06 April 2015

Ekspedisi Mahakam 11 : Mengunjungi Maestro Seni Kutai

             Ada dua orang seniman musik Tingkilan Kutai yang cukup populer di Kenohan, bahkan salah satunya pernah membawa nama Kalimantan Timur ke manca negara untuk memainkan musik tingkilan.  Satu prestasi yang membanggakan tentunya bagi Mak Peot.  Wanita separuh baya itu kini sudah tidak muda lagi, umurnya sudah mendekati angka 60 tahun sejalan dengan makin banyaknya guratan di wajahnya.  Namun ketika kami berkunjung ke rumahnya, beliau dengan bersemangat mau menceritakan perjalanan kehidupan beliau kepada kami.  Kecintaannya pada seni musik tingkilan bukanlah suatu kebetulan, namun ia memang mencintainya sejak kanak-kanak.  Kedua orang tuanyalah yang mengenalkan beliau kepada alat musik gambus.  Dengan ketekunan dan keseriusannya menggeluti seni musik inilah kini beliau dikenal tidak saja oleh warga kecamatan Kenohan namun namanya sudah tercatat dalam pentas musik tradisional tingkat internasional di Jepang 
     
Sayang di usia yang semakin tua ini keahliannya dalam memainkan seni musik tingkilan tidak ada yang mewariskan.  Keenganan generasi muda sekarang untuk belajar musik tingkilan merupakan hal yang serius dan mengancam kelangsungan seni musik tradisional itu sendiri.  Kerisauan ini yang terus menggantung tanpa ada jawaban.  ”Bagaimana nasib seni musik tradisional di masa depan jika anak muda sekarang lebih suka musik modern” ujarnya kepada kami.  Sungguh ironis memang jika pada akhirnya seni musik tingkilan menjadi terasing di negerinya sendiri.  Ketika kami tanya bagaimana saran ibu untuk pengembangan kesenian di daerahnya, Beliau menjawab bahwa pemerintah harus ikut turun tangan, kegiatan sanggar-sanggar kesenian harus didirikan, dan anak anak diajak untuk belajar mencintai seni trasional ini.  Beliau amat mengharapkan jika ada pihak pihak yang mau membantu membina kesenian tradisional bagi gerenasi muda.  Tampaknya kecemasan beliau menjadi kecemasan kami juga, masyarakat khususnya generasi muda harus digugah untuk mau mempelajari, mencintai dan bahkan mengembangkan  kesenian tradisional sehingga menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.  Jelas hal ini bukan satu usaha yang mudah, namun satu langkah kecil usaha ke arah sana harus segera dibuat agar semuanya tidak terlambat dan menjadi penyesalan kita di masa mendatang.
         
 

Ekspedisi Mahakam 11 : Menuju Kecamatan Kenohan


            Siang itu cuaca mulai cukup cerah ketika kapal kami berangkat meninggalkan dermaga Muara Wis menuju Kecamatan Kenohan.  ”Dibutuhkan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai Kenohan” demikian kata pak....,sang kapten kapal kami memberikan informasi perjalanan.  Sepanjang perjalanan menuju Kenohan kami habiskan untuk beristirahat, membereskan data yang sudah masuk atau tidur.  Sebagian lainnya menikmati perjalanan sambil terus mendokumentasikan keindahan alam dan Sungai Mahakam yang berarus tenang.   Awan putih dengan latar langit biru dan sekali kali kami menjumpai burung elang  yang terbang rendah untuk menjemput ikan di sungai Mahakam merupakan hiburan kami selama dalam perjalanan.  Sekali-kali kami berpapasan dengan kapal kapal berukuran besar memuat batu bara, atau kapal-kapal barang yang berisi berbagai kebutuhan sehari hari mulai dari sabun, minyak goreng, gula  sampai sepeda anak-anak.

            Menjelang sore kapal kami mendarat di Desa Tuana Tuha.  Kapal kami harus berhenti di sini karena untuk melaju ke arah hulu lagi tidak memungkinkan karena saat air surut seperti sekarang kedalaman sungai tidak memungkinkan untuk dilalui oleh kapal-kapal besar seperti yang kami gunakan.  Terpaksa keakraban kami dengan kapten kapal dan empat orang ABK harus berakhir di sini.  Perjalanan selanjutnya dapat menggunakan kapal yang lebih kecil atau melalui jalur darat untuk mencapai Kecamatan Kenohan, untuk mencari penginapan yang hanya ada di kecamatan.  Akhirnya kami memilih menggunakan jalur darat, dan satu satunya kendaraan yang ada untuk mengangkut kami serta seluruh barang bawaan kami hanyalah truk.