18 Februari 2009

Ekspedisi Mahakam (3)

Tempat selanjutnya yang kami kunjungi berikutnya adalah permukiman dayak Kenyah di Lekaq Kidau, Sebulu tempat ini mudah dijangkau karena letaknya tepat di tepi sungai Mahakam. Dari Jauh sudah tampak gapura yang menarik perhatian (foto 1). Penduduknya cukup ramah menyapa kami, dan kami diterima di rumah Lamin yang masih sederhana menurut ukuran masyarakat Dayak. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa Desa Lekaq Kidau kini telah dijadikan sebagai salah satu desa budaya yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara . Morfologi Desa budaya ini berupa dataran pinggiran sungai. Keletakannya terhadap sungai mahakam di sisi sebelah utara sungai. Morfologi wilayah di sebelah timurnya adalah perbukitan.
Seperti halnya pada komunitas Dayak yang bermukim di Desa Lung Anai, komunitas Dayak yang tinggal di Desa Lekaq Kidau ini juga berasal dari daerah Apo Kayan, sebuah daerah di pedalaman Kalimantan yang kiniberbatasan dengan wilayah Malaysia. Mereka merupakan suku Dayak Kenyah yang pindah ke Lekaq Kidau pada sekitar tahun 1987, dengan alasan antara lain agar dapat mempermudah akses mendapatkan pendidikan bagi anak-anak mereka dan untuk lebih mendekati daerah perkotaan agar mereka dapat memperbaiki taraf kehidupan mereka. Hal ini karena di tempat asal mereka akses untuk mendapatkan pendidikan dan berbagai sarana transportasi serta komunikasi sangat sulit, yang menyebabkan mereka seperti terisolir dan terpisah dengan masyarakat lainnya.

Atas kesepakatan bersama, mereka memilih lahan di Lekaq Kidau sebagai tempat mereka untuk tinggal dan menetap. Daerah tersebut menjadi pilihan mereka dengan alasan selain karena tempat itu masih kosong, juga karena letaknya yang berada di tepi Sungai Mahakam yang memudahkan mereka untuk melakukan berbagai aktivitas seperti di tempat asal mereka.

Masyarakat Dayak Kenyah yang pindah ke Desa Lekaq Kidau ini saat sekarang memeluk agama Kristen Protestan, dan tidak lagi memeluk agama atau kepercayaan asli mereka, yaitu kaharingan. Sebelum tumbuh seperti sekarang, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka banyak dibantu oleh masyarakat atau suku-suku lain yang yang berada di sekitar Lekaq Kidau.

Sebelum mengenal agama resmi pemerintah, masyarakat Dayak Kenyah di Desa Lekak Kidau menganut kepercayaan yang dikenal dengan sebutan bungau malan. Pada saat sekarang, kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat setempat berbeda-beda, yaitu agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Lahan kuburan penganut agama Kristen dan Katolik terletak di sebelah selatan pemukiman(foto 2), sedang lahan kuburan penganut agama Islam terletak di sebelah barat pemukiman . Karena masyarakat Dayak Kenyah menganut kepercayaan yang berbeda-beda maka pelaksanaan dan tata cara penguburannya pun berbeda-beda. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan keyakinan, tetap masih ada persamaan dalam perlakuan terhadap jenazah, yaitu antara lain dalam memandikan dan menyemayamkan jenazah. Jenazah biasanya dimandikan oleh pihak keluarga dengan dibantu oleh seseorang yang dianggap ahli dalam memandikan jenazah. Sebelum dikubur, jenazah disimpan atau disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah (bukan di lamin).

Pada jenazah yang semasa hidupnya menganut agama Kristen dan Katolik, jenazah dipakaikan baju, celana atau rok, serta memakai topi adat. Jika keluarganya mampu maka jenazah itu dilengkapi juga dengan jas dan alas kaki (sepatu atau sandal) kemudian ditempatkan di dalam kotak atau peti kayu, baru setelah itu dikubur. Di dalam peti tersebut juga dilengkapi dengan bekal kubur bagi si mati seperti senjata dan pakaian. Bekal kubur juga bisa pula berupa sejumlah benda-benda yang sangat digemari oleh si mati ketika hidupnya. Posisi mayat pada saat dikubur, bagian kepala jenazah berada pada posisi sejajar dengan arah air mengalir. Karena air sungai mengalir dari utara ke selatan maka kepala jenazah berada pada arah utara, dan kakinya berada sebelah selatan. Sedang pada jenazah yang semasa hidupnya menganut agama Islam, ia tidak diberi pakaian, namun hanya sekedar dibungkus dengan kain putih atau kain kafan. Jenazah penganut agama Islam juga tidak dikubur menggunakan peti melainkan langsung ditempatkan di lubang tanah, hanya terbungkus kain putih. Posisi pada saat dikubur membujur arah timur- barat, dengan bagian kepala jenazah berada pada arah barat dan bagian kakinya berada sebelah timur. Karena tidak menggunakan peti maka sewaktu dikubur, jenazah tidak dilengkapi dengan bekal kubur.

