kondisi terkini dari masyarakat Kedang Ipil itu sendiri. Meskipun dahulunya untuk mencapai lokasi ini harus menggunakan dayung kecil menyusuri anak sungai Mahakam, kini sudah ada alternatif lain melalui jalan darat. Kehadiran jalan darat ini sebagai dampak dari banyak usaha pertambangan dan perkebunan membutuhkan akses jalan darat untuk kelancaranan usahanya. Namun dengan satu syarat .....tidak dalam musim hujan. Jika sudah musim hujan dapat ditebak jalan darat yang masih berupa tanah merah ini dalam sekejap bisa menjadi arena balap yang menantang andrenalin he... Dari Kecamatan Kota Bangun dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk mencapai perkampungan Kedang Ipil.
Memasuki gerbang kampung memang masih kuat kesan bahwa perkampungan Kedang Ipil ini adalah perkampungan Lama/ Lawas. Di kiri kanan jalan masuk kami melihat tiang tiang kayu dengan sisa sesajen di atasnya. Ketika kami tanyakan hal tersebut beberapa orang yang kami temui menceritakan bahwa sisa kembang itu adalah sisa upacara belian untuk mengobati beberapa warga yang sakit. Tokoh adat setempat yang meyakini bahwa masyarakat Kedang Ipil adalah cikal bakal masyarakat di Kotabangun menceritakan pula bahwa meskipun masyarakat di daerah ini sebagian besar telah memeluk agama Islam tetapi masih ada sebagian lainnya yang masih menganut kepercayaan animisme sehingga masih sering dijumpai upacara adat seperti Belian. Upacara Belian di daerah ini menggunakan sarana berupa sesajen yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan (daun Aren dan Anjuang) dan yang lainnya. Saat ini secara arsitektur, bentuk rumah di perkampungan di Kendang Ipil tidaklah berbeda dengan bentuk rumah kampung lainnya yang umumnya terbuat dari kayu dan memiliki kolong pada bagian bawahnya, disusun berjajar di sepanjang tepian anak sungai Kedang rantau yakni sungai Sedulang. Masyarakatnya hidup dari berladang dan mengumpulkan hasil hutan lainnya.
Memasuki gerbang kampung memang masih kuat kesan bahwa perkampungan Kedang Ipil ini adalah perkampungan Lama/ Lawas. Di kiri kanan jalan masuk kami melihat tiang tiang kayu dengan sisa sesajen di atasnya. Ketika kami tanyakan hal tersebut beberapa orang yang kami temui menceritakan bahwa sisa kembang itu adalah sisa upacara belian untuk mengobati beberapa warga yang sakit. Tokoh adat setempat yang meyakini bahwa masyarakat Kedang Ipil adalah cikal bakal masyarakat di Kotabangun menceritakan pula bahwa meskipun masyarakat di daerah ini sebagian besar telah memeluk agama Islam tetapi masih ada sebagian lainnya yang masih menganut kepercayaan animisme sehingga masih sering dijumpai upacara adat seperti Belian. Upacara Belian di daerah ini menggunakan sarana berupa sesajen yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan (daun Aren dan Anjuang) dan yang lainnya. Saat ini secara arsitektur, bentuk rumah di perkampungan di Kendang Ipil tidaklah berbeda dengan bentuk rumah kampung lainnya yang umumnya terbuat dari kayu dan memiliki kolong pada bagian bawahnya, disusun berjajar di sepanjang tepian anak sungai Kedang rantau yakni sungai Sedulang. Masyarakatnya hidup dari berladang dan mengumpulkan hasil hutan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)