22 Maret 2015

Ekspedisi Mahakam (10) : Menjejakan Kaki di Muara Wis

Puas mengeksplorasi Muara Muntai, Perjalanan dilanjutkan ke kecamatan Muara Wis.  Cuaca sedikit mendung ketika kami merapat di pelabuhan Muara Wis.  Namun denyut kehidupan masyarakat Muara Wis tidaklah terhenti hanya karena hujan ringan.  Kami menyumpai sebagian mereka tengah beraktivitas di sungai.   Kehidupan masyarakat di Muara Wis tidak berbeda pula dengan masyarakat tepi sungai Mahakam lainnya, untuk kebutuhan protein mereka dengan mudah mendapatkan dari Sungai Mahakam.  Ikan Patin, Baung dan Udang adalah yang paling banyak dan mudah untuk ditangkap.  Kami menjumpai salah seorang warga yang baru berhasil mendapatkan ikan patin seukuran paha orang dewasa hanya dengan umpan bakso.  ”Ikan disini ngampang dipancing mas, umpannya cukup dengan sedikit bakso atau pisang goreng kita sudah dapat ” katanya ringan.   Wow, Jika saat ini saja Sungai Mahakam masih mampu memberi kehidupan bagi penduduk di sepanjang sungai tersebut bisa dibayangkan dahulu tentu potensi ikan air tawar di Sungai Mahakam menjamin kehidupan penduduknya...Terlintas sedikit bangga di hati ini, sebenarnya masyarakat di bagian hulu Mahakam, merupakan masyarakat mandiri.. di mana alam telah menyediakan kebutuhan dasar bagi penghuninya... Lantas akankah kondisi ini terjaga kelestariaannya di tengah eksploitasi sumberdaya alam di bagian hulu sungai?.   Semoga tetap lestari.. sehingga senyum orang orang di hulu Mahakam tetap mengembang..

Seperti wilayah tepi sungai Mahakam Lainnya, perkampungan Muara Wis dibangun dengan menggunakan materiil kayu berbentuk rumah panggung yang memiliki ketinggian minimal 1 meter dari muka tanah.  Ragam arsitektur seperti ini juga berlaku pada bangunan pemerintahan, masjid dan sekolah yang ada.   Areal yang sebagian besar didominasi oleh rawa pasang surut merupakan penyebab utama mengapa rumah rumah mereka adalah rumah panggung.  Sekali lagi kita dipertunjukkan bagaimana jeniusnya masyarakat Muara Wis dalam beradaptasi dengan lingkungan rawa.  

19 Maret 2015

BEBERAPA CATATAN TEKNIK ANALISIS NASKAH SUNDA DALAM ARKEOLOGI

Agustijanto Indradjaja (Agustijanto2004@yahoo.com)
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Pendahuluan
            Tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa naskah sebagai salah satu sumber tertulis selama ini dianggap cukup memberikan kontrubusi dalam penelitian sejarah kebudayaan Indonesia.  Pengertian naskah dalam tulisan ini juga mengacu pada aspek fisik termasuk teks naskah itu sendiri seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.  Kedudukan naskah dalam dunia arkeologi seringkali dikatagorikan sebagai sumber data primer karena pada umumnya naskah kuna selalu memuat keterangan tentang beberapa aspek kehidupan manusia masa lalu baik secara langsung ataupun tidak langsung.  Penggunaan naskah sebagai data dalam penelitian arkeologi seringkali membuat masyarakat menjadi bingung untuk membedakan antara seorang arkeolog dengan sejarawan.  Padahal beberapa ahli arkeologi selalu menegaskan bahwa ilmu arkeologi berbeda dengan ilmu sejarah dan arkeolog sendiri akan merasa gerah jika dirinya disebutkan sejarawan  David Clarke, seorang arkeolog Inggris menyebutkan data arkeologi sebagai “ archaeological data are not historical data and consequently archaeology is not history”( Clarke, 1979, Mindra F,1992,37).  Dengan demikian arkeologi adalah ilmu yang berdiri sendiri mempunyai teknik dan metode sendiri dalam penelitiannya.  Meskipun demikian ilmu arkeologi tetap memerlukan ilmu-ilmu sosial dan eksakta sebagai ilmu bantunya.  Salah satu aspek yang membedakan arkeolog dengan sejarawan dalam memandang naskah adalah cara memperlakukan naskah tersebut.  Bagi arkeolog, naskah dipandang sebagai data artefaktual baik menyangkut aspek fisik ataupun teksnya. sehingga harus diperlakukan sebagai mana data artefaktual lainnya.  Sejarawan cenderung lebih memperhatikan pada peristiwa-peristiwa masa lalu melalui data tertulis atau data yang diperoleh dari wawancara dengan pelaku sejarah.  Berbeda dengan arkeolog yang lebih memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu berdasarkan data tak tertulis (Mindra F,1992:35).  Penelitian naskah bagi arkeolog harus dibandingkan dengan data tak tertulis sehingga hasil penelitiannya terhadap aspek kehidupan manusia masa lalu dapat lebih obyektif.
      

14 Maret 2015

PERMUKIMAN KUNA DI PANTAI UTARA JAWA BARAT : TINJAUAN TERHADAP HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS BATUJAYA DAN SEKITARNYA

Oleh
Agustijanto Indradjaja
Pusat Arkeologi Nasional

(sudah diterbitkan dalam Widyasancaya Balai Arkeologi Bandung tahun ....?)
Abstract
            Batujaya site which for nearly two decades of fairly intensive study by The National Research and Development Centre of Archaeology in its development raises a number of new data are quite interesting.  Not only from a chronological aspect, but also reveals aspects of space and time more complex. Archaeological research in the last two years shows that the existence of batujaya site is also supported by the emergence of a number of ancient settlements along the river old Kali Asin.. In this paper will show some new data related to aspects of ancient settlements supporting the existence of the Batujaya site in the past

Kata Kunci : Pemukiman kuna, Tarumanagara, pantai utara Jawa Barat

I
PENDAHULUAN
            Penelitian arkeologi di situs Batujaya yang telah dilakukan selama hampir dua dekade di komplek percandian Batujaya yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional telah banyak menghasilkan informasi yang menarik tentang keberadaan situs ini dalam konteks perkembangan sejarah budaya di Indonesia.  Situs ini bukan hanya merupakan satu-satunya situs yang bersifat buddhistik di Jawa Barat namun luasnya cakupan situs yang hampir 5 km persegi dengan lebih dari dua puluh bangunan yang terdapat di atasnya.  Dalam perkembangannya di tahun 2005,   berhasil ditemukan adanya sisa bangunan hunian di dalam komplek percandian yang diduga merupakan sebuah bangunan hunian bagi para pengelola yang tinggal di dalam lingkungan komplek candi Batujaya[1]  Masalahnya kemudian adalah dimana permukiman pendukung komplek candi ini berada?  Jelas bahwa keberadaan komplek candi ini yang muncul pada sekitar masa Purnawarman berkuasa (abad ke 5-7 M ) lalu meskipun sempat ditinggalkan dan dibangun kembali pada sekitar akhir abad ke-8 sampai abad ke 11 Masehi[2]  memerlukan dukungan masyarakat awan yang dalam komunitas agama Buddha di biasa disebut sebagai upasaka/ upasaki.  Di India sendiri, bangunan-bangunan suci di sepanjang pantai barat India didirikan oleh bantuan dari para dermawan yang beragama Buddha (Tharpar: 1981:  Peter:2006: 121)

Kerangka Pikir dan Metode
            Dalam konteks permukiman yang terkait dengan keberadaan komplek percandian Batujaya dibedakan menjadi dua kelompok yakni pertama, permukiman bagi para pengelola bangunan keagamaan yang berada di dalam komplek candi dan hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Beberapa prasasti Jawa Kuna memang menyebut tentang adanya orang-orang yang harus tinggal di dekat bangunan suci tersebut.  Sebagai contoh prasasti Kaňcana yang berangka tahun 782 çaka atau 860 Masehi yang memperingati anugerah raja Lokapala (Rakai Kanyuwangi) kepada Pāduka Mpuŋku i Boddhimimba dengan memperkenankan menetapkan daerah Bungur Lor  dan Asana sebagai dharmma sǐma lpas.  Di situ akan didirikan prasāda dengan arca Buddha untuk dipuja pada tiap bulan kārtika.  Lain dari pada itu dua orang anak pāduka Mpuŋku i Boddhimimba yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha diberi tempat tinggal di lingkungan sǐma tersebut dan mereka berwenang atas dharmma sima tersebut (Boechari,1980 :326).  
            Permukiman di dalam komplek candi ini diperuntukkan bagi mereka yang mengelola kegiatan keagamaan atau pada agama Buddha diperuntukkan bagi para biksu atau para sańgha. Mengingat untuk menjalankan aktivitas keagamaan di suatu komplek percandian sudah tentu diperlukan ”pengurus” yang bertugas mengatur kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.
            Kelompok kedua adalah permukiman para pendukung kompleks percandian Batujaya yakni permukiman penduduk yang mendukung eksistensi kompleks candi ini.  Keberadaan permukiman pendukung candi pasti berada tidak jauh dari komplek candi mengingat daya dukung lingkungan di sekitar candi amat memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya permukiman di sana.  Seperti yang telah diketahui permukiman adalah produk dari interaksi beberapa variabel yang meliputi lingkungan alam, teknologi, interaksi sosial dan macam-macam institusi yang berlaku.  Ini berarti bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan fungsional dan hubungan kausal serta saling mempengaruhi terhadap sistem permukiman.  Setiap masyarakat memiliki kondisi variabel yang berbeda-beda maka akan menimbulkan perbedaan dalam cara menanganinya. Perbedaan ini juga yang menimbulkan bermacam-macam pola permukiman.
          Unsur lingkungan sangat erat hubungannya dengan pola permukiman.  Dengan demikian membicarakan masalah pemukiman tentu tidak lepas dari aspek lingkungan yang melatarbelakangi baik lingkungan fisik (abiotik) maupun non fisik (biotik).  Lingkungan fisik berkaitan dengan keadaan iklim, permukaan bumi, kondisi sungai dan laut sedangkan yang dimaksud dengan faktor non fisik adalah jenis flora dan fauna yang hidup di muka bumi.
Dalam skala keruangan, kajian arkeologi permukiman membaginya dalam tiga tingkatan satuan ruang pemukiman, yaitu mikro, semi mikro, dan makro. Tingkat mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam sebuah bangunan. Tingkat semi mikro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu situs. Tingkat makro mempelajari pola sebaran dan hubungan dalam suatu wilayah (Clarke,1977;11-16 Mundardjito,1995:25).
Pembahasan terhadap kajian permukiman pendukung kompleK candi Batujaya  juga akan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan materi. Karena kebudayaan materi adalah bentuk peninggalan arkeologis yang paling kentara walalpun secara kualitas dan kuantitas sangat terbatas.  Kebudayaan materi juga mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalamnya (Chaksana , 5: 2006).


13 Maret 2015

BEBERAPA PRINSIP TEOLOGI NASKAH SUNDA KUNA (Hubungannya dengan masyarakat Sunda kuna)

            
             Pengertian arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari seluruh aspek kehidupan masa lalu berdasarkan data artefaktual telah banyak dibahas oleh para peneliti. Definisi yang paling sederhana tentang hal ini telah pula dikemukakan oleh Glyn Daniel dengan mengatakan sebagai “to write history from surviving material source” (Daniel,1976,  Hasan M,1982: 123). Dengan demikian data artefaktual dalam penelitian arkeologi mempunyai peranan yang amat penting mengingat sifat data arkeologi yang mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan kemampuannya memberikan informasi serta sedikit sekali dalam kondisi ‘baik’ pada saat ditemukan kembali.
            Salah satu sumber data primer bagi penelitian arkeologi disamping prasasti, yang tergolong ke dalam artefak bertulisan adalah naskah-naskah kuna. Dari naskah-naskah kuna yang tersisa maka aspek-aspek sosial masa lalu  masih dapat diketahui dan direkonstruksi kembali.
            Begitu pula dengan Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang keberadaan telah diketahui setidaknya dari Prasasti Rakyan Juru Pangambat.  Prasasti yang dibuat oleh Sri Jayabhupati ini berangka tahun 932 M (854 C). Sebagai sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan merdeka dimana keberadaannya selama hampir 600 tahun dan pada akhirnya harus jatuh pada tahun 1579 M,  tampak terasa sedikit ironis karena hanya meninggalkan jejak-jejak budaya material yang amat minim dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan sejaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Meskipun demikian keberadaan Kerajaan Sunda masih dapat direkonstruksi berdasarkan naskah-naskah kuna yang tersisa, khususnya pada masa akhir Kerajaan Sunda( sekitar abad 15-16 M).
            Pengertian naskah-naskah Sunda kuna adalah naskah yang dibuat di wilayah Sunda (Jawa Barat) atau yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda masa lalu. Melalui naskah-naskah inilah masalah religi (sebagai salah satu aspek kebudayaan) khususnya alam fikiran masyarakat Sunda kuna mengenai aspek religi akan dibahas dan dicari benang merahnya dengan aspek sosial budaya yang terjadi pada masa itu melalui pendekatan teori fungsional.
            Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda dibagi dalam tiga periode yaitu masa kuna sekitar abad ke 16 dan 17 M, masa peralihan abad ke-18 M,dan masa baru abad ke 19 dan 20 M (Edi S, 1982: 106).  Ada empat macam huruf yang digunakan dalam penulisan naskah yakni huruf Sunda kuna, Jawa kuna, Arab (pegon), dan Latin. Urutan penyebutan mencerminkan kronologis waktu munculnya pemakaian aksara tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda ada lima jenis  bahasa meliputi bahasa Sunda kuna, Jawa kuna, Arab( pegon), Sunda baru, dan Melayu. Urutan bahasa juga mencerminkan pula kronologis waktu penggunaan bahasa.  Sesungguhnya tiap-tiap bahasa yang digunakan dalam naskah kuna tidak murni satu bahasa akan tetapi ada interferensi unsur-unsur bahasa lainnya ( Edi S,1993:2-3).
            Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Sunda terdiri dari beberapa macam seperti daun lontar, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan kertas. Daluang adalah kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu, bentuknya masih tampak kasar, tebal dan kulit kayunya masih tampak jelas. Sedangkan penggunaan kertas sebagai bahan penulisan naskah mulai dikenal ketika Agama Islam masuk ke wilayah Jawa Barat. (Ayatrohaedi,1993: 18-19)

12 Maret 2015

EARLY TRACES HINDU-BUDDHA INFLUENCE ALONG THE NORTH COAST OF CENTRAL JAVA: ARCHAEOLOGICAL SURVEY AT DISTRICT OF BATANG (lanjutan)


(Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Amerta Vol.32 tahun 2014 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) 
                According to the inventory of the Ronggowarsito Museum, six other sculptures would also come from Balekambang: a statue of Durga (04.00077), a second makara (04.00079), two jaladwara (04.0080 and 0.00081) and two antefixes (04.00082, 04.00083). The Durga is broken into three parts and unfortunately so eroded that it is impossible to define its style. The goddess is depicted standing on the buffalo. She has eight arms and one can still distinguish the conch in her upper left hand and the disc in her upper right hand. The second upper right hand probably held a short sword or a club. The remaining attributes are unidentifiable. The second makara attributed to the site of Balekambang in the inventory of the Ronggowarsito Museum does not form a pair with the one we mentioned above. It is also likely come from a staircase, but it should have been part of a staircase of smaller dimensions because the lower two thirds of the inside are not decorated. The trunk is clearly symmetric and wrapped. The necklace is entirely plant like and, in the monster's mouth , one can see a lion's head. Behind the head of the makara one can find a pattern quite similar to the one of the first makara discussed, which suggests that the two makara are more or less the same period (ninth century). Of the two jaladwara, one is a simple duct without decor (MR 04.00080 ), while the other is of a singular kind (MR 04.00081). The end of the duct has the shape of a crocodile, mouth open and all fangs visible. A young woman sits astride the crocodile, legs bent, her chest leaning forward and her his hands on the head of the animal. Her hair falls in ringlets down her back and to her feet . The duct is unfortunately cut in a coarse conglomerate and no detail is visible.
            At around 200m from the spring, to the north-east, a first surface survey has yielded numerous potsherds, the majority of which are Chinese and Thai ceramics from the late fifteenth or early sixteenth century.

BEBERAPA MASALAH PERUBAHAN STATUS TANAH DI JAWA BARAT MENURUT SUMBER PRASASTI

       Salah satu peninggalan arkeologi yang tergolong ke dalam artefak bertulisan ialah prasasti, yakni tulisan yang dipahatkan pada batu, logam atau kayu.  Berdasarkan bahan yang digunakan diketahui ada tiga jenis prasasti yakni; prasasti batu (upala prasasti), prasasti tembaga (tamra prasasti) dan prasasti pada daun lontar (ripta prasasti).( Djafar 1992 : 1).
            Pada umumnya prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi kerajaan.  Isi prasasti dapat berupa pernyataan pemberian anugerah raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, ketetapan hukum, mantera, atau kutukan serta pernyataan resmi lainnya. ( Baker 1972, Djoko D.dkk 1992). Ada juga prasasti-prasasti dengan tulisan amat pendek, kadang-kadang hanya berupa angka tahun yang dituliskan dalam bentuk candrasangkala atau angka-angka saja.
            Sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia kuna, prasasti mempunyai posisi yang amat penting karena dapat mengungkapkan berbagai aspek kehidupan masyarakat  pada masa lalu seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya serta aktivitas manusia  pada masa lalu lainnya.  Sejauh ini penemuan prasasti yang berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagian besar berisi tentang peringatan/pengukuhan sebidang tanah/wilayah menjadi daerah perdikan (sima).  Dari sejumlah prasasti diketahui bahwa pada umumnya daerah sima diberikan oleh seorang pejabat atau  raja kepada orang-orang yang telah berjasa kepada raja,  keperluan bangunan suci dan kepentingan lainnya.
            Penetapan suatu daerah menjadi sima merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang tanah  dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya (Boechari 1975, Djoko D.dkk 1992).
            Berbeda dengan daerah lain, prasasti-prasasti dari Jawa Barat hanya ada satu prasasti yang menyangkut penetapan sima, yakni prasasti Mandiwuŋa (Djafar 1992: 11).  Beberapa prasasti lain juga menyangkut perubahan status daerah /tanah menjadi tepek (daerah larangan), kabuyutan, dan dewasasana.
            Dari sejumlah prasasti yang telah ditemukan, mengenai ketiga istilah  diatas yang menyangkut perubahan status tanah manakah yang dapat dikatagorikan sebagai sima/perdikan dan mengapa istilah sima tidak populer di daerah Jawa Barat.

11 Maret 2015

TELAGA SANGHYANG : Mencari model hubungan kabuyutan dan kerajaan di Sunda Kuna


            Kabuyutan sebagai bentuk fenomena dari keberagamaan masyarakat Sunda kuna selalu menarik untuk dipelajari mengingat jumlahnya yang cukup banyak dan juga sebagai sebuah tempat suci kemungkinan telah dikenal jauh sebelum masyarakat Sunda kuna mengenal candi atau kuil.  Tepatnya ketika masyarakat Sunda kuna masih hidup pada masa prasejarah yang sangat kental dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang.  Harus diakui bahwa masuknya Agama Hindu - Buddha telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda kuna.  Salah satunya adalah kehadiran tempat-tempat pemujaan semakin bervariasi.  Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK) menyebutkan berbagai macam tempat-tempat pemujaan, diantaranya pahoman (rumah sajen), pabutelan, pamujan (tempat pemujaan), lmah maneh, candi, prasada (kuil), lingga linggih (palinggan), batu gangsa, lemah biningba (tempat arca) (Atja dan Saleh D,1981a :21 ).  Menurut Agus A.M., bentuk bangunan pemujaan pada masa Kerajaan Sunda terbagi atas tiga bentuk, pertama, bangunan pemujaan dengan batur tunggal, kedua bentuk punden berundak dengan segala variasinya dan bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti bentuknya (1992:166). Masuknya Agama Hindu-Buddha,  tidak membuat kepercayaan terhadap leluhur memudar bahkan sebaliknya pada masa selanjutnya mampu berinteraksi dan akhirnya terjadi sinkretisme. Terjadinya percampuran kepercayaan asli dengan dua agama besar Hindu-Buddha menjadi sebuah agama ‘baru’ oleh sebagian ahli arkeologi melihat gejala ini sebagai meningkatnya lokal genius.  Maksudnya adalah kemampuan masyarakat setempat untuk merubah atau membentuk unsur - unsur baru sesuai dengan kebudayaan mereka.
            Hal ini tercermin pada masa Kerajaan Sunda dimana pada masa itu kabuyutan semakin banyak didirikan.  Naskah Carita Parahyangan (CP) menyebutkan bahwa pada saat Rakean Darmasiksa menjadi raja, dia banyak mendirikan kabuyutan di kerajaannya.  Naskah CP menyebutkannya sebagai “...disilihan doiku sa(ng) rakeyan darmasiksa pangupati sanghyang wisnu: inya nu nyio(n) sanghiyang binayanti nu ngajadikon para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahyangan...” artinya “...digantikan oleh sang rakeyan darmasiksa penjelmaan sanghyang wisnu dialah yang membuat panti pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan..” (Atja dan Saleh D,1981b: 15 ).
            Kehadiran Kabuyutan yang berakar dari kepercayaan kepada roh nenek moyang  dan terus mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan pada masa klasik di Jawa Barat tampaknya menarik untuk ditelaah sejauhmana fungsi dan kedudukannya pada masa Klasik di Jawa Barat.