10 Februari 2009

Ekspedisi Mahakam (2)

Setelah bermalam di Sebulu, esoknya kami survei ke gua-gua sanggulan yang terletak di Kecamatan Sebulu. Dengan ditemani oleh tenaga kecamatan, kami mulai melakukan survei dengan mengendarai 3 sepeda motor. Karena hanya mampu membawa 5 orang tenaga, maka tidak semua anggota tim ikut dalam survei kali ini.

Gua-gua karts sanggulan sendiri hampir seluruhnya dapat dijangkau dengan kendaraan motor (maksudnya sampai tempat terdekat dengan gua paling jauh satu kilo lah) , meskipun untuk masuk ke dalam gua kami masih harus berjalan menetak rimbunnya hutan Kalimantan. Karakteristik gua-gua karst, di sini memiliki mulut gua yang cukup besar (tinggi hampir 20 meteran ) dan memanjang ke bagian dalam gua. Gua-guanya cukup sinar pada bagian depan namun semakin lembab dan gelap pada bagian dalam. Beberapa gua telah digunakan sebagai sarang kelelawar, sehingga menambah aroma yang tidak sedap tentunya.

Adanya temuan beberapa fragmen tembikar di bagian depan gua sanggulan 2 (penamaannya mengikuti hasil temuan survei kami) dan gua sanggulan lainnya memunculkan dugaan bahwa gua ini pernah dihuni manusia. Pendapat ini juga di kuatkan oleh sebagian masyarakat yang menurut mereka kata " sanggul " sendiri berarti hadang. Artinya dahulu daerah ini memang dijadikan tempat untuk menghadap/mencegat kapal-kapal yang akan ke daerah pedalaman Kalimantan. Dan untuk menyembunyikan hasil jarahannya, mereka menyimpannya di gua-gua sanggulan ini. Gua sanggulan ini juga sekaligus digunakan sebagai tempat persembunyian mereka jika dikejar tentunya. Banyak cerita cerita yang menyebutkan adanya jalur sungai bawah tanah yang terhubung dengan sungai Mahakam. O ya beberapa gua di sanggulan memang memiliki jalur sungai yang entah kemana sambungannya , jadi mungkin saja berita itu benar.

Yang cukup menarik adalah ditemukannya sisa sisa kerang yang masih menempel pada dinding gua. hal ini menandakan bahwa pada masa lalu (mungkin ribuan atau jutaan tahun yang lalu ) lapisan batuan ini merupakan bagian dari lautan yang kemudian terangkap ke permukaan menjadi seperti sekarang. wow sama sekali tak terbayang kalo daerah gua-gua karst sanggulan dulu merupakan lautan.

Medan untuk menuju gua yang berat membuat kami harus berhati-hati dan jujur tidak seluruh gua dapat dijangkau, apalagi jika hujan tiba. sangat -sangat merepotkan dalam kegiatan survei ini. Namun pengalaman menyusuri gua-gua sanggulan seharian memang tetap mengasikan bagi kami, banyak hal yang dapat dipelajari.

Selain gua, kami juga mampir ke air terjun sanggulan yang masih masuk dalam kawasan bukit sanggulan. Ketinggian air terjun kurang lebih 7 meter. Pada bagian dasar terjunnya menyerupai kolam dengan luas mencapai lebih dari 100 m2. Ke dalaman kolam mencapai 1,5 meterpada titik terjunannya. Vegetasi sekitar air terjun sebagian masih berupa tanaman hutan. Tetapi pada bagian hulunya sudah banya mengalami perubahan tatauna lahan menjadi areal pertambangan dan pertanian. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan air terjun ini berwarna keruh. karena akar akar-akar pohon yang menjadi penyaring dari kandungan lempung yang terkandung didalam air sudah semakin sedikit. Walaupun demikian air terjun ini masih memungkinkan untuk dijadikan salah satu obyek tujuan wisata alam, hanya diperlukan penataan lebih lanjut dan pemeliharahan lingkungan pendukungnya. Terus terang kami memang wajib mandi di sini soalnya nanti tidak perlu mandi lagi kalau udah balik ke kapal. he..he.. (to be continue lagi ya)

06 Februari 2009

Ekspedisi Mahakam

Tidak terbayang sebelumnya kalau kegiatan survei untuk memetakan seluruh potensi sumberdaya budaya dan pesona alam di Kabupaten Kutai Kartanegara akan dilakukan dengan menyusuri sungai Mahakam yang eksotik. Tapi kegiatan ini bukan pula sesuatu yang mendadak. Tidak begitu. Dua bulan sebelum kegiatan (Kegiatan dilaksanakan bulan Juli 2008), kami (Tim maksudnya) sudah ditawarkan route yang akan dilalui dan alat transortasi yang akan digunakan oleh kami selama survei oleh Pak Tri, Pegawai dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara. Mengingat jalur darat seringkali dihadapkan pada kondisi yang tidak bersahabat (bisa rusak, bisa licin dsb) maka kami pun bersetuju dengan usulan tersebut. Oh ya kami semuanya ada 8 orang diketuai oleh Ni Komang Ayu Astiti, dengan penasehat prof (riset)Dr. Haris Sukendar, 6 tenaga peneliti dan 4 orang tenaga daerah. Sedangkan awak kapal 3 orang dan 2 orang tenaga dapur. Jadi seluruhnya sekitar 15 orang di atas kapal sepanjang 24 meter dengan lebar lambung paling panjang sekitar 3 meteran(liat foto 1).
Pada hari yang telah ditentukan kami berangkat dari depan kantor Bupati Kutai Kartanegara, oya, lokasi ini persis di depan pulau Kumala, pulau kebanggaan warga Kutai Kartanegara krn pulau ini udah disulap jadi miniatur taman mini Indonesia (liat foto 2). di sana ada sky tower, ada kereta gantung, sampai cottage kalo mau nginep. Seluruh perlengkapan telah disiapkan, termasuk jaket pelampung (biar gimana ini penting, apalagi klo nggak bisa berenang) ama alat pancing (kita kan bakal lewat sungai jadi sekalian cari ikan gitu). Untuk melakukan kegiatan survei di darat kami membawa dua buat sepeda motor . o ya kapal kami bertingkat dua jadi kedua motor itu diparkirkan di bagian lantai atas. Jam 2 siang setelah semuanya beres, kami berangkat, cuaca cukup cerah (biar Juli juga kadang-kadang ada ujannya lo). Semua senang (biasa hari pertama ), karena jarang sekali kami survei dengan perahu dimana kami kerja, tidur, makan, ampe mandi semuanya di perahu.
Perahu berjalan tidak terlalu cepat, paling banter 20-30 km perjam, jadi kami masih bisa menikmati perjalanan ini. Sungai Mahakam termasuk sungai yang cukup ramai sepanjang jalan kami banyak bertemu perahu, baik perahu penumpang maupun perahu pengangkut barang. baik barang kebutuhan pokok sampai batubara yang memang banyak dieksploitasi di daerah ini. Jenis perahu dan ukurannya pun bermacam macam ukurannya. Untuk perahu perahu kecil ukuran 5-10 meter biasanya jalan di bagian pinggir sungai karena seringkali terkena ombak bila perahu-perahu besar melintas. Tempat pertama yang kami datangi adalah Kecamatan Sebulu itupun sudah menjelang sore hari kami harus merapat didermaga sebulu dan menginap malam ini di dermaga ini. Beberapa teman sudah membuka tas pancing, " kita mancing di dermaga aja mas di sini juga kalo beruntung bisa dapat ikan patin ukuran 5 kiloan " kata pak Mingu, tenaga dinas pariwisata dan budaya kabupaten kutai Kartanegara yang ikut dalam tim, entah benar apa enggak kita nggak peduli, yang penting kita bisa mancing dululah sebelum survei sebab survei baru bisa dilaksanakan esok harinya . (to be.. continued)

05 Februari 2009

AWAL PERADABAN DI PANTAI UTARA JAWA BARAT PENELITIAN ARKEOLOGI DI SITUS KENDALJAYA, PEDES, KARAWANG

Tinggalan arkeologi di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya Kecamatan Pedes, Karawang pertama kali disinggung sekitar tahun 60an. Ketika itu, Sutayasa dalam laporannya yang menyangkut tembikar dari komplek Buni menyebutkannya adanya temuan fragmen tembikar dan kerangka manusia. Di antara kerangka manusia tersebut terdapat fragmen logam (pisau)(Sutayasa,1969: 33). Namun sayangnya berita dari temuan masyarakat di daerah Kobak Kendal ini tidak dilanjutkan dengan kegiatan penelitian arkeologi yang intensif sehingga potensi tinggalan arkeologi di daerah tersebut tidak dapat diketahui secara jelas.
Dusun Kobak Kendal kembali menarik perhatian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional setelah pada awal tahun 2007, sejumlah pemberitaan baik melalui surat kabar maupun media televisi yang menyebutkan adanya temuan benda purbakala khususnya yang terbuat dari emas di daerah ini. Lokasi yang dimaksud berada di areal persawahan yang berada di Dusun Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dari pasar Rengasdengklok mengambil arah Kecamatan Pedes sekitar 10 Km.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan awal antara lain; Areal penggalian yang dilakukan merupakan sebuah komplek kubur dari periode prasejarah akhir atau awal masehi. Periode ini lebih dikenal dengan istilah masa protosejarah, yakni masa dimana masyarakat lokal belum mengenal tulisan tetapi daerah ini telah dikenal, didatangi dan dicatat oleh masyarakat internasional serta telah terjadi kontak yang cukup intensif dengan mereka. Kitab Arthasastra dan Sanka Jataka yang diperkirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebut nama Suvarnabhumi. Kitab Maha Nidesa yang juga berasal dari abad ke-3 sebelum masehi menyebutkan nama tempat seperti Java dan Suvarnabhumi.
Pada masa prasejarah sampai protosejarah, masyarakat Pedes kuna merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang mengusung budaya komplek tembikar Buni yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang menghasilkan tembikar dengan pola hias khas Buni, yang hidup di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari daerah Banten sampai Cirebon. Hal ini didasarkan pada temuan sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan sejumlah bekal kubur di antaranya yang paling umum adalah wadah tembikar. Wadah tembikar yang paling dominan adalah bentuk wadah berupa periuk kecil (kendil) berdiameter antara 10-15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk. Wadah-wadah tembikar ini menurut informasi ada yang berisi manik-manik. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari kerangka. Selain wadah tembikar, biasanya dibekali pula dengan senjata tajam berupa parang, pisau atau tombak. Yang menarik bagi sebagian kerangka diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata dan gelang . Kalung terbuat dari manik-manik emas dan manik-manik kaca. Hal ini menandakan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung Tembikar Buni.
Temuan berupa bandul jala, Kapak batu, dan tatap pelandas memberi informasi bahwa masyarakat tembikar Buni bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka juga telah mengenal bercocok tanam dan sebagian telah memiliki keahlian membuat wadah-wadah tembikar dengan teknologi tatap pelandas. Selain itu mereka telah memiliki keahlian membuat alat-alat logam dan manik-manik. Pembuatan.

Adanya kontak-kontak dengan dunia luar pada masa protosejarah (mungkin sejak masa prasejarah) diketahui dari sejumlah tinggalan manik-manik. Di Asia Tenggara, perdagangan manik-manik tertua mulai sekitar 400 SM dan Arikamedu telah dikenal sebagai pusat produksi manik-manik yang diekspor ke Asia Tenggara. Arikamedu sebagai pusat penghasil manik-manik ini berlangsung sampai abad ke-3 M, kemudian pusat-pusat produksi tersebut berpindah ke Asia Tenggara seperti Klong Thom (Thailand Selatan) dan Oc-eo (Viernam) dan Mantai (Srilangka).
Selain manik-manik kaca, bahan kaca, manik batu karnelian, Tembikar kasar India juga termasuk temuan yang cukup penting. Tembikar-tembikar ini dibawa oleh para pendatang sebagai alat keperluan sehari-hari dan tidak diperdagangan. Tembikar-tembikar kasar India (Arikamedu) telah diperoduksi sekitar akhir abad ke-1 sebelum masehi sampai awal abad ke 1 Masehi atau abad ke 2 M.
Adanya jalur perdagangan India - Asia Tenggara termasuk Nusantara didukung oleh catatan Clodius Ptolomeaus dari abad ke-2-3 Masehi yang membuat peta perjalanan dengan menyebut beberapa tempat di Indonesia terutama di dejat Selat Sunda Sebenarnya jalur perdagangan India- Asia Tenggara merupakan jalur pengembangan dari jalur Mediterania – India. Jalur perdagangan ini menghubungkan sejumlah situs-situs dari masa protosejarah sampai masa sejarah. Terdapat sejumlah situs-situs protosejarah di Indonesia antara lain situs Kota Kapur, Air Sugihan, Karangagung (Palembang), Batujaya, Cibuaya (Jawa Barat) , Sembiran (Bali), dan Takalar (Sulawesi Selatan).
Dari kontak-kontak yang cukup intensif inilah terjadi akulturasi kebudayaan antara masyarakat pendatang (India) dan masyarakat lokal (masyarakat pendukung tembikar buni) yakni diterimanya kebudayaan India ke dalam kebudayaan lokal. Agama Hindu dan Budha tampak tumbuh dan berkembang di masyarakat yang telah memiliki tingkat budaya yang cukup tinggi (Komplek Tembikar Buni). Hal ini ditandai dengan kehadiran tujuh bangunan bata (candi) di daerah Cibuaya. Temuan tiga arca Wisnu berbahan batu hitam merupakan arca-arca yang dibawa langsung dari India karena bahan batu seperti itu hanya ditemukan di India. Berdasarkan ikonografinya arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-7/8 masehi (Ferdinandus,2002: 8). Bangunan-bangunan suci (stupa ) untuk umat Budha hadir sebagai sebuah komplek pemujaan yang cukup lengkap dan luas di daerah Batujaya.
Kontak budaya tersebut selain memberi dampak diterimanya agama Hindu dan Budha pada akhirnya sebuah institusi kerajaan bersifat Hinduistik juga muncul di Jawa Barat pada sekitar abad ke-5-7 Masehi dengan rajanya yang terkenal bernama Purnawarman.
Pada masa yang lebih kemudian, masyarakat pendukung tembikar Buni pun telah melakukan kontak dengan Cina namun dalam kadar yang sangat terbatas. Hal ini didasarkan pada temuan keramik China yang sangat jarang. Yang menarik adalah mengapa para pedagang Cina pada masa awal-awal sejarah tidak melakukan kontak dagang di daerah Jawa Barat ? Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan situs-situs dari masa Sriwijaya seperti situs Kota Kapur dan Air Sugihan, dimana di situs-situs tersebut fragmen keramik Cina cukup dominan ditemukan. Satu-satunya berita Cina yang memberi infomasi tentang wilayah Jawa bagian barat hanyalah disampaikan oleh Fa-hsien dari sekitar tahun 414 Masehi, seorang musafir beragama Buddha yang dalam pelayarannya kembali ke Cina, kapalnya terdampar di Ye-po-ti. Menurut Fa-hsien, di daerah ini banyak ditemukan orang-orang brahmana dan penganut agama kotor sedangkan penganut Budha sangat sedikit sekali dijumpai
Mengingat lokasi situs Pedes yang hanya berjarak 2 km dari situs Cibuaya (abad ke 7/8 M). Besar kemungkinan masyarakat Pedes Kuna juga merupakan pendukung komplek candi di Cibuaya namun hal ini tentu masih terlalu dini untuk dijadikan sebuah pembenaran. Penelitian lebih lanjut yang disertai dengan ekskavasi sebagai cara mengumpulkan data arkeologi secara sistimatis sudah merupakan sebuah keharusan untuk dapat mengungkap eksistensi masyarakat Pedes lebih lanjut. Semoga.



PERMUKIMAN KUNA DAN STRUKTUR MASYARAKAT KERAJAAN KUTAI KARTANEGARA

Secara geografis wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara berada di daerah pedalaman Kalimantan yang letaknya cukup jauh dari daerah pesisir pantai timur Kalimantan Namun justru di wilayah inilah kerajaan Hindu-Buddha tertua di Indonesia ditemukan. Bisa jadi kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya menjadi factor utama mengapa daerah ini dipilih menjadi tempat permukiman yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha seperti yang ditemukan di daerah Muara Kaman. Padahal di saat yang sama, wilayah-wilayah lain di Nusantara masih diliputi oleh kegelapan sejarah. Namun rentang waktu permukiman yang demikian panjang ini meninggalkan jejak yang begitu samar-samar bagi rekonstruksi sejarah perabadan di tanah Kutai Kartanegara. Posisi yang strategis pula yang menyebabkan ibukota kerajaan Kutai mampu bertahan di daerah ini hampir 300 tahun lamanya sebelum akhirnya pindah ke Pamarangan dan berakhir di Tenggarong. Sangat sulit dibayangkan jika dalam kurun waktu yang demikian lama Kerajaan Kutai Kartanegara tidak memiliki sistem organisasi sosial yang mapan dan ditunjang oleh kemapanan ekonomi serta stabilitas politik dan keamanan yang mantap.

Bahkan perpindahan pusat kerajaan diketahui bukan karena masalah lingkungan namun perpindahan pusat kerajaan dari Kutai Lama ke Pamarangan menurut Naskah Salasilah Kutai lebih disebabkan oleh keputusan politik setelah Sultan Aji Muhamad Aliyuddin merasa keamanan dirinya terancam oleh serangan orang-orang Bugis. Selanjutnya perpindahan pusat kerajaan dari Pamarangan ke Tenggarong lebih dilandasi oleh pandangan bahwa suatu daerah yang telah terebut
/ diduduki oleh musuh telah kehilangan aspek magisnya. Pandangan yang terakhir ini cukup popular pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Salsilah Kutai menyebutkan bahwa ketika raja Aji Betara Agung Dewa Sakti (ABADS) membangun pusat pemerintahannya di daerah Gunung Jaitan Layar. Penamaan gunung Jaitan Layar menurut Salasilah Kutai berasal dari cerita ABADS yang gemar melakukan kegiatan sabung ayam sambil mengadakan taruhan. Diceritakan pada suatu ketika ABADS melakukan sabung ayam dengan seorang China dengan taruhan jika kalas seluruh si perahu beserta seluruh anak buah raja china akan menjadi milik ABADS. Sebaliknya jika kalah maka ABADS akan menjadi milik budak dari raja China. Persabungan berlangsung sangat seru, akhirnya ayam raja China harus menyerah kalah dan terpaksa menyerahkan perahunya. Raja China meminta waktu penangguhan sehari. Kelonggaran waktu yang diberikan oleh ABADS ini digunakan oleh raja China untuk menggalang perahu dan menjahit layar. Pada malam harinya raja China pun bermaksud hendak berlayar pulang ke negerinya. Namun perahu tidak dapat berlayar karena lau telah berubah menjadi tanah akibat sumpah ABADS. Mengetahui hal tersebut seluruh orang China pun lari ke dalam hutan. Pada saat ABDS melakukan perjalanan ke gunung ini maka dinamai gunung ini dengan Jaitan Layar

Namun hasil survey dan ekskvasi di sekitar Jaitan Layar memberikan data lain. Adanya permukiman di dearah ini tampaknya tidak didukung oleh data arkeologi. Sejauh ini temuan penduduk seperti kapak batu, dan batu asahan tidak cukup kuat untuk adanya permukiman demikian pula temuan berupa fragmen tembikar dan keramik yang dapat dianggap sangat terbatas. Secara praktis, akan lebih mudah dan aman untuk tinggal di tepi sungai Mahakam daripada tinggal di kaki gunung Jaitan layar. Apalagi pada masa lalu satu-satunya alat transportasi yang efektif hanyalah melalui jalur sungai. Kemungkinannya adalah daerah sekitar gunung Jaitan layar adalah areal perladangan/ perkebunan masyarakat Kutai masa lalu dan tentunya di areal perladangan pun tetap berdiri bangunan hunian yang sifatnya sementara .

Indikasi permukiman kuna baru muncul pada sector KTL 2 yang berada pada ketinggian 2-4 meter di atas permukaan laut ( Dpl) dan berjarak 170 m arah selatan dari tepi sungai Mahakam. Di sekitar ini banyak ditemukan selain fragmen tembikar dan keramik adalah uang kepeng (Uang China) dan uang Majapahit yang dikenal sebagai uang Gobog. Ekskavasi di sektor KTL 2 berhasil menemukan sejumlah tinggalan arkeologi. Hal yang cukup penting adalah kotak ini merupakan bagian dari sampah kerang yang sangat padat. Sampai penggalian dianggap steril (spit 6 atau 120 cm) hampir 70 % kotak galian berisi sisa kerang setinggi 1 meter (pada lapisan tanah pasir lempung berwarna coklat kehitaman dan gembur). Sampah kerang ini mencerminkan aktivits masyarakat Kutai kuna yang mengkosumsi kerang sebagai makanan mereka.

Penelitian arkeologi juga berhasil mengidentifikasikan sejumlah lokasi permukiman di pulau-pulau terdekat dari Kutai Lama yang mencerminkan pola tata ruang pada masa itu dimana wilayah Kutai Lama disamping berkembang dari permukiman menjadi sebuah pelabuhan penghubung bagi datangnya kapal-kapal dagang dari dan ke daerah pedalaman kalimantan